Dia itu sebenarnya sudah seperti saudara sendiri
meskipun dari berbeda keluarga. Tapi, dia itu sudah seperti kakak, sahabat, dan
juga seperti pacar. Seseorang yang selalu bisa aku andalkan, meskipun terkadang
harus debat kusir yang pada akhirnya ia akan tetap mengalah padaku. Aku
tersenyum sendiri jika mengingat setiap debat kusir kita. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana jadinya jika sampai di hari aku sudah tidak bisa
mengandalkanmu lagi. Selain tidak bisa, aku pun tidak berani. Sungguh.
Aku duduk sambil mengayunkan kedua kakiku yang
menggantung diudara akibat tempat duduk yang terlalu tinggi atau mungkin aku
yang terlalu mungil? Ah, positive thinking saja kalau memang tempat duduknya saja
yang ketinggian. Tolong jangan tertawa. Kepalaku sesekali bergerak ke kiri dan
ke kanan mengikuti irama lagu yang mengalir melalui earphone iPod.
“Sedang menunggu seseorang?”tegur seseorang, yang
meski aku memakai earphone tapi suaranya sudah terasa familiar di telingaku.
Aku mendongak dan mendengus geli, “Aku menunggu bus.
Kenapa?”
Ia terkekeh kecil. “Udah siap?”tanyanya sambil
memberikan helmku yang aku letakkan diantara kami.
“Udah siap dari lama!”jawabku seraya memakai helm
dan naik ke boncengan motornya.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di
kampus tercintanya ini.
“Selamat pagi!”seruku pada dua orang penjaga
parkiran yang biasanya memberikan karcis untuk mahasiswa yang akan parkir
motor.
Mereka hanya geleng-geleng kepala. “Nggak ada
boncengan yang lain selain pengeras suara ini, ya?”tanya salah satu dari
mereka. Ia tertawa keras; aku langsung memukul helm belakangnya yang membuatnya
mengaduh pelan. “Semangat ya, para bapak sekalian!”seruku sebelum motor hitam
yang aku naiki ini melaju meninggalkan pos dan mencari tempat parkir yang masih
kosong.
“Kelasmu selesai jam berapa?”tanyanya sambil
merapikan rambut di kaca spion.
“Sebelum jam makan siang, makan siang bareng
ya?”seruku sambil tersenyum lebar dan mengikat rambutku membentuk ekor kuda.
“Kau ini selalu membaca pikiranku. Ayo masuk kelas.
Nanti kalau aku duluan selesai, aku tunggu di motor aja ya. Aku nggak mau –“
Aku tersenyum kecil saat memotong kalimatnya, “Ya,
ya, ya. Aku tahu maksudmu. Aku pergi lebih dulu ya! Have a nice day!”seruku
sambil melambai, meninggalkannya yang masih terpaku di parkiran motor. Seperti
biasa. Setiap kali kami akan janjian untuk pergi setelah jam kampus selesai,
pasti harus salah satu yang pergi duluan; dan biasanya itu selalu aku.
Ia selalu mencoba untuk menghindari adanya gosip di
kampus tentang kami. Mengapa? Karena, gosip di kampus itu akan selalu ada yang
menambah bumbu-bumbu penyedap. Makin digosok, makin sip. Mungkin seperti itulah
pepatah perihal gosip, yang sebenarnya kebenarannya belum tentu benar itu.
Saat aku berbelok masuk ke pintu utama, seseorang
berjalan disampingku. Aku langsung menoleh dan mendelik tajam, karena kaget.
“Kok nggak bareng masuk kampusnya?”ledek temannya. Aku langsung mencubit
kencang lengan atasnya, ia mengaduh sambil tertawa-tawa.
“Awas ya!” pekikku pada laki-laki yang aku cubit
lengan atasnya itu.
“Aku duluan masuk kelas, ya,”katanya yang tiba-tiba
sudah berada disamping kananku. Aku menoleh dan tersenyum lebar sambil
menyemangatinya. “Ayo, ke kelas!”
Temannya yang dipanggil itu, yang disamping kiriku
mencolek lengan atasku sambil tersenyum menggoda, “Aku duluan masuk kelas, ya,”
Lalu meniru ucapannya yang barusan diucapkan.
“Hey!”teriak laki-laki dengan jambul pendek yang
selalu ia rapihkan setiap kali melepas helm, sambil menyeretnya dengan lengan
berada dilehernya.
Mungkin
sekarang pun gadis masa lalunya itu juga sudah tahu perihal kami.
Orang luar lingkaran pertemanan kami yang tidak tahu
apa-apa mungkin berpikiran kalau kita ini bukan sekadar temanan, tapi yang
lain. Kalian pasti tahu maksudku. Jika tidak, berarti pikiran kalian masih
belum dewasa, dewasa yang benar-benar dewasa loh, ya. Pardon for my language. Berapa kali pun aku berkata kita hanya
teman, berapa kali pun mereka tidak akan percaya. Jadi, aku memilih untuk
membiarkan mereka melahap semua pikiran dan gosip-gosip itu.
#B
·
Udah selesai
kelas?
·
Aku udah
selesai, aku tunggu di parkiran ya.
Pesan darinya hanya aku baca tanpa aku balas sama
sekali. Ponselku langsung aku masukkan ke bagian dalam tas sebelum memasukkan
buku-bukuku ke dalam tas. Sebenarnya pesanmu masuk bersamaan dengan dosen yang
mengakhiri pertemuan untuk hari ini.
Aku berjalan dengan sedikit cepat menuju parkiran
motor. Dari kejauhan aku sudah melihat laki-laki berjaket hitam yang bisa aku
kenali dari jarak sejauh ini tengah duduk bersandar di motor. Posisinya sudah siap
untuk berangkat. Baru beberapa langkah aku menuruni tangga, aku melihatnya
berbicara dengan seseorang.
Oh, gadis masa lalunya.
Perempuan itu terlihat berbicara serius, tapi ia
menanggapi omongannya dengan tidak serius. Sepertinya aku terlambat, karena
saat aku hendak balik badan, ia terlanjur melihatku lebih dulu. Dia memanggilku
dengan suara yang sedikit kencang.
Aku mau tak mau langsung menghampiri mereka.
Aku memberikan senyum lebarku pada perempuan
dihadapanku.
“Halo!”seruku dengan ceria. Perempuan dihadapanku
hanya memandangku dalam diam, hanya sebentar kemudian ia hanya mengangguk samar
ke arahku dan pamit padanya untuk pergi lebih dulu. Aku menatap kalian
berganti-gantian dengan tatapan yang bingung. Laki-laki (sok) misterius ini hanya mengedikkan bahu dan melempar helmku
dengan pelan.
“Ayo berangkat. Aku udah lapar,”katanya sambil
menyalakan motor dan mengeluarkannya dari parkiran. Aku langsung melompat naik
ke boncengan dibelakang dan menyelipkan kedua tanganku ke dalam kantung
jaketnya.
“Kita mau makan dimana nih?”tanyaku sambil menumpukkan
daguku, sementara ia menyerahkan karcis yang tadi diberikan petugas.
“Wah, ada yang mau makan. Bisa dong kalau dibawain
sekalian buat yang disini,” ledek petugas yang tadi pagi jaga. Aku hanya
mendelik geli ke arahnya. Ia langsung menjalankan motor keluar dari area
parkiran. Dan sekali lagi harus bertemu dengan rombongan teman-temannya yang
tengah menunggu motor yang lain di trotoar parkiran.
Saat kami lewat, aku bisa merasakan laki-laki
dihadapanku ini tengah terkekeh pelan karena teman-temannya langsung
meledeknya.
Aku ikutan tertawa. Tertawa garing. Karena, beberapa
temannya tidak aku kenali.
“Aku lagi ingin makan steak, bagaimana?”tanyaku.
“Oke, kita makan steak siang ini!” Laki-laki
dihadapanku ini langsung tancap gas.
Sebenarnya aku ingin bertanya mengenai yang di
parkiran tadi.
Tapi, bukan aku kalau aku tidak tahu tentang
laki-laki ini. Lebih baik aku menunggu ia yang bercerita sendiri saja, kalau
tidak ia pasti akan menjawab pertanyaanku dengan diam seribu bahasa, yang
membuatku sebal.
“Aku mendadak ingin makan es krim,”kataku memelas.
“Ya ampun ini perempuan. Perut udah
kayak perut laki-laki saja. Next time,
ya. Jangan sekarang juga,”jawabnya dengan lembut.
Aku mencibir. “Next
time kau itu belum tahu kapan pastinya,”kataku. Ia terkekeh pelan. Kita
tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi perihal ‘next time’.
Tak lama kemudian, pesanan kami datang.
Wangi steak di hadapanku ini yang berhasil
mengalihkan pikiranku.
“Aku waktu itu pergi dengan kakak tingkatku waktu di
high school,”katanya tiba-tiba. Aku
yang tengah memotong daging ayam pun hanya diam. Untung saja aku bisa pura-pura
sibuk dengan daging ayam didepan mataku ini.
“Kok diam?”tanyanya.
Aku mendongak dan bertabrakan dengan mata bulat yang
dibingkai dengan bulu-bulu mata yang panjang dan lentik. “Tidak apa-apa. Aku
hanya sedang berusaha memotong ayam ini. Oh, baguslah kalau kau masih
berhubungan baik dengan kakak tingkatmu saat high school,”kataku sambil mengedikkan bahu dan kembali sibuk
mengunyah ayam. Aku berusaha untuk menghindar dari padangan matanya yang
menyelidik. Hanya memandang steak
dihadapanku ini yang seperti akan menyantap berlian asli.
