Sepertinya kali ini iklim dan cuaca sedang senang mengajak
bercanda.
Sebentar-sebentar hujan, sebentarnya lagi panas
terik.
“Maunya apa sih?!”gerutuku dengan sebal sambil melihat
keluar jendela. Baru beberapa menit yang lalu, aku bersemangat untuk keluar
dari rumah karena tadi, tolong ditekankan bagian kata ‘tadi’, cuacanya sangat
mendukung untuk keluar rumah. Padahal aku hanya ke toilet tidak sampai 10
menit, tiba-tiba awannya merajuk dan mulai menggelap. Ya, bahkan awan saja
sanggup membuat wajah setiap orang menggelap juga. Mungkin, ia tidak suka hanya
ia seorang yang wajahnya menggelap akibat merajuk.
Tidak enak sudah membuat janji lalu membatalkannya
tiba-tiba hanya karena sebentar lagi akan hujan. Maka, aku pun bergegas untuk
mengejar bus sebelum tertinggal dan malah dikejar oleh hujan. Aku tidak apa-apa
jika dikejar hujan, aku hanya tidak mau dikejar saat aku tengah janjian, tidak
lucu datang dalam keadaan basah kuyup seperti kucing yang kecebur di selokan. Aku
buru-buru mengenakan keds dan keluar
dari rumah seraya mengunci pintu dan berjalan dengan cepat menuju halte bus
terdekat.
Aku tidak pernah membawa payung. Lebih menyenangkan
hujan-hujanan daripada memakai payung, maka dari itu aku jarang memakai tas,
sekalipun memakai tas, aku memilih untuk memakai yang memiliki anti-air.
Memakai payung seperti sedang menghindari sesuatu. Sayangnya, aku tidak pernah
memakai payung untuk menghindar dari masa lalu. Aku selalu mencoba untuk
menghadapi masa laluku sendiri, apapun isinya. Mungkin lucu rasanya jika kita
memakai pelindung anti-masa-lalu. Seperti anak kecil yang menghindar dari
badut, bahkan mungkin anak kecil yang lebih berani menghadapi badut,
dibandingkan aku.
Aku menunggu bus yang kedatangannya bahkan mengalahkan
buffering YouTube dengan kecepatan
rendah, seraya mengetuk-ketukkan kakiku ke lantai halte dengan tidak sabaran.
Aku hendak berdiri saat melihat bus yang aku tunggu tengah melaju dengan
kecepatan sedang, lalu kembali duduk saat melihat isi bus tersebut sudah
seperti isi kaleng ikan sarden. Mengerikan.
Aku memasang sepasang earphone di kedua telingaku untuk menghilangkan rasa jenuhku
menunggu bus yang lama sekali datangnya. Semoga bus kali ini sesepi halte ini,
yang isinya hanya aku seorang.
Aku malah sempat lupa bagaimana rasanya mencintai
dan dicintai. Konyol.
Aku tidak menghitung sudah berapa lama aku tidak
bertemu dengannya. Untuk apa lagipula. Mungkin, aku terlalu menikmati masa-masa
sendiriku. Tapi, terkadang ada waktunya saat aku iri melihat yang lainnya.
Namun, dalam sekejap, rasa itu akan hilang begitu saja. Hanya rasa iri yang
seliwat. Mungkin, karena seiring waktu, aku mulai memiliki sistem kekebalan
sendiri.
Sudahlah, tidak ada untungnya memikirkan yang lama.
Tidak akan merubah keadaan sekalipun. Seperti kau membuka satu folder, kau akan
menemukan folder lain di dalamnya dan seterusnya seperti itu. Kapan selesainya?
Tidak akan selesai, jika bukan kau sendiri yang menyelesaikan dan memilih menu exit. Tapi, terkadang tidak semudah itu
keluar dari masa lalu.
Akhirnya, bus yang sesuai aku mau, muncul di belokan
dengan kecepatan normal dan memang terlihat seperti bus pada umumnya, tidak
ramai, tidak juga sepi. Bus tersebut belum menepi pun, aku sudah berdiri
menunggu di pinggir halte. Aku langsung mengambil tempat duduk dekat pintu
keluar. Siapa tahu, tiba-tiba saja bus dalam keadaan ramai dan aku susah turun
dan akibatnya aku tidak bisa turun di halte yang seharusnya. Ribet.
Lebih baik salah halte, daripada salah hati.
