Siapa yang senang jika harus menjadi yang kedua? Dan
atau bahkan menjadi yang ketiga dan seterusnya. Tidak ada satu pun perempuan
dan atau laki-laki yang senang jika selalu menjadi pilihan dari sekian pilihan.
Laki-laki mungkin tidak akan terlalu memusingkan perihal menjadi pilihan atau
tidaknya. Tapi, lain hal dengan perempuan yang akan memusingkan hal tersebut.
Terkadang, otak dan mulut menolak untuk menjadi pilihan, namun hati terkadang
berkehendak yang lain.
Awalnya aku memang tidak mau menjadi pilihan, jika
selama aku bisa menjadi yang utama. Kau pasti mengerti maksudku dengan pilihan
dan menjadi yang utama. Aku tidak pernah berpikir negatif perihal
perempuan-perempuan yang menjadi pilihan kesekian. Tapi, aku juga tidak pernah
setuju dengan hal tersebut. Karena, diluar lingkar hidupku aku tahu, banyak hal
yang tidak terduga yang akan terjadi.
Sekarang, hal tidak terduga yang aku maksudkan,
sanggup aku berikan contohnya. Ya, contohnya aku, yang menjadi pilihan kesekian
dari yang utama. Aku sempat mendengar satu kalimat dari seorang
laki-laki,”Lebih baik menjadi yang kedua tapi diutamakan, daripada menjadi yang
utama tapi diduakan.” Sebenarnya, dua-duanya pun akan merasakan sakit yang
sama. Mungkin yang utama namun diduakan yang lebih berpotensi lebih menyakitkan.
Tapi, perempuan mana yang tidak mau selalu menjadi
yang utama tanpa harus perlu ada pilihan-pilihan lain dibelakangnya atau
diduakan dan seterusnya? Perempuan mana yang tidak ingin diakui sebagai
satu-satunya yang dicintai oleh laki-laki yang mencintainya? Perempuan mana
yang tidak akan sakit hati jika tahu ternyata dibelakangnya masih ada
pilihan-pilihan lain selain ia?
Jujur, tidak pernah terbayangkan olehku untuk berada
diposisi seperti ini. Tidak pernah sekalipun. Namun, apa dikata jika alam memiliki
kehendak sendiri?
Aku berusaha untuk tetap berada di posisi yang
netral. Namun, terkadang aku sering kali kebingungan dengan perasaanku sendiri.
Ya, aku tahu dia sudah bertuan. Sempat terpikirkan olehku bahwa aku datang
terlambat sehingga melewatkan seorang yang sebenarnya berarti bagiku. Jika
tidak terbangun pada kenyataan, mungkin aku akan merasa semua yang terjadi
padaku ini begitu manis. Terlalu manis, sehingga ketika aku terbangun pada
kenyataan, rasa pahit yang aku rasakan selanjutnya.
Bahagia. Setiap orang memiliki definisi mereka
masing-masing perihal satu kata itu.
Namun, percaya padaku, kebahagiaan itu tidak bisa
ditukar dengan apapun; tidak bisa dibeli dengan nilai mata uang apapun, meski
memiliki nilai tukar yang tinggi. Setiap orang memiliki bahagia itu sendiri.
Karena, bahagia setiap orang berbeda-beda. Karena, setiap orang berhak untuk
bahagia.
Sering kali aku harus menahan rasa ngilu setiap kali
tanpa sengaja aku menatap mereka yang tengah bersama. Sebelum aku mendapati
mereka bersama, rasa tidak enak mulai menyerang perasaanku, dan tidak lama
setelah itu aku mendapatkan jawaban dari rasa tidak enak yang tiba-tiba
menyerang itu.
Biar begitu, otakku tetap menyadarkanku. Aku
hanyalah temannya.
Aku tidak tahu akan sampai kapan aku berada diposisi
ini. Rencana untuk mundur? Ada. Tapi, setiap kali aku mulai mengambil satu
langkah mundur, dia datang dengan dua langkah maju.
“Jangan bengong. Siang-siang begini bengong, nanti
dicolek setan loh.”candanya ketika aku tengah menunggu makan siang kami
diantar.
“Kamu kan setannya? Kan barusan kamu nyolek aku.”balasku.
Ia langsung berdecak sebal. Aku terkekeh pelan.
“Kamu kenapa?”tanyanya tiba-tiba dengan lembut. Aku menoleh
ke arahnya yang tengah menatapku sambil tersenyum tipis dan balas bertanya,”Memang
aku kenapa? Aku baik-baik saja.”
Ia mendengus geli mendengar jawabanku. “Ya kamu
kayak bukan yang biasanya.” Aku mengerutkan keningku dengan bingung.
“Emang biasanya aku kayak gimana?”pancingku. Dia
malah tertawa.
“Ya biasanya kamu tuh heboh. Ketawa-ketawa. Tapi,
kok hari ini enggak. Ada apa? Cerita-ceritalah.”ujarnya. Aku terkekeh pelan.
“Terlalu berlebihan. Aku baik-baik saja.” Untung
saja, percakapan tersebut dihentikan oleh pesanan makan siang kami yang sudah
sampai di depan mata. Seketik hening yang berkepanjangan menggantikan
percakapan kami yang sebelumnya.
“Maaf, ya.” Tiba-tiba ia berujar seperti itu. Aku
terdiam sejenak. Memang hari ini aku kebanyakan diam daripada tertawa, setelah
semalam sebelumnya aku menemukan satu hal yang selama ini selalu aku hindari.
Otakku terlalu sibuk berpikir sehingga aku lebih memilih diam, karena takut
salah satu topik yang aku pikirkan tiba-tiba terucap olehku tanpa sadar.
Aku pura-pura bingung. “Kenapa minta maaf?”tanyaku
bingung sambil mengunyah.
“Ya aku minta maaf aja. Tadi kan aku sempat telat
dari jam janjian makan.”jawabnya. Aku tahu itu jawaban yang dibuat-buat.
Aku sendiri tidak tahu ini semua akan bertahan
hingga kapan, apalagi dengan dia sendiri. Mungkin masih terlalu dini bagiku
untuk memastikan bahwa ini rasa yang sudah keluar dari jalurnya. Namun, perihal
perasaan aku tidak pernah meragukan perasaanku sendiri. Perjalanan kedepan
masih panjang bagiku, sedangkan ia juga pasti sudah menghadapi hubungan yang
serius. Tapi, bagiku untuk dihubungan yang nantinya akan aku jalani entah
dengan siapapun itu, aku pun sudah harus serius.
Aku selalu berdoa dan berharap akan menemukan jalan
yang tepat bagi kita.
Lalu, jalan itu ditunjukan padaku. Dengan
kehadiranmu.
Kedatanganmu selalu penuh dengan keragu-raguan,
hingga membuat perasaan ini pun terbagi menjadi dua dan aku menemukan persimpangan
di ujung jalan tersebut. Tidak ada jalan tengah karena aku harus memilih satu
diantara keduanya. Memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Aku pun bergerak
perlahan, mengikuti waktu yang bergerak kecepatan.
Akan sampai waktunya ketika aku harus memilih. Untuk
tetap tinggal di masa lalu, atau melangkah maju dengan masa depanku. Tidak
selamanya setiap orang dapat hidup dengan masa lalunya. Waktu saja bergerak
maju, bukan mundur; bahkan menghitung pun selalu bergerak maju; umurmu
bertambah, bukan berkurang. Tidak ada yang bisa hidup di masa lalu. Mau tidak
mau, akan tetap maju.
Maka aku memilih untuk pergi dan memilih jalanku sendiri
dengan berbelok ketika sampai di persimpangan. Tentunya setelah aku sudah
selesai menata dan membersihkan ruangan yang sebelumnya masih berantakan; hati.
Perlahan aku jalani perjalanan denganmu yang terkadang masih sering
terombang-ambing; tidak tahu ujungnya akan berhenti dimana. Tapi, herannya aku
masih meneruskannya saja. Lalu, lama kelamaan, perjalanan ini mulai disebut
sebagai proses.
Jatuh dan bangunnya aku dalam proses ini sudah lebih
dari cukup untuk aku rasakan.
Perbandingan antara jatuh dan bangunnya itu seimbang.
Kadang ada saatnya aku merasa lelah dan ingin menyerah, namun sekali lagi aku
teringat alasanku supaya tidak berhenti dan menyerah. Kamu. Untuk apa aku
berusaha payah untuk melewati proses ini dari awal jika di pertengahan
tiba-tiba aku menyerah? Konyol. Meski terkadang aku sering merasa melewati
proses ini sendirian.
Aku sadar aku telah benar-benar melupakannya adalah
ketika aku dibuat panik olehmu karena tidak adanya kabar darimu seharian penuh.
Proses terberat yang pernah aku rasakan adalah bagian ketika kamu tidak
menghiraukanku sama sekali; layaknya aku ini orang asing bagimu. Setidaknya
saat proses ini aku sudah merasakan pahit-manisnya.
Pernah satu kali aku berkata, “Kamu tahu, yang aku
inginkan adalah kamu bisa mengkomunikasikan masalahmu dan atau kesalahanku yang
aku tidak tahu, denganku.” padamu yang saat itu hanya membalas pernyataanku
dengan anggukan samar. “Aku juga ingin tahu tentang apa yang kamu
rasakan.”ujarku sekali lagi. Saat itu aku hanya bisa menghela nafas panjang dan
menghembuskannya dengan pelan, berusaha meredam emosiku. Karena, besok-besoknya
masih sama saja.
Aku tahu, terkadang aku yang harus bersikap dewasa
dan harus selalu siap untuk mengalah. Hal tersebut selalu aku anggap sebagai
salah satu cara untuk belajar dewasa. Darimu aku belajar untuk melatih
kesabaranku; darimu aku belajar untuk melatih egoku ketika tidak dihiraukan
olehmu ketika sudah bertatap muka dengan layar game, juga.
Pernah sekali dia bertanya padaku, “Siapa yang bisa ngemong diantara kalian?”
Saat itu aku menjawab, “Ya karena kita sudah
sama-sama dewasa, jadi kita sama-sama belajar untuk saling mengemong satu sama lain.” Dia hanya tersenyum. Karena aku yakin
kita bisa sama-sama saling ngemong.
Sudah cukup lama proses ini berlangsung hingga aku
tidak tahu akan sampai kapan, tapi aku tahu bahwa proses ini akan ada akhirnya.
Aku tengah duduk di samping jendela kereta yang akan
membawaku kembali, yang aku tahu aku melakukan perjalanan ini sendirian. Ketika
tatapanku termangu keluar jendela saat kereta ini mulai bergerak perlahan, aku
mendapati bayangmu dijendela.
Benar saja, ketika aku menoleh, aku mendapatimu
dibelakangku, tengah sibuk meletakkan barang-barang bawaanmu dibagasi diatas
kepala, lalu menunduk kearahku sambil tersenyum ketika duduk disampingku. Senyumku
lebarnya langsung dua kali lipat darimu. Perjalanan kali ini aku tidak akan
sendirian; proses yang aku jalani selama ini pun tidak aku jalani sendirian,
karena kamu berjalan dalam diam di dalam bayangku.
Memang kamu bukan satu dari setiap orang yang pernah
lakukan beberapa hal termanis untuk pasangan mereka, tapi yang aku tahu dengan
pasti bahwa aku akan mencintaimu dan menyayangimu hingga waktu yang tidak
terdefinisikan. Tapi, mungkin, kamu pun begitu perihal aku.
Selamat menikmati perjalanan ini. Bersamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar