Mimpi.
Beberapa
orang mengatakan, bermimpilah yang tinggi
setinggi langit, kalau bisa lebih tinggi lagi dari langit. Tapi, kemudian
ada saja yang membantahnya, tapi ingat
diatas langit masih ada langit lagi. Lalu, ada lagi yang mengatakan hal
berbeda, bangunlah dari tidurmu itu dan
wujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Banyak hal yang berbicara tentang
mimpi.
Mimpi
terkadang dikaitkan dengan cita-cita seseorang; terkadang pula dikaitkan dengan
sebuah bayangan semu atau klise yang hadir ketika tidur, yang sering kita sebut
sebagai bunga tidur. Bunga tidur masing-masing orang berbeda satu sama lain.
Mimpi yang kita alami, seringkali dikaitkan dengan alam bawah sadar kita.
Ketika kita merindukan seseorang, seringkali orang yang kita rindukan itu bisa
muncul menjadi bunga tidur. Tetapi, mimpi juga bisa memiliki suatu arti
dibaliknya.
Ketika
terbangun di pagi hari seringkali kita tidak akan mengingat mimpi kita. Selama
dua puluh tahun lebih hidupku, beberapa mimpiku masih bisa aku ingat sampai
beberapa hari kemudian, yang lalu tiba-tiba tidak bisa aku ingat lagi karena
sudah mulai tertumpuk oleh hal-hal lain di dalam ingatanku.
Bagiku,
mimpiku – yang memang kebanyakan memimpikan orang-orang yang aku cintai,
seperti kedua orang tuaku, tanteku, teman-temanku, dan laki-laki yang aku
cintai – yang menyimpan memoriku. Seringkali, ketika aku merindukan seseorang
hingga tanpa sadar, rindu itu sudah masuk ke dalam alam bawah sadarku, aku akan
memimpikan orang tersebut.
Ketika
terbangun dari mimpi itu, aku memang masih bisa mengingat mimpi itu, tapi rasa
rindu itu perlahan-lahan mulai berkurang dan tidak terlalu menyakitkan seperti
sebelumnya. Tapi, karena aku masih mampu untuk mengingat keseluruhan mimpi itu,
membuatku sering terngiang-ngiang dan terpikirkan terus-terusan.
Ingatan
tentang mimpi itu mampu merecoki hariku – bukan, merecoki pikiranku yang
kemudian mengganggu hari-hariku, maskudnya. Semuanya menjadi tidak berjalan
dengan baik. Aku berjalan di jalan yang mulus saja bisa tiba-tiba kesandung,
sampai lenganku harus ditahan oleh temanku, “Lagi sleepwalking ya?”ledek temanku yang kemudian aku hadiahi jitakan
detik selanjutnya. Begitulah. Setiap kali otakku sedang tidak sinkron dengan
keadaan, teman-temanku hanya mengatakan aku sedang sleepwalking jadi tidak usah dihiraukan.
Aku
bersyukur memiliki teman-temanku yang meskipun mengatakan aku sedang sleepwalking dan bukannya mengatakanku
sedang galau – sebutan anak zaman
sekarang kalau sedang banyak pikiran, mungkin – tidak pernah mendesakku untuk
bercerita apapun itu yang membuatku seperti sedang sleepwalking, memang mereka sering bertanya sekali “Kenapa?” hanya
dengan satu kata tanya itu saja. Ketika aku menjawab dengan senyum dan
menggeleng, mereka mengerti kalau aku memang sedang tidak ingin membicarakan
hal tersebut.
Setelah
dipikir-pikir, aku lebih bersyukur disebut sleepwalking
atau sedang galau, daripada disebut zombie. Well,
as you know guys, zombie itu mayat hidup. Kalau sampai mereka menyebutku
zombie, mungkin mereka harus menginap di klinik kampus seharian penuh untuk
mengompres kepala mereka karena aku jitak berkali-kali hingga memar, bukan,
benjol maksudnya.
Aku juga
menganggap seseorang itu sudah sangat dekat denganku ketika orang tersebut
sudah masuk ke mimpiku. Mungkin kalian akan menganggap itu aneh. Tidak apa-apa.
Anggapan setiap orang kan berbeda-beda, aku bisa maklum.
Tapi, ini
cerita tentang seorang perempuan yang memiliki bunga tidur mengenai seseorang
yang – bisa dikatakan – ia rindukan.
Kau tahu, rindu
itu juga bisa menyakitkan. Menyakitkan ketika kau merindukan seseorang dan kau
tidak bisa mengatakannya pada orang yang kau rindukan.
▲
▲
Suara detik
jam dindingku menggema hingga ke sudut-sudut kamar.
Menghantarkan
cahaya matahari yang masih temaram menyusup melalui celah-celah gorden
jendelaku yang tidak tertutup dengan sempurna. Aku menarik sedikit ujung bedcover hingga menutupi daguku, sesaat
sebelum jam beker di side table
tempat tidurku berdering lembut. Ujung jariku menyentuh tombol on-off di bagian belakang badan jam.
