Membuka mata di pagi hari. Menyambut hangatnya
mentari yang masih sanggup untuk kulihat terus bersinar. Aku tidak akan pernah
tahu kapan ia akan berhenti bersinar, atau kapan aku akan berhenti membuka mata
di pagi hari. Waktu punya rahasia. Sama seperti manusia. Setiapnya memiliki
satu rahasia diantara rahasia-rahasianya sendiri yang tidak bisa dimiliki
bersama dengan orang lain.
Jadi, aku sendiri tidak tahu kapan aku akan mulai
berhenti. Setidaknya berhenti perlahan-lahan. Tapi, aku memilih langsung
berhenti daripada berhenti perlahan-lahan. Mengapa? Jika perlahan-lahan, akan
semakin terasa sakitnya. Lebih baik langsung selesai.
Banyak hal yang tidak terduga dalam hidup.
Aku duduk di depan layar laptopku yang sudah stand by sambil menghirup wangi kopi
pagiku yang uapnya masih menguar dari dalam cangkir.
Aku tersenyum kita aku melihatnya berada di
hadapanku sambil tersenyum.
“Halo, selamat
pagi. Pasti bangunnya terlambat?”
Mataku menoleh ke arah jam dindingku dan tersenyum lebar. “Tidak. Kali ini aku
tidak bangun terlambat.”jawabku.
“Baguslah kalau
tidak bangun terlambat. Selanjutnya jangan bangun terlambat juga ya. Enggak
baik kalau bangun kesiangan terus! Ayo jangan lupa sarapan ya.”ujarnya sambil memasang wajah lembut di hadapanku.
Senyumanku semakin terangkat dengan lebar di sudut-sudut bibirku.
Aku gerakkan ujung-ujung jemariku untuk menyentuh
dan ikut tersenyum karenanya.
“Ini, sarapanku. Kau seperti tidak tahu menu
sarapanku saja.”candaku sambil mengangkat cangkir kopiku yang berwarna hitam
dengan garis-garis berwarna tosca,
hadiah darinya. Hadiah kesayanganku yang menjadi cangkir kopi kesukaanku.
“Jangan kopi
terus! Kan aku sudah berapa kali bilang jangan kopi terus. Kau tahu kopi itu
tidak baik untuk kesehatan.”celotehnya
dengan kesal padaku. Aku terkekeh karenanya. Entah mengapa aku selalu senang
setiap kali ia mulai mengoceh seperti ini.
“Baiklah, baiklah. Besok-besok aku ganti dengan green tea. Lebih sehat kan?”ujarku
seraya memberikan senyum lembutku, dan ia ikut tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepala berbentuk hatinya itu, “Memang lebih baik green tea yang
kau minum daripada kopi terus-menerus. Aku khawatir pada kesehatanmu.”ujarnya.
“Terima kasih karena masih mengkhawatirkanku. Aku
juga selalu mengkhawatirkanmu.”jawabku, terbit sebuah senyum sendu.
“Jangan
khawatirkan aku. Aku tidak pernah memintamu untuk mengkhawatirkanku, Sayang.
Akan lebih baik jika kau mengkhawatirkan dirimu sendiri. Ada saatnya kau boleh
menjadi manusia egois. Tapi, jangan ketagihan, ya.”balasnya dengan lembut.
Aku mengangguk dengan patuh seperti anak TK yang
menuruti perintah dari gurunya untuk tidak nakal dengan wajah yang setengah
memelas. Konyol sekali. Mungkin, jika aku masih kecil akan terlihat sangat
lucu. Tapi, sekarang? Mungkin aku sendiri akan malas untuk melihat mukaku
sendiri.
“Baiklah, aku akan mencoba untuk mengkhawatirkan
diriku sendiri, nanti tapi ya.”jawabku sambil memberikan seringai jahil
padanya. Wajahnya berubah datar dihadapanku.
“Aku merasa
seperti sedang mengurus anak kecil dengan badannya terlalu besar untuk disebut
anak kecil.”gerutunya dengan sebal.
“Aku harus pergi dulu ya. Jaga
kesehatanmu. Aku tidak mau kau sakit.”
Aku mengangguk perlahan, sambil menghembuskan nafas
panjangku, aku menutup layar laptop. Aku bangkit berdiri dari posisi dudukku.
Mudah ya? Kau tahu maksudku? Mudah saja ya berdiri dari kursi. Tapi, tidak
semudah berdiri dari keterpurukan. Saat kau mencoba untuk berdiri, kau pasti
akan membutuhkan tongkat untuk membantumu berdiri. Bukan, bukan tongkat yang
berbentuk tongkat. Sesuatu yang bisa membantumu berdiri. Contohnya? Tanyakan
pada dirimu sendiri.
Ada pertanyaan yang muncul dari dirimu sendiri, tapi
sesungguhnya jawabannya pun ada pada dirimu sendiri, jadi bukan untuk dicari
diluar dirimu. Jadi, memang benar jika orang bilang, tidak ada pertanyaan tanpa
jawaban.
Sayangnya, terkadang perihal hati, hanyalah jawaban
rumit yang bermunculan. Jawaban yang muncul pun bukan berupa sebuah rumus-rumus
layaknya matematika. Memang sejak kapan perihal perasaan bisa dihitung dengan
tingkatan dari sebuah rumus? Malah, terkadang tidak memiliki jawaban barang
secuil saja. Jawabannya ya sebenarnya ada hanya saja ia tidak semudah yang
dibayangkan. Ah, omonganku mulai melantur.
Matahari masih bersinar terang di batas langit.
Meskipun aku tidak bisa berada di sampingmu secara
terus-menerus, dengan hanya berpijak di atas tanah dan berdiri di bawah langit
yang sama denganmu saja sudah terasa cukup bagiku.
Ku sesap kopiku yang perlahan-lahan mulai mendingin
karena tertiup oleh udara yang membawanya ikut pergi. Bisakah perasaan pergi
seperti itu? Pergi hanya dengan tertiup oleh satu hembusan angin? Rasanya
mungkin akan lebih mudah jika seperti itu. Tapi, pada kenyataannya tidak.
Memang, jatuh cinta itu awalnya mudah. Tapi, ketika rasa itu sendiri tidak
memiliki jawaban dari lawan, akan terasa berat perjuanganmu ketika kau sampai
pada satu tahap yang memang cukup berat untuk dilewati. Melupakan.
Adakah yang sanggup melupakan layaknya seperti angin
yang berhembus yang meniupkan dedaunan kering yang bertebaran di jalan layaknya
membentangkan karpet untuk para idola berjalan diatasnya? Aku ragu, apakah
sebenarnya ia memang benar-benar mencintainya atau tidak sehingga bisa semudah
itu melupakan.
Mau mencoba melupakan seperti apapun, seseorang yang
sudah pernah singgah, tidak akan pernah bisa dilupakan secara sepenuhnya. Yang
ada hanya meninggalkan jejak. Jadi, lebih baik tidak usah berusaha melupakan
jika akan sia-sia. Lebih baik biarkan saja utuh seperti sedia kala. Terkadang,
untuk melangkah barang beberapa langkah saja, ada baiknya untuk memikirkan
ulang lagi untuk memastikan, bukan untuk membuat ragu.
Akan banyak hal yang tidak terduga yang bermunculan
di setiap harinya. Jadi, bersiap-siaplah. Waktu memiliki hal-hal tidak terduga
mereka sendiri yang sudah berada dalam bungkusan dengan bertuliskan nama-nama
kita sendiri, dan siap diantar ke depan rumahmu.
Bertepatan dengan bel rumahku yang berdering dari
luar.
Sebuah paket.
Sambil mengeringkan rambutku yang masih meneteskan
air sisa mandi, aku duduk di depan meja tempat laptopku duduk dengan manis,
lalu menyalakan laptopku dengan bersemangat.
“Hallo, selamat
pagi. Semoga harimu menyenangkan –“
“Selamat pagi juga. Hariku pasti selalu menyenangkan
jika dibuka dengan pertemuan denganmu. Aku harap harimu menyenangkan.”kataku
sambil tersenyum.
“ – hariku akan
selalu menyenangkan, karena aku memilikimu. Meskipun tidak disampingku. Jangan
lupa untuk makan dan istirahat. Kalau kau belum tahu, jadi let me tell you the truth, kau itu terkadang sulit untuk menjaga pola makan dan istirahatmu. Jadi,
berhati-hatilah.” Ujarnya yang ada di dalam laptopku dengan wajah yang
melembut di kalimat terakhir.
“Enak aja. Aku sekarang sudah mulai menjaga pola
makan dan istirahatku kok. Ah, sedang dimana kau?”tanyaku dengan penasaran.
“Aku lagi
dibawah pohon sakura loh! Sakuranya lagi mekar-mekarnya nih. Coba bisa dibawa
pulang. Aku ingin bawa pulang! Kau pasti suka. Warnanya indah ya? Pas lagi pas
mataharinya lagi cerah begini.” Kamera
itu bergerak keatas dan menyorot bunga sakura yang sedang mekar. “Kau pasti tahu aku sangat menyukai sakura.”
Kameranya masih menyorot ke arah bunga sakura, lalu aku mendengar suara orang
yang batuk-batuk, dan berdeham setelahnya. “Kau kenapa?”tanyaku dengan khawatir.
“Maaf ya tadi
aku kesedak ludahku sendiri. Hari ini sampai disini dulu ya pertemuannya. Aku
sayang kau, dan akan selalu begitu. Daahh~”
Sebelum layar menggelap, aku melihatnya melambaikan kedua tangannya dengan
ceria. Ia duduk diatas rumput-rumput hijau dan berlatarkan pohon sakura yang
sedang mekar.
“Aku sayang kau juga, dan akan selalu
begitu.”gumamku sambil tersenyum kecil.
Kali ini pertemuan dengannya terlalu singkat, tidak
seperti sebelumnya. Aku menghela nafas dengan pelan. Tidak apa-apalah. Setidaknya
aku masih bisa bertemu dengannya. Aku menutup layar laptopku dengan perlahan.
Aku bangkit dari kursiku, meraih buket bunga lili
dan kunci mobil disampingnya.
Aku menghirup sebentar wanginya dan berjalan keluar
dari rumah.
Tapi, berjalan keluar dari kenangan itu tidak pernah
semudah itu, kawan.
Tidak usah bersusah payah untuk membakar kenanganmu.
Bagiku, kenangan itu bersifat abadi, meskipun tidak nyata tapi ia ada. Ada
dalam ingatan kita. Umurnya selalu sama, tidak bertambah dan berkurang.
Aku membersihkan rumput-rumput liar diatas makam
batu, dan meletakkan bunga lili itu diatas nisannya. “Hallo, aku datang lagi.
Tidak banyak yang mau aku katakan, aku hanya ingin katakan, aku merindukanmu.
Aku akan baik-baik saja disini. Cukup itu yang kau tahu, meskipun kau
melihatnya berbeda.”kataku dan berdiri. Aku membungkukkan tubuhnya 90 derajat
cukup lama, dan berjalan pergi meninggalkan makam tersebut.
Kenangan itu harganya tidak terhingga. Tidak bisa
dibeli oleh siapapun, tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga. Setiap orang
memiliki kenangan yang berbeda-beda. Kapasitas untuk kenangan itu tidak
terhingga juga. Kenangan itu bagiku seperti barang pecah belah. Jangan asal
sentuh jika tidak ingin rusak. Mungkin, kenangan itu berlabelkan ‘fragile’ di
kepalaku.
Saat aku terbangun, aku membuka laptopku kembali dan
bersiap-siap untuk bertatap muka kembali dengannya. berharap semoga kali ini
lebih lama dari sebelumnya. Karena, pertemuan yang sebelumnya masih terasa
kurang dan aku merasa seperti ada yang mengganjal.
Aku menyalakan laptopku. Aku menunggu laptopku
loading sebentar dengan lima jari yang aku mainkan dengan tidak sabaran diatas
meja seperti orang yang sedang menunggu dengan tidak sabaran. “Oh, c’mon!”rutukku sekali lagi karena
laptopku lama sekali selesai loadingnya. Tak lama, aku tersenyum ketika sudah
masuk di tampilan utama.
“Halo, selamat
pagi. Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak? Mimpimu indah kan?” sapanya sambil melambaikan tangannya padaku di
layar dengan senyum cerianya. Senyum itu yang selalu sanggup membuatku untuk
selalu merindukannya, rindu untuk bertemu meskipun secara tidak langsung.
“Indah dong. Aku yakin, kau juga pasti mimpi indah.
Kalau aku mimpi indah pasti aku tidur nyenyak. Tidak usah khawatir.”jawabku
sambil menyuapkan sesendok cereal. Tiba-tiba hening. Ia hanya menatapku dengan
mata bulatnya itu dan dengan senyum cerianya yang masih mengembang di wajahnya.
Aku menatapnya dengan wajah yang kebingungan dan dengan kening yang berkerut.
“Ada apa?”tanyaku sambil meletakkan piring cereal di
atas meja.
“Kau lupa hari
ini hari apa?”tanyanya dengan wajah
yang penuh misteri.
Aku menggeleng lemah, dengan otak yang berusaha
untuk mencerna. Memang ini hari apa? Ada apa dengan hari ini memangnya? Aku
masih belum menemukan jawabannya.
“Ah, kau pasti
lupa. Kau tunggu sebentar ya. Aku akan kembali. Jangan kemana-mana ya!”ancamnya sambil terkekeh.
Aku menunggu dengan sabar. Piring cerealku tidak
tersentuh sama sekali.
“Happy birthday
to you~~ happy birthday to youu~~”
Tiba-tiba ia muncul dilayar sambil membawa sebuah kue ulang tahun berbentuk
bundar dan dua tingkat, sudah dipenuhi dengan lilin-lilin yang warna-warni. Aku
terhenyak. Aku saja lupa. Tapi, dia yang sudah jauh itu masih mengingatnya.
“Ayo dong ditiup
dulu. Nanti lilinnya keburu mencair sama kuenya. Nanti aku gagal bikin
surprisenya.”gerutunya sambil
menyodorkan kue berbentuk bundar itu ke arahku.
Aku tersenyum sendiri dan pura-pura meniup. Seperti orang
bodoh saja. Tapi, tetap aku lakukan anehnya. Konyol.
“Yeeeyy~
kejutanku berarti berhasil!”pekiknya
bahagia saat lilin-lilin itu mati, lalu tidak lama kemudian ia terbatuk-batuk,
yang aku yakinkan bukan karena asap dari lilin. “I’m fine at all! Ayo dipotong kuenya!”serunya sekali lagi, lalu
mengambil sebuah pisau plastik dan mulai memotong kue bundar tersebut dan
meletakkan diatas piring plastik.
Ia
memang paling sanggup untuk membuat hariku lebih baik lagi dari sebelumnya.
Entah mengapa hari ini ketika aku terbangun
perasaanku mulai merasa tidak enak. Ketika aku menyalakan laptop dan menunggu hingga
wajahnya muncul dilayar, aku menyeduh secangkir teh hangat karena diluar mulai
rintik-rintik yang cukup deras.
Aku terhenyak saat melihatnya. “Halo, selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa sarapan
ya.”ujarnya dengan lembut, namun terdengar lemah. Aku memandangnya yang
memakai pakaian rumah sakit dengan khawatir. “Tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Ini tidak akan lama kok. Dan
jangan menyalahkan dirimu sendiri karena tidak bisa ada disini. Aku selalu
merasa kau selalu disini. Karena, meskipun kau jauh, kau akan selalu terasa
dekat bagiku. Karena kau selalu ada di hatiku. Tenang saja.”serunya sambil
terkekeh dengan lemah.
Aku mengangguk kecil. “Apakah parah?”tanyaku
penasaran.
Perempuan di hadapanku itu menggeleng, “Tidak terlalu parah kok.” Hening. aku
menunggu ia melanjutkan, karena ia menatapku dengan kedua bola matanya yang
bulat, dan dengan senyum lemah miliknya itu, seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Kau ingat kan
kalau aku suka sakura? Sakura itu lambang ketidakabadian. Ia tumbuh begitu
lama, melalui berbagai proses yang cukup panjang untuk mekar. Tapi, hanya butuh
waktu sebentar untuk mati. Hidup manusia juga seperti itu. Aku mohon, kau
jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, sayang. Selama ini aku sudah
berjuang. Tapi, waktu memiliki ceritanya sendiri untuk kita ternyata. Tapi, aku
yakin ini cerita terbaik yang pernah aku miliki. Satu hal, aku akan selalu
mencintaimu. Hari ini –“ tanpa menunggu
lebih lama aku memberhentikannya lebih dulu.
Aku mengeluarkan sebuah kepingan disc dari dalam
laptopku dan memasukkan ke dalam tempatnya dan menyisipkannya di rak kecil yang
berisikan disc yang dikirim darinya untukku. Seperti itu lah caraku memelihara
kenanganku. Seperti orang gila ya? Biarlah. Menjawab setiap kalimat seakan-akan
berbicara dengannya memang terdengar konyol. Setiap orang memiliki cara mereka
masing-masing untuk membuat kenangan itu tetap hidup, meskipun orang di dalam
kenangan itu belum tentu masih ada. Kepingan disc terakhir adalah pesan
terakhirnya untukku. Sudah hampir setahun aku menyimpan semua disc itu dan
memutarnya berulang kali. Saat dikirim pun tidak langsung kesemuanya. Disc
terakhir dikirim tepat setahun ia meninggal. Ia seperti memberikan sebuah
puzzle untukku, dan disc terakhir itu sebagai pelengkapnya.
Kali ini aku kembali lagi menghadapnya, dengan
membawa buket bunga yang lebih besar dari sebelumnya. “Selamat ulang tahun,
Lily. Sudah hampir dua tahun dan aku masih belum bisa berhenti menonton ulang
semua dvd itu. Satu hal, aku akan selalu mencintaimu juga. Ya, ini memang
cerita terbaik yang pernah aku miliki. Aku akan datang lagi nanti. Sampai
jumpa.”ujarku dan meletakkan buket bunga itu diatas batu nisannya. Sebelum pergi,
aku membungkukkan tubuhku 90 derajat cukup lama, lalu melangkah pergi.
Dia tidak hidup di depan mata lagi dan berada sejauh
tangan menggapai, tapi ia selalu hidup dalam pikiran yang kasatmata dan sudah
berubah menjadi hal yang memang tidak akan pernah bisa digapai. Bagiku, ia akan
selalu hidup.
Fin.
hmmmm
BalasHapus