Akan ada saatnya ketika kau berada di bagian atas
kehidupan, tapi akan ada pula saatnya kau berada di bagian bawah kehidupan.
Ingat saja tentang pepatah lama yang sering berkata, hidup itu seperti bola
yang berputar. Akan seperti itu. Tidak selamanya kau akan hidup dengan leha-leha, tapi tidak selamanya juga kau
akan hidup susah. Tidak selamanya kau akan dihantui oleh masalah. Meski satu
selesai, satu datang.
Ada yang hidup dengan normal, lalu tiba-tiba
hidupnya berubah, ada. Entah karena apapun itu alasan yang membuatnya berubah.
Dibalik setiap kejadian akan selalu ada maknanya. Walau hanya segelintir orang
yang mengerti.
Aku tersenyum dengan dua mata yang memandang
kejauhan. Aku bisa merasakan ramainya suara air yang berjatuhan di atas batu di
depanku; udara sejuk yang dihasilkan menerpa kedua pipiku seakan-akan membelai
dengan lembut. Udaranya yang sejuk perlahan-lahan mulai membuaiku yang
diam-diam meresapi udara khasnya. Aku mengusap lengan atasku yang mulai terasa
dingin, padahal hari baru saja beranjak sore.
Aku menoleh sedikit ke belakang melewati bahuku saat
mendengar suara kaki, dan lalu tersenyum. “Kau tidak merasa dingin?”tanya Ibu
sambil mengusap bahuku dengan lembut. Aku menggeleng pelan. “Hanya terasa
sedikit, karena sudah menjelang sore, Bu.”jawabku.
“Terus, kau mau sampai kapan disini terus?”tanya Ibu
seraya menyampirkan kain tebal ke bahuku, yang lalu aku ucapkan terima kasih
sambil berbisik.
“Sebentar lagi saja, Ibu. Lagipula, aku mau ngapain
di dalam kamar.”jawabku. Beliau terdiam.
Tidak berselang lama, aku mencium wangimu. Wangi
entah sejak kapan melekat diingatanku. Wangi yang membuatku rindu.
Pelan-pelan tubuhku menegang.
“Maaf, Ibu mengizinkannya datang.”ucap beliau. Kali
ini aku yang diam seribu bahasa. Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat,
seakan-akan merajuk. Bukan, aku bukan merajuk. Hanya saja, aku belum siap dan
mungkin tidak akan pernah siap.
“Apa kabar?”tanyamu. Aku hanya menjawab dengan diam.
Mati-matian aku menahan kedua tanganku untuk tidak terangkat ke udara dan
mengusap kedua pipimu dengan lembut. “Aku baik-baik saja.”katamu memberikan
pernyataan.
Aku menghela nafas panjang, menangkap wangimu
sebisaku untuk kusimpan. “Pulang lah. Aku baik-baik saja. Tapi, maaf, kau tidak
perlu datang berkunjung lagi.” Hanya itu kalimatku yang keluar dari bibirku.
Kalimat itu berbeda dengan apa yang aku pikirkan
untuk aku ucapkan.
Jika sudah berani jatuh cinta, berarti harus berani
untuk sakit hati. Karena keduanya bersahabat karib.
Diam-diam memang hanya aku yang berjuang sendirian,
selama ini.
Dirimu merengkuh kedua tanganku dengan hangat.
“Pulang lah. Sudah beranjak sore. Perjalanan pulangmu tidak dekat.”ujarku
sekali lagi dengan dinginnya. Tapi, kau tetap bergeming ditempat. Kedua tanganmu
yang hangat masih merengkuh tanganku.
Kau diam, aku pun diam.
“Kenapa kau harus menghindar?”tanyamu dengan pelan.
Aku menelengkan kepalaku ke samping. Berusaha menghindari tatapanmu, yang
terasa menyentuh pipiku.