Aku
mengambil posisi duduk tegak. Masih dengan mata yang terpejam, berusaha
mengembalikan nyawaku yang masih belum berkumpul dengan sempurna. Nafasku
seiring dengan suara pergerakan detik jam dindingku yang masih menggema. Kedua
kelopak mataku mulai terbuka perlahan.
Untuk
kesekian kalinya, bola mataku menangkap pemandangan yang sama setiap paginya.
Beranda kamar apartemen, dengan gorden jendela tipis yang berkibar halus karena
tertiup angin, bersama beberapa burung gereja yang senang mampir bertengger dan
bercengkerama di pagar beranda kamarku beberapa menit, sebelum akhirnya terbang
pergi ketika aku menggeser pintu penghubung. Padahal aku sudah berusaha sehalus
mungkin membukanya. Sepertinya pendengaran mereka lebih tajam.
Sambil
memakai mantel kamar, aku keluar dari
dalam kamar menuju dapur untuk membuat susu coklat panas; salah satu
kebiasaan setiap pagiku dari awal kuliah, kemudian duduk di ruang nonton untuk
mendengarkan berita pagi. Bel pintu berdering halus. Aku bergerak mendekat ke
monitor untuk melihat siapa yang datang. Ibu yang biasa membereskan apartemenku.
Aku membukakan pintu baginya yang kemudian memberiku ucapan selamat pagi dengan
lembut, ”Selamat pagi, Senja. Kunci apartemen Senja tertinggal di rumah Ibu,
jadi Ibu terpaksa menekan bel. Maaf ya kalau Ibu membangunkan Senja.”katanya
penuh dengan penyesalan.
Aku
tersenyum maklum. “Selamat pagi, Bu.”jawabku setelah berhasil menelan susu di
dalam mulutku. “Tidak apa-apa. Aku memang sudah bangun dari tadi. Aku bahkan
sampai sudah mengaduk susu sendiri.” Akhirnya beliau ikut tersenyum, dan
mengangguk pelan.
Setelah
memakai sandal ruangan yang biasanya beliau gunakan selama berada di
apartemenku, dan berjalan menuju dapur, beliau bertanya “Mau makan apa hari
ini?”tanyanya sambil membuka kulkas.
“Terserah
Ibu aja mau masak apa.”kataku sambil duduk di kursi bar.
“Baiklah,
nanti saya buatkan ayam rica-rica untuk makan siangnya. Untuk makan malamnya
mau saya buatkan bihun kuah?”tanya beliau sambil menatapku dengan salah satu
tangannya mengangkat bungkus bihun yang ia tarik dari pelosok kulkas.
“Boleh.
Nanti kuahnya tinggal saya panaskan lagi, kalau Ibu menyimpannya di kulkas.”
Beliau tau
aku tidak pernah sarapan. Bukan tidak pernah, perutku tidak terbiasa dengan
mengolah makan saat pagi-pagi. Kalau aku sedang rajin, aku akan membuat sereal.
Kalau aku sedang malas dan atau serealnya sedang habis - untuk saat ini dua hal
itu terjadi bersamaan – aku hanya akan minum susu. Jadi, susu coklat tidak
pernah boleh menghilang dari dalam toplesnya alias aku harus sering mengisi
ulang, karena aku sering minum susu.
Setiap
pagi, beliau akan mematikan seluruh pendingin ruangan di apartemenku dan
menggantinya dengan membuka semua jalur udara keluar masuk – jendela dan pintu
beranda – untuk mengganti udara di dalam ruangan. Salah satu keuntungan berada
di lantai lumayan di atas itu memberikan akses angin yang bisa dibilang lumayan
banyak hilir mudik.
Setiap pagi
beliau akan bekerja satu jam dulu, untuk beres-beres, dan yang terpenting untuk
memasak. Kalau ada cucian dan baju yang perlu disetrika, ia akan datang lagi
siang harinya. Karena, bukan hanya di tempatku saja beliau bekerja. Jadi,
beliau harus pintar-pintar membagi waktu. Biasanya beliau ke tempatku untuk
melanjutkan pekerjaannya saat siang, ketika ia sudah menyelesaikan pekerjaannya
di tempat lain saat pagi.
“Saya mau
siap-siap dulu ya, Bu.”kataku sambil meletakkan gelas kosong di dalam mesin
cuci piring.
“Iya.”jawabnya
singkat.
Aku
berjalan dengan santai menuju kamarku sambil menarik kedua kakiku yang rasanya
malas sekali untuk berjalan. Angin yang semilir bergantian memasuki ruang-
ruang kosong di dalam kamarku, ketika aku menggeser pintu lemari.
Jarum detik
terus bergerak berputar di satu poros, suara gerakannya terus menggema di
kamarku. Jarum detik itu tidak pernah menyadari bahwa ia berputar terus-menerus
di satu poros yang sama; terus menerus berputar di tempat yang sama. Mungkin
saja ia tahu, tapi ia tidak mengeluh dan berhenti begitu saja. Aku senang
mendengar suara jarum detik yang bergerak, karena aku merasa memiliki kesamaan
dengannya. Terus menerus berputar di satu poros yang sama, tanpa pernah
mengeluh.