Tidak ada angin badai, tidak ada hujan, ia tiba-tiba
berkata, “Nggak perlu cemburu gitu,” yang membuatku langsung tersedak karena
terkejut. “Astaga, makannya pelan-pelan!”gerutunya sambil memberikanku air yang
langsung aku tenggak. Sebenarnya aku tahu kalau ia hanya bercanda saja, tapi
mendengarnya bicara seperti tiba-tiba, malah membuatku terkejut.
“Ya lagian kau tiba-tiba bicara seperti itu,”jawabku
sambil berdecak sebal. Ia pun tidak menjawab, hanya mengunyah daging yang sudah
dipotong-potong sebelumnya.
Mau tak mau aku pun terdiam juga. Aku makan namun
pikiranku seperti tidak ikut mengolah makanan yang tengah aku kunyah. Selama
beberapa lama berselang itu hanya keheningan yang menyelimuti keberadaan kami.
Masih cukup banyak hal yang belum sanggup untuk bisa
diolah saat ini, yang masih belum bisa untuk dipikirkan kembali. Aku masih
ingat dengan jelas bagaimana ia saat itu yang hanya meminta padaku untuk tidak
lebih dari sekadar teman, ya itulah komitmen. Teman-temanku yang lain bahkan
sampai berkata kalau kami terlalu hebat untuk berani mengambil keputusan untuk
hanya berkomitmen sebagai teman saja yang hanya aku jawab dengan mengedikkan
bahuku.
Aku menyesap teh hangatku, dengan bola mata yang
menatapnya menunggu ia bereaksi yang sama sekali tidak aku dapatkan.
“Kau baik-baik saja?”tanyaku padanya dengan wajah
yang bingung. Ia menatapku sambil tersenyum lembut.
“Iya, aku baik-baik saja. Kenapa?”tanyanya padaku.
Aku menjawabnya dengan tersenyum lebar lalu menggeleng beberapa kali.
Lalu, laki-laki dihadapanku ini mulai bercerita
bagaimana setengah hari yang barusan ia lewati di kelas, bagaimana mata kuliah
yang ia ikuti, bagaimana dosen yang mengajar. Aku diam-diam mengulum senyum,
aku senang saat ia mulai bercerita bagaimana harinya tanpa pernah aku minta.
“ – bagaimana harimu?”tanyanya sambil menopang
dagunya dengan dua tangannya diatas meja makan.
Lalu, sekarang giliran aku untuk menceritakan bagaimana
hariku yang berjalan datar-datar saja, tanpa ada yang spesial. Hari yang
datar-datar saja sebenarnya.
“Kau pernah merindukan seseorang yang saat itu
sedang bersamamu?”tanyaku tiba-tiba setelah aku selesai bercerita.
Laki-laki dengan alis tebal berwarna hitam ini
mengerutkan keningnya dengan bingung. “Bagaimana bisa merindukan seseorang yang
saat itu sedang bersama kita?” Ia bertanya balik.
Aku tersenyum, “Bisa. Kau mungkin suatu saat nanti
akan merasakannya, dan saat itu kau akan tahu mengapa aku bertanya seperti
ini.”kataku dengan lembut. Dia masih menatapku dengan tatapan yang kebingungan,
seperti seseorang yang kehilangan jiwa. “Tidak usah kau pikirkan. Pertanyaanku
tidak akan muncul di soal ujian tengah semester,”candaku. Ia mendesis pelan dan
terkekeh.
“Pulang?”tanyanya. Aku menjawabnya dengan mengangguk
dan bersiap-siap untuk pulang, sambil memeriksa barang-barang bawaanku juga
dengan yang ada diatas meja. Aku berjalan cukup cepat untuk menyusulnya yang
sudah berjalan menuju kasir. Begitu sampai di sampingnya, aku mendengus sebal.
Laki-laki yang sering kali kepercayaan dirinya ini kelewat batas hanya
mengedipkan sebelah matanya padaku dengan santai. Hanya soal bayar-membayar
makanan saja kami bisa berdebat.
“Lalu, bagian aku kapan?!”gerutuku saat sedang
diperjalanan pulang menuju tempatku.
“Kapan-kapan!”jawabnya sambil tertawa. “Aduh! Jangan
cubit terus dong, kau tidak tahu kalau cubitanmu itu pedas?”katanya.
“Biarin!”
“Aku turunin disini ya?”
“Coba kalau berani!”
“Berani dong! Nggak ada ruginya kok,”
“Kok gitu?! Tega?!”
“Tega!”
“Jahat!”
“Biarin!”
“Bumi!”
“Apa?”
Ya kira-kira seperti itulah debat kusir kami.
Laki-laki ini bahkan sampai sudah tidak malu lagi
jika saat sedang diperjalanan seperti ini aku berteriak. Sepertinya lama
kelamaan ia mulai kebal meskipun awalnya ia sempat protes karena diperhatikan
oleh yang lainnya dalam tawanya.
Harap maklum.
Ω
Terkadang memiliki hubungan pertemanan dengan yang
berbeda jenis itu sering kali membuat orang-orang sekitar kita mempertanyakan
hal tersebut, apalagi hanya benar-benar seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Apakah akan berjalan dengan baik tanpa ada yang suka satu sama lain, atau akan
gagal karena keduanya malah perlahan saling mencintai atau malah mungkin hanya
salah satu dari dua. Itu yang sekarang aku pertanyakan. Siapa diantara kami
berdua yang akan lebih dulu jatuh. Sekarang ini aku mulai paham mengapa ia memilih
untuk membuat komitmen seperti ini; agar kami berdua bisa mengontrol perasaan
kami masing-masing.
For your
information saja, dia juga sering
jalan dengan beberapa temannya. Seperti yang beberapa hari lalu ia katakan
padaku kalau ia masih ada hubungan dengan kakak tingkatnya saat dia masih high shcool yang sudah lewat beberapa
tahun lalu itu.
Terkadang, beberapa orang pun masih sering kali
menengok ke masa lalu, ya? Seperti membuka lembaran lama yang sudah ditutup;
yang sudah dilewati.
“Kau benar tidak ada apa-apa dengannya?”tanya
temanku yang juga mengenalnya.
Aku menggeleng pelan. “Kenapa?”
“Berarti kalau begitu kau jangan menangis ya kalau
tiba-tiba dia jadian dengan perempuan lain?”
Aku langsung terdiam saat itu juga. Aku merasa
ditampar; ditampar oleh kenyataan. Dan hal yang barusan temanku ucapkan itu
adalah kenyataan yang baru aku sadari beberapa detik yang lalu. Akan ada
saatnya ia akan menjadi seseorang yang tidak bisa ada untukku seutuhnya, yang
akan menjadi milik orang lain meski belum tentu untuk waktu yang lama,
tapi...ya begitulah kira-kira. Aku akan sampai pada saat dimana aku sudah tidak
bisa mengandalkannya, dan mau tidak mau aku harus siap.
“Baiklah, aku masuk kelas dulu ya!”katanya sekali
lagi, lalu meninggalkan tempat ia duduk dan berjalan dengan santai menuju
kelasnya.
Aku menatap kepergiannya dengan wajah tanpa
ekspresi.
“Kau sedang memikirkan apa? Seakan-akan kau sedang berpikir
untuk mengurus pernikahanmu aja,”candanya yang tengah bersandar ditembok.
“Sejak kapan kau disitu?!”kataku, setengah berteriak
saking terkejutnya.
Ia hanya terkekeh. “Sejak nyawamu mulai keluar dari
tubuhmu,”jawabnya dengan asal yang langsung aku hadiahi dengan satu cubitan
pedas di lengannya.
“Mau kemana?”tanyaku.
“Hhmm, kemana ya?”tanyanya pura-pura berpikir. Aku
mendengus sebal.
“Katakan saja kalau kau memang ingin langsung
pulang. Tidak perlu pura-pura berpikir mau pergi kemana,”jawabku dengan santai.
“Tahu aja,”jawabnya.
“Sekarang aku tanya padamu, bagian mana yang belum
aku ketahui tentangmu?”tanyaku menantang.
Ia menatapku dengan jahil, “Ada. Kau tidak tahu hari
ini aku ada rencana apa,”jawabnya dengan enteng.
“Cih, pasti kau memang sudah ada janji dengan
perempuan entah yang mana lagi hari ini. Iya kan?”kataku langsung. Ia terkekeh;
yang berarti jawabannya adalah iya.
Aku menarik nafas sebentar lalu berkata, “Aku pulang
duluan,” lalu langsung berjalan meninggalkannya yang langsung mengikutiku dari
belakang. Diam-diam aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan.
“Hei, hei, sini aku antar,”katanya sambil berjalan
disampingku.
“Kau bukannya ada janji?”tanyaku sambil menoleh
kearahnya.
“Yang penting aku antar kau pulang dulu, nggak usah
cerewet,”katanya dengan santai. Aku mendengus sebal kearahnya. Tiba-tiba ia
menoleh ke arahku, “Tapi, seperti biasa ya?”katanya memelas.
Aku hanya mengangguk sekilas dan langsung berjalan
lebih dulu menuju parkiran. Tapi, tidak semudah ini bukan berjalan meninggalkan
masa lalu? Hehe.
Ω
“Aku
ingin lihat sakura yang sudah mekar, Bumi,”kataku suatu hari di depan tempat
tinggalku, saat sedang menyantap onigiri
hangat bersama.
“Iya,
nanti ya. Oke?”katanya sambil
tersenyum lembut.
Aku
langsung cemberut disebelahnya. “Kapan? Pas sakuranya udah gugur ya?”kataku
sambil tertawa garing, dia malah tertawa senang karenanya yang membuatku
semakin cemberut.
“Nah
itu kau tahu kan, berarti...Aduh! Sakit tahu!”gerutunya sambil mengelus lengan
atasnya yang kena cubitanku.
“Ya
habisnya kau juga begitu kok,”kataku setengah merajuk.
“Iya,
iya. Kita pasti pergi lihat sakuranya mekar kok. Kita lihat yang di Ueno Park
aja ya? Kalau ke Miyajima itu kejauhan, masih harus naik feri. Tahun lalu juga
kau sudah kesana, bagaimana?”katanya dengan pelan.
“Iya,
nggak apa-apa kok. Kan aku udah pernah bilang, aku senang-senang aja selama
denganmu. Tahun depan ke The Philosopher’s Path, ya?”kataku dengan bersemangat.
“Iya,
tahun depan ya,”jawabmu dengan lembut.
“Terima
kasih!”kataku sambil langsung memeluknya, ia hanya tertawa saat aku
memeluknya.
“You are
always welcome, dear,”jawabnya dengan sangat lembut dan balas memelukku.
Rasanya hangat. Seperti berada dalam rumah sendiri; nyaman. Itulah yang selalu
aku rasakan setiap kali ia balas memelukku.
“Tapi, kau harus janji kau tidak akan kecapaian.
Karena kau tahu –“
“Siap, pak bos! Aku tidak akan kecapaian. Bagaimana
kalau kita piknik saja?”kataku dengan bersemangat. Piknik dibawah pohon sakura
yang tengah mekar itu salah satu kegiatan kesukaanku. Dan ia tahu dengan pasti.
Sehingga setiap tahun ia akan mengosongkan jadwalnya untuk menemaniku piknik
dibawah pohon sakura.
“Piknik?! Lagi?! Ya ampun. Dua tahun lalu kita
piknik, tahun lalu kita piknik, tahun ini kita piknik, tahun depan piknik juga?
Lama-lama aku membuatkanmu rumah dibawah pohon sakura saja kalau
begitu,”ledeknya dengan garing.
“Kan setiap tahun beda tempat, beloved. Nggak semuanya ditempat yang sama. Ya?”bujukku dengan
tatapan memelas. Kau mendengus geli.
“Selalu saja kalau kau mau membujuk, selalu dengan
tatapan seperti itu. Iya, iya, piknik,” Saat aku hendak menjawab, ia langsung
menyambung kalimatnya, “Iya, kita beli bahannya sama-sama,” Aku langsung
tersenyum lebar.
Aku ingat di beberapa bulan pertama kami kenal, ia
terkejut saat tahu aku tidak bisa kelelahan sama sekali, karena ia menemukanku
subuh-subuh terbaring lemah di rumah sakit selepas acara tahunan universitas
kami, dengan wajah yang sudah seputih kertas polos. Sejak saat itu, ia selalu
melarangku untuk mengikuti kegiatan yang akan membuatku kelelahan.
Setelah aku pulih, aku langsung mendapat ceramah
darinya, yang saat itu hanya aku jawab dengan wajah tujuh tekuk, saking
sebalnya. Maka dari itu, setiap kali akan pergi piknik di bawah pohon sakura,
ia selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu kecapaian kalau tidak mau dirawat
di rumah sakit lagi karena drop.
“Aku hanya kelelahan dan kurang tidur, tidak usah
sepanik ini,”kataku saat itu.
“Dan kurang minum, ingat juga bagian itu,”balasnya.
Entah sudah berapa kali dalam beberapa tahun
belakangan ini aku sering keluar masuk rumah sakit tanpa sepengetahuannya.
Kadang aku pergi check up saat ia
sedang pergi liburan sebentar dengan keluarganya yang harus aku tolak berkali-kali
dengan halus dengan berbagai alasan, padahal alasan utamaku adalah aku harus bedrest di rumah sakit atau minimal
kontrol dengan dokterku. Aku hanya tidak mau ia panik saja. Lagipula kalau
memang sudah benar-benar parah aku akan langsung menghubunginya.
“Kali ini aku yang masak ya!”katanya di pagi hari
yang sejuk; di hari kami akan pergi piknik dibawah pohon sakura yang sedang
mekar, pasti akan ramai sekali.
“Memang kau bisa memasak?”tanyaku dengan bingung.
“Bisa dong! Kau saja yang tidak tahu. Kau juga baru
kali ini akan melihatku memasak. Jadi, kau sekarang duduk ruang makan dan
tunggu aku selesai memasak disana,”katanya dengan enteng. Kali ini kami memasak
dirumahnya! Ibunya sudah sering bertemu denganku. Pertama kali bertemu denganku
saat ia membawaku ke rumahnya, karena saat itu tempat tinggalku sedang mati
lampu dan ia tahu aku paling benci mati lampu, langsung bertanya padanya,
“Sudah pacaran berapa lama sampai baru dibawa ke rumah sekarang?”canda ibunya.
Kami sampai saling menatap dan terkekeh pelan, barulah ia menjelaskan pada
ibunya yang saat itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Pasti Bumi mau sok-sokan bisa memasak, ya?”tanya
ibunya yang tiba-tiba muncul di ruang makan.
“Iya. Memang bisa?”
“Bisa, tapi –“
“Ibu jangan membongkar rahasiaku!”teriaknya dari
dapur. Ibunya langsung diam dan malah tertawa.
“Jadi kau sekarang mulai main rahasia-rahasiaan
denganku?”jawabku sambil berteriak pula.
“Pokoknya kali ini rahasia. Titik! Ibu jangan nakal
ya!”teriaknya lagi. Aku menghembuskan nafas dengan kesal. Ibunya langsung
angkat tangan dan permisi keluar dari ruang makan.
Aku duduk di ruang makan menunggu hidangan yang ia
masak sambil mengetukkan jari-jariku diatas meja dengan tidak sabaran. “Selalu
ya, kau ini kalau tidak sabaran menunggu, jari-jarimu itu akan seperti itu.
Nggak ada kebiasaan lain apa?”ledeknya sambil membawa beberapa piring.
“Biarin. Daripada kebiasaanku berubah jadi
memikirkanmu kan lebih bahaya,”ledekku sambil mengambil masakannya.
“Kata siapa berbahaya?”jawabnya tiba-tiba tanpa
menatapku.
Saat aku hendak menjawab, ibunya masuk ke ruang
makan, “Wah, wangi sekali masakannya,”kata ibunya. Gagal sudah pertanyaanku yang
selanjutnya. Diam-diam aku menggigit bibir bagian dalamku karena kalah cepat
dari ibunya.
Ia sibuk menata makanan ke dalam Tupperware
warna-warni yang lucu, sebagian milikku sebagian milik ibunya yang ia pinjam.
“Kita jadi membeli sake?”tanyaku padanya sambil berbisik, padahal ibunya sudah
pasti tidak mendengar karena setelah berhasil mengambil beberapa makanan, beliau
langsung keluar dari ruang makan. Laki-laki ini hanya mengedipkan sebelah
matanya padaku dengan jahil. Aku tertawa keras karenanya.
Aku tidak pernah merasakan yang namanya bosan selama
bersamanya. Aku harap ia juga tidak. Aku ingat ia pernah berkata padaku di
hari-hari terakhir musim dingin tahun lalu, “Dimanapun aku berada, apapun itu,
aku akan selalu nyaman bersamamu.” Yang seketika itu juga langsung aku hadiahi
satu pelukan erat, yang ia balas pula dengan pelukan erat.
“Kita berangkat sekarang?”katanya sambil membantuku
memakai helm.
“Ayo!”seruku dengan bersemangat sambil naik ke
boncengan dibelakang punggungnya. Seperti biasa tanganku langsung menyelipkan
diri ke dalam kantung jaketnya.
“Kalau ramai bagaimana?”tanyanya saat sedang lampu
merah.
“Tidak apa-apa. Kita kan hanya berdua saja, kita
bisa masuk di sela-sela kok,”kataku dengan asal.
Ia langsung memukul pelan helmku,”Asal saja kau ini.
Kau yang bisa masuk disela-sela, bagaimana aku?”katanya. Aku menjawabnya sambil
tertawa, karena ia sudah harus kembali memperhatikan jalanan di depannya.
Dan benar saja. Saat sampai di Ueno Park, sudah
ramai sekali dengan keluarga-keluarga kecil atau besar dan pasangan-pasangan
yang datang. Ada beberapa turis yang sedang menikmati pemandangan pohon sakura yang
mekar, juga ada beberapa remaja sepantaran yang datang bergerombolan dengan
teman-temannya. Ia menoleh ke arahku dengan alis yang terangkat. “Tidak
apa-apa! Kita pasti menemukan tempat! Ayo!”kataku dengan semangat yang tidak
berkurang.
“Sudah aku duga,”jawabnya disela-sela tawa pelan.
Kami berjalan-jalan pelan di sepanjang jalan yang
sudah disiapkan, dengan aku yang membawa keranjang piknik dan ia yang membawa
tas kamera. “Cantik, ya?”kataku tiba-tiba.
“Iya. Kenapa?”
“Pasti anak perempuan yang diberi nama sakura itu
pasti cantik,”gumamku sambil memperhatikan bunga-bunga sakura yang masih
segar-segarnya. Laki-laki tinggi ini tertawa pelan, lalu mengusap lembut
kepalaku. “Pasti. Seperti bunganya,”jawabnya pelan.
Setelah hampir setengah jam kami berjalan-jalan,
akhirnya kami menemukan satu tempat yang tidak sempit tidak juga luas, jadi
cukup untuk kami berdua menggelar kain piknik diatas rumput kering dan mulai
mengeluarkan satu per satu makanan yang telah ia buatkan. Untung saja hari ini cerah;
cerah tapi tidak panas padahal mataharinya bersinar dengan terang diatas langit
Jepang hari ini. Syukurlah, jadi rencana kami tidak gagal.
Setiap tahun, kami tidak akan pernah melupakan satu
minuman khas – sebenarnya aku yang tidak pernah lupa –, sake. “Kau jangan
berani-beraninya membujukku untuk minum satu botol sake ya!”ancamnya. Aku
langsung cemberut karena ketahuan rencana diam-diamku.
