A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Rabu, 02 April 2014

Berbicara dalam Diam


Membuka mata di pagi hari. Menyambut hangatnya mentari yang masih sanggup untuk kulihat terus bersinar. Aku tidak akan pernah tahu kapan ia akan berhenti bersinar, atau kapan aku akan berhenti membuka mata di pagi hari. Waktu punya rahasia. Sama seperti manusia. Setiapnya memiliki satu rahasia diantara rahasia-rahasianya sendiri yang tidak bisa dimiliki bersama dengan orang lain.
Jadi, aku sendiri tidak tahu kapan aku akan mulai berhenti. Setidaknya berhenti perlahan-lahan. Tapi, aku memilih langsung berhenti daripada berhenti perlahan-lahan. Mengapa? Jika perlahan-lahan, akan semakin terasa sakitnya. Lebih baik langsung selesai.
Banyak hal yang tidak terduga dalam hidup.
Aku duduk di depan layar laptopku yang sudah stand by sambil menghirup wangi kopi pagiku yang uapnya masih menguar dari dalam cangkir.
Aku tersenyum kita aku melihatnya berada di hadapanku sambil tersenyum.
“Halo, selamat pagi. Pasti bangunnya terlambat?” Mataku menoleh ke arah jam dindingku dan tersenyum lebar. “Tidak. Kali ini aku tidak bangun terlambat.”jawabku.
“Baguslah kalau tidak bangun terlambat. Selanjutnya jangan bangun terlambat juga ya. Enggak baik kalau bangun kesiangan terus! Ayo jangan lupa sarapan ya.”ujarnya sambil memasang wajah lembut di hadapanku. Senyumanku semakin terangkat dengan lebar di sudut-sudut bibirku.
Aku gerakkan ujung-ujung jemariku untuk menyentuh dan ikut tersenyum karenanya.
“Ini, sarapanku. Kau seperti tidak tahu menu sarapanku saja.”candaku sambil mengangkat cangkir kopiku yang berwarna hitam dengan garis-garis berwarna tosca, hadiah darinya. Hadiah kesayanganku yang menjadi cangkir kopi kesukaanku.
“Jangan kopi terus! Kan aku sudah berapa kali bilang jangan kopi terus. Kau tahu kopi itu tidak baik untuk kesehatan.”celotehnya dengan kesal padaku. Aku terkekeh karenanya. Entah mengapa aku selalu senang setiap kali ia mulai mengoceh seperti ini.
“Baiklah, baiklah. Besok-besok aku ganti dengan green tea. Lebih sehat kan?”ujarku seraya memberikan senyum lembutku, dan ia ikut tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala berbentuk hatinya itu, “Memang lebih baik green tea yang kau minum daripada kopi terus-menerus. Aku khawatir pada kesehatanmu.”ujarnya.
“Terima kasih karena masih mengkhawatirkanku. Aku juga selalu mengkhawatirkanmu.”jawabku, terbit sebuah senyum sendu.
“Jangan khawatirkan aku. Aku tidak pernah memintamu untuk mengkhawatirkanku, Sayang. Akan lebih baik jika kau mengkhawatirkan dirimu sendiri. Ada saatnya kau boleh menjadi manusia egois. Tapi, jangan ketagihan, ya.”balasnya dengan lembut.
Aku mengangguk dengan patuh seperti anak TK yang menuruti perintah dari gurunya untuk tidak nakal dengan wajah yang setengah memelas. Konyol sekali. Mungkin, jika aku masih kecil akan terlihat sangat lucu. Tapi, sekarang? Mungkin aku sendiri akan malas untuk melihat mukaku sendiri.
“Baiklah, aku akan mencoba untuk mengkhawatirkan diriku sendiri, nanti tapi ya.”jawabku sambil memberikan seringai jahil padanya. Wajahnya berubah datar dihadapanku.
“Aku merasa seperti sedang mengurus anak kecil dengan badannya terlalu besar untuk disebut anak kecil.”gerutunya dengan sebal. “Aku harus pergi dulu ya. Jaga kesehatanmu. Aku tidak mau kau sakit.”
Aku mengangguk perlahan, sambil menghembuskan nafas panjangku, aku menutup layar laptop. Aku bangkit berdiri dari posisi dudukku. Mudah ya? Kau tahu maksudku? Mudah saja ya berdiri dari kursi. Tapi, tidak semudah berdiri dari keterpurukan. Saat kau mencoba untuk berdiri, kau pasti akan membutuhkan tongkat untuk membantumu berdiri. Bukan, bukan tongkat yang berbentuk tongkat. Sesuatu yang bisa membantumu berdiri. Contohnya? Tanyakan pada dirimu sendiri.
Ada pertanyaan yang muncul dari dirimu sendiri, tapi sesungguhnya jawabannya pun ada pada dirimu sendiri, jadi bukan untuk dicari diluar dirimu. Jadi, memang benar jika orang bilang, tidak ada pertanyaan tanpa jawaban.
Sayangnya, terkadang perihal hati, hanyalah jawaban rumit yang bermunculan. Jawaban yang muncul pun bukan berupa sebuah rumus-rumus layaknya matematika. Memang sejak kapan perihal perasaan bisa dihitung dengan tingkatan dari sebuah rumus? Malah, terkadang tidak memiliki jawaban barang secuil saja. Jawabannya ya sebenarnya ada hanya saja ia tidak semudah yang dibayangkan. Ah, omonganku mulai melantur.
Matahari masih bersinar terang di batas langit.
Meskipun aku tidak bisa berada di sampingmu secara terus-menerus, dengan hanya berpijak di atas tanah dan berdiri di bawah langit yang sama denganmu saja sudah terasa cukup bagiku.
Ku sesap kopiku yang perlahan-lahan mulai mendingin karena tertiup oleh udara yang membawanya ikut pergi. Bisakah perasaan pergi seperti itu? Pergi hanya dengan tertiup oleh satu hembusan angin? Rasanya mungkin akan lebih mudah jika seperti itu. Tapi, pada kenyataannya tidak. Memang, jatuh cinta itu awalnya mudah. Tapi, ketika rasa itu sendiri tidak memiliki jawaban dari lawan, akan terasa berat perjuanganmu ketika kau sampai pada satu tahap yang memang cukup berat untuk dilewati. Melupakan.
Adakah yang sanggup melupakan layaknya seperti angin yang berhembus yang meniupkan dedaunan kering yang bertebaran di jalan layaknya membentangkan karpet untuk para idola berjalan diatasnya? Aku ragu, apakah sebenarnya ia memang benar-benar mencintainya atau tidak sehingga bisa semudah itu melupakan.
Mau mencoba melupakan seperti apapun, seseorang yang sudah pernah singgah, tidak akan pernah bisa dilupakan secara sepenuhnya. Yang ada hanya meninggalkan jejak. Jadi, lebih baik tidak usah berusaha melupakan jika akan sia-sia. Lebih baik biarkan saja utuh seperti sedia kala. Terkadang, untuk melangkah barang beberapa langkah saja, ada baiknya untuk memikirkan ulang lagi untuk memastikan, bukan untuk membuat ragu.
Akan banyak hal yang tidak terduga yang bermunculan di setiap harinya. Jadi, bersiap-siaplah. Waktu memiliki hal-hal tidak terduga mereka sendiri yang sudah berada dalam bungkusan dengan bertuliskan nama-nama kita sendiri, dan siap diantar ke depan rumahmu.
Bertepatan dengan bel rumahku yang berdering dari luar.
Sebuah paket.                                                                                        


Sambil mengeringkan rambutku yang masih meneteskan air sisa mandi, aku duduk di depan meja tempat laptopku duduk dengan manis, lalu menyalakan laptopku dengan bersemangat.
“Hallo, selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan –“
“Selamat pagi juga. Hariku pasti selalu menyenangkan jika dibuka dengan pertemuan denganmu. Aku harap harimu menyenangkan.”kataku sambil tersenyum.
“ – hariku akan selalu menyenangkan, karena aku memilikimu. Meskipun tidak disampingku. Jangan lupa untuk makan dan istirahat. Kalau kau belum tahu, jadi let me tell you the truth, kau itu terkadang sulit untuk menjaga pola makan dan istirahatmu. Jadi, berhati-hatilah.” Ujarnya yang ada di dalam laptopku dengan wajah yang melembut di kalimat terakhir.
“Enak aja. Aku sekarang sudah mulai menjaga pola makan dan istirahatku kok. Ah, sedang dimana kau?”tanyaku dengan penasaran.
“Aku lagi dibawah pohon sakura loh! Sakuranya lagi mekar-mekarnya nih. Coba bisa dibawa pulang. Aku ingin bawa pulang! Kau pasti suka. Warnanya indah ya? Pas lagi pas mataharinya lagi cerah begini.” Kamera itu bergerak keatas dan menyorot bunga sakura yang sedang mekar. “Kau pasti tahu aku sangat menyukai sakura.” Kameranya masih menyorot ke arah bunga sakura, lalu aku mendengar suara orang yang batuk-batuk, dan berdeham setelahnya. “Kau kenapa?”tanyaku dengan khawatir.
“Maaf ya tadi aku kesedak ludahku sendiri. Hari ini sampai disini dulu ya pertemuannya. Aku sayang kau, dan akan selalu begitu. Daahh~” Sebelum layar menggelap, aku melihatnya melambaikan kedua tangannya dengan ceria. Ia duduk diatas rumput-rumput hijau dan berlatarkan pohon sakura yang sedang mekar.
“Aku sayang kau juga, dan akan selalu begitu.”gumamku sambil tersenyum kecil.
Kali ini pertemuan dengannya terlalu singkat, tidak seperti sebelumnya. Aku menghela nafas dengan pelan. Tidak apa-apalah. Setidaknya aku masih bisa bertemu dengannya. Aku menutup layar laptopku dengan perlahan.
Aku bangkit dari kursiku, meraih buket bunga lili dan kunci mobil disampingnya.
Aku menghirup sebentar wanginya dan berjalan keluar dari rumah.
Tapi, berjalan keluar dari kenangan itu tidak pernah semudah itu, kawan.
Tidak usah bersusah payah untuk membakar kenanganmu. Bagiku, kenangan itu bersifat abadi, meskipun tidak nyata tapi ia ada. Ada dalam ingatan kita. Umurnya selalu sama, tidak bertambah dan berkurang.