Karena, aku
tidak sanggup untuk berhenti begitu saja.
▲
Aku
mengganti sepatu Converse hitamku dan meletakannya di dalam lemari sepatu dekat
pintu masuk, kemudian memakai sandal sebelum menaiki dua anak tangga, berjalan
menuju dapur untuk melihat masakan Ibu. Aku mengangkat tudung saji dan
mendapati ayam rica-rica dan lauk lainnya. Di tudung saji itu aku mengambil
Post-It yang ditempelkan Ibu.
Senja, nasinya sudah Ibu siapkan di rice cooker ya.
Jangan sampai lupa makan ya.
Ibu.
Post-It
berwarna pink itu aku tempelkan kembali ke tudung saji sambil tersenyum.
Sebelum mengambil nasi di rice cooker,
aku meletakkan tas yang dari tadi berada di bahuku di atas kursi.
Aku
sebenarnya bukan orang yang senang makan sendirian. Biasanya aku akan pergi
makan ke restoran cepat saji atau makan di restoran biasa sambil mengajak
temanku. Entah mengapa hari ini aku sedang ingin makan di apartemen, maka dari
itu aku mau-mau saja dimasakin makanan oleh Ibu. Biasanya aku akan menolak
dengan halus.
Saat aku
hendak memindahkan ayam rica-rica ke piring nasiku, aku mendengar ada
suara-suara yang tidak jelas datang dari kamarku. Bulu kudukku mulai meremang. Masa iya di apartemen bisa ada pencuri?
Selama hampir 4 tahun aku tinggal disini, tidak pernah aku mendengar ada
kejadian apartemen yang kecurian, kataku dalam hati sambil berjalan dengan
pelan menuju kamarku.
Password apartemenku pun hanya aku yang
tahu. Ibu saja kalau datang aku yang membukakan pintu. Bukannya bermaksud
sombong, tapi passwordku bukan kata
sandi yang mudah ditebak. Semakin aku mendekati pintu kamarku, aku semakin
yakin bahwa ada seseorang di dalam kamarku. Mataku mencari-cari alat yang
paling bisa dijadikan senjata untuk melawan, hingga akhirnya aku menemukan
gagang sapu tidak jauh dariku.
Sambil
memegang gagang sapu itu dengan kuat-kuat, aku mendorong pintu kamarku dengan
pelan-pelan. hingga akhirnya pintu itu terbuka dengan lebar. “Halo, Senja.”
Kalimat pertama yang aku dengar itu langsung membuatku refleks menjatuhkan
gagang sapu yang sedang aku genggam. Aku merasa seperti setengah nyawaku
tiba-tiba melayang. Aku tidak mampu untuk berkedip, pun bernafas.
Sementara
orang yang mengucapkan salam itu tengah tersenyum kepadaku.
Belum
sempat aku memaksa sudut-sudut bibirku untuk terangkat, orang dihadapanku
tiba-tiba membuka kedua lengannya dengan lebar. Mengundangku untuk masuk ke
dalam pelukannya. Saat itu juga nyawaku yang setengah langsung kembali ke
badanku, karena beberapa detik kemudian aku sudah menghamburkan tubuhku ke
dalam pelukannya.
Kedua
lenganku memeluknya begitu erat. Ia mengusap-usap rambutku dengan lembut,
sementara aku membenamkan kepalaku di lekukan lehernya. Menghirup
sebanyak-banyak mungkin wanginya. “Aku tadi sempat melihat ada ayam rica-rica
di meja makanmu. Kau tidak mau mengundangku untuk makan siang?”tanyanya dengan
bisikan lembut di telingaku.
Aku
mengulum senyumku dan dengan terpaksa menarik tubuhku dari pelukannya. “Ayo
makan. Aku sudah lapar.”kataku sambil menarik lengannya. Hal yang tidak
kusangka, tanganku yang tengah menarik lengannya, ia pindahkan ke dalam
genggamannya. Aku menoleh sebentar dan mendapatinya tersenyum ke arahku.
“Ayo.”jawabnya.
Rasa-rasanya
aku seperti memiliki banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya. Tapi,
ketika sudah bersama seperti ini, tiba-tiba saja pertanyaan itu menguap begitu
saja.
Aku bahkan
sampai tidak sanggup untuk berkedip setiap kali aku menatap laki-laki di
hadapanku. Aku takut kalau aku berkedip, ia akan menghilang dari pandanganku.
Aku tidak mau hal itu terjadi. Entah sudah berapa malam yang aku hitung hanya
untuk bertemu dengannya.
“Ayo
dimakan. Bukannya ngeliatin aku terus.”katanya sambil menyentuh punggung
tanganku.
Aku seperti
tersadarkan, sambil mengerjap-ngerjapkan mataku, aku tersenyum lebar.
“Iya.”kataku sambil mulai menyuap makanan yang ada di hadapanku.
Ia,
laki-laki yang aku rindukan setiap malam; laki-laki yang ingin aku temui setiap
harinya; laki-laki yang menemaniku setiap kali ia memiliki kesempatan;
laki-laki yang mampu menghangatkan malamku yang dingin. Lalu, ketika ia pergi,
tempat yang ia tinggalkan terasa dingin dan terasa begitu menyedihkan.
Kami duduk
santai di beranda kecil di depan kamarku yang menghadap langsung ke pantai.
Salah satu kelebihan memiliki kamar yang menghadap ke arah pantai, yaitu ini.
Bisa dengan mudahnya memandangi pantai setiap saat kita ingin. Matahari
pelan-pelan mulai turun diujung pantai, memberikan semburat jingga di langit.
Awan-awan putih mulai berganti warna menjadi oranye. Salah satu waktu yang
tidak pernah aku lewatkan setiap harinya.
Dan ia tahu
itu.
Maka
dariitu ketika kami sudah selesai makan, ia langsung menarik tanganku ke dalam
genggamannya dan mengajakku ke beranda kamar. “Senja.”gumamnya lirih. Aku hanya
diam. Antara ia menyebut namaku atau ia sedang menyebut apa yang sedang ia
lihat.
“Kau tidak
pernah bertanya pada orang tuamu, kenapa kau dinamai senja?” Tiba-tiba ia
memberikanku pertanyaan untuk memecah keheningan.
Aku
tersenyum menatap langit oranye diatas kami. “Pernah. Mereka bilang, kalau aku
lahir tepat di senja hari. Papa dan Mama belum memiliki nama yang tepat dari
sekian calon nama untukku, lalu Mama menggumam kata ‘senja’ saat menerimaku
dari gendongan perawat. Papa langsung menyebut namaku, Senja.”jawabku.
Aku menarik
nafas sebelum melanjutkan, “Mama senang sekali dengan senja. Lukisan-lukisan
beliau kebanyakan berlatarkan senja hari. Bagi Mama, aku adalah senjanya. Senja
yang bisa ia miliki untuk dirinya sendiri dan bersama Papa.” Aku menoleh
menatap laki-laki di sampingku yang sedang menatap ke kejauhan. “Sementara kau
adalah senjaku.”kataku, membuatnya langsung menoleh ke arahku.
“Kenapa?”
“Karena,
aku tidak bisa memilikimu. Karena kau terlalu indah untuk aku miliki seorang.
Kalau aku memaksakan diri untuk memilikimu, akan banyak orang yang terluka.
Padahal senja itu tidak mungkin menyakiti orang lain.” Aku tidak lagi
menatapnya, melainkan kembali menatap langit.
Sebuah genggaman
hangat menangkup tanganku yang berada dipangkuan. Saat aku menatapnya, ia
sedang tersenyum ke arahku. Genggaman itu seperti memberikan aku perasaan aman,
yang membuatku mampu berpikir bahwa besok akan baik-baik saja dan tidak ada
yang perlu dikhawatirkan.
Ya, memang
semudah itu menjalani hari-hariku bersama dengannya.
Tetapi,
tidak semudah itu untuk melepaskan kepergiannya.
Jam bekerku
kembali berdering. Dengan satu pergerakan tangan, aku langsung bisa meraih
bekerku dan menekan tombol off di
bagian belakang benda itu. Suara siulan burung-burung yang bertengger manis di
pagar pembatas balkon kamarku menyusup masuk melalui celah pintu geserku,
sekaligus mengibarkan gorden putih dengan pelan.
Aku memutar
tubuhku dan tanganku terulur ke sampingku.
Tunggu.
Ada yang
hilang.
Aku
langsung membuka mataku dengan cepat.
Begitu
menyadari apa yang hilang di sampingku, aku langsung terbangun. Mataku mencari
jejak keberadaannya. Di dalam kamarku ini bahkan tidak ada jejak keberadaannya.
Aku langsung menyibakkan selimutku dan dengan terburu-buru turun dari tempat
tidur, berjalan cepat menuju luar kamarku, bahkan aku sampai tidak sempat
memakai sandal kamarku.
Hening.
Tidak ada orang lain di sini selain aku.
Pintu
apartemenku bergerak terbuka, kemudian muncul sesosok dari baliknya.
Sayangnya
bukan sosok yang aku tunggu.
“Selamat
siang, Senja.”sapa ibu pengurus apartemenku. Beliau yang setiap pagi datang – tunggu, siang? Ini sudah siang? Aku menolehkan kepalaku ke arah jam dinding
yang berada diatas tv. Detik berikutnya aku langsung melongo. Astaga, ini sudah jam 2 siang? Ini bahkan sudah lewat dari setengah hari
aku tidur. Sebentar lagi aku bisa tanding lama tidur dengan kelelawar.
“I-ibu baru
datang siang ini?”tanyaku sambil mengekori beliau ke ruang belakang, tempat
baju-baju bersih yang minta dirapihkan dengan setrikaan.