“Kalau kau merajuk, aku pulang saja. Biar saja kau
disini,”ancamnya.
“Baiklah, baiklah. Aku menyerah,”jawabku sambil
mengangkat kedua tanganku ke udara. Ia terkekeh pelan. “Selalu saja kalau sudah
terpojokkan, pasti senjatanya seperti ini,”kataku.
“Dan itu selalu berhasil padamu, kan?”balasnya.
Sekarang malah aku yang terpojokkan. Aku menjawabnya dengan cibiran kesal.
“Mendingan aku makan daripada dengar ancamanmu yang
nggak mutu itu,”balasku lagi akhirnya dan mulai memakan masakannya.
Hari ini kami habiskan bersama dari pagi hingga
matahari kembali ke peraduannya diujung bumi dan beristirahat. Bisa seharian
seperti ini dengannya merupakan hal yang jarang bisa aku dapatkan, dan hanya
bisa aku dapatkan setahun beberapa kali. Kami menghabiskan waktu bersama hanya
dalam beberapa jam saja dan itu sering kali membuatku merasa kurang cukup.
Jahat ya? Ya begitulah. Makanya karena kami hanya bisa menghabiskan waktu
bersama itu hanya sebentar, aku memutuskan untuk mengabadikannya dalam bentuk
video dan foto yang banyak. Contohnya seperti hari ini.
“Ayo, dadah-dadah ke kamera!”seruku sambil
mengarahkan handycami ke arahnya yang
tengah makan.
“Aku sedang makan malah mau kau rekam!”serunya
dengan mulut yang masih penuh. Aku tertawa keras karenanya, melihat matanya
yang membulat karena kaget sementara mulutnya sibuk mengunyah.
Kali ini handycam
itu aku arahkan ke wajahku, “Halo, ketemu lagi dengan kami! Aku dan Bumi sedang
piknik di bawah pohon sakura di Ueno Park! Tahun ini kami pikniknya di tempat
berbeda! Ini salah satu kegiatan tahunan kami. Jangan iri ya! Buminya lagi
sibuk makan nih, orangnya rakus,”kataku sambil mengarahkan kameranya ke arahnya
yang masih sibuk mengunyah dan mengabaikanku yang sedang mengabadikannya.
Beberapa orang di sebelah menatap kami sambil
tersenyum dan beberapa terkekeh melihatku yang sedang merekam sambil tiduran
diatas pahanya yang sedang makan itu dan sibuk mengambil makanan. “Sisakan
untukku, Bumi!”teriakku padanya sambil mendongakkan kepalaku. Ia cemberut lalu
melepas peralatan makannya diatas Tupperware.
“Sini, sekarang giliranku!”katanya sambil mengambil alih
handycam tersebut. “Halo! Pasti bosan
melihat wajah perempuan satu ini nih yang paling sering muncul di rekaman, jadi
sekarang giliran aku. Kami sedang di Ueno Park di bawah pohon sakura yang
sedang mekar, ini acara piknik paksaan ala perempuan cerewet ini nih,”serunya
sambil mengarahkan kamera ke arahku yang langsung dadah-dadah ke arah kamera
sambil tertawa. “Piknik kali ini aku yang masak dong! Kemarin-kemarin dia terus
yang masak, jadi sekarang gantian,”lanjutnya lalu mengarahkan kamera itu ke
arah makanan yang sudah dibuka diatas kain piknik. “Sampai jumpa di acara
piknik tahunan kami tahun depan!”katanya sambil tertawa lalu mengarahkan
kameranya padaku yang kembali melambaikan tangan ke arah kamera.
“Sekarang foto!”pekikku dengan bersemangat mengambil
tripod dari dalam tasnya dan
meletakannya di depan kami.
Aku selalu menikmati saat-saat seperti ini
dengannya. Bagiku, saat-saat kami ini selalu berharga, karena aku maupun ia
tidak akan bisa mengulangnya kembali. Tapi, kami bisa membuat yang lebih baru
lagi. Pastikan saat-saat terpentingmu itu bersama dengan seseorang yang
benar-benar kau sayangi agar semakin terasa nilainya. Jangan membuat waktu yang
bagimu penting dan berharga itu terbuang sia-sia. Waktu itu mahal harganya, dan
tidak bisa kau bayar untuk mendapatkan lebih ataupun menjadikannya milikmu
sendiri.
“Bumi, pohon sakuranya boleh dibawa pulang?”kataku
tiba-tiba saat sedang rebahan disampingnya sambil memandang pohon sakura diatas
kami.
“Hush, ngasal. Mana boleh. Lagian, kenapa mau dibawa
pulang? Tiap tahun juga kita bakal lihat sakuranya mekar kok,”jawabnya dengan
lembut.
“Soalnya, sakura itu kan bukan bunga abadi, seperti
edelweis. Kita nggak bisa melihat bunga sakura terus menerus setiap hari karena
bunganya hanya mekar setahun sekali, itu pun untuk waktu yang tidak lama,
apalagi prosesnya untuk mekar itu lama sekali. Sama kayak kita juga kan, Bum?
Kita juga hidup hanya sebentar, tapi proses kita juga panjang dan sering bikin
capai. Aku saja –“ Kata-kataku terpotong karena sedetik kemudian ia menarikku
ke dalam pelukannya.
“Nggak perlu untuk dilanjutkan lagi, ya. Sekarang
dinikmatin aja dulu mumpung tahun ini sakuranya sedang mekar dengan bagus,
lebih bagus daripada tahun-tahun sebelumnya,”katanya dengan sangat lembut. Aku
rebahan disampingnya dengan tangan kanannya yang melingkari pundakku.
“Iya, Bumi,”jawabku sambil tersenyum, meskipun ia
tidak melihatnya.
Ω
Kau tidak akan tahu satu atau beberapa bulan
kemudian apa yang akan terjadi denganmu.
Kau tidak akan tahu satu menit kemudian apa yang
akan terjadi denganmu.
Sekarang saja kau tidak akan tahu apa yang akan
terjadi denganmu nanti, bukan semenit nanti, bukan lima menit nanti, bukan pula
satu atau dua bulan nanti. ‘Nanti’nya itu seperti gambar para pelukis abstrak.
Terkadang, masa depan kita sendiri berada di area abu-abu; yang tidak kita
ketahui dengan jelas dan pasti akan seperti apa, seperti rahasia antar
perempuan saja sebenarnya.
Aku pernah membaca, hidupmu itu seperti menerima
sekotak coklat. Kau tidak tahu rasa coklatnya itu, kau tidak akan tahu seperti
apa coklat itu sampai akhirnya kau sendiri yang mencobanya. Kau tidak akan tahu
seperti apa hidupmu sampai akhirnya kau sendiri yang merasakan dan
menjalaninya.
Jalani saja, itu sudah menjadi jalan cerita kita.
Jalan cerita setiap orang itu berbeda-beda. Kecuali, sebuah pasangan. Jika
memang jalan cerita mereka sama, meski di pertengahan cerita ternyata berbeda,
di akhir cerita mereka akan bertemu kembali dengan berbagai jalan yang memang
sudah direncanakan oleh semesta dan pemilikNya.
Aku tidak ingat tepatnya kapan aku mulai merasakan
pusing yang tidak ada selesainya. Aku rasa ini karena efek musim panas yang
terlalu menyengat saja. Aku memang tidak bisa berada dibawah panas terik. Kami
memang sudah memasuki bulan-bulan musim panas. Sejauh ini aku selalu berhasil
menyembunyikan sakit kepalaku darinya, karena sebentar lagi ia harus berkunjung
ke rumah neneknya di luar negeri, selama kurang lebih dua minggu. Apalagi ini
sudah mulai masuk libur musim panas.
“Nanti bawakan aku oleh-oleh yang banyak ya!”seruku
padanya saat sedang menemaninya bermain game di rumahnya.
“Ah, malas! Kau ini bikin kerjaan saja buatku, aku
kan lagi ingin santai-santai,”jawabnya dengan tak acuh.
Aku mendorong bahunya dengan tanganku, “Halah, kau
ini sekarang bilang begitu. Lihat saja nanti saat kau pulang. Percaya saja
padaku, meskipun kau tidak mau membelikanku oleh-oleh, pasti Ibu akan
menyuruhmu untuk mencarikan oleh-oleh untukku!”jawabku sambil tertawa cukup
keras. Ia mencibir dengan keras, karena ia tahu kata-kataku benar semua.
Acara kunjungan keluarga ke rumah nenek mereka
memang sudah tradisi dari sejak ia kecil saja memang sudah diharuskan untuk
sering-sering mengunjungi nenek mereka yang masih segar bugar sampai sekarang,
malah sedang asyik-asyiknya membuat kue. Jadi, sudah bisa aku pastikan saat
keluarganya kembali ke Jepang, rumah ini akan dipenuhi dengan segala macam kue
dari neneknya.
Laki-laki yang senang sekali bermain game ini,
memang sudah dekat dengan neneknya. Karena sejak kecil, sudah dijaga oleh
neneknya. Jadi, kalau dia tidak ikut mengunjungi rasanya ada kurang. Aku pernah
beberapa kali diajak olehnya dan Ibunya, tapi selalu aku tolak dengan halus.
Selain karena aku memang harus kontrol ke rumah sakit, aku juga merasa tidak
enak dengan neneknya, ini kan acara keluarga mereka, ya walaupun neneknya sudah
pernah bertemu denganku beberapa kali saat berkunjung ke Jepang, bahkan sampai
memintaku untuk menemaninya pergi dengan cucu laki-lakinya ini. Tapi, ya
lagipula, aku juga hanya teman dekatnya, meskipun ibunya berkali-kali berkata
kalau aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, orang tuaku memang tidak tinggal
di Jepang.
