Kau
memang tidak akan pernah tahu waktu akan membawamu kemana dan apa yang akan
dibawakan. Aku tersenyum pada Christina yang menatapku dengan heran, karena
seharian ini aku lebih banyak melamun daripada mencecarnya dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai liburannya bersama tunangannya itu.
“Ada apa
denganmu, Siera? Tumben sekali kau melamun sepanjang hari.”kata Christina
sambil menyesap teh hangatnya yang hampir dingin, karena udara Desember yang
sanggup membuat orang berubah menjadi Snowman
jika terlalu berdiri di luar ruangan dengan suhu dibawah nol derajat.
“Tidak
ada apa-apa, Christina. Sungguh. Aku hanya senang memandangi salju yang mulai
turun. Sebentar lagi Natal.”jawabku sambil mengedikkan bahuku.
Perempuan
yang aku kenal tidak ingin terlalu cepat untuk berkomitmen itu tertawa pelan,
tawa yang cukup aku kenal. Tawa menghina, namun maksudnya bercanda. “Bukan
Natal yang kau tunggu, tapi hari ulang tahunmu yang kau tunggu. Karena, tiap
ulang tahunmu, kau akan selalu kebanjiran hadiah yang selalu kau minta
diuangkan.” Detik selanjutnya bantal sofa yang daritadi aku peluk sudah
melayang ke arahnya yang kali ini benar-benar tertawa terbahak-bahak.
...tapi,
apa yang dikatakannya memang benar.
Daripada
keluargaku memberiku hadiah-hadiah yang akan jarang aku gunakan dan malah
membuat apartemenku sesak, lebih baik mereka membuat tabunganku saja yang
sesak. Kalau tabunganku yang sesak, aku bisa dengan leluasa membeli novel dan
jalan-jalan kesana kemari. “Minumlah dulu tehmu sebelum tehmu berubah menjadi
air beku.”canda Christina.
“Aku
ingin membeli beberapa beverages. Kau
mau titip sesuatu?”tanyaku sambil mengambil dompet di dalam tas tanganku.
“Tanpa
aku perlu titip sesuatu, apapun yang kau bawa pasti akan selalu aku ambil,
Siera. Kau selalu lupa hal kecil itu.”ledeknya sambil mengedipkan sebelah
matanya ke arahku yang tertawa sambil berjalan ke arah etalase beverages kedai teh ini.
Mataku
menelususi etalase beverages dengan
tatapan mata yang sudah siap menyantap semuanya satu per satu. Setelah aku
memutuskan untuk memilih yang mana, aku masuk ke antrian, yang untungnya hari
ini sepi. Aku hanya perlu menunggu satu orang di depanku memesan, dan
giliranku. Tunggu aku, beverages!
Sampailah
giliranku untuk memesan. Pelayannya menyapaku dengan ramah dan hangat. Tapi,
kurang hangat untuk menghangatkan udara dibawah nol derajat ini. Ketika aku
selesai menyebutkan pesananku, aku menatap ke menu-menu yang mereka tempel di
dinding di belakang pelayan yang tengah melayaniku.
Sudut
mataku seperti menangkap bayangan seseorang yang tengah menatapku.
Tentu
siapapun itu akan merasa jika ada seseorang yang memperhatikan.
Maka, aku
pun menoleh dengan perlahan dengan wajah datar.
Dan
semakin datarlah wajahku saat menatap orang yang menatapku.
Aku duduk
menatap termangu ke arah luar jendela kedai teh ini. Aku meninggalkan Christina
di tempat kami dengan beverages yang
sudah aku belikan untuknya. Begitu melihat siapa yang mengekor di belakangku,
ia langsung diam dan pura-pura membalas pesan. Padahal aku tahu, ia bukan
membalas pesan, tapi tengah menyebarkan kalau aku bertemu dengan laki-laki ini
di group pertemanan kami, yang sudah pasti sebentar lagi akan ramai dibicarakan
di group. Dan sungguh, aku sedang malas meladeni pertanyaan mereka. Maka
ponselku sengaja aku matikan.
Jika
dalam 5 menit laki-laki di hadapanku ini tidak membuka percakapan, aku yang aku
permisi lebih dulu. Lebih baik aku kembali ke Christina daripada duduk diam
dengan batu. Rasanya terlalu canggung bagiku, karena harus dengan tidak sengaja
dipertemukan dengan masa lalu.
Dulu
sering kali orang berkata, masa lalu
biarlah masa lalu, masa lalu bukanlah masa depan. Apa sekarang sudah
berganti menjadi masa
lalu akan ada kemungkinan datang ke masa depan?
“Apa kabar, Siera?”
Bodoh! Masa hanya dengan mendengar ia menyebut namaku saja jantungnya sudah
lompat-lompat di dalam rongga kerangkaku?
Aku berdeham untuk
menetralisir suaraku. Siapa tahu mendadak berubah menjadi serak.
“Aku baik-baik saja.
Bagaimana denganmu?” Aku bertanya balik.
“Sama denganmu. Sudah
lama ada disini?”tanyanya.
“Sudah cukup lama.
Mungkin dari sejak kita berpisah.”jawabku. Dan detik selanjutnya aku mengutuk
diriku sendiri. Aku berharap aku bisa menghilang dari depan matanya hanya
dengan satu kedipan mata! Bodohnya aku, kenapa harus mengungkit itu?! Astaga
seperti tidak ada bahasan yang lain saja.
Aku bisa melihatnya
sedikit menegang di tempat duduknya.
Dan...ah! Wajah itu
lagi. Wajah cuek dan terlalu dingin yang dulu ia selalu tampilkan padaku, tiap
kali ia berusaha menghindar dariku.
“Aku tidak bisa
lama-lama disini. Ada temanku yang menunggu. Semoga harimu lancar. Aku permisi
lebih dulu. Hati-hati di jalan, Fajariando.”kataku, dan berdiri dari bangkuku
dan buru-buru menghilang dari pandangannya. Semakin aku menjauh dari meja
tempat kami duduk, semakin aku bisa merasakan tatapannya di punggungku.
“Bagaimana pertemuan
singkatnya? Woah, tunggu sebentar, wajahmu
tidak terlihat ceria begitu bertemu dengannya. Ada apa? Kalian tidak bertengkar
kan?”tanya Christina dengan raut wajah yang panik.
“Kalau aku bertengkar
dengannya, aku tidak akan duduk disini lagi, Christina, tapi di ruang
manager!”jawabku dengan ketus, yang anehnya malah membuatnya tertawa mendengar
jawabanku yang menurutku tidak ada lucunya sama sekali. “Kau benar juga,
Siera.”jawabnya disela tawanya. Astaga! Masih sempatnya ia membenarkan
jawabanku, disela tawanya yang kurasa sanggup membuatnya sesak nafas kalau
tidak berhenti.
Perlahan-lahan
tawanya mulai mereda. Kupikir kami akan berlaih ke topik lainnya, karena ia
mulai menarik nafas dalam-dalam,“Jadi, bagaimana?”
Shit. Memang cuma Christina yang
sanggup membuatku mendadak terserang stroke.
Benar
saja begitu aku menyalakan ponselku, notifikasi groupku tidak ada hentinya
hingga akhirnya aku menjejalkan ponselku ke dalam laci meja kerjaku yang kini
sudah seperti tempat percetakan buku, dengan kertas-kertas yang bertebaran
dimana-mana.
Aku menumpukkan
kepalaku diatas meja dengan ditahan kedua tanganku yang menyangga kepalaku.
Seakan-akan kepalaku siap untuk terjun bebas dari badanku jika tidak aku
sanggah. Kalau tidak bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan seperti ini.
Christina sampai bolak-balik mengecek keadaanku. Masih berada di bilik kerjaku
atau mungkin sudah mendekati jendela di belakangku ini, untuk mencoba terjun
bebas.
Bagaimana
bisa kau tidak kepikiran ketika masa lalumu tiba-tiba muncul di masa sekarang
setelah kau tinggalkan sejauh-jauhnya? Bagaimana bisa kau tidak gila ketika
bertemu dengan laki-laki yang masih bisa membuat jantungmu berdebar tidak
keruan, seperti anak SMP yang tengah jatuh cinta pertama kali? Astaga, aku
sendiri heran dengan diriku sendiri. Sungguh.
“Lebih
baik kau bereskan barang-barangmu dan pulang ke apartemenmu, lalu tidur.”kata
Christina dengan wajah khawatir.
“Untuk
apa?”tanyaku sambil mengernyitkan keningku.
“Untuk
apa?! For God sake, Siera! Kau masih
bertanya ‘untuk apa’ padaku? Kau sudah seperti mayat hidup dan kau masih
bertanya ‘untuk apa’? Kau benar-benar kehilangan jiwa, ya?” Tiba-tiba Christina
meledak di depanku dengan segala celotehannya barusan. Aku hanya menanggapinya
dengan setengah terkekeh dan menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
“Baiklah,
baiklah aku menyerah. Aku akan pulang sekarang.”kataku sambil mengangkat kedua
tanganku dan buru-buru membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam
tas.
Pekerjaanku
sebagai editor membuatku tidak dituntut harus berada di ruang kerja terus.
Pekerjaan yang fleksibel sebenarnya. Sehingga aku bisa pulang kapan saja dengan
membawa setumpuk file yang harus aku kerjakan tentunya.
“Dan
tolong, Siera, jauhi balkon apartemenmu!”kata Christina memperingatkan.
“Kenapa?”tanyaku,
kali ini aku benar-benar bingung dengan peringatannya.
“Aku
hanya tidak mau menerima telepon dari pengurus apartemenmu karena menemukanmu
di lantai dasar, tergeletak penuh darah, dan sudah tidak bernafas. Atau malah
mungkin –“
“Christina,
sepertinya kau harus segera berhenti menonton drama Korea. Otakmu sudah mulai
keracunan drama sepertinya. Aku pulang lebih dulu ya, titip salam untuk yang
lain.” Aku buru-buru memotong kalimatnya sebelum semakin di dramatisir olehnya,
sambil menggelengkan kepalaku dan tertawa kecil.
Perempuan
itu hanya memberengut di tempat berdirinya.
Aku
bersandar di pagar balkon apartemenku dengan segelas susu hangat. Padahal salju
sudah mulai turun, aku malah berdiri disini. Aku mengeluarkan ponsel dari saku
jaketku. Menekan tombol play di
videoku dengannya yang kami rekam bersama-sama beberapa tahun yang lalu.
Sebelum video itu selesai, aku sudah mematikan ponselku dan buru-buru
memasukkannya ke dalam saku jaket.
Aku
terlalu merindukannya.
Aku
terlalu ingin memeluknya.
Aku
terlalu ingin bersamanya meski hanya untuk sebentar.
Melihat
sikapnya tadi siang, aku rasa tidak ada harapan lagi untuk bisa seperti dulu
walau hanya sebentar. Mau dibilang tidak ingin bertemu dengannya mendadak
seperti siang tadi, bisa dibilang aku bohong. Tapi, untuk bertemu dengannya
bagaimana lagi selain mendadak seperti itu?
“Siera?”
“Fajariando?”
Kami saling menyebutkan nama lawan bicara kami
bersamaan. Aku hanya bisa mengulum senyumku saat aku buru-buru keluar dari
antrian, dan diikutinya.
“Duduk minum?”tanyanya menawarkan.
“Baiklah. Tapi, aku harus ke meja temanku dulu
utnuk mengabarinya. Kau silakan memilih tempat duduk, nanti aku susul.”kataku
sambil mengambil beverages yang aku pesan,
sementara ia mengambil tehnya.
“Tidak. Aku ikut denganmu saja.”jawabnya dengan
tegas.
Aku hanya mengedikkan bahuku dan berjalan
mendahuluinya menuju mejaku dan Christina. Aku bahkan tidak perlu repot-repot
memperkenalkan dirinya, karena ia sendiri sepertinya tidak berniat untuk
berkenalan karena ia hanya berdiri mematung di belakangku. Seperti anak kecil
yang mengekor Ibunya kemana-mana.