Ibu menoleh
kearahku dengan dua alis yang hampir menyatu di tengah-tengah keningnya, beliau
bingung mendengar pertanyaanku. Kemudian dia tertawa. “Tidak. Ini ibu datang
untuk menyetrika. Ibu lupa tadi pagi bilang ke Senja, kalau siang ibu mau
datang lagi. Untung Senja udah pulang.”
Pulang? Pulang darimana? Aku
kebingungan. Aku baru pulang dari time
traveler apa? Bukannya aku bertemu dengan
ibu kemarin pagi? Jangan-jangan tadi pagi aku bertemu dengan ibu saat nyawaku
belum kekumpul semua.
“Jadi, tadi
pagi Ibu sudah datang?”tanyaku.
“Sudah.
Kalau ibu belum datang, Senja belum makan pasti.”jawabnya kemudian mulai
menyiapkan perlengkapan menyetrikanya. Aku berjalan dengan lemas menuju
kamarku. Kebingungan masih menyita seluruh pikiranku. Dia bahkan tidak
meninggalkan pesan sebelum pergi.
Aku
langsung membuka ponselku. Kenapa tidak
dari tadi kau cek ponselmu, Senja, aku merutuki kebodohanku dalam hati.
Kosong.
Tidak ada pesan darinya sama sekali. Aku
meletakkan kembali ponselku di atas tempat tidur dengan lemas. Dia pergi lagi, tanpa pamit. Aku merasa seperti baru saja bertemu dengannya dan
sekarang aku sudah ditinggalkan lagi. Dia bahkan tidak mau repot-repot sekadar
meninggalkan pesan pamit untukku.
Aku
melanjutkan hari ini dengan setengah hati.
Duduk di
beranda sambil memegang cangkir tehku yang masih mengepulkan uap panasnya.
Pelan-pelan langit mulai berganti warna seiring waktu berputar. Angin hawa
musim hujan mulai berdesir di atas kulitku dan membawa pergi kepulan uap panas. Rasanya menenangkan.
Seandainya
semudah itu membawa pergi kenangan. Seandainya semudah itu melepaskan seseorang
yang sudah jelas sekali tidak bisa kita harapkan, tapi bodohnya tangan kita
masih terus berusaha mencekal keberadaannya. Bukan hanya kau yang sakit, yang
dicekal pun sudah tentu tidak akan senang, apalagi bahagia. Seandainya semudah
itu membukakan pintu bagi kedatangan orang lain. Seandainya semudah itu hatimu
sembuh setelah dilukai berkali-kali. Meski luka itu hanya kecil, tapi jika
terjadi karena orang yang aku cintai, luka itu bahkan rasanya lebih sakit
berpuluh-puluh kali lipat dari yang seharusnya.
Aku memang
seharusnya sudah melepaskannya, tapi bukankah angin bisa saja datang kembali?
Dan aku selalu bisa menerimanya saat datang kembali. Banyak yang mencintainya,
siapa yang tidak bisa jatuh cinta padanya? Lelaki yang mudah sekali memberikan
senyuman pada setiap orang, lelaki yang sanggup menenangkan badai yang akan
menerjangnya hanya dengan satu pelukan hangat. Ya, dia berani memeluk badai
yang sedang mengamuk. Bahkan Ibu-ku sendiri bisa tergila-gila padanya. Kalian
tahu apa yang Ibu katakan sesaat setelah bertemu dengannya di kampung
halamanku, ketika ia memaksaku untuk memperbolehkannya ikut aku pulang ke rumah
orang tuaku? “Kalau bukan dia mantu Ibu,
mending kau jadi biarawati saja.” Ayah sampai tertawa dengan terbahak-bahak
mendengar kalimat Ibu. Karena beliau yakin, Ibu sebenarnya juga tidak rela jika
anak semata wayangnya menjadi biarawati. Aku pun mau tidak mau ikut tertawa,
sementara Ibu menggerutu karena ditertawakan oleh kami.
Sayangnya,
Ibu tidak tahu, siapa yang memilikinya seutuhnya.
Perempuan
yang tidak akan pernah aku bisa tandingi.
Siapa yang
bisa menandingi bayangan? Siapa yang bisa menandingi seseorang yang sudah
tinggal di dalam kenangan? Aku saja tidak bisa. Perempuan dalam hidupnya banyak
yang silih berganti. Tapi, di kenangannya hanya satu bayangan perempuan saja.
Perempuan
yang telah tiada bertahun-tahun lalu, karena harus kalah pada penyakitnya. Saat
itu pertama kalinya, aku melihatnya menitikkan air mata. Sekuat-kuatnya
dirinya, ia tidak akan pernah mau menitikkan air matanya di depan siapa pun.
Hari itu, ia harus bertekuk lutut di depan kesedihannya; di depan
kebahagiaannya yang sudah tidur dengan tenang dan tidak perlu merasakan sakit
apapun lagi.
Aku
memeluknya dengan erat. Saat itu yang aku tahu, ia pasti sangat membutuhkan
pelukan. Ia menangis dalam pelukanku. Tidak ada suara, yang ada hanya bahunya
yang terguncang. Ia tidak berusaha menghapus jejak-jejak air matanya. Ia membiarkan
jejak-jejak itu kering dengan sendirinya, dia berharap dengan begitu ia tidak
akan menghapus jejak perempuannya juga.
Aku
menyesap teh yang kini sudah mulai menghangat.
Aku hanya
rumah singgah baginya. Rumah sesungguhnya sudah tidak ada lagi baginya. Rumah
sesungguhnya sudah runtuh bersamaan dengan sedihnya bertahun-tahun lalu. Itu
kesedihan pertama dan terakhir kalinya ia tunjukkan padaku. Bahkan ketika
menonton film sedih pun, ia bahkan tidak menunjukkan ekspresi sedih, bahkan aku
sampai harus menghapus air mataku dengan tisu. Ia akan tertawa melihatku yang
menangis seperti anak kecil yang
ditinggal pergi orang tuanya.
Ya, ia
sudah membekukan perasaan sedihnya. Aku memahami sekali hal itu. Setiap kali ia
bersedih, yang akan ia ingat hanyalah saat-saat kepergian perempuannya.
Aku malah
jadi merindukan keberadaannya sekarang.
▲
Aku bisa
merasakan hembusan angin pagi yang sejuk melewati celah pintu penghubung menuju
balkon kamarku. Menukar udara di dalam kamarku dengan udara yang baru. Matahari
masih malu-malu untuk bersinar, karena ia terus memilih untuk bersembunyi di
balik awan berwarna abu-abu. Jam bekerku belum berbunyi, karena ini memang
belum waktu baginya untuk berdering.
Sebuah
tangan menyusup masuk ke dalam selimut dan menarikku ke dalam pelukannya lebih
dalam lagi. Aku mengerang pelan. “Hhmm.” Kemudian menggeliat dengan nyaman,
menyandarkan bahuku. “Selamat pagi.”bisiknya dengan halus.
“Iya,
selamat pagi. Aku mau tidur lagi.”kataku masih setengah sadar.
WAIT! WHO’S THAT?
Mataku
langsung terbuka lebar dan tubuhku membeku. Aku bisa mendengar suara tertawa
meledek di belakangku. Sepertinya aku
kenal. Aku langsung mengambil posisi duduk di atas tempat tidurku dan
mendapati dirinya disana. Di atas tempat tidurku juga. Sedang menopang
kepalanya dengan satu tangannya di atas bantal. Ia sedang tertawa melihatku
yang terkejut.
“Sejak
kapan kau ada disini?” Aku bertanya dengan bingung.
“Sejak kau
mulai bergumam tidak jelas.”katanya kemudian mengedikkan bahu.
Aku pasti mengigau lagi. Aku
kemudian bertanya sambil memicingkan mataku dengan curiga, “Pasti waktu aku
sedang mengigau, kau mengerjaiku, ya?” Ia kembali tertawa mendengar
kecurigaanku pada sifat usilnya.
“Tidak. Aku
hanya mendengarkan kau bergumam tidak jelas. Lalu, waktu aku ucapkan selamat
pagi, kau membalasnya dengan jelas. Aku padahal hanya sedang
mengetesmu.”jawabnya.
“Iya, itu
juga bagian dari mengerjaiku!” Aku membalasnya dengan suara datar.
“Sini.” Ia
membuka kedua lengannya lebar-lebar, menantiku untuk merebahkan telingaku tepat
di atas jantungnya. Ada yang aneh,
gumamku. Tapi, usapan lembut di rambutku, sanggup menghilangkan rasa aneh yang
tiba-tiba menyerang perasaanku.
“Begini kan
lebih enak.”gumamnya sambil membetulkan posisi selimutku yang tersingkap.
Aku
tersenyum lebar, kemudian memeluknya dengan erat. Sangat erat.
“Astaga,
Senja. Aku tidak bisa bernafas kalau kau memelukku seperti ini.” Ia menepuk
lenganku dengan pelan dan lembut.
“Tidak
apa-apa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan kau.” Aku terkekeh.
“Aku rindu.”bisikku dengan sangat halus. Berharap ia tidak mendengarku. Harapan
yang sia-sia sebenarnya, karena ia pasti mendengarku, karena kemudian ia balas
memelukku dengan erat. Seakan-akan sedang berusaha menenggelamkanku dalam
pelukannya.
“Sekarang
kau yang tidak bisa bernafas karena aku memeluk kau dengan erat!”ledeknya
sambil tertawa. Aku bisa merasakan badannya terguncang saat ia sedang tertawa.
Mau tidak mau aku ikut tertawa.
“Kau kemana
saja?”tanyaku saat aku sudah kembali ke posisiku semula. Berhadapan dengannya,
sementara tangaku berada di atas jantungnya.
“Aku tidak
kemana-mana, Senja. Aku selalu ada untuk kau. Kau tidak menyadari itu?” Ia
menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga, kemudian mengusap pipiku dengan
kasih sayang.
“Tidak.”
Aku menjawab dengan polos, membuatnya tersenyum tipis.
“Nanti ada
saatnya kau akan menyadari itu.”
“Kapan?”
“Ya nanti,
kan aku bilang ada saatnya.”
“Ah, ada
saatnya menurut versi kau, itu pasti lama sekali. Nanti aku sudah keburu tua
dan punya cucu.”ledekku.
Ia tertawa.
“Tidak. Kali ini tidak akan lama.” Kemudian ia menatap ke kedalaman mataku,
hingga aku tidak bisa memalingkan wajahku. Meskipun begitu aku memang tidak mau
memalingkan wajahku. Keberadaannya adalah candu bagiku. Aku tidak butuh
obat-obatan terlarang untuk membuatku kecanduan. Dirinya saja sudah candu
bagiku; dirinya itu adalah obat-obatan terlarangku.
Aku
mengusap rambut hitamnya dengan lembut.
“Aku rindu,
Bumi.” Akhirnya kata itu terlontar dari bibirku.
“Aku tahu,
Senja, aku tahu sekali itu.”jawabnya penuh kasih. “Sshh, jangan menangis. Aku
ada disini.” Ia menarikku kembali ke pelukannya saat melihat bibirku mulai
bergetar pelan menahan tangis kerinduanku, ia menyelipkan kepalaku ke bawah
lekukan lehernya, dan dengan lembut mengusap-usap punggungku.
Usapan
hangatnya di punggungku membuatku terbuai dan pelan-pelan mataku mulai berat
dan akhirnya aku jatuh tertidur.
Sesaat
sebelum aku tertidur, aku sempat mendengarnya berbisik pelan. “Aku minta maaf,
Senja. Kau harus mulai terbiasa untuk tidak merindukanku lagi. Kau tahu aku
sayang padamu. Biar bagaimana pun kau senjaku,” Ia menarik nafas pelan,
kemudian melanjutkan, “Aku pamit, Senja.” Lalu, ia mengecup keningku dalam
waktu yang lama sekali.
Aku tidak
sanggup membalasnya karena saat itu kantukku sedang menarikku lebih dalam lagi
hingga aku tidak tahu apakah aku tadi hanya perasaanku saja atau ia memang
benar-benar mengucapkannya.
Siulan
burung-burung yang saling bersautan memberikan tanda bahwa ini sudah pagi. Jam
bekerku berdering halus pagi ini. Aku menekan tombol off dengan mata yang masih terpejam dengan sempurna. Ini sudah
seperti rutinitas pagi hariku. Mendengar suara siulan burung dan dengkuran
bekerku yang nyaring. Sambil menyelipkan tanganku ke dalam bantal kepalaku yang
sejuk, aku melanjutkan tidurku lagi. Karena, ini hari Minggu. Hari bagiku untuk
tidur sepuas-puasnya.
Aku tidak
mendengar suara pintu kamarku di buka.
Aku tidak
mendengar suara gorden kamarku disibakkan.
Aku tidak
mendengar suara langkah kaki yang mondar-mandir di kamarku.
Hingga
akhirnya, seseorang menepuk lenganku dengan halus, “Senja,”panggilnya, beberapa
kali menepuk lenganku.
Kemudian,
“Ya ampun! Senja, kau demam!”pekik suara itu dengan terkejut.
Aku hanya
bergumam tidak jelas. Tapi, aku tahu itu suara ibu yang biasanya mengurus
apartemenku. Beliau memang memiliki kunci sendiri. Aku berikan kunci cadangan
padanya untuk berjaga-jaga kalau aku tidak bisa bangun untuk berangkat kuliah
pagi, jadi beliau bisa membangunkanku.
Suara ibu? Aku memaksa mataku untuk terbuka,
meski hanya sedikit.
“Ibu?”tanyaku
dengan serak.
“Badanmu
panas sekali, Senja.” Aku melihat beliau berlutut di samping tempat tidurku,
supaya bisa berada sejajar dengan kepalaku. Aku bahkan merasa biasa saja. “Ibu
buatkan bubur ya, biar bisa minum obat. Nanti ibu kompres juga sekalian. Tidur
saja dulu, nanti ibu bangunkan kalau sudah selesai.” Beliau langsung bangkit
berdiri dan berlalu dari kamarku dengan pintu terbuka.
Kenapa ada ibu? Ibu tidak kaget melihat –
Aku yang
malah kaget. Tempat tidurku hanya ada aku seorang!
Aku
terduduk. Hal itu membuatku kepalaku langsung seperti berputar-putar dengan
cepat. “Akh!” Aku memegang kepalaku yang pusing.
“Bumi?” Aku
memanggil namanya. Tapi, pemilik nama itu tidak menyahut. Segala kenyataan
datang menghantam kepalaku yang masih pusing dalam sekali hantaman.
Ya Tuhan! Aku menutup mulutku yang menganga
dengan lebar.