Aku membiarkannya bermain game sampai pantatnya itu
setipis kertas, sementara aku sibuk membaca novel, ditemani secangkir coklat
hangat yang ia buatkan. Hari ini ia memintaku untuk menemaninya dirumah, karena
ibunya ada urusan. Sementara adik laki-lakinya itu sudah sibuk keluyuran dengan
teman-teman sekolahnya dari sebelum jam makan siang.
“Pantatmu sudah setipis kertas belum?”ledekku dengan
tak acuh tanpa menatapnya.
Sedetik kemudian, aku dikirimi bantal olehnya lewat
satu kali lemparan. “Enak saja sudah setipis kertas! Nggak akan ada dalam
sejarah punyaku seperti punyamu!”balas ledeknya. Kali ini bukan bantal yang
melayang kearahnya, tapi cap lima jariku yang melayang ke punggungnya.
“Kau ini!”serunya sambil mendesis. “Fisiknya
perempuan, ternyata raganya laki-laki,”sambungnya dengan nada meledek.
Diam-diam aku tertawa. Kali ini sakit kepala itu menyerang kembali, rasanya
seperti ada banyak jarum yang menusuk-nusuk kepalaku.
“Kau sudah lapar memangnya?”tanyanya.
“Belum kok, sebentar lagi saja. Kau selesaikan dulu
satu game, lalu kita makan,”kataku sambil berusaha menetralkan kembali sakit
kepalaku.
“Baiklah,”jawabnya, “Ngomong-ngomong, kau yakin
tidak mau ikut denganku ke rumah nenek? Setiap kali melihatku, kau yang pertama
kali beliau tanyakan. Bukannya menanyakan kabarku, malah menanyakan
kabarmu,”jawabnya.
“Oh ya? Berarti sebenarnya aku ini cucu nenekmu,
bukan kau,”ledekku.
“Ada-ada saja kau ini. Sudah, ayo makan. Gamenya
bisa aku paused,”katanya sambil
berdiri dan menarikku berdiri dari sofa malas lalu menarikku menuju ruang
makan, lebih tepatnya menyeretku.
Tidak ada yang lebih nyaman selain berada bersama
dengan orang yang kau sayangi.
Hari ini, seminggu setelah aku menemani ia dirumah,
tepat hari keberangkatannya. Aku ikut mengantarnya dan keluarganya ke bandara
yang berjarak hampir setengah jam dari tempatku tinggal. Aku melambaikan
tanganku ke arahnya yang sudah masuk ke dalam gedung keberangkatan. Aku masih
menunggu di bandara sampai aku mendengar pemeberitahuan kalau sudah waktunya boarding, yang berarti sudah tidak lama
lagi pesawatnya akan berangkat barulah aku kembali ke tempat tinggalku.
Ya setiap musim panas memang aku harus menyesuaikan
diriku dengan ketidakhadirannya disini. Rasanya tidak pernah mudah harus
merelakan orang yang kita sayangi itu pergi, bukan? Padahal ia hanya pergi dua
minggu untuk kunjungan ke rumah neneknya. Dan di hari pertama ia pergi saja,
aku sudah ingin pergi mencarinya. Konyol sekali.
Sambil menunggu kabar darinya kalau sudah sampai,
aku meninggalkan ponsel dalam keadaan hidup tergeletak diatas nakas disamping
tempat tidurku dan pergi tidur. Biasanya, kalau aku tidak menjawab pesannya, ia
akan langsung menelepon. Jadi, bisa saja aku akan terbangun saat ia menelepon
untuk mengabariku.
Aku jadi ingat kejadian semalam saat ia mengantarku
pulang, ia membiarkanku memakai jaketnya, malah ia menyuruhku untuk membawa
pulang jaketnya,”Jaketnya kau bawa pulang aja. Nanti saat aku pulang ke Jepang
baru kau kembalikan lagi. Jangan sampai kotor ya!”katanya mengingatkanku. Aku
langsung tersenyum lebar.
“Siap, bos!”jawabku dengan senang. “Sini peluk
dulu,”ujarku, seperti biasa setiap kali ia akan pulang.
Ia langsung melebarkan kedua tangannya, menyambutku
dengan pelukannya yang selalu aku rasakan seperti berada di sebuah rumah.
“Hati-hati ya!”seruku saat ia menggas motornya, dan menghilang dibelokan jalan.
Baru kali ini ia seperti itu, membiarkanku membawa
pulang jaketnya. Kalian jangan bertanya ya akan aku cuci atau tidak, karena
sudah pasti jawabannya adalah tidak akan. Hehe.
Tengah malam aku terbangun dengan sakit kepala yang
semakin menusuk-nusuk lagi. Rasanya aku ingin menangis berteriak saking
sakitnya yang tidak tertahankan ini. Aku berjalan dengan tertatih-tatih menuju
kamar mandi yang untungnya berada di dalam kamarku juga. Begitu aku hendak cuci
muka, seseuatu yang berwarna merah pekat jatuh ke permukaan wastafel. Seketika
itu juga badanku langsung terasa lemas. Seingatku, aku tidak kecapaian berapa
hari ini, aku lebih banyak bergerak ditempat.
Sekembalinya aku dari kamar mandi, aku buru-buru
meraih ponselku diatas nakas dan menekan speed
dial.
“Dok, rasanya semakin tidak karuan...saya –“ Aku
tidak sempat melanjutkan kalimatku karena hal berikut yang aku ingat adalah
penglihatanku menggelap dan teriakan pengurus rumah yang kaget menyebut namaku,
sebelum akhirnya aku terjatuh diatas lantai kayu kamarku.
Ω
Pada akhirnya, siapapun yang menyimpan dan
menyangkal perasaannya sendiri memang harus mengakui pada diri sendiri dan
semesta juga pada pemilikNya yang bahkan sebelum diakui pun sudah
mengetahuinya. Tapi, selalu ingat, bahwa di semesta ini banyak hal yang
tercipta bukan untuk dimiliki; ada yang tercipta hanya untuk dilihat saja tanpa
bisa dimiliki. Memiliki pun tidak akan pernah bisa seutuhnya, karena suatu
waktu bisa diambil darimu tanpa kau duga-duga. Menggenggam orang yang kita
cintai itu jangan seperti menggenggam pasir di dalam tanganmu, yang jika
terlalu erat maka pasir itu akan berjatuhan melalui celah-celah jemarimu; namun
jika tidak kau genggam terlalu erat maka pasir itu akan bertahan diposisinya di
atas telapak tanganmu.
Bukankah seperti itu? Bagiku, ya.
Jika pada akhirnya aku harus mengakui dan tidak bisa
mengelak lagi, maka cukup aku dan semesta saja yang tahu. Ia tidak perlu
mengetahuinya. Mungkin, memang sudah seharusnya dari lama aku mengakuinya pada
diriku sendiri, tapi aku selalu berusaha mengelak untuk tidak mengakuinya. Akan
selalu muncul rasa kehilangan saat ia pergi setiap kali ia pulang sehabis
mengantarku, aku selalu membutuhkan waktu setiap kali bersama dengannya
seakan-akan waktu itu berputar terlalu cepat.
Mataku mulai terbuka perlahan-lahan. Aku harus
berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya lampu yang menyala. Seingatku,
kamarku tidak seterang ini saat aku tinggal tidur.
“Bagaimana keadaanmu?”tanya sebuah suara yang sudah
familiar di telingaku.
Aku mengerutkan keningku dengan bingung, mataku
menoleh ke sumber suara. “Bumi?”ucapku dengan ragu-ragu.
“Aku disini,”jawab suara itu sekali lagi.
“Sejak kapan kau disini?”tanyaku dengan heran.
“Sejak beberapa jam setelah kau meneleponku
semalam,”jawabnya. Aku tidak menemukan kelembutan disana, didalam kalimatnya.
“Aku meneleponmu? Kapan? Tidak, aku
menelepon...astaga! Berarti aku salah menekan speed dial!”seruku pelan, “Maaf,”gumamku.
Ia menarik nafas dan menghembuskannya. Dari mimik
wajahnya sudah bisa aku terka, kalau suasana hatinya sedang tidak baik saat
ini.
“Kau sudah merasa lebih baik?”tanya dokterku
setibanya disamping tempat tidurku, yang baru aku sadari kalau aku diatas
tempat tidur rumah sakit.
“Sudah,”jawabku pelan.
“Jangan berbohong lagi padaku. Wajahmu masih seputih
kertas, sayangku,”jawab dokter itu sambil menggoyangkan satu jarinya. Seperti
sedang melarang anak kecil.
“Sudah aku bilang dari awal, kau memang sudah harus
di rumah sakit. Aku sudah memberikanmu perpanjangan waktu untuk hidup santai di
luar rumah sakit, tapi kau malah melebih-lebihkannya, jadi...ehm, sepertinya
aku bicara terlalu banyak,”katanya dengan nada suara tidak enak, karena
melihatku memberi kode padanya karena disini sedang ada dia yang mendengarkan
dengan serius.
“Tidak apa-apa, Dok. Perempuan yang susah dikasih
tahu ini memang selalu tidak mau menceritakan apa-apa. Selalu saja alasannya karena
kecapaian dan kurang darah,”jawabnya dengan datar. Aku yang hendak menyela,
langsung mengatupkan bibirku rapat-rapat.
“Lebih baik, kau tunggu persetujuan darinya saja
untuk mendengar lebih lanjut. Karena, perempuan yang kuat ini punya alasan
kenapa ia tidak ingin kau maupun orang lain mengetahuinya,”jawab dokter itu
dengan diplomatis, namun menjawabnya dengan lembut.
Aku merasakan tatapannya menatapku dengan pandangan
aku-minta-dijelaskan-sekarang, aku langsung mengalihkan wajahku darinya. Ya,
aku memiliki alasanku sendiri mengapa aku tidak ingin ia maupun orang lain
tahu. Cukup keluargaku dan pengurus rumahku saja yang tahu, karena beliau yang
mengurusku dan mengingatkanku untuk tidak lupa minum obat.
“Ingat, kau sudah tidak saya izinkan untuk
meninggalkan rumah sakit lagi. Batas amanmu untuk keluar hanya sampai di
lingkungan rumah sakit. Kalau begitu, saya permisi keluar, kalau ada apa-apa
silahkan menekan tombol diatas kepalanya,”kata dokter tersebut dan keluar
bersama dengan perawat perempuan yang mengangguk dengan sopan ke arah kami.
“Jadi, kau masih belum mau menceritakannya
padaku?”tanyanya begitu pintu kamar rawatku tertutup.
“Iya,”jawabku dengan tegas.
“Baiklah, semoga lekas sembuh,”katanya dengan
singkat namun sarat akan kesedihan yang disembunyikan dibalik nada tegasnya.
Setelah itu ia bangkit berdiri dari kursinya, membungkukkan tubuhnya kearahku
dan mencium puncak kepalaku dengan lembut, dan berlalu begitu saja. Aku hanya diam
saja, tidak menjawab atau memberikan reaksi apapun padanya sampai pintu kamar
rawat inapku terbuka dan tertutup dengan sendirinya.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan.
Aku tahu mengapa ia bersikap seperti itu barusan, ia sebenarnya ingin marah
padaku karena aku menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi, disisi lain ia juga
tahu kalau aku memiliki alasan sendiri mengapa aku seperti ini. Pengurus
rumahku datang membawakanku makanan dan baju-baju ganti yang langsung ia
rapihkan di dalam lemari rumah sakit.
“Tadi, Bumi dari sini?”tanyanya dengan sopan sambil
merapihkan tempat makan yang beliau bawa.
“Iya, Bumi marah sama aku karena aku nggak beritahu
dia soal ini, aku selalu bilangnya kalau aku emang kecapaian dan kurang
darah,”jawabku dengan lemah.
“Bumi pasti mengerti kok,”jawab beliau dengan
lembut. “Ayo, makan dulu. Nanti malah lemas lagi,”kata beliau sambil menyuapiku
makan.
Baru kali ini aku melihat laki-laki yang selama ini
aku kenal tidak pernah menahan marah, malah sekarang melakukannya. Biasanya ia
akan selalu mengatakannya jika ia memang tidak suka atau dia marah, langsung ke
orang yang bersangkutan. Tapi, ia tidak akan pernah memendamnya seperti ini.
Aku mengunyah makanan yang disuapi pun seperti robot.
Aku menekan speed
dial yang langsung tersambung ke nomornya, deringan kedua aku mendengarnya
menjawab, “Halo, kau baik-baik saja?”tanyanya, terdengar nada panik disuaranya.
Aku terkekeh pelan, “Iya, aku baik-baik saja. Hanya
saja aku masih di rumah sakit, kau masih marah padaku?”tanyaku to the point.
Ia terdiam beberapa detik. “Setengah jam lagi aku
sampai disitu. See you there,”jawabnya.
Aku mengerutkan keningku. Aku bertanya apa, ia jawabnya apa. Kebiasaan.
Pernah aku bertanya padanya, “Kau sedang sibuk?”
“Tidak, aku hanya sedang bermain game di rumah,
kenapa?”
“Aku ingin pergi ke supermarket untuk beli
buah-buah, tapi kalau sedang main game, nanti saja,”kataku.
“20 menit lagi kau tunggu di luar dan sudah siap,
ya!”jawabnya yang saat itu juga sambungan teleponnya langsung dimatikan.
Tepat setengah jam dari aku meneleponnya itu, ia
sampai di kamar rawat inapku. Ia mengambil posisi duduk disampingku.
“Kau kenapa tiba-tiba bertanya seperti
itu?”tanyanya, membuka pembicaraan dan langsung ke intinya. Just so you.
“Sudah 3 hari kau tidak mampir,”jawabku dengan wajah
polos.
Ia tertawa sebentar, lalu menjawab, “Tidak. Aku
hanya marah pada diriku sendiri yang tidak lebih peka padamu,” Aku terkejut
mendengar jawabannya. “Sebenarnya, aku tidak ikut dengan keluargaku pergi
menemui nenek. Aku tahu kau akan menunggu sampai ada pemberitahuan soal boarding time pesawatku barulah kau
pulang, jadi aku menunggumu pulang, barulah aku pulang juga,”lanjutnya.
“Kenapa kau begitu?”kataku dengan kerutan dikeningku
yang tambah dalam.
“Karena, aku melihat wajahmu yang sudah pucat saat
itu. Aku hanya tidak mau tidak ada saat kau sakit. Penerbangan dari tempat
nenekku kembali kesini itu membutuhkan waktu yang tidak lama. Tenang saja, aku
sudah menjelaskan pada nenek, pada Ibu dan pada keluarga yang lainnya alasan
kenapa aku pergi ke rumah neneknya menyusul. Aku akan menunggumu sembuh, paling
tidak sampai kau sudah tidak perlu tinggal di rumah sakit, barulah aku bisa
pergi menyusul ke rumah nenek,”katanya.
Sudah terkejut, tersentuh pula; itulah aku saat ini
setelah mendengar penjelasannya.
“Aku tidak memintamu untuk menjelaskan apa yang
terjadi, aku cukup berada disampingmu saat sakit saja sudah tidak apa-apa. Bukannya, seorang sahabat
begitu?”katanya lagi. Membuatku seperti dijatuhkan oleh kenyataan.
Aku hampir lupa kalau kami hanya sebagai teman
dekat; atau kata lainnya, sahabat.
Aku memaksakan senyum tipis, “Terima kasih,”gumamku.
“You are
always welcome, dear,”balasnya. “Ah, aku harus menjemput seseorang di
lobby. Aku akan segera kembali,”katanya lagi, sambil keluar dari kamar rawatku
dengan terburu-buru.
Aku mati-matian menekan perasaan penasaranku perihal
siapa yang akan ia jemput di lobby rumah sakit. Untuk mengalihkan pikiranku,
aku berusaha tenggalam dalam novel yang tengah aku baca sebelum ia datang.
Pintu kamar rawatku terbuka pelan, aku pun
mendongakkan kepalaku dari buku yang aku baca. Mataku menemukannya sedang
bersama dengan perempuan masa lalunya. Gigi-gigiku langsung secara otomatis
menggigit bibir bagian dalamku, entah untuk apa. Sepertinya untuk menahan
supaya aku tidak menangis? Sepertinya, iya.
“Hai, maaf aku baru bisa mengunjungimu sekarang. Aku
menunggu diundang oleh Bumi untuk menjengukmu. Ini, aku bawakan buah-buahan
kesukaanmu. Ini juga aku tahu dari Bumi,”katanya dengan lembut sambil menyentuh
lenganku yang tidak diinfus.
Perempuan masa lalunya itu membawakanku parsel buah
yang berisi beberapa buah jeruk, apel, semangka, dan...ya ampun aku hampir
tertawa keras jika tidak ingat sakit kepalaku yang bisa muncul tiba-tiba,
karena menemukan beberapa buah alpukat di dalam parsel.
“Aku yakin sekali, ketika kau pulang, ia pasti akan
langsung minta alpukat itu untuk dijus. Tidak akan sampai lebih dari sehari,
alpukat itu pasti sudah habis untuk dijus,”katanya pada perempuan masa lalu,
yang membuatku langsung terkekeh pelan.
Kami mengobrol sebentar, mungkin sekitar setengah
jam. Lalu, perempuan masa lalunya pamit untuk pulang karena sudah hampir sore,
“Aku permisi pulang ya. Semoga lekas sembuh, jadi nanti selesai liburan sudah
bisa masuk kuliah lagi. Selamat sore,”katanya dengan lembut dan sopan.
“Terima kasih. Hati-hati di jalan,”kataku sambil
melambaikan tanganku pelan.
“Aku mengantarnya turun dulu, ya,”kata Bumi, lalu
mengekor dibelakang perempuan tersebut.
Saat mereka sudah keluar, aku menghembuskan nafas
panjang. Seakan-akan sedari tadi aku tidak bernafas melainkan hanya menahan
nafas. Pada akhirnya, buku itu hanya tergeletak terbuka diatas pahaku, tanpa
aku lanjut baca padahal sebentar lagi novel itu sampai di endingnya.
“Jadi, udah mau dijus alpukatnya?”katanya tiba-tiba
membawa blender. Aku langsung tertawa keras begitu melihatnya membuka pintu
dengan susah payah karena dua tangannya sibuk membawa blender.
“Untuk menghargaimu, baiklah. Silahkan kau jus
alpukat itu. Tapi, jangan semua!”seruku dengan wajah yang mengancam.
“Halah, kau ini mau mencoba wajah seram nggak akan
ampuh di aku. Wajah serammu seperti itu lebih ke kayak wajah anak anjing minta
makan,”ledeknya sambil mengibaskan tangannya diudara.
“Lucu dong berarti?”kataku dengan wajah yang
diimutin.
“Khusus untukmu, nggak!”
“Hih, jahat banget!”balasku.
“Mau aku bikin jus alpukat nggak nih?”ancamnya.
“BUMI!”pekikku saking kesalnya. Dan ia hanya tertawa
karena selalu berhasil mengancamku.
Ω
Musim panas kali ini terasa lebih panjang, karena
tidak ada kegiatan yang harus aku kerjakan, selain diam diatas tempat tidur
lalu diperiksa oleh dokter, mulai membaik atau malah memburuk. Bisa saja,
diluar terlihat baik-baik saja, tapi tidak ada yang tahu dengan bagian
dalamnya.