Setelah main mata dengan Christina, barulah aku
pergi sebentar dengannya untuk mencari tempat duduk di sudut lain kedai ini.
Yang pasti, sudut lain kedai ini yang jauh dari Christina supaya dia tidak bisa
nakal mengambil fotoku sedang berdua dengannya dan menyebarkannya di media
sosial atau di group. Aku hanya tidak suka menjadi pusat perhatian. Mengganggu.
Jari-jariku
ini sudah nakal ingin mengirim pesan padanya sekadar bertanya dalam rangka apa
ia ada disini. karena, setahuku ia tidak berdomisili disini. Tapi, lagi-lagi
rasa tidak enakku menahan jari-jariku untuk mengetik pesan. “Untuk apa, Siera?
Seperti dia mengharapkanmu untuk menghubunginya saja,”kataku pada diriku sendiri.
Sebelum
tidur, aku menyerah pada rasa tidak enakku dan terkirimlah pesanku untuknya. Sudah tidur?
“Pesan
macam apa itu? Bertanya sudah tidur atau belum disaat jam 12 malam?”gerutuku
pada ponselku yang sudah memberikan notifikasi terkirim.
Langsung
aku matika ponselku dan menyimpannya di laci rak lampu tidurku dan langsung
bergelung di dalam selimut. Berharap ia sudah tidur.
Belum. Ada apa?
Argh!
Kenapa aku matikan ponselku semalam?! Dia langsung membalas pesanku padahal.
Beginilah jalan pikiran perempuan.
Maaf semalam aku ketiduran. Hari ini kau sibuk?
Dengan
perasaan was-was aku mengirim pesan balasanku.
Setiap
dering penanda pesan masuk, aku selalu melompat kaget dan buru-buru
mengeceknya. Tapi, hingga menjelang jam pulang kantor aku tidak juga
mendapatkan pesan balasan.
TING!
Tanganku
dengan malas-malasan merogoh laci meja kerjaku.
Maaf, aku seharian ini sibuk. Ada apa?
Aku
memberanikan diriku untuk mengetik pesan balasannya.
“Jangan
terlalu cepat membalasnya, darling!
Kau sudah dibuatnya menunggu setengah abad!”teriak Christina dari biliknya. Aku
langsung mencibir kesal. Tapi, perempuan itu memang ada benarnya juga.
...tapi,
tidak setengah abad juga. Hanya setengah hari.
“Biarin!”teriakku
dari bilikku.
“Dasar
perempuan!”teriaknya lagi.
“Please your mirror, darling!”balasku
dengan senyum meledek, yang ia balas dengan cibiran.
Have a dinner together tonight?
Saling
berteriak dengan Christina ternyata cukup menghabiskan waktu 15 menit.
Lumayan.
Setidaknya tidak jeda satu menit aku langsung membalasnya.
Aku
paling tidak suka menunggu saat harus memberi jeda waktu hanya untuk
membalasnya.
Oke. Where? At what time?
Aku
menghela nafas membaca pesan balasannya. Terlalu cuek. Seperti dulu.
“Hai,”sapaku
begitu menghampirinya di lobby kantorku.
“Hai
juga. Sudah siap?”tanyanya sambil berdiri dari tempat duduknya.
Aku
menjawabnya dengan anggukan.
Kami
berjalan menuju luar kantor dan bermaksud menyebrang. Karena, ia tidak membawa
kendaraan, jadi aku sarankan untuk makan di dekat kantorku, berhubung aku tahu
tempat makan yang pas dan posisinya pun tidak jauh dari kantorku jadi ia bisa
berjalan kaki ke kantorku. Saat kami hendak menyeberang, ia menggandeng
tanganku. Dan nafasku berhenti di udara saat itu juga.
Ya Tuhan,
rasanya masih seperti dulu.
Ingatanku
kembali ke kejadian beberapa tahun lalu, saat awal-awal kami dekat.
“Aku lapar, om. Makan yuk?”ajakku setelah
membeli tiket film.
“Ayo. Aku juga belum makan. Makan di depan aja
ya. Biar nggak perlu keluarin motor lagi.”katanya
“Iya, nggak apa-apa. Yang penting kita makan.”
Dan ternyata kami harus menyeberang tanpa zebra cross. Aku sebenarnya bisa menyeberang, hanya
saja aku tidak bisa tiba-tiba memotong jalan begitu saja saat sedang ramai.
Lalu, tiba-tiba ia pindah ke sampingku tempat datangnya mobil dan menggandeng
tanganku selama menyeberang. Menggenggam dengan erat. Seakan-akan takut aku
tersangkut di spion kendaraan orang.
Nafasku berhenti sejenak, karena kaget
dan...rasanya terlalu nyaman.
Begitu ia melepaskan genggamannya, barulah
nafasku kembali.
“Hei?
Jangan melamun. Kebiasaan,”katanya sambil menggelengkan kepalanya.
Kali ini
tidak tangannya lagi dalam genggaman tanganku. Kini kedua tangan itu sudah
terselip masuk ke dalam saku jaketnya yang tebal.
“Tanganmu
dingin sekali, Siera. Kau tidak membawa sarung tanganmu?”tanyanya lagi. Aku
hanya menggeleng dan merutuki kebodohanku dengan meninggalkan sarung tanganku
di dalam laci. Padahal biasanya aku langsung memasukkannya ke dalam tasku.
Ia
mengeluarkan tangganya dari saku yang ternyata sudah menyiapkan sarung tangan.
“Pakai ini,”katanya sembari menyorongkannya ke arahku.
Aku
menatapnya dengan bingung. “Lalu, kau tidak pakai?”
“Apakah
kau melihatku memakai sarung tangan daritadi?”jawabnya dengan balas bertanya.
“Kalau
kau tidak pakai, aku pun tidak.”jawabku bersikeras.
“Astaga,
Siera! Kau ini dari dulu sampai sekarang masih aja keras kepala. Sepanjang
perjalanan ini kita hanya akan berdebat soal sarung tangan? Yang benar
saja,”katanya setengah tertawa, mau tidak mau aku pun ikut tertawa. Tawa
pertama yang aku dengar sejak pertemuan pertama kami. Menenangkan rasanya.
“Kau
mengerti aku dari dulu sampai sekarang pun, Fajariando.”kataku setelah tawa
kami reda.
“Kau pun,
Siera. Jadi, pakai saja, Siera. Aku tidak ingin kau masuk angin dan malah
tiba-tiba diare karena kedinginan. Aku tidak ingin kita menjadi tontonan
orang-orang, hanya karena kita berdebat soal sarung tangan.”
Aku
tergelak, “Hei! Yang sering diare itu kau, bukan aku. Enak saja.”
Lagi-lagi
laki-laki disampingku ini tertawa. “Baiklah begini saja. Kau pakai satu, aku
pakai satu.”katanya, memberi solusi. Ia menunggu aku memakai sarung tanganku.
“Pakai sebelah kiri,”pintanya, yang membuatku kebingungan namun tetap aku
turuti. Lalu, ia memakai sarung tangannya di tangan kanan.
Belum
reda kebingunganku, ia menarik tangan kananku dan menggandengnya, lalu
menyelipkan tangan kami ke dalam saku jaketnya yang ternyata memang hangat.
Sekali
lagi, nafasku melayang diudara.
Mataku
rasanya sudah mulai memanas. Aku hanya tidak ingin menangis disini. Aku tidak
ingin menghancurkan momen ini.
Aku
menatap ke arahnya sambil tersenyum lebar, seperti biasa yang aku lakukan tiap
kali aku terlalu senang.
“Begini
kan lebih adil,”kataku dengan santai. Ia terkekeh mendengar kalimatku.
Aku hanya
tidak ingin momen ini segera selesai.
Makan
malam terbaik yang pernah aku rasakan. Padahal ini hanya makan malam biasa
dengan obrolan-obrolan ringan. Malah seperti kami bernostalgia yang dulu. Dan
ia terheran-heran dengan memoriku yang masih ingat apa-apa saja yang kami
lakukan, hingga ke tiap kalimat-kalimat yang ia ucapkan. Tiap, sudut jalan
selalu ada cerita kecil tentang kami dan aku masih mengingatnya dengan jelas.
“Om, sebenarnya kau merasa nyaman atau tidak
selama denganku?”tanyaku tiba-tiba.
“Sejujurnya, iya aku merasa nyaman denganmu.
Oh, aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku, ya?”jawabnya dengan tenang
sambil menatap mataku.
Aku terkekeh. “Kok bisa ya? Apa yang bikin kau
nyaman denganku? Iya, kau ini terlalu pintar menyembunyikan perasaanmu, om.”
Aku benar-benar penasaran setengah mati.
“Kau itu bawel, demi apapun, Siera. Tapi,
bawelmu itu yang bikin aku nyaman. Mungkin, buat kebanyakan laki-laki bawel
perempuan itu annoying, tapi buatku bawelmu itu
buat aku nyaman. Meskipun kadang bawelmu itu suka tidak pada tempatnya, saat
aku lagi kesal kau malah semakin bawel. Rasanya aku pengen menggulingkanmu saat
itu juga,”jawabnya panjang lebar, dan malah membuatku tertawa. “Kau malah
tertawa lagi.”katanya dengan heran namun ikut tertawa.
“Kalau aku mendengar jawabanmu itu dulu,
mungkin aku bakal sedih. Tapi, sekarang malah rasanya lucu. Coba saja kau
bayangkan, kau sedang kesal lalu aku bawel setengah mati, tiba-tiba kau
menggulingkanku. Bukannya aku marah-marah, malah aku bisa tertawa di depanmu,
om.”kataku setelah tawaku reda.
Ia pun tertawa saat aku menjawabnya.
“Om, kau pernah sayang sama aku?”tanyaku lagi.
Ia terdiam, lalu menatapku. Dengan mantap ia
menjawab, “Pernah, Siera. Tapi, itu dulu.”
“Sebagai perempuan, bukan sebagai adik atau
teman?”
“Iya, sebagai perempuan.”jawabnya sekali lagi
dengan mantap.
Aku tersenyum. Entah mengapa ada perasaanku
yang lega dan tenang, saat mengetahui ia pernah sayang padaku sebagai seorang
perempuan. Sangat lega dan tenang.
“Kau kenapa baru bertanya sekarang, setelah
sekian lama kita tidak bertemu? Bukannya dulu saat masih beberapa kali
bertemu?”tanyanya.
“Dulu, aku belum siap dengan jawabanmu. Aku
takut kau akan menjawab ‘tidak’. Sekarang, aku rasa aku sudah siap untuk
mendengar jawabanmu, yang ternyata berbanding terbalik dengan pikiranku.”
“Pikiranmu itu kan memang selalu seperti itu,
Siera.”jawabnya setengah terkekeh.
Lagi-lagi aku tersenyum. Kau memang mengenalku
dengan baik, gumamku dalam hati.
“Bagaimana dengan perasaanmu selama ini, Siera?”tanyanya.
Sepertinya kali ni giliran dirinya yang bertanya-tanya padaku.
“Aku masih sayang padamu. Hingga sekarang. Aku
tidak mau membohongi perasaanku, om. Rasanya lelah kalau harus membohongi
perasaan sendiri.”jawabku dengan mantap dan menatap matanya, lalu tersenyum
tipis.
“Kau tidak dekat dengan siapapun selama
ini?”tanyanya dengan kening yang berkerut.
“Tidak ada. Aku merasa santai-santai saja dan
nyaman-nyaman saja dengan seperti ini.”jawabku sambil mengedikkan bahuku dengan
tidak acuh. “Kau pasti sedang dekat
dengan seseorang ya?”tebakku.
Ia tersenyum tipis. Senyum yang selalu aku
gemari.
Ia mengantarku hingga depan pintu apartemenku.
“Singgah, om?”tawarku. Aku hanya tidak ingin
waktuku bersama dengannya segera habis. Aku bertemu dengannya hanya sebentar
sekali, dari sekian tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. 4 tahun. Bukan
waktu yang sebentar.
Ia diam. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Tangannya terjulur ke kepalaku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Rasanya aku
ingin menangis saat itu juga. Usapan yang dulu pernah ia berikan saat kami
pulang dari jalan-jalan jauh kami setelah ulang tahunku, yang aku maksudkan
untuk mengungkapkan perasaanku, namun malah gagal total. Malah semalam sebelum
berangkat.
Ia menatap mataku dalam-dalam. “Maaf, Siera.
Ada perasaan yang harus aku jaga. Aku tidak ingin saat aku jauh darinya, ia
melakukan hal yang sama. Kita sekarang teman. Nanti, saat aku kembali kesini,
kita bisa pergi seperti tadi. Maaf sudah bersikap tak acuh di awal pertemuan
kita. Masuklah lebih dulu.”
Aku terdiam. Lalu, aku tersenyum dan membuka
kedua lenganku, pun begitu dengannya. Aku langsung menghamburkan diriku ke
dalam pelukannya dan memeluknya erat.
“Terima kasih, om.”kataku.
“Kembali kasih. Selamat malam. Selamat
istirahat, Siera.”
“Hati-hati di jalan. Selamat istirahat,
Fajariando.”kataku lalu masuk ke dalam apartemenku. Detik selanjutnya, aku
tidak bisa menahan tangisku lagi. Aku jatuh terduduk dengan bersandar di pintu
apartemenku dan menangis.
Setelah
makan malam beberapa pekan lalu, aku mendapat pesan darinya yang pamit pulang
karena pekerjaannya disini sudah selesai. Dan ia tidak bisa berjanji kapan ia
akan kembali kesini. Yang ia katakan, hanya kalau ia kembali kesini, kami pasti
akan bertemu lagi.
Dan ada
satu hal yang aku tangkap dari mataku saat ia mengusap kepalaku waktu itu. Ia
sudah mengenakan cincin dengan lingkar yang kecil di jari manisnya. Siapapun
wanita itu, aku hanya ingin ia membahagiakannya. Dan itu sudah pasti. Siapapun
wanita itu, ia adalah wanita yang beruntung. Setidaknya, aku pun merasa
beruntung sempat memiliki cerita pula dengan laki-lakinya yang kini sedang
dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
“Siera,
jalani saja prosesnya. Kau hanya perlu untuk mulai membiasakan dirimu lagi,
seperti dulu. Seperti selama 4 tahun ini.”kata Christina di penghujung bulan
Januari, saat melihatku hampir selama sebulan sejak kepulangannya seperti mayat
hidup berjalan, sementara nyawanya melayang-layang entah dimana. Aku hanya
perlu bersyukur aku tidak sampai diopname karena nafsu makanku yang turun.
Aku hanya
tersenyum tipis.
“Kalian
berdampingan, tapi yang perlu kau tahu, kalian berada di jalur yang berbeda
dengan tujuan yang berbeda pula. Kau harus ingat itu, sayang.”katanya lagi,
lalu menarikku ke dalam pelukannya. Untuk selama 4 tahun, terkalahkan dengan
pertemuan singkat kami. Dan pertahananku pun hancur dalam sekejap mata. Dan
tangisku pun meledak di dalam pelukan Christina.
Terima kasih, om.
Terima kasih untuk semuanya.
Terima kasih untuk pernah singgah.
Aku menunggu kabar singgahmu di lain waktu.
Aku harap saat itu, kita sudah dengan perasaan
kita masing-masing.
Biarlah untuk saat ini, memang masih ada kau di
hatiku.
Tapi, percayalah, suatu saat nanti akan ada
seseorang yang menggantikan posisimu di sampingku.
Terima kasih sudah pernah membuatku bahagia dan
aku tahu, kau akan selalu membuatku bahagia dengan hal-hal kecil sekali pun.
Sampai bertemu di waktu yang lain dengan cerita
yang berbeda.
Fin.