“Bumi,” Aku
kembali menggumamkan namanya.
Masih tidak
ada yang menyahut.
“Bumi!” Aku
meneriakkan namanya dengan kencang. Ibu sampai harus datang dengan
tergopoh-gopoh mendengar teriakanku. Ia mendapatiku tengah menangis di atas
tempat tidur dengan dua tangan yang menangkup wajahku.
“Senja,”
Beliau membawaku ke pelukannya.
“Ibu, Bumi,
bu.” Aku merengek seperti anak kecil yang merengek dibelikan mainan pada
ibunya. Beliau hanya mengusap rambutku, berusaha menenangkanku. Ia tidak bisa
berkata apa-apa.
“Aku mau
Bumi, bu.” Kembali aku merengek dalam tangisku.
“Tidak
boleh, Senja. Bumi tidak ada lagi.” Ibu langsung menjatuhkan bom di
tengah-tengah tangisku.
“Apa?!” Aku
mengangkat kepalaku dari pelukannya. Aku menatapnya dengan mata sembabku,
berusaha mencari kebohongan dimatanya. Tapi, aku tidak menemukannya.
“Bohong!
Ibu pasti bohong!”kataku dengan wajah merengut dan hampir menangis lagi.
“Ayo ikut
Ibu.” Ibu membimbingku berjalan menuju ruang tengah. “Bumi ada di sana.” Dari
kejauhan beliau menunjuk sudut ruang tengah yang berada bersebelahan dengan
kaca besar, di tengah-tengah meja sudut itu ada sebuah foto berbingkai hitam
yang berdiri diantara bunga-bunga segar dan diapit dua buah lilin besar yang
apinya bergetar halus, setiap kali ada angin yang berhembus pelan. Aku berjalan
menuju meja sudut yang ditunjuk oleh ibu.
Dalam
bingkai itu ada wajah seorang laki-laki yang sedang tersenyum lebar. Di bagian
bawah foto itu, tertulis dengan tinta hitam, ‘Now you are a happy man because you have met your woman in heaven. May
you still be with me who still alive, because
of you. May you rest in peace. In
loving memory, Bumi.’
Ini sudut
yang sering kali aku singgahi, sekadar untuk berdoa baginya, menyalakan lilin,
mengganti lilin, mengganti bunganya atau sekadar memandangi fotonya. Dia lelaki
yang menyelamatkanku dari kecelakaan mobil beruntun. Kejadian saat itu sangat
cepat terjadi. Sedetik lalu ia membuka pintu mobilku dengan cepat, detik
selanjutnya aku melihatnya mendorongku keluar dari pintu mobil. Sedetik
kemudian, sesaat setelah aku berada di jalan beraspal, mobilnya dihantam dengan
keras dari belakang membuat mobil itu ringsek bersama dengan mobil di depannya,
di depannya, dan di depannya lagi.
Ia menukar
nyawanya untuk nyawaku. Ia menukar kehidupannya untuk kehidupanku. Aku tidak
sempat mengucapkan kata perpisahan. Aku tidak sempat pamit padanya. Hingga saat
itu seharusnya tiba, aku hanya seseorang yang tidak sanggup melihat petinya
yang masih terbuka mulai didoakan, karena sudah saatnya untuk prosesi penutupan
peti. Aku pingsan dikala seharusnya aku pamit di depannya untuk terakhir kali.
Aku jatuh
terduduk di lantai, dan saat itu lah tangisku kembali terurai.
Ini pertama
kalinya bagi ibu melihatku kembali menangis, setelah kepergiannya setahun yang
lalu, aku tidak pernah menangis lagi. Ibu yang mengurus apartemenku memang
mengenalnya. Bahkan Ibu menganggapnya sudah seperti anaknya sendiri, sama
halnya dengan beliau telah menganggap aku sebagai anaknya. Beberapa kali saat kami
akan pergi di saat siang hari, kami akan
mengajak ibu untuk ikut kami pergi.
Maka dari
itu, pantas saja jika tadi ibu tidak ada kagetnya sama sekali. Karena memang
sebenarnya ia tidak ada disini. Ia tidak pernah ada disini. Bumi memang sudah
tidak ada lagi disini.
Aku
sebenarnya saat itu bukanlah baru pulang dari time traveler seperti yang aku kira, tapi sebenarnya aku bertemu
dengannya dalam mimpi. Sama halnya dengan yang baru saja terjadi. Ia baru saja
datang singgah ke dalam mimpiku. Alam bawah sadarku tanpa sadar mengundangnya. Ya Tuhan!
Dan
sebenarnya ia telah berpamitan melalui mimpiku. Kepergiannya dari mimpiku lah
yang membuatku tiba-tiba jatuh demam seperti ini.
Bumi, sekarang aku sadar, bahwa kau memang selalu ada
untukku. Kita akan selalu bisa bertemu di kala senja berada di ufuk. Setiap
hari kau memang selalu ada untukku. Terima kasih, Bumi.
Fin.