“Jendelanya tolong dibuka semuanya aja ya,”pintaku
pada pengurus rumahku.
“Tapi, di luar sedang hujan,”jawabnya ragu-ragu.
“Nggak apa-apa. Hujannya yang penting nggak masuk
kesini,”jawabku. Beliau langsung membuka jendela-jendal persegi empat modern
itu. Perlahan bau jalanan kering yang dibasahi oleh air hujan mulai menguar dan
bercampur diudara, aku menarik nafas dalam-dalam dan merasakannya. Baunya itu
khas, kebanyakan orang tidak suka dengan bau ini, tapi entah mengapa aku
menyenanginya. Seringkali orang bilang bau hujan itu aneh. Ya memang sih setiap orang berbeda-beda
kesukaannya.
“As always,
padahal aku baru aja mau ngasih tau kalau diluar sedang hujan. Mau
turun?”katanya sambil menawariku kursi roda. Aku dengan bersemangat mengangguk,
mengiyakan tawarannya. Ia membantuku pindah ke kursi roda, sementara botol
infusku digantung digantungannya dekat lenganku.
Kami turun menuju taman belakang rumah sakit yang lumayan
sepi.
Kami duduk sejajar, kami duduk di bangku taman rumah
sakit yang tidak kena hujan, kursi roda itu dibiarkan kosong disamping bangku
kami.
Duduk diam. Ia membiarkanku menyerap bau khas hujan
yang hanya sebentar saja.
Ya, bau khas hujan itu hanya sebentar. Hanya
seliwat. Apalagi bau hujan bercampur dengan angin yang bisa pergi kapan saja.
Makanya aku selalu menikmati awal-awal hujan turun, dimana aku bisa mencium
wangi khasnya.
“Sudah? Wanginya udah mulai hilang,”katanya, tepat
sebelum aku membuka mataku.
“Iya, rasanya aku ingin menyimpannya dalam
botol,”jawabku ngawur. Ia tertawa.
Tiba-tiba ia menarik tangan kananku dengan tangan
kirinya, sementara tangan kanannya merogoh ke dalam saku celana jeans biru
belelnya.
“Look at this,
girl,”gumamnya sambil meletakkan huruf-huruf scrabble diatas telapak tanganku. Ia mengatur huruf L, V, dan E.
Aku mengerutkan kening, bingung, “’O’nya
kemana?”tanyaku dengan polos.
Ia terkekeh pelan. Lalu, tangannya merogoh sekali
lagi ke dalam saku celana jeansnya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru biru
dongker, ia membukanya lalu menatapnya sebentar. Sebuah cincin sederhana dengan
mutiara yang tidak berlebihan menjadi penghiasnya, lalu kotak mungil itu ia
letakkan disamping scrabble L, diatas
huruf E, diatas telapak tanganku.
“Bumi,”panggilku dengan ragu-ragu. Aku menatapnya
dan ia balas menatapku. Dan aku menemukan keseriusan di matanya.
“Itu ‘O’ yang kau cari,”katanya dengan serius. “So, should I help you? Oh, with my pleasure
I will help you,”katanya.
“Masa aku harus pakai sendiri?! Bumi, tolong ya
jangan merusak suasana ini!”pekikku sambil tertawa keras diselingi air mata
bahagia yang keluar dari sudut-sudut mataku. Ia mengambil cincin itu dari atas
telapak tanganku dan menarik jari tengahku dan menyelipkannya disana.
“I don’t need
to say something about my feeling, right?”katanya.
“No, you don’t
need. Thank you for your little surprise, but this is so meaningful,”kataku
dengan tersenyum. Ia merentangkan kedua lengannya, mengundangku untuk masuk ke
dalam pelukannya yang langsung aku sambut dengan senang hati.
Sebenarnya aku tidak menyangka untuk hal yang satu
ini.
Ini terlalu diluar dugaan bagiku.
Tapi, biar bagaimanapun aku benar-benar dibuat tidak
bisa berkata-kata olehnya.
Sambil merasakan udara hujan, diam-diam tangan kami
saling bertautan. Meskipun, tangan kami sering saling bertautan, tapi itu hanya
disaat-saat penting seperti saat kami akan menyeberang saja. Sehingga kali ini,
rasanya berbeda dari yang biasanya.
Selama aku dirawat di rumah sakit, ia selalu ada
disampingku untuk menemani dan selalu siap siaga. Belakangan ini jemariku tidak
berhenti-berhenti memainkan cincin sederhana yang terlihat pas di jariku ini.
“Kau bisa tahu darimana ukuran jariku?”tanyaku di
satu hari, saat matahari masih senang-senangnya bertengger diatas langit Jepang
di bulan musim panas.
“Jadi, kau tidak menganggap kita pernah gandengan
tangan sebelum ini?”balasnya, dengan nada yang terhina.
Aku tertawa keras. “Ya aku anggap, tapi yang aku
bingung itu kenapa bisa pas,”jawabku.
Ia hanya tersenyum tipis, dan tanpa memberikan
jawaban yang lengkap padaku, “Aku kan selalu tau tentangmu,”jawabnya dengan
lembut.
“Berarti kau tahu sampai ukuran pakaian dalamku
dong?!”pekikku kaget.
Wajahnya langsung cemberut, “Ya bagian itu mana
mungkin, kau ini ada-ada aja,”gerutunya masih dengan wajah yang cemberut. Aku
terkekeh malu.
Ya kira-kira begitulah keseharian kami sepanjang
hari.
Ada hal yang paling lucu bagiku, adalah saat-saat
kami duduk berdampingan, telinga kami tersambung dengan earphone yang sama, dan kami membaca buku yang sama. Seringkali ia
ikut membaca novel yang tengah aku baca.
“Apapun yang kau rasakan, bilang ya sama aku. Jangan
dipendam sendiri, okay?”katanya
tiba-tiba saat sedang mendorong kursi rodaku menuju kamar rawatku.
“Kau kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?”tanyaku
bingung.
“Aku hanya nggak mau, kejadian kau jatuh seperti
kemarin-kemarin itu terjadi lagi,”jawabnya dengan tegas.
“Iya, pasti aku bilang kok,”jawabku dengan lembut.
Itulah mengapa dulu aku sering kali menahan beberapa informasi darinya, karena
ia seperti ini.
Hanya hal kecil seperti itu saja sudah sanggup
membuat aku tersentuh. Hah, memang susah jika memiliki perasaan yang terlalu
sentimentil seperti ini. Hal-hal kecil saja yang dianggap manis sudah bisa
membuatku merasa tersentuh, meskipun bukan untuk aku. Disitu letak kekonyolannya.
Ω
Sesabar-sabarnya seseorang menunggu pun pasti akan
ada saatnya sampai pada titik kebosanan dan kelelahan menunggu.
Seikhlas-ikhlasnya seseorang merelakan, pasti tetap
ada titik dimana rasa iri itu muncul.
Hati dan bibir yang mengucap seringkali berbeda
arah, apalagi kompromi dengan pikiran, lebih sering berbeda arah jalurnya.
Kita tidak akan pernah bisa lari dari apapun yang
akan datang menghadangmu, karena dari awal pun kau memang tidak tahu apa-apa.
Seperti sedang berjalan di dalam kabut, bukan?
Aku sudah berusaha sebisa mungkin. Dokter yang
merawatku pun sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi, tetap saja aku tidak bisa
menghindar dari kabar buruk yang kapan saja bisa menghampiriku, tanpa bisa aku
duga.
“Kau tahu kan, sudah hampir dua bulan kau tinggal
disini, musim panas sudah hampir selesai, dan saya belum bisa menemukan
kemajuan dari semua pengobatan sampai kemoterapi yang kau jalani selama ini,
dan kau juga tahu sudah seberapa parah benda itu hidup denganmu di dalam
kepalamu, jadi saat ini yang bisa saya tawarkan sebagai jalan terakhirnya,
hanya satu,” Dokter itu memberi jeda, seakan-akan beliau akan mengumumkan
kematian seseorang, “Hanya operasi,”lanjut dokter tersebut saat selesai
menerangkan hasil perkembanganku.
Aku sempat terdiam. Ia menggenggam erat tanganku.
“Nggak ada jalan lain?”tanyanya, dengan sangat
pelan.
“Hanya itu, Bumi. Tidak ada yang lain,”kataku,
berusaha menengahi.
Dokterku pun terlihat memang sudah tidak memiliki
jalan lain selain yang barusan beliau ucapkan. “Aku akan segera menghubungi
orang tuaku,”jawabku dengan mantap.
“Kau akan mengambil pilihan ini?”katanya tiba-tiba.
“Bumi, kau mau aku pulih atau tidak?”balasku.
“Ya tentu aku mau kau pulih, tapi –“
“Ya sudah, nggak ada tapi-tapian lagi. Itu sudah
jadi jawabanmu, ini sudah jadi jawabanku. Aku dan kau juga tau resikonya itu
apa kalau aku ambil pilihan ini, tapi apapun itu pilihannya tetap akan selalu
ada resikonya. Apapun pilihanku, aku tetap tidak akan bisa lari jauh dari
resikonya, kau pun begitu, kita semua begitu. Got it what I mean? I hope
you will still support me here and whenever, Bumi,”kataku padanya dengan
lembut, berusaha membuatnya mengerti.
Ia menarik nafas panjang, lalu menjawab, “Sure, I will support you,” dan
menghembuskan nafas panjang. Aku memberinya satu senyuman.
Dokter dihadapan kami pun mau tidak mau ikut
menghembuskan nafas panjang.
Terkadang, untuk membuat seseorang mengerti dan
melihat dari beberapa sudut pandang lain selain sudut pandangnya sendiri itu
rumit, sayang.
Aku tahu keputusanku ini pasti akan menjadi momok
pikirannya.
Tapi, ini sudah menjadi keputusan bulatku. Aku tahu
berapa persen orang yang sukses diatas meja penentu hidup-mati seseorang itu,
dan berapa persen orang yang gagal. Yang perbandingannya sebenarnya hampir
sama. Tapi, aku maupun dokter yang merawatku pun tidak tahu aku berada di
posisi yang mana.
Setiap kali ia menatapku dengan pandangan
seakan-akan membujukku untuk dibatalkan saja, aku hanya menjawabnya dengan satu
pelukan erat. Aku berharap dengan seperti itu rasa percaya diriku dan keyakinan
kalau ini akan berhasil, menular padanya.
Kedua orang tuaku pun sudah setuju karena ini sudah
menjadi keputusanku, bagaimanapun cara mereka menentangku, pada akhirnya mereka
tetap akan menyetujuinya, dan 3 hari sebelum aku masuk ruang ‘ujian hidup’,
mereka sudah sampai di Jepang. Secara diam-diam aku mulai mempersiapkan mental
yang ada di dalam diriku. Dan aku pun berharap ia mempersiapkan dirinya untuk
segala kemungkinan, entah kemungkinan buruk atau kemungkinan baik.
Ω
Saat kita tidak menghitung atau menunggu apa yang
kita cari, semuanya akan terasa cepat. Pernah merasakan itu? Jika pernah, pasti
kalian tahu perasaannya itu seperti apa. Kedua orang tuaku ternyata tiba lebih
awal dari janji mereka. Meskipun mereka workaholic,
tapi mereka tetap memperhatikan anak satu-satunya ini. Aku ingat saat aku SD
dan kepalaku mulai tidak keruan sakitnya, mereka rela meninggalkan rapat
penting di luar negeri dan langsung mengambil tiket penerbangan pertama yang
mereka dapat untuk kembali ke Jepang, apalagi ditambah kabar kalau aku harus di
opname.
Aku pun memperkenalkan laki-laki yang telah
bersamaku entah untuk berapa lama yang tidak pernah aku perhitungkan kepada
mereka. Ibu yang pertama kali menyadari cincin di jari tengahku, beliau
langsung tersenyum penuh haru. Ibu banyak bercerita dengannya. Banyak bertanya
aku bagaimana selama tinggal sendiri di Jepang bersama pengurus rumah,
sementara Ayah menemaniku di kamar rawat. Karena, semakin hari kondisi tubuhku
mulai melemah.
“Kalian sudah berapa lama kenal?”tanya Ayah
tiba-tiba, beliau memang paling tidak suka dengan basa-basi, sama dengan
putrinya ini.
“Aku lupa, Ayah. Mungkin sejak aku masuk kuliah. Ah,
dia itu kakak angkatanku juga,”jawabku. Ayah hanya mengangguk-angggukan
kepalanya sementara tangannya mengupas jeruk untukku.
Ibuku asli Indonesia, Ayahku asli Jepang. Mereka
bertemu saat Ayah sedang ada undangan bisnis di Indonesia dan bertemu dengan
Ibu sebagai teman koleganya di acara undangan tersebut. Saat itu Ayah lebih
fasih bahasa Inggris, daripada bahasa Indonesia. Sejak mereka dekat, Ibu
pelan-pelan membantu Ayah yang ingin bisa bahasa Indonesia. Setelah menikah,
Ibu lebih senang tinggal di Jepang dan Ayah senang-senang saja kalau Ibu mau
diboyong ke Jepang.
Tapi, mereka tidak memberiku nama selayaknya nama
anak-anak Jepang. Mereka lebih senang memberiku nama-nama yang bisa ditemukan
di Indonesia.
“Jeruknya dimakan, sayang. Jangan diliatin terus,
nanti kabur,”ledek Ayah dengan wajah datarnya.
Aku yang mendengarnya guyonan Ayah hanya sanggup
terkekeh.
Aku bisa melihat kalau mereka berusaha untuk tetap
terlihat tegar didepanku. Tapi, aku terlalu mengenal Ibu yang paling tidak bisa
menyembunyikan sedihnya. Menonton Titanic berkali-kali dengan Ayah,
berkali-kali pula Ibu menangis sesenggukan. Ayah saja sampai tertawa saking
herannya. Bagaimana dengan keadaan yang seperti ini?
Dokter sudah memberitahukan jam operasiku. Aku akan
masuk ruang operasi sebelum tengah malam hari itu juga. Jangan tanyakan kapan
aku akan keluar. Dokter berkali-kali memintaku untuk mempersiapkan mentalku,
karena ini sebenarnya bukan pilihan yang mudah untuk ditentukan seorang diri.
Kebanyakan orang yang sudah mendapatkan pilihan ini, dan memang hanya
satu-satunya, mereka akan lebih dulu konsultasi dengan orang lain atau dokter
yang lain yang mereka anggap lebih ahli.
“Kau sudah siap?”tanyanya padaku di suatu sore,
mendekati hari dimana aku akan bertemu dengan hari ‘ujian hidup’ku.
“Sudah. Kau sudah siap?”balasku. Ia terdiam sejenak
seraya meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Selama kau sudah siap, aku pun siap. Justru, aku
harus lebih siap darimu,”jawabnya sambil menatapku.
Aku tersenyum tipis. Inilah laki-lakiku yang
sebenarnya. Aku harus menelan ludah untuk mengalihkan pikiranku supaya tidak
menangis di depannya. Jika ia melihatku sekali runtuh, maka pertahanannya pun
akan runtuh juga.
Kau tidak bisa meminta pada semesta untuk melewatkan
tanggal atau hari atau apapun itu, karena kau pasti akan tetap bertemu dengan
apapun yang kau hindari sekuat tenaga itu.
“Kau harus tahu, kalau Ayah dan Ibu menyayangimu,”
Ayah berbisik ditelingaku sebelum aku dipindahkan ke tempat tidur dorong.
Saat ini bahkan untuk mengangkat tanganku pun rasanya
terlalu lelah.
“Ayah dan Ibu akan tetap menunggu disini, sampai kau
keluar,”kata Ibu. Kali ini beliau benar-benar tidak bisa menahan bulir-bulir
bening yang keluar dari pelupuk matanya. Sementara ujung-ujung mataku sudah
mulai basah sejak Ayah berbisik ditelingaku.
Tangannya tidak pernah melepas tanganku.
Saat aku hendak dibawa ke ruang operasi, aku
berbisik pada Ibu untuk meminta waktu sebentar untukku dan laki-laki yang
selalu terlihat kuat di depanku ini, dengan suara lirih.
Saat semuanya sudah menunggu diluar kamar rawatku,
ia mengambil posisi duduk di tempat yang biasanya ia menungguiku selama lebih
dari dua bulan ini. “Aku disini,”gumamnya.
Jari-jariku yang lemah ini berusaha melepaskan
cincin yang ia berikan untukku, lalu meraih tangannya, “Ini, kau simpan lagi di
kotaknya,”kataku sambil menarik nafas. “Nanti, saat aku sudah selesai di dalam
sana dan aku berhasil,” Sekali lagi aku menarik nafas panjang, “Aku memintamu
untuk menyematkannya di depan kedua orang tuaku,”kataku dengan lirih. “Tapi, jika
ternyata tidak, aku minta padamu untuk menyimpannya untuk perempuan yang akan
menggantikanku suatu saat nanti, entah kapan,”lanjutku sampai selesai.
Ia langsung mematung di tempat ia duduk. Setelah
kesadarannya kembali, ia berkata, “Kenapa kau berkata seperti ini? Kau harus
yakin,”
“Aku yakin, kita semua yakin, kalau ini akan
berhasil. Tapi Bumi, yang menentukan bukan aku atau dokter sekali pun. Aku
harap kau mengerti,”kataku disela senyumanku.
Sebelum ia sempat menyahuti kalimatku, dokter dan
beberapa perawat sudah masuk kembali ke ruang rawatku untuk membawaku masuk ke
ruang operasi. Aku masih sempat melihat Ibu yang masih sesenggukan. Apalagi
ditambah mereka tidak diperbolehkan masuk, itu sudah pasti, meski Ibu memohon
seperti apapun juga.
Aku meminta pada semesta untuk melebarkan sabarmu
dan kedua orang tuaku.
Hanya itu.
Ω
Di musim semi setahun kemudian, dibawah pohon sakura
di The Philosopher’s Path dan diantara Tupperware yang bertebaran diatas kain
piknik, aku berbisik padanya, “Aku akan selalu menjadi semestamu,”
“Iya, tapi
kau jangan lupa kalau aku juga akan selalu menjadi bumimu,”jawabnya dengan
pelan sambil tersenyum lebar. “Terima kasih untuk pulang kembali,”katanya
sekali lagi.
Ia tidak pernah henti-hentinya mengucapkan terima
kasih padaku yang telah benar-benar berjuang untuk melewati ‘ujian hidup’
berjam-jam lamanya dengan segala resiko yang bisa menghalangiku untuk keluar
dari ruangan itu dengan berhasil.
Sambil tersenyum, aku menjawabnya dengan anggukan, lalu
berkata, “Karena, aku selalu ingat tempat bumiku berpijak,” sambil menatap
cincin yang ia sematkan untuk kedua kalinya, tapi kali ini dihadapan kedua
orang tuaku dua bulan setelah aku diperbolehkan untuk rawat jalan, di sebuah restoran
Indonesia yang saat itu memang sengaja ia reserved
untuk ini. Lagi-lagi aku dibuatnya tersentuh.
Ia memelukku
dengan erat, seakan-akan tidak ada hari esok untuk bertemu denganku.
“Terima kasih untuk menjadi teman hidupku,”bisiknya
lalu mencium keningku dengan lembut.
Percayalah, bahwa kau akan bertemu dengan teman hidupmu di
suatu saat nanti yang pasti, cepat atau lambat.
Fin.