Aku membersihkan rumput-rumput liar diatas makam batu, dan meletakkan bunga lili itu diatas nisannya. “Hallo, aku datang lagi. Tidak banyak yang mau aku katakan, aku hanya ingin katakan, aku merindukanmu. Aku akan baik-baik saja disini. Cukup itu yang kau tahu, meskipun kau melihatnya berbeda.”kataku dan berdiri. Aku membungkukkan tubuhnya 90 derajat cukup lama, dan berjalan pergi meninggalkan makam tersebut.


Kenangan itu harganya tidak terhingga. Tidak bisa dibeli oleh siapapun, tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga. Setiap orang memiliki kenangan yang berbeda-beda. Kapasitas untuk kenangan itu tidak terhingga juga. Kenangan itu bagiku seperti barang pecah belah. Jangan asal sentuh jika tidak ingin rusak. Mungkin, kenangan itu berlabelkan ‘fragile’ di kepalaku.
Saat aku terbangun, aku membuka laptopku kembali dan bersiap-siap untuk bertatap muka kembali dengannya. berharap semoga kali ini lebih lama dari sebelumnya. Karena, pertemuan yang sebelumnya masih terasa kurang dan aku merasa seperti ada yang mengganjal.
Aku menyalakan laptopku. Aku menunggu laptopku loading sebentar dengan lima jari yang aku mainkan dengan tidak sabaran diatas meja seperti orang yang sedang menunggu dengan tidak sabaran. “Oh, c’mon!”rutukku sekali lagi karena laptopku lama sekali selesai loadingnya. Tak lama, aku tersenyum ketika sudah masuk di tampilan utama.
“Halo, selamat pagi. Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak? Mimpimu indah kan?” sapanya sambil melambaikan tangannya padaku di layar dengan senyum cerianya. Senyum itu yang selalu sanggup membuatku untuk selalu merindukannya, rindu untuk bertemu meskipun secara tidak langsung.
“Indah dong. Aku yakin, kau juga pasti mimpi indah. Kalau aku mimpi indah pasti aku tidur nyenyak. Tidak usah khawatir.”jawabku sambil menyuapkan sesendok cereal. Tiba-tiba hening. Ia hanya menatapku dengan mata bulatnya itu dan dengan senyum cerianya yang masih mengembang di wajahnya. Aku menatapnya dengan wajah yang kebingungan dan dengan kening yang berkerut.
“Ada apa?”tanyaku sambil meletakkan piring cereal di atas meja.
“Kau lupa hari ini hari apa?”tanyanya dengan wajah yang penuh misteri.
Aku menggeleng lemah, dengan otak yang berusaha untuk mencerna. Memang ini hari apa? Ada apa dengan hari ini memangnya? Aku masih belum menemukan jawabannya.
“Ah, kau pasti lupa. Kau tunggu sebentar ya. Aku akan kembali. Jangan kemana-mana ya!”ancamnya sambil terkekeh.
Aku menunggu dengan sabar. Piring cerealku tidak tersentuh sama sekali.
“Happy birthday to you~~ happy birthday to youu~~” Tiba-tiba ia muncul dilayar sambil membawa sebuah kue ulang tahun berbentuk bundar dan dua tingkat, sudah dipenuhi dengan lilin-lilin yang warna-warni. Aku terhenyak. Aku saja lupa. Tapi, dia yang sudah jauh itu masih mengingatnya.
“Ayo dong ditiup dulu. Nanti lilinnya keburu mencair sama kuenya. Nanti aku gagal bikin surprisenya.”gerutunya sambil menyodorkan kue berbentuk bundar itu ke arahku.
Aku tersenyum sendiri dan pura-pura meniup. Seperti orang bodoh saja. Tapi, tetap aku lakukan anehnya. Konyol.
“Yeeeyy~ kejutanku berarti berhasil!”pekiknya bahagia saat lilin-lilin itu mati, lalu tidak lama kemudian ia terbatuk-batuk, yang aku yakinkan bukan karena asap dari lilin. “I’m fine at all! Ayo dipotong kuenya!”serunya sekali lagi, lalu mengambil sebuah pisau plastik dan mulai memotong kue bundar tersebut dan meletakkan diatas piring plastik.
 Ia memang paling sanggup untuk membuat hariku lebih baik lagi dari sebelumnya.