“Tidak, aku tidak menghindar. Aku pikir memang sudah
cukup. Pulang. Nanti kau dicarinya. Aku tidak mau dia menemukanmu ada disini,
denganku.”jawabku sambil berusaha melepaskan rengkuhan tanganmu, meski tidak
rela.
Kau menahan gerakanku.
“Tidak apa-apa. Aku sudah memberitahunya.”
“Baiklah, kalau begitu kau tidak usah berlama-lama
disini. kau sudah tahu kan aku baik-baik saja? Pulang lah.”elakku berkali-kali.
aku berusaha untuk memberikan senyumku yang biasanya, yang aku sendiri tidak
tahu apakah terlihat seperti sebuah senyum atau tidak.
Aku bisa mendengarmu menghela nafas dan
menghembuskan dengan berat.
“Baiklah, aku pulang. Tapi, aku akan kembali. Jaga
kesehatanmu.”ujarmu sambil mengusap lembut puncak kepalaku. Ketika rengkuhan
tanganmu itu meninggalkan tanganku, terasa seperti ada yang hilang saat itu.
Tapi, aku buru-buru menghapus rasa kehilangan itu. Seharusnya, aku tidak boleh
terlalu jatuh terpuruk karena rasa ini yang semakin hari semakin parah.
“Kenapa diusir pulang?”tegur Ibuku. Aku hanya
menanggapi dengan diam.
“Ia khawatir padamu. Bukankah ia sudah pernah
bilang, kalau dia khawatir, ia akan langsung datang? Kau sendiri yang bilang
begitu pada Ibu –“
“Dulu, Bu. Itu dulu. Bukan kemarin ataupun
sekarang.”selaku dengan pelan.
“Ibu tau. Tapi, kemarin dan atau sekarang pun, Ibu
juga tau kalau kau masih mencintainya. Kenapa harus membohongi perasaan
sendiri?”tutur beliau dengan lembut. Aku dibuatnya terdiam. Aku menghembuskan
nafas dengan berat.
“Bu, terkadang, ada yang harus direlakan, agar tidak
ada yang terlalu banyak yang sakit. Jadi, aku putuskan untuk mulai belajar
menjadi orang yang bisa merelakan. Meski itu tidak mudah.”jawabku dengan lembut
setelahnya.
“Kalau sudah perihal perasaan, jangan pernah
berbohong, Sayang.”
“Tapi, dengan keadaan yang seperti ini, aku hanya
bisa memilih untuk duduk dan tersenyum jika ia memang sudah memilih untuk dengannya. Dengan dia pula yang
terasa tidak ingin diperjuangkan, aku bisa apa?”balasku.
“Jika ternyata ia sendiri tidak bahagia dengan yang sekarang?”
Pertanyaan Ibu begitu menyengat ulu hati.
“Maka, diluar sana ternyata ada yang sanggup
membuatnya bahagia. Tapi, aku tidak termasuk di dalamnya.”
Ibu masih saja berniat untuk berdebat denganku.
“Kenapa?”
Aku terkekeh miris mendengar pertanyaan Ibu yang
begitu ingin tahu. “Karena, ya aku memang sudah tidak bisa lagi memberikan apa
yang dia cari, Bu.”jawabku.
“Kalau ternyata –“
“Bu, aku mau masuk. Udaranya semakin dingin.”potongku
dengan sangat lembut. Jika tidak aku potong, beliau akan semakin gencar
mendebat setiap jawabanku perihal satu topik ini. sudah berkali-kali aku
berkata pada beliau, aku sudah memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya,
berkali-kali pula pernyataanku didebat dan dibantah olehnya. Aku tahu, beliau
bermaksud baik. Tapi, untuk satu ini, sudah tidak ada yang bisa mengubah
keputusanku lagi.
Beliau bangkit berdiri dari posisi duduknya dan
membantuku berdiri. Kami berjalan bersisian. Kenanganku tentangnya berputar
kembali ketika aku berjalan bersisian seperti ini. Entah sudah lewat berapa
lama, aku tidak menghitungnya, tapi selama ini dirinya selalu hidup dalam
kenanganku yang tidak bisa aku sentuh dengan jemariku lagi, karena selamanya
dirinya hanya hidup di dalam sana. Di dalam kenangan yang aku dan dia ciptakan
bersama. Saat-saat ketika ia menggenggam tanganku dengan hangat, dan menjagaku
agar tidak terjatuh tiba-tiba; lalu ia akan mengambil alih jalanku dengan
berjalan lebih dahulu di depanku, masih dengan tangan yang menggenggam
tanganku. Lucunya, aku merasa tidak ingin melepaskannya barang sebentar saja.
Tapi, entahlah dengannya.
Diam-diam, aku belajar untuk tidak lagi menatap yang
lalu dan mulai melepaskan apa yang aku genggam saat ini.
Karena, sudah tidak ada lagi kesempatan untukku
untuk membuatmu bahagia. Yang selama ini kau cari memang hanya ada pada
perempuanmu saat ini. Aku belajar untuk menerima kenyataan yang menghampiriku,
meski aku sudah sering belajar dari kenyataan-kenyataan yang sebelumnya.
“Nduk,
tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mengapa, Ibu optimis,
kau punya kesempatan itu. Tapi, Ibu tidak bermaksud memberikanmu harapan, yang
jika tidak terbukti nantinya, malah menjadi harapan semu. Untuk sekarang,
istirahat saja dulu. Tidak usah dipikirkan perihal hari ini dan Ibu minta maaf
sudah membawanya kesini. Kalau ada perlu apa-apa, Ibu ada di dekatmu.”ucap Ibu
sebelum akhirnya keluar dari kamarku.
Bagiku, berharap boleh saja. Tapi, jika sudah
perihal perasaan, semakin berharap, nantinya akan semakin sakit jika ternyata
hasil akhirnya tidak sebanding sesuai dengan harapan sendiri. Aku menatap
langit-langit kamar yang terasa gelap. Mengorek kembali kenangan lamaku
denganmu yang entah sudah terjadi beberapa waktu yang lalu, yang masih sering
membuatku tersenyum sendiri jika mengingatnya. Tapi, jika sampai pada saat-saat
aku mengingatmu dengannya....lebih baik aku tidak pernah mengenang lagi.
Kenangan itu ada untuk dikenang, memang.
Tapi, tidak ada yang bisa memilih kenangan itu
sendiri. Mau mengenang yang manis atau yang pahit, akn terprogram dengan
sendirinya. Aku pun begitu.
“Jangan keluar
dulu. Kan belum selesai.”cegahku yang berdiri di depan pintu sambil
menyilangkan salah satu kakiku, bersandar ke tembok di sampingku.
“Aku hanya mau
buang sampah.”ujar laki-laki itu dengan tak acuh.
“Ya sudah,
tunggu sebentar lagi apa susahnya?”jawabku dengan bercanda.
“Kalau begitu,
aku dorong ya?”ujar laki-laki itu.
Belum sempat aku
menarik kakiku atau pun protes, aku sudah merasakan tubuhku melayang diudara
dan mendarat di lantai ubin dengan bunyi yang berdebum cukup keras. Sungguh,
jika saat aku berdiri aku tidak merasakan sakit yang menyengat di bagian tulang
ekorku, aku akan tertawa untuk menutupi maluku. Tapi, sayangnya yang keluar
malah air bening dari sudut-sudut mataku. Rasa sakitnya menyengat hingga
diubun-ubun dan menjalar turun ke punggung.
Tiba-tiba aku terjaga dari tidurku karena mimpi yang
mampir tadi.
Aku ingat kata orang, jika seseorang yang jatuh dan
atau berbenturan dengan sesuatu, itu bisa dijadikan pertanda buruk.
Dan, ya. aku berusaha untuk tidak memikirkannya.
Tapi, ternyata memang terjadi.
Hal yang sama sekali tidak aku bayangkan untuk
terjadi.
Aku diserang perasaan terkejut dan masih tidak
percaya. Ibu berusaha untuk tidak panik, supaya aku pun tidak serta merta panik
karenanya. Aku menarik dan menghembuskan nafasku dengan sangat perlahan,
seperti layaknya orang yang baru belajar bernafas, berusaha menetralkan
perasaan ini supaya kembali seperti semula. Aku tersenyum tipis, hanya disudut
bibirku. Senyum miris.
Entah di hari keberapa kita tidak lagi bertemu, kau berusaha
untuk menghubungiku mulai berkali-kali yang tidak aku jawab sama sekali. Ibu
bahkan sampai bosan menyuruhku untuk menjawab yang langsung aku tolak
mentah-mentah. Aku bukannya balas dendam untuk beberapa waktu yang lalu, saat kau
tiba-tiba seperti menghilang ditelan bumi setelah insiden aku jatuh, bukan. Aku
hanya tidak mau kau tahu, hanya itu. Toh
sebenarnya kau pun tidak akan terlalu memperdulikan aku yang notabene hanya kau
anggap sebagai seorang adik angkat, ya itu hanya asumsiku sendiri dari apa yang
aku perhatikan dan apa yang (berusaha) aku tanamkan dalam mindset aku sendiri.
Aku duduk diam di dalam kamar merah. Tangan-tanganku
menyusuri foto-fotomu yang masih aku rendam di dalam air, yang aku cetak belum
lama sebelum aku jatuh dan aku memang masih hafal urutan-urutan foto yang aku
cetak sendiri. Sebenarnya, aku sudah kehilanganmu bahkan jauh sebelum aku ketahui.
Bodohnya aku, aku malah masih bertahan seperti ini. Sudah jelas, dirinya yang
memang lebih pantas untukmu.
Pikiranku melayang-layang entah ke kenangan yang
mana, ketika diriku merasa dipeluk dengan hangat olehmu dari belakang.
“Halo.”sapamu dengan hangat. Tubuhku menegang dengan sangat sempurna, aku
merasa lama-lama aku akan seperti patung jika seperti ini terus. “Untuk apa
kembali?”tanyaku dengan ketus.
“Untuk bertemu denganmu. Harus ada alasan yang
lengkap, ya?”tanyamu dengan polos.
Aku kembali diam.
“Aku bantu gantung, ya, foto-foto yang masih basah
ini.”ujarmu sambil mengambil alih foto yang masih basah dari tanganku.
“Tidak usah. Nanti merepotkanmu. Aku bisa
sendiri.”ujarku sambil menolak tawaranmu dengan lembut dan berdiri dari tempat
dudukku sambil menyentuh gantungan yang ada beberapa foto yang masih dijepit.
Aku tengah mencari-cari jepitan dalam kegelapan untuk menjepit foto yang tengah
aku pegang, ketika tanganmu mengangsurkan dua buah jepitan ke dalam tanganku.
“Terima kasih.”ucapku dengan pelan. Aku ingat foto
yang saat ini aku pegang, adalah hanya fotomu sendiri yang aku ambil diam-diam
karena kau tidak suka difoto oleh orang lain. Dan kau tersenyum, meski tidak
sengaja. Entah kapan aku bisa melihatmu tersenyum seperti saat itu lagi. Atau
mungkin, aku tidak akan pernah melihatmu seperti itu lagi.
“Aku temani kau keluar.”ujarmu sambil menggandeng
tanganku, keluar dari kamar merah.
“Ibu dimana?”tanyaku dengan datar. Harusnya, Ibu ada
disini.
“Ibu sedang pergi keluar. Beliau menitipkanmu
padaku.”ujarmu dengan pelan dan menggenggam tanganku dengan hangat.
Bolehkah aku merindukanmu?
Meski aku diperbolehkan, apakah aku boleh
mengucapkannya? Jika aku mengucapkannya, akankah masih seperti yang
kemarin-kemarin, ketika kau yang menghampiriku sambil tersenyum lebar? Apakah
ada jaminannya, kau tidak akan berubah dan tidak menjaga jarak dariku?
Jadi, lebih baik aku ucapkan sambil berbisik pada
udara yang sama sekali tidak akan kau dengar, kan?
“Cukup temani aku ke kamar saja, dan kau sudah boleh
pulang. Yang ada aku tambah merepotkanmu.”kataku.
“Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan sama
sekali. Lagi pula, aku dipesankan untuk makan siang denganmu. Ibu tadi pergi
setelah selesai masak. Beliau sudah menyiapkan makan siang.”jawabmu dengan
riang. Berbanding jauh dengan nadaku yang selalu ketus. Maaf, aku tidak
bermaksud, jika kau ingin tahu.
Aku selalu penasaran, apakah kau pernah sekali dan
atau beberapa kali benar-benar khawatir tentangku layaknya seorang laki-laki
yang mengkhawatirkan perempuan yang ia sayangi, bukan dalam artian kakak-adik?
Aku ingin tahu, seperti apa perasaanmu saat kau tahu
aku jatuh saat itu.
Jika, aku diperbolehkan jujur, aku merindukan
segalanya tentangmu. Apapun itu. tanpa terkecuali. Pernahkah kau seperti itu
padaku?
“Kau mau makan –“
“Aku bisa makan sendiri.”potongku dengan cepat
sambil menyentuh piringku yang sudah terisi oleh nasi dan beberapa lauk-pauk. Yang
terdengar diatas meja hanya detingan sepasang sendok dan garpu. Aku memutuskan
untuk makan dengan dua tanganku, terasa lebih nikmat, seperti yang aku lakukan
biasanya jika makan dirumah, hanya dengan tangan.
Tidak ada yang membuka suara, hingga akhirnya kau
memutuskan untuk memecah keheningan.
“Kau masih mencintai orang yang dulu kau sebut-sebut
itu?”tanyamu. Aku tersedak oleh nasi yang masuknya salah jalur. Kau buru-buru
membantuku minum hingga aku bisa bernafas lega. “Kalau merasa tidak perlu
dijawab, tidak apa-apa.”katamu selanjutnya.
Aku berdeham, berusaha menetralkan masuknya udara.
“Masih.”jawabku.
“Masih mau berjuang?”
“Entahlah.”jawabku sepatah kata.
“Mengapa?”tanyamu lebih lanjut.
Aku diam sebentar. “Aku rasa, dia sudah bahagia.
Jadi, aku hanya diam-diam saja bertahannya.”jelasku, singkat dan padat. Kau pun
terdiam.
“Kalau dia masih ingin kau berjuang?”
“Akan aku pikirkan dua kali.”
“Kenapa?”
“Karena,”kalimatku menggantung diujung lidah. “Kau
ini ingin tahu sekali.”desisku sambil berusaha mengelak. Aku menggigit bibir
dalamku. Dan aku bisa mendengarmu berdecak sebal karena tidak mendapatkan
jawaban yang pasti dariku.
“Selesai ini, kau pulang saja. Mungkin sebentar lagi
Ibu sampai dirumah.”
“Kau kenapa tidak pernah menghubungiku lagi?”
Pertanyaanmu benar-benar keluar dari topik.
“Karena, ya aku merasa, sudah tidak ada lagi yang
perlu dibahas. Iya, kan? Toh kau ada
wanitamu.”ujarku lirih, sebenarnya jawabanku melenceng dari pertanyaanmu,
diam-diam aku menggigit bibirku yang terlalu cepat menjawab dan malah
memberikan jawaban yang seharusnya tidak aku berikan.
Hening.
Diam-diam aku menunggumu memecah keheningan untuk
sekali lagi, sambil menghabiskan makan siangku perlahan-lahan.
Hari itu, kau pergi dalam diam. Meski kau sempat
berbisik ketika mengucapkan selamat tinggal padaku yang sebenarnya masih
terjaga dari tidurku.
Sesungguhnya, aku tidak ada niatan untuk merusak
atau membuat kebahagianmu pecah. Tapi, kau sendiri tidak tahu perihal hidupmu
kan? Aku pun begitu. Aku hanya mengikuti arus yang aku ikuti, kemana tujuannya
dan kemana ia bermuara. Maafkan aku, karena ternyata aku bermuara padamu yang
seharusnya sudah tidak bisa lagi.
“Besok kita ke dokter, ya. Ibu punya kabar
baik.”ujar Ibu pada suatu waktu ketika aku tengah melepaskan foto-foto yang aku
cetak di kamar merah. Gerakanku masih berlanjut, tapi pikiranku berputar keras
mengolah informasi Ibu. Ada apa lagi?
“Ada apa lagi, Bu?”ujarku dengan lirih.
“Sudah, nanti saja kau tahu kabar baiknya. Dan, Ibu
rasa, suatu waktu kau harus mengucapkan terima kasih.”ujar Ibu penuh
kemisteriusan. Keningku berkerut semakin heran mendengar kalimat terakhir
beliau. Sepertinya ada yang tidak aku paham disini.
Aku pun hanya menunggu-nunggu hari ketika akhirnya
Ibu mengajakku untuk pergi ke dokter spesialisku. Aku hanya menunggu diluar,
sejujurnya aku malas untuk mendengar ocehan-ocehan dokter tersebut, jadi aku
membujuk Ibu untuk tetap menunggu diluar saja.
Telingaku mendengar suara pintu yang dibuka lalu
ditutup dengan pelan-pelan.
“Nduk, kau
mendapatkan donor.”ujar Ibu. Aku mematung di tempat dudukku.
Aku bingung, haruskah aku melonjak kegirangan? Atau
haruskah aku biasa-biasa saja? Aku milih yang paling diplomatis, berusaha
tenang.
Akhirnya yang terucap adalah, “Tidak usah, Bu.
Begini saja yang lebih baik.”tolakku dengan halus. Mungkin, Ibu sangat terkejut
mendengar jawabanku yang diluar perkiraannya.
“Nduk, Ibu
kan bermaksud baik.”ujar Ibu memohon.
“Aku tahu, Bu. Aku tahu, Ibu bermaksud baik. Tapi,
aku butuh untuk berpikir.”jawabku, setengah membujuk.
“Untuk apa berpikir ulang jika ternyata kau sudah
mendapatkan donor?”
“Bu, tidak semudah itu. Aku tahu dia ikut campur
tangan, kan, Bu?”tanyaku. Ibu tidak bisa mengelak lagi.
“Di bermaksud –“
“Iya, aku tahu, Ibu dan dia bermaksud baik. Tapi,
biarkan aku berpikir ulang perihal ini. Aku masih harus menyiapkan mentalku,
Bu,” Aku menghela nafas dengan lembut dan melanjutkan, “Ayo, pulang. Nanti kita
pulangnya semakin larut.”ajakku. Ibu menyelipkan tangannya dengan lembut ke
lenganku dan berjalan beriringan denganku.
Suatu saat, kau akan mengerti, disaat sudah tidak
ada lagi yang bisa diperjuangkan, yang tersisa hanyalah merelakan. Memang
terasa rumit diawalnya, tapi aku bahkan kau pun tidak bisa memaksakan kehendak
jika memang ternyata tidak bisa dituruti oleh alam. Itulah mengapa aku menyebut
yang tersisa hanyalah merelakan, jika ternyata jalannya tidak bisa
berdampingan. Lebih baik ada satu yang mengalah untuk menyelamatkan yang
lainnya. Bagikut, itu lebih baik.
Satu hal, bahagia itu tidak bisa dibeli dengan
apapun; tidak bisa ditukar dengan apapun meski itu teramat sangat bernilai.
Bahagia itu tidak bisa kau cari dengan begitu mudahnya dari toko ke toko. Tidak
semudah yang kau bayangkan untuk benar-benar bahagia, Sayangku. Rasa itu memang
terungkap dalam satu kata, tapi jika memang tidak dimaknai, itu hanya akan
menjadi seonggok kata yang biasa saja. Jadi, jika kau memang sudah menemukan
bahagiamu, aku harap, kau sanggup untuk menjaganya. Karena, aku sudah menemukan
bahagiaku, maka aku mencoba sebisaku untuk tetap menjaganya.
Aku tidak pernah memintamu untuk datang seperti ini.
Meski jujur, aku pernah berharap kau seperti saat
ini.
Pernah terbayangkan olehku untuk menghabiskan hariku
hanya denganmu dari aku membuka mata hingga aku menutup mata. Tapi, sekarang
hanyalah seonggok bayangan yang aku pendam sendiri yang aku selipkan di
kenangan yang aku tanam dalam-dalam agar tidak terbuka suatu waktu secara
tiba-tiba.
Menjelang mendekati hari dimana kau merayakan
tanggal yang kau tunggu di setiap tahunnya, aku mempersiapkan hadiah untuk yang
pertama dan yang terakhir. Aku mencoba sebisa dan seamatiranku untuk membuatkan
satu slide pendek yang memuat tentangmu, tentang aku, tentang kita, dan tentang
kalian. Tentang kau dan dia.
Aku menuangkan kembali seluruh kenangan manis dan
pahit yang aku simpan dengan baik entah di sebelah mananya otakku ini, ke dalam
slide pendek yang sangat teramat berantakan tersebut. Awalnya aku ragu untuk
melanjutkannya. Hingga sempat tersendat-sendat. Tapi, entah dorongan darimana,
pada akhirnya proyek kecil-kecilanku itu berhasil selesai jauh dari deadline.
Kau membuka bungkusan berbentuk pipih tersebut yang
ternyata sebuah piringan compact disk yang
sepi akan tulisan. Kau mengerutkan keningmu, saking herannya. Tanpa nama
pengirim, hanya berbungkuskan kertas kado dengan dibagian depannya bertuliskan
nama lengkapmu.
Kau menyisipkan piringan compact disk tersebut ke dalam laptopmu dan menunggu dengan sabar
dan juga penuh keingintahuan. Tidak lama berselang dari masa menunggumu, kau
menahan nafas, karena kaget begitu melihat wajahku muncul, dan hampir memenuhi
layar dengan kepala yang dimiringkan ke kanan sambil tersenyum lebar yang
menampilkan deretan gigi-gigiku, itu potongan gambar yang sudah cukup lama
sekali. Kau pun berdecak sebal karena merasa berhasil dikerjai olehku yang
bungkus kadonya tanpa nama pengirim. Sesungguhnya, aku sendiri merasa konyol
ketika memasukkannya sebagai salah satu pembuka dari slide pendek itu.
Yang tadinya kau menahan nafas, berganti menjadi
senyum lebar, tapi seperti menahan tawa. Setiap menitnya potongan-potongan
gambar tersebut silih berganti. Entah itu diriku; entah itu dirimu yang
berkali-kali mengelak untuk difoto atau direkam; entah itu tentang dirimu yang
bersamanya; entah itu tentang kegilaan kita yang dulu. Ya, dulu. Ketika
mengerjakan bagian ini, terselip satu pertanyaan di dalam benakku, apakah kita
bisa mengulanginya lagi? Tapi, kau tidak perlu tahu perihal itu.
Asal kau tahu, merindukanmu itu mulai terasa sangat
berat ketika sampai pada fase aku-tidak-bisa-memberitahumu. Entah aku mendapat
penopang darimana, aku perlahan mulai melewati fase tersebut meski dengan rasa
miris yang cukup terasa.
Kau tersenyum ketika sampai pada bagian aku yang
memotretmu diam-diam dan atau merekammu saat itu. Aku tidak perlu menyebutkan
tempat-tempat yang menjadi latar belakang slide pendekku ini, kan? Jikalau, kau
memang sudah tidak mengingatnya lagi, itu tidak mengapa. Karena, aku tahu dan
bisa aku memaklumkan kalau otak manusia – termasuk aku dan kau – memiliki
kapasitas yang sedikit perihal menyimpan kenangan yang jika baginya tidak terlalu
penting.
“Kau ini susah
sekali untuk diajak foto. Punya satu foto denganmu itu terasa seperti akan
meminta foto dengan artis Hollywood yang gayanya selangit.”gerutuku dengan
gusar.
Kau tertawa. “Ya
karena aku tidak suka difoto.”jawabmu dengan santai.
“Tapi, kau itu suka
foto orang lain.”jawabku masih dengan kegusaran dalam intensitas yang cukup
tinggi.
Sekali lagi, kau
tertawa dulu baru menjawab pernyataanku, “Itu kan hobbyku.” Jawabanmu membuatku
sukses memberengut pada detik berikutnya, karena jawaban itu sudah skak matt
bagiku. Sudah tidak bisa dibantah lagi.
Kau tersenyum saat slide tersebut sampai pada bagian
tersebut.
Dan kau larut dalam potongan-potongan gambar yang –
maafkan aku, ya – termasuk cukup berantakan tersebut.
Aku menutup rangkaian slide pendek tersebut dengan
ucapan selamat ulang tahun.
Aku bukannya tidak mau menerima bantuanmu, tapi aku
berusaha untuk tidak lagi membuatmu terlalu memikirkanku. Perihal wanitamu saja
terkadang sudah cukup membuatmu kepikiran, jadi aku juga tidak mau menambah
beban pikiranmu lagi. Padahal aku sendiri bukan saudara atau keluargamu, aku
malah semakin tidak ingin menambah beban pikiranmu.
Saat kau
sudah selesai dengan slide pendek pemberianku tersebut, aku sudah memutuskan
untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah duapatah kata untuk sekadar menjelaskan
perasaan ini. Cukup aku saja dan Ibu yang tahu. Maka, kau pun tidak perlu
repot-repot untuk menjelaskan sepatah duapatah kata pula. Lalu, jika ternyata
kau menyambangi rumahku, yang kau temui hanyalah keheningan yang entah kapan
akan berubah menjadi keramaian lagi. Ya, pada akhirnya aku berhasil membujuk
Ibu untuk pindah. Pindah kemana pun yang tidak bisa kau temui kapan pun itu.
Entah keluar kota, entah keluar negeri.
Entah besok,
lusa, dan seterusnya dengan siapa pun yang bersamamu itu, aku tahu kau akan
selalu bahagia dengan seorang yang beruntung tersebut. Aku berikan sebagian
kecil dari kenanganku tentang kita, untuk kau simpan dan kau kenang suatu saat
jika kau berkenan. Tetaplah bahagia, meski orang yang bersamamu silih berganti
nantinya, tapi pastikan dialah bahagiamu. Karena, bahagia itu mahal dan terasa
sangat mewah untuk dimiliki, jadi jangan sia-siakan orang (-orang) yang sudah
membuatmu bahagia. Konyol, aku malah berbicara perihal bahagia.
Aku pamit.
Note: Walau bahagiaku
ternyata tidak abadi, tapi terima kasih karenamu aku sudah merasakan yang
namanya bahagia dan tidak ada penyesalan sekalipun dariku.
Kau menyimpan dengan apik secarik kertas yang ada
tulisan tanganku tersebut diantara kenangan kita dan juga bersama dengan
piringan pipih yang aku hadiahkan padamu.
Pada akhirnya, secara perlahan, kau mulai melafalkan
selamat tinggal padaku dalam diam dan melanjutkan kebahagianmu dengannya dan denganku
sebagai seorang yang pernah singgah dalam waktu yang cukup singkat di ruang dan
waktumu. Mungkin, hatimu juga kah? Jawabannya hanya kau yang tahu.
Fin.