Setidaknya salah halte tidak terlalu menyakitkan, tapi kalau salah hati itu
baru menyakitkan dan hanya sia-sia saja jadinya. Sudah membuang waktu dengan
percuma hanya untuk mencintai hal yang salah. Tapi, kita seringkali membodohi
diri sendiri. Berpura-pura segalanya baik-baik saja, padahal sebenarnya tahu
kalau ada yang tidak baik-baik saja. Berusaha
menutupi bau dari masalah tersebut. Lalu, saat sadar untuk mulai
memperbaikinya, yang ada malah bertemu dengan keterlambatan. Kemudian apa? Penyesalan.
Banyak yang membutuhkan waktu untuk beradaptasi
dengan kehilangan; banyak yang membutuhkan waktu untuk tenggelam dalam
kehilangan tersebut dan menjadi gila hanya perihal kehilangan yang sebenarnya
masih bisa tergantikan; banyak pula yang membutuhkan waktu untuk mulai
memindahkan rasa, kembali pada tempat semulanya. Tergantung bagaimana orang
tersebut meladeni kehilangan itu.
Aku? Aku memilih belajar untuk merasakannya, namun
tidak tenggelam, dan perlahan-lahan mulai memindahkan satu per satu dari
kepingan perasaan sendiri kembali ke tempatnya. Ya, aku menggabungkan ketiga
pilihan tersebut, siapa tahu berjalan dengan baik. Sejauh ini aku belum
menemukan masalah dengan tiga pilihan yang aku gabungkan tersebut.
Aku melompat turun saat bus tersebut menepi di halte
yang aku tuju dan langsung berjalan menuju tempat janjianku dengan teman-teman
yang lainnya. Sebentar lagi, aku akan meninggalkan kota ini; sebentar lagi aku
meninggalkan kenanganku disini. Biarlah kota ini yang menyimpan keseluruhan kenanganku
dalam bentuk arsip-arsip.
Aku menatap teman-temanku dari kejauhan. Betapa aku
akan merindukan kebersamaanku dengan mereka saat aku sudah tidak disini lagi.
Ya, aku pasti akan merindukan mereka semua. Mereka melambai padaku yang aku
balas dengan anggukan samar dan langsung bergabung dengan mereka. Melupakan
sejenak segala kekusutan pikiran dan perasaan dan fokus pada mereka yang
sebentar lagi akan berpisah.
Sebenarnya, waktuku masih cukup lama. Hanya saja,
aku tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk bersantai. Banyak hal yang harus
aku urus disana-sini. Belum lagi aku harus membereskan ruang hati yang masih
berantakan, layaknya orang yang baru saja pindahan. Beberapa diantara mereka
pun sudah ada yang memulai aktifitas dan meninggalkan masa hiatus mereka.
Bahkan, sudah ada yang sebentar lagi akan meninggalkan kota ini lebih dahulu.
Sehingga, masa untuk bertemu sesering saat ini dan kemarin-kemarin akan terasa
langka nantinya. Jadi, kami memutuskan untuk memanfaatkan waktu kami.
Perputaran waktu dalam rotasinya mulai susah untuk
dikontrol. Ia berputar terlalu cepat di porosnya, hingga tiba-tiba sudah sampai
pada tahap, “Keep in touch, darl.”ujar
yang lainnya padaku dan pada teman-temanku yang lain yang akan lebih dahulu
pindah dari kota ini. Aku bisa melihat, beberapa dari mereka menahan air
matanya dengan tertawa miris dan suara yang parau. Aku hanya bisa tersenyum
tipis saat kami satu per satu saling berpelukan, lalu mengucapkan selamat jalan
dan sampai jumpa. Padahal aku baru satu tahun bersama mereka yang sudah hampir
3 tahun bersama, tapi aku merasa sudah seperti tinggal dengan sebuah keluarga.
Segalanya tidak ada yang mudah untuk dilalui, namun
waktu akan memberikan pelajarannya sendiri, dia akan mengajarkannya dengan
caranya sendiri, dengan atau tanpa kita sadari. Aku berdiri di depan kaca kedai
tempat kami biasa berkumpul, dan tempat kami berpisah untuk terakhir kalinya
pula. Rintik-rintik sudah mulai turun. Aku bukannya tidak mau menerobos
rintik-rintik, aku hanya belum mau pulang.
Hidupku hanya berputar dalam satu rotasi, sejauh
yang aku sadari. Jatuh cinta, mencintai, dicintai, melepaskan, melupakan, dan
mengenang. Aku tidak tahu, aku masih di kota yang sama atau tidak dengannya.
Jika, aku memang masih satu kota dengannya, aku ingin bertemu dengannya untuk
terakhir kali. Untuk mengucapkan selamat tinggal.
Tapi, aku biarkan waktu yang berikan jawaban. Aku
tidak akan menunggu. Jika memang ada jawabannya, maka aku akan siap dengan
jawaban yang diberikan. Jika tidak pun, aku tidak apa-apa. Aku menengadahkan
telapak tanganku ke atas. Menadah rintik-rintik yang jatuh dan menggenang di
telapak tanganku.
Aku menghela nafas dan masuk ke dalam rintik-rintik
hujan. Ponselku dan uangku sudah aku bungkus dalam satu tempat yang terbuat
dari plastik. Jadi aku santai-santai saja. Aku tahu, orang-orang yang aku
lewati dan melewatiku pasti heran, tapi aku sudah terbiasa dengan pandangan
heran mereka. Setiap kali bersitatap denganku, aku akan melontarkan senyum
lebar, menyerupai cengiran pada mereka yang akan langsung buang muka.
Banyak anak-anak kecil yang menawarkan ojeg payung,
tapi aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala singkat dan melanjutkan
langkahku. Dulu, jika ia tahu aku akan keluar saat cuaca yang akan hujan, ia
pasti akan menanyakan aku dimana dan tanpa aku minta, ia akan menjemputku.
Beserta payung juga. Saat berada dibawah payung yang sama dengannya, tangannya
yang satu lagi akan menggenggam tanganku, supaya aku tidak bandel dan keluar
dari dalam lindungan payungnya. Jika aku memaksa, ia akan menggeram padaku dari
sela-sela giginya dan aku tahu, aku tidak bisa mengelak. Rasanya saat itu,
seperti aku benar-benar dijaga dalam lingkupannya dan tidak perlu
mengkhawatirkan apapun. Karena, bagiku selama aku bersamanya semuanya akan
terasa baik-baik saja.
Ah, dulu. Kata ‘dulu’ itu selalu mengandung banyak
cerita. Seperti kata ‘dulu’-lah yang menyimpan kenangan setiap orang.
Aku berjalan santai dalam rintik-rintik hujan yang
mulai membasahi tanah yang kering. Aku selalu menanti saat-saat ketika hujan
salju mulai berjatuhan dan menyentuh tanah dengan perlahan-lahan dan disertai
hembusan angin yang sanggup untuk membekukan tangan dan membuat lidah menjadi
kelu karena dinginnya, yang terjadi hanya di akhir tahun saja.
Aku berdiri bersama dengan penyebrang lainnya di
dekat lampu merah. Menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Berdiam di
antara lautan orang-orang berpayung dengan berbagai warna dan mulai mengikuti
arus ketika arus tersebut mulai bergerak perlahan saat lampu merah itu berubah
menjadi hijau.
Aku berjalan sambil meresapi rintik-rintik hujan
yang perlahan-lahan menyentuh kulitku yang meskipun tertutupi oleh jaket, tapi
air tersebut masih bisa meresap dan menembusnya dengan sempurna, dan kering
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hebat ya? Rasa ini dengan mudah meresap,
tapi sayangnya, untuk bisa kembali seperti sedia kala, membutuhkan waktu yang
cukup lama. Rasanya melelahkan.
Masih bisa aku rasakan titik-titik air yang meresap
ke kulitku hingga tiba-tiba aku merasa titik-titik air tersebut berhenti
meresap melewati jaketku. “Kalau sedang jalan, perhatikan jalan di depanmu.
Jangan menunduk terus. Kalau menabrak orang lain bagaimana?” Aku langsung
mendongak dengan postur tubuh yang menegang.
Aku menoleh ke kiriku dan kedua mataku dengan suksesnya,
terbelalak dengan lebar dan tanpa tahu sopan santun, mulutku langsung menganga
saking terkejutnya. Aku langsung menyadarkan diriku sendiri dan
menggeleng-gelengkan kepalaku berusaha supaya bayangannya lenyap dari
pandanganku. Sudah beberapa kali aku menggelengkan kepalaku, tapi bayangannya
masih saja menghantui pupil mataku.
Ketika tersadar bahwa aku tidak sedang bermimpi, aku
sudah berada diseberang jalan dengannya yang mengkerutkan keningnya dengan heran.
“Kau ini kenapa? Seperti melihat hantu saja.”serunya.
Aku masih diam.
Tunggu, aku diam bukan karena tidak ingin
menjawabnya, tapi diriku masih diliputi oleh keterkejutan. Memang benar ya kata
orang, hal yang sebenarnya terlihat tidak mungkin terjadi, bisa saja suatu saat
bisa terjadi. Sebelumnya aku tidak percaya, tapi setelah aku mengalaminya saat
ini, aku percaya.
Tiba-tiba aku menjadi orang gagu. Aku menatapnya
dengan dua kelopak mata yang melebar saking terkejutnya. Tapi, aku buru-buru
menutupinya dengan mendengus. “Kenapa kau senang sekali seperti ini?”tegurnya,
diselipi decakan bingung. Aku memilih diam. “Ayolah, ucapkan beberapa kalimat
saja. Jangan diam seperti ini. Seperti berjalan dengan patung.”
Aku menghela nafas dengan kasar. “Sedang apa kau
disini?” Pada akhirnya, aku bertanya juga.
Ia terkekeh pelan. Aku bisa merasakannya lewat
lengannya yang bergetar. “Ya, aku pikir sudah saatnya aku kembali.”jawabnya
dengan santai. Aku kembali tidak bersuara. Aku tertawa dalam hati. Tawa miris.
Kembali disaat aku akan pergi. Pilihan waktu yang sangat-teramat tepat. Pintar
sekali.
“Aku pulang lebih dahulu.”ujarku sambil keluar dari
jangkauan payung dan lengannya. Yep, jalan
cepat. Di belakang punggungku tidak terdengar suara yang memanggil namaku, aku
semakin memacu langkahku. Baguslah. Jadi, selama dia pergi ke dunia antah
berantahnya itu, sepertinya dia semedi untuk melupakanku, melupakan namaku, dan
mungkin lebih mirisnya lagi, melupakan kenangan kami. Rasanya aneh menyebutkan
kata terakhir itu.
Omonganku ini sudah seperti orang yang cukup lama
tidak mengingat-ngingatnya lagi. Padahal diam-diam masih sering mengenangnya
lagi. Sstt, ini rahasia kita saja. Dia tidak perlu tahu. Kalau dia sampai tahu,
aku tidak tahu akan sebesar apa kepalanya itu. Dia itu mudah sekali untuk besar
kepala dan rasa percaya dirinya itu sudah sangat overload. Heran.
Aku sendiri bingung dia itu semedi dimana. Tiba-tiba
menghilang dan tiba-tiba muncul. Aku memang sengaja tidak mencari tahu
keberadaannya. Padahal sebenarnya aku mati-matian menahan rasa ingin tahu ini. ‘Toh dia juga tidak akan peduli lagi.
Tapi, kenapa dia harus muncul disaat-saat seperti ini saat aku sudah akan
beranjak keluar dari sini? Sudah direncanakan dari jauh-jauh hari kah? Konyol
sekali orang itu.
Tapi, tetap saja. Biar bagaimanapun, dia orang yang
sempat bersamaku disaat susah dan senang juga. Memang tidak seharusnya aku
membencinya. Ah, aku bukan
membencinya, aku hanya masih.....mencintainya. Mungkin? Sepertinya. Aku tidak
berani untuk memperkirakannya. Ah,
sejak kapan cinta bisa di kira-kira? Ngawur.
Aku mulai memperlambat jalanku ketika merasa sudah
tidak akan diganggu olehnya lagi. Perlahan-lahan hujan juga mulai menyisakan
rintik-rintik kecil. Rintik-rintik yang bisa membuat orang pusing, katanya. Tapi,
tidak se-memusingkan perihalnya di otakku. Bahkan rintik-rintik tipis nan kecil
ini tidak sanggup untuk menghapus bayang-bayangnya.
Aku memperlambat jalanku dan beberapa kali
menghindari kubangan dengan riak-riak kecil akibat rintik-rintik hujan yang
jatuh perlahan-lahan diatas kubangan tersebut. menghindari kubangan lebih mudah
bukan daripada menghindari kenangan lama yang tiba-tiba menghantuimu? Aku
mendesah dengan sebal. “Kenapa dia harus tiba-tiba muncul disaat seperti
ini?”gerutuku sambil mengerutkan kening.
“Maksudmu, aku?”tanyanya dengan wajah yang bingung
saat aku tolehkan kepalaku. Rahangku hampir jatuh melihatnya yang tiba-tiba
berada disampingku, oke ini terlalu berlebihan. Tapi, sungguh. Tidak mungkin
aku tidak terkejut melihat dia yang sudah aku tinggalkan cukup jauh di belakang
sana, dan tiba-tiba berada disini, di-sam-ping-ku.
“Kau bertapa untuk mencari ilmu hitam?”tuduhku.
Ia terdiam sejenak, kaget. Itu yang aku lihat dari
ekspresi di wajahnya. Lalu, detik berikutnya ia tertawa. Terbahak-bahak. “Kau
ini gila? Kata siapa aku bertapa? Mencari ilmu hitam? Aduh, ada apa dengan
otakmu ini.”gerutunya disela-sela tawanya yang tidak kunjung berhenti. Aku
cemberut dengan sebal dikatain seperti itu olehnya yang sudah menghilang dan
muncul tiba-tiba, persis seperti hantu jika begini terus.
“Tidak ada apa-apa dengan otakku. Kau ini
berlebihan.”gerutuku sambil melangkah dengan cepat, berusaha meninggalkannya
saat itu juga. Dan, ternyata ia bisa menyamai langkahku! Aku langsung berhenti
mendadak. “Kau ini sedang apa?!”tanyaku tiba-tiba. Ia terkejut karena aku
berhenti mendadak.
“Aku sedang berjalan disampingmu dan tiba-tiba kau
berhenti mendadak.”jawabnya dengan polos. Hah, tepatnya sok naif. Aku
mengerutkan keningku dengan sebal karena masih tidak bisa mengerti jalan
pikirannya saat ini.
“Bukan itu maksudku. Maksudku, untuk apa kau
mengikutiku? Aku mau pulang.”gerutuku.
“Ya aku mau mengantarmu pulang. Apakah itu salah?
Bukankah dulu –“
Aku mengangkat tanganku ke depan wajahnya,
menghentikan kalimat selanjutnya yang sudah bisa aku tebak kelanjutannya.
“Tolong ya, itu dulu. Bukan saat ini. Jadi, tolong dibedakan.”gerutuku dengan sebal.
Ia menghela nafas sebentar dan tersenyum. “Baiklah, maaf kalau begitu. Ayo
lanjutkan lagi perjalanan pulangnya. Sebelum hujannya tambah deras.”ujarnya.
“Tidak. Aku
pulang sendiri. Kau pulanglah.”ujarku dengan tegas.
“Tidak baik seorang gadis pulang sendirian.”
“For God’s
sake, ini masih terang. Lampu jalan saja belum menyala. Aku masih bisa
pulang sendiri.”ujarku dengan gusar.
“Ayolah, berhenti untuk keras kepala.”ujarnya sambil
tersenyum dan mulai mengambil langkah lebih dahulu. Aku hanya bisa
menggelengkan kepalaku dengan kesal. Sebenarnya
saat ini yang keras kepala itu siapa, gerutuku dalam hati. Tapi, kakiku
tetap saja melangkah dibelakangnya. Terkadang, otak memang susah untuk
disinkronkan dengan hal-hal yang lainnya.
“Kalau kau terus berjalan di belakangku, bagaimana
aku bisa tahu kalau kau tidak diculik oleh orang?”katanya sambil memutar badan
ke belakang, membuatku terkejut.
“Aku masih bisa menjaga diriku sendiri.”jawabku
tanpa berhenti dan terus berjalan, melewatinya. “Baiklah terserah kau
saja.”jawabnya dengan santai dan mengikuti langkahku di belakang.
Kami berjalan dalam diam. Sebenarnya, aku yang
sengaja mendiamkannya. Karena aku tidak ada niat sama sekali untuk membuka
obrolan, sedangkan dia, dia berusaha untuk membuka obrolan namun hanya aku
jawab seperlunya saja. Ia hanya menghela nafas dan menghembuskan nafas setiap
kali ia ingin membuka obrolan namun diurungkan kembali, karena akhirnya ia
sadar bahwa aku tidak ada niatan sama sekali untuk mengobrol dengannya. Baguslah
kalau akhirnya dia sadar.
Langkahku mulai memasuki area keramaian. Aku menengok
jam tangan yang aku pakai di tangan kiriku dan mendesah sebal. Pantas saja
sudah mulai ramai, ini kan jam pulang kantor. Ditambah lagi cuacanya masih
hujan seperti ini, sudah pasti mereka semua berbondong-bondong itu cepat sampai
di tempat tujuan sebelum dihadang hujan.
Di udara yang dingin ini, tiba-tiba aku merasakan
kehangatan yang lain yang menjalar masuk ke dalam kulit membuatku sedikit
berjengit karena terkejut. Aku menengok ke sampingku dan mendapatinya sedang
menggenggam tanganku yang diselipkan di dalam saku raincoatnya yang tebal dan berwarna hitam. Wajahnya terlihat serius
menatap khalayak ramai di depan matanya, berbanding terbalik denganku yang
menatapnya dengan melongo. Seseorang mungkin bisa membantuku untuk menadahkan
kedua bola mataku supaya tidak jatuh sampai ke lantai, karena saat ini kedua
bola mataku sudah siap untuk melompat dari rongganya. Oh, pardon my language.
Berani-beraninya dia! Ketika aku membuka mulut untuk
memulai pertengkaran dengannya, ia memotong lebih dahulu udara yang tengah aku
hirup, “Sstt. Kali ini berkompromilah denganku, sekali saja. Ini di tengah
keramaian. Aku tidak mau kau kehilangan arah pulang. Hanya itu saja. Dan udaranya
sudah mulai menusuk-nusuk. Aku juga tidak mau kau masuk angin.”katanya sambil
berhenti sebentar. “Karena, aku tahu kau tidak suka di dalam payung, jadi
baiklah payung ini tidak akan aku pakai. Ayo kita jalan seperti tidak sedang hujan.”
Aku semakin melongo. Kapan dia menutup payungnya saja aku tidak tahu. “Seperti
dulu.”gumamnya, namun masih tertangkap oleh telingaku.
Aku tidak menjawab semua kalimat yang ia ucapkan,
hanya mengikuti langkahnya dengan satu tanganku yang berada di dalam raincoat tebal itu. Rasanya sudah lama
sekali aku tidak menggenggam tangan yang selalu hangat ini. Tangan yang
kehangatannya tidak pernah terusik oleh cuaca yang dingin menusuk seperti ini. Kehangatan
yang pernah tinggal untukku yang kini sudah menguap dan digantikan oleh rasa
dingin.
Diam-diam aku menikmati setiap detiknya ketika
tanganku berada dalam genggamannya. Kembali aku rasakan bahwa semuanya akan
terasa baik-baik saja ketika aku berada dalam genggamannya. Konyol bukan sih?
Ah entahlah. Untuk saat ini aku tidak mau peduli dulu. Apalagi, setelah aku
sampai di rumah aku sudah harus mengucapkan selamat tinggal padanya. The really goodbye to him.
“Minum kopi dulu gimana? Aku rasa aku butuh kopi.”tawarku
dengan nada yang sedikit dibuat cuek. Aku bisa merasakan bahwa ia menghembuskan
nafas panjang. Dalam hati, aku tersenyum. So,
I lose now. I should admit that I really really miss him. Eventually, I also
admit that I missing him for a long time that I can not count it. If I count
how long he went, it gives me more pain inside.
“Baiklah. Ayo. Semoga setiap kedai kopi tidak
terlalu ramai. Setidaknya, kita tidak perlu untuk standing party dengan gelas kopi di tangan. Itu tidak lucu
sebenarnya, meskipun anti mainstream.”celotehnya. Mendadak aku merasa kedua
pipiku menghangat ketika mendengar ia mengucapkan kata ‘kita’ untuk menyebutkan
aku dan dia. Oh holy mother, it is not
good. I am sure. Semoga ia tidak menyadari kalau pipiku mungkin saja sedang
bersemu saat ini.
“Ya, semoga saja.”jawabku, masih berusaha mengatur nadaku
agar masih terkesan cuek. Padahal aku menahan degup jantungku yang
berdebar-debar supaya tidak terdengar olehnya mati-matian, yang sebenarnya
tidak mungkin bisa ia dengar.
Kami berhenti di lampu merah penyebrangan. Tanganku masih
berada dalam genggamannya, di dalam saku raincoat.
Aku tidak ingin kehilangan momen ini, seriusan. Tapi, detik berikutnya setelah
aku merasa seperti itu, aku merasa kecewa karena tanganku kehilangan rasa
hangatnya, karena kali ini tanganku tergantung dengan bebas disisi tubuhku
karena ia melepaskan genggamannya. Ya, kau harus tahu, rasanya seperti
kehilangan barang yang benar-benar kau sayangi dan setelah dijaga mati-matian
barang itu dengan mudahnya menghilang.
Oh shit. Aku menahan nafas ketika tangan yang tadinya
mengenggam tanganku itu berpindah ke pundakku dan ia merapatkan tubuhku
dengannya. “Maaf, aku harus seperti ini karena aku tidak mau kau terbawa arus
orang yang menyeberang. Kecuali kau lebih ingin terbawa arus yang menyeberang.”bisiknya
ditengah keramaian. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala beberapa kali. Semoga
ia mengerti maksudku. Oh ternyata, karena ini makanya dilepas gandengannya. Aku
menertawakan kebodohanku sendiri, tapi di dalam hati.
Ia benar-benar melindungiku bahkan ketika
menyeberang dan harus melawan arus orang yang menyeberang dari arah yang
berlawanan. Ternyata kedai kopi yang kami tuju tidak terlalu jauh dari tempat
kami menyeberang tadi. Ia mendorong pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk
lebih dulu. Aku memilih tempat duduk di luar ruangan dan ia yang pergi memesan
kopi. Semoga saja dia masih ingat kopi favoritku.
“Satu cappuccino
dengan 3 gula merah, dan satu vanilla latte dengan 3 gula merah. Aku masih
ingat dengan baik kopi kesukaanmu.”ujarnya sambil meletakkan gelas kopi cappuccino panas di hadapanku dan
beserta bungkus-bungkus gula merah di samping gelasku. Aku tersenyum kecil
seraya mengucapkan, “Terima kasih.” Dan menyobek semua bungkusan gula merah dan
menuangkannya ke dalam cangkir kopiku.
“Jadi, apakah selama ini kau baik-baik saja?”tanyanya
sambil meletakkan gelas kopi yang barusan ia sesap isinya dengan hati-hati.
Aku mendongak dari acara mengaduk-aduk gula. “Hhmm? Oh,
iya. Aku baik-baik saja. Buktinya aku ada dihadapanmu saat ini tanpa kurang
satu pun kan?”jawabku dengan cueknya dan kembali mengaduk-aduk kopiku. Aku berusaha
untuk tidak bertanya balik.
“Maaf kalau selama ini aku menghilang. Aku tahu ini
terdengar tidak penting untukmu, ditambah lagi dengan kita yang hanya berstatus
sebagai teman, setidaknya aku menganggapnya seperti sampai saat ini, setelah aku
memilih untuk udahan. Tapi, selama aku tidak ada sekitarmu, aku pergi menemani
Ibu berobat di luar negeri untuk mengobati kanker rahimnya.”katanya
menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk kecil masih dengan mengaduk-aduk isi
cangkir kopiku dan sesekali meniupnya. Pantas saja waktu itu Ibu pernah
kelihatan panik pas terima telepon.
“Kau tidak mau meminta penjelasan apa-apa dariku?”tanyanya,
terdengar putus asa.
Aku mendongak dan menatapnya. “Untuk apa? Kau sudah
memilih untuk berhenti, meskipun aku masih ingin bersamamu juga tidak akan mengubah
keputusanmu kan? Aku terlalu mengenalmu untuk meminta untuk tetap disampingku. Karena,
aku paham, sekalinya kau membuat keputusan, hanya kau yang bisa merubahnya.
Jadi, lebih baik aku menurut saja.”jawabku dengan tak acuh dan melemparkan
pandanganku ke jalanan.
“Baiklah. Aku tahu aku salah, aku tidak memberikanmu
penjelasan yang jelas. Sebenarnya ini sepele.” Ia terkekeh sebentar, lalu
melanjutkan, “Aku tahu, aku akan menemani Ibuku cukup lama di luar negeri, dan
aku tidak bisa untuk berhubungan jarak jauh denganmu. Dan aku juga tahu
prinsipmu yang tidak bisa berhubungan jarak jauh. Jadi, karena aku tidak mau
mengekangmu dalam hubungan jarak jauh yang kau sendiri tidak setujui itu, aku
memilih satu-satunya jalan yang menurutku, ya mau gimana lagi. Aku memberikanmu
jalan untuk bisa memulai hubungan yang baru dengan orang lain, dengan begitu
kau akan melupakanku, kan?”ceritanya panjang lebar. Aku menopang daguku dengan
tanganku diatas meja, mendengarkan ia menjelaskan.
“Aku hanya mencoba peruntungan saja hari ini untuk
bertemu denganmu. Aku tahu, jika aku mampir ke rumahmu, detik kedua kau membuka
pintu untukku, aku yakin kau akan langsung menutup pintu itu di depan hidungku.”katanya
terkekeh. Aku jadi ikutan terkekeh, karena aku yakin kalau aku akan melakukan
hal tersebut jika memang benar ia mampir ke rumahku ketika aku sedang dirumah
hari ini.
“Aku senang bisa melihatmu tertawa seperti tadi,
karena melihatmu tertawa seperti tadi akan jarang aku temui lagi setelah hari
ini.”katanya. Tawa kecilku berhenti mendadak dan menatapnya dengan bingung. Dan
takut. Takut kalau ia akan pergi meninggalkanku untuk kesekian kalinya. Aku tak
apa untuk memulai dari nol lagi hubunganku dengannya, sungguh.
“Kenapa?”tanyaku dengan bingung.
Ia tersenyum. “Aku tahu, sebentar lagi kau akan
pindah. Aku tidak tahu bisa menyusulmu atau tidak, aku tidak tahu kapan kita
bisa bertemu lagi setelah hari ini, setelah kau pindah.”ujarnya, nadanya
terdengar letih. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari seharusnya. Ya
Tuhan. Rasanya lebih menyesakkan lagi ketika hal penting yang tadinya hilang
sudah kembali, lalu harus kehilangan sekali lagi.
“Aku mohon, ketika kau sudah jauh disana, sudah jauh
dari lingkupanku, tetaplah tertawa seperti itu. Aku ingin kau terus bahagia,
dengan atau tanpa aku. Hanya itu yang aku mau setelah kita memang sudah tidak
sama-sama lagi.”katanya sambil tersenyum lemah.
“Kau memutuskan untuk meninggalkanku sekali lagi?”sergahku
dengan tidak percaya.
“Tidak. Aku tidak meninggalkanmu. Aku akan selalu
disini. Jika Dewi Fortuna masih menjadi temanku nanti, aku akan menunggumu
pulang kesini.”candanya. Tapi, aku tidak menganggap hal itu lucu. Tidak sama
sekali.
“Aku tidak akan kembali kesini, hanya orang tuaku
yang akan datang main kesana. Ya mungkin, memang ada baiknya kau untuk memulai
hubungan yang baru.”ujarku dengan dingin. Ia menatapku dengan lekat-lekat.
“Baiklah, baiklah. Karena, aku tidak mau
kehilanganmu sekali lagi, aku mengakui kalau aku berbohong.”katanya sambil
mengangkat tangannya, tanda menyerah. Ia berdiri dari bangkunya, mengambil raincoat yang ia sampirkan disandaran
kursinya dan berjalan keluar. Aku menatapnya dengan bingung. Aku menenggak
setengah kopiku dan mengejarnya keluar kedai. Ia berjalan dengan santai diatas
trotoar dengan dua tangan yang berada di dalam saku raincoatnya.
Aku langsung menghadangnya. Menutupi jalannya dengan
dua tanganku yang terentang. “Apa maksudmu berbohong?!”tanyaku dengan tajam,
keningku berkerut dengan heran. Ia masih menatapku dengan santai dan sesekali
tertawa kecil.
Karena, badannya yang cukup tinggi dariku, tingginya
melampaui kepalaku sebenarnya, “Aku bohong kalau aku akan menunggumu disini.
Mana rela aku menunggumu disini.”ledeknya. Rahang bawahku langsung terbuka
dengan bebas.
“Iya, iya, aku akan ikut denganmu kesana. Aku tidak
akan pergi lagi untuk kesekian kalinya. Tapi, kau harus fokus dengan kuliahmu
juga ya disana. Deal?”katanya.
“SERIUS?!”pekikku sambil menutup mulutku dengan
kedua tanganku.
Ia mengangguk dengan santainya.
“Tapi kau juga janji ya tidak akan pergi lagi?!”ancamku.
Ia mengangguk dengan patuh, namun dengan senyum yang menyerupai seringaian
jahil khasnya.
“Mana tanda materainya?”tanyaku dengan santai. Ia mendekatiku
lalu meletakkan kedua tangannya di dua sisi pipiku. Menghadapkan wajahnya
dengan wajahku.
“Aku tidak akan –“ Ia mengecup keningku.
“ – pergi