Entah mengapa hari ini ketika aku terbangun perasaanku mulai merasa tidak enak. Ketika aku menyalakan laptop dan menunggu hingga wajahnya muncul dilayar, aku menyeduh secangkir teh hangat karena diluar mulai rintik-rintik yang cukup deras.
Aku terhenyak saat melihatnya. “Halo, selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa sarapan ya.”ujarnya dengan lembut, namun terdengar lemah. Aku memandangnya yang memakai pakaian rumah sakit dengan khawatir. “Tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Ini tidak akan lama kok. Dan jangan menyalahkan dirimu sendiri karena tidak bisa ada disini. Aku selalu merasa kau selalu disini. Karena, meskipun kau jauh, kau akan selalu terasa dekat bagiku. Karena kau selalu ada di hatiku. Tenang saja.”serunya sambil terkekeh dengan lemah.
Aku mengangguk kecil. “Apakah parah?”tanyaku penasaran.
Perempuan di hadapanku itu menggeleng, “Tidak terlalu parah kok.” Hening. aku menunggu ia melanjutkan, karena ia menatapku dengan kedua bola matanya yang bulat, dan dengan senyum lemah miliknya itu, seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Kau ingat kan kalau aku suka sakura? Sakura itu lambang ketidakabadian. Ia tumbuh begitu lama, melalui berbagai proses yang cukup panjang untuk mekar. Tapi, hanya butuh waktu sebentar untuk mati. Hidup manusia juga seperti itu. Aku mohon, kau jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, sayang. Selama ini aku sudah berjuang. Tapi, waktu memiliki ceritanya sendiri untuk kita ternyata. Tapi, aku yakin ini cerita terbaik yang pernah aku miliki. Satu hal, aku akan selalu mencintaimu. Hari ini –“ tanpa menunggu lebih lama aku memberhentikannya lebih dulu.
Aku mengeluarkan sebuah kepingan disc dari dalam laptopku dan memasukkan ke dalam tempatnya dan menyisipkannya di rak kecil yang berisikan disc yang dikirim darinya untukku. Seperti itu lah caraku memelihara kenanganku. Seperti orang gila ya? Biarlah. Menjawab setiap kalimat seakan-akan berbicara dengannya memang terdengar konyol. Setiap orang memiliki cara mereka masing-masing untuk membuat kenangan itu tetap hidup, meskipun orang di dalam kenangan itu belum tentu masih ada. Kepingan disc terakhir adalah pesan terakhirnya untukku. Sudah hampir setahun aku menyimpan semua disc itu dan memutarnya berulang kali. Saat dikirim pun tidak langsung kesemuanya. Disc terakhir dikirim tepat setahun ia meninggal. Ia seperti memberikan sebuah puzzle untukku, dan disc terakhir itu sebagai pelengkapnya.
Kali ini aku kembali lagi menghadapnya, dengan membawa buket bunga yang lebih besar dari sebelumnya. “Selamat ulang tahun, Lily. Sudah hampir dua tahun dan aku masih belum bisa berhenti menonton ulang semua dvd itu. Satu hal, aku akan selalu mencintaimu juga. Ya, ini memang cerita terbaik yang pernah aku miliki. Aku akan datang lagi nanti. Sampai jumpa.”ujarku dan meletakkan buket bunga itu diatas batu nisannya. Sebelum pergi, aku membungkukkan tubuhku 90 derajat cukup lama, lalu melangkah pergi.
Dia tidak hidup di depan mata lagi dan berada sejauh tangan menggapai, tapi ia selalu hidup dalam pikiran yang kasatmata dan sudah berubah menjadi hal yang memang tidak akan pernah bisa digapai. Bagiku, ia akan selalu hidup.  

Fin.

1 komentar: