Masa
lalu. Waktu yang sudah kita lewati. Suatu masa yang pernah kita alami dan
pernah terjadi dalam cerita kehidupan kita. Seringkali, momennya tidak bisa
diulangi lagi, tapi seringkali pula orang dari masa lalu itu yang muncul begitu
saja di masa kini. Kalau bukan untuk menetap di masa kini bersama dengan kita,
berarti datang hanya untuk pergi lagi.
“Aku
sedang dalam perjalanan pulang ke Jogja.”
Sebuah
pesan aku terima di sore hari yang mendung di hari Jumat.
Jogja
belakangan ini cuacanya seperti ABG labil. Pagi hari bisa hujan, tiba-tiba
siangnya panas terik, nanti sore sampai malamnya hujan deras. Begitu terus.
Tidak ada kejelasan, seperti sebuah hubungan tanpa status.
Aku
tersenyum begitu membaca pesan itu dan buru-buru menjawabnya. “Serius? Wah,
berarti kita bisa ketemu lagi!”balasku.
Terakhir
bertemu denganmu sekitar setengah tahun yang lalu. Cukup lama, bagiku. Tapi,
sebelum pertemuan setengah tahun yang lalu itu, aku tidak bertemu denganmu sekitar
hampir satu setengah tahun.
Cukup
panjang jika harus aku ceritakan awal pertemuan kita. Long short story, kau adalah kakak senior di kampusku, berbeda
cukup jauh, 3 tahun. Berhubung lebih tua cukup jauh dariku, sifat membimbingmu
membuatku nyaman. Hey, siapa yang tidak nyaman dengan orang yang bisa
membimbingmu dan sedikit demi sedikit mengerti tentang dirimu? Tapi, sejalannya
waktu, aku diberi petunjuk, kalau ternyata kau sudah menjadi milik orang lain
sejak lama. Baiklah, berarti memang tidak ada jalan lagi untuk aku pertahankan.
Kata
orang, kalau kita dihadapkan pada dua orang, pilihlah orang yang kedua. Karena,
kalau cintamu begitu kuat pada orang yang pertama, kau tidak akan dengan
mudahnya berpaling pada orang kedua yang datang. Sejujurnya, itu yang aku alami
saat itu. Jadi, kalian pun sudah tahu aku lebih memilih yang mana.
Siapa
yang sangka waktu dan semesta begitu pintar berkonspirasi perihal mempertemukan
dua orang, entah yang sudah berpisah cukup lama, entah yang sudah menjadi orang
asing satu sama lain. Mereka selalu punya caranya masing-masing.
“Aku
mau bertemu denganmu juga karena aku ingin minta maaf.”katamu saat sudah duduk
berdua dan setelah obrolan panjang lebar yang ngalor-ngidul.
Aku
mengerutkan kening sambil menyesap kopiku. Perasaanku
tidak enak. “Minta maaf untuk apa?”tanyaku.
“Because, I’ve made you hurts a lot. Sekarang,
aku baru merasa menyesal, kenapa dulu tidak memperjuangkanmu. Sekarang, pun
akhirnya aku pisah dengannya.”kata yang saat ini sedang mati-matian
menyembunyikan sedih di wajah.
Aku
tersenyum tipis. “Tapi, sejujurnya, aku tidak merasa disakiti. Kalau aku merasa
disakiti, kita tidak akan bertemu dalam keadaan baik-baik seperti ini. Bisa
saja, aku tidak mau bertemu denganmu lagi sejak dulu.”jawabku dengan santai. Kenapa mendadak jadi serius begini? L
Kau
balas tersenyum padaku. “Tetap saja, aku merasa itu salah, maka dari itu aku kembali
datang untuk meminta maaf dan untuk menyelesaikan semuanya yang masih
tertinggal disini.”
Aku
terkekeh pelan. “Kau ini, bicaramu seperti tidak akan bertemu lagi denganku.”
“Memang.”jawabmu
dengan pelan, tapi tetap sampai di telingaku.
Kalau
aku tidak ingat saat ini sedang dimana, mungkin aku sudah berteriak karena
kaget. “Nggak lucu ya! Kenapa udah nggak bakal ketemu aku lagi? Emang udah
nggak mau ketemu lagi?” Aku mengeluarkan rentetan pertanyaan padanya.
Lalu,
kau menjelaskan kalau sebentar lagi akan resign
dari tempat kerja yang sekarang dan pindah kota, orang tua pun akan pindah
rumah dan sudah tidak menetap lagi di Jogja. Tapi, untukku itu bukan alasan
yang masuk akal. “Pokoknya, kalau sampai tidak akan bertemu lagi denganku, itu
berarti karena kau yang memang tidak mau bertemu denganku lagi.”jawabku dengan
nada tidak suka.
Laki-laki
itu terkekeh. “Tidak, tidak. Tentu saja aku tidak mau tidak bertemu denganmu
lagi.”
Tiba-tiba
kau menatapku dengan serius. Sungguh, aku
semakin tidak enak kalau seperti ini. “Jangan melihatku seperti itu! Aku
risih!”gerutuku dengan salah tingkah.
Kau
bahkan tidak menggubris kata-kataku barusan, tapi malah berkata, “Bagaimana kalau
aku mengajakmu untuk serius?”
Mengajakku
se... – WHAT?!!
Aku
semakin dibuat tidak berkutik di tempat dudukku. Apa ini, ini apa?!
“Ngg...”
Sungguh, aku bingung harus menjawab apa. “...kau tau di hatiku ini masih ada
orang lain, di kepalaku ini pun masih sering aku pikirkan hingga menjadi mimpi,
dan di bibir ini masih orang yang sama pula yang aku sebut dalam setiap doaku.
Meskipun kami sudah memiliki jarak hampir satu tahun, tapi aku masih
menyayanginya. Sampai sekarang, perasaanku masih sama seperti pertama kali aku
menyadari kalau aku mencintainya. So, don’t
wasting your time on me, please.” LL
Aku
dibuat semakin tidak enak kalau seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku
harus menjawab dengan jujur. Aku hanya tidak mau semuanya jadi sia-sia untukmu.
Karena, aku sendiri tidak tahu kapan aku akan berhenti dan pindah ruang hati,
aku pun tidak bisa memberikan jaminan saat aku pindah ruang, aku akan kembali
untukmu. L
Laki-laki
dari masa 3 tahun yang lalu itu terdiam, meskipun memberikan senyuman tipis, tapi
aku tahu, ia kecewa. Jauh di dalam hati.
“Tolong,
jangan sia-siakan waktumu untukku. Jangan menungguku.”kataku dengan pelan, berusaha
memberikanmu pengertian. “Aku pun bukan lagi seperti aku yang kau kenal 3 tahun
yang lalu. Sesungguhnya, kau bisa mendapatkan yang lebih baik lagi, kalau tidak
menyia-nyiakan waktumu dengan menungguku. Jangan menyakiti hatimu sendiri
selama kau bisa menghindari hal itu,”
Tidak
ada respon dari seberang tempat dudukku, aku menghela nafas dan menambahkan,
“Tetaplah seperti ini. Karena, aku pun akan seperti ini perihal kita sampai
kedepannya. Aku harap, kau pun.” Kemudian, memberikanmu senyuman.
Subuh
di hari yang sudah berganti, ucapan terima kasih untuk semuanya terucap.
Kemudian,
di sore yang masih mendung seperti hari-hari sebelumnya, ia mengucapkan pamit slash perpisahan karena harus pergi
kembali ke tempatnya.
Waktu
selalu punya rahasianya sendiri, seperti sekotak coklat yang harus dicoba satu
per satu untuk mengetahui apakah itu manis atau pahit. Satu per satu konspirasi
antara waktu dengan semesta bermunculan di permukaan yang harus kita hadapi
jika ingin tahu akhirnya akan berakhir seperti apa.
Mungkin
akan seperti ini, entah sampai kapan. Tapi, aku percaya, satu hari nanti jalan
cerita kita semua akan berubah. Perasaan pun. Kehidupan kita pun.
Seutuh-utuhnya cerita kita.
Hanya saja, yang saat ini aku tahu, aku masih
seutuh-utuhnya mencintainya; lelaki yang masih berusaha membentangkan jarak
dan jurang hampir satu tahun, denganku.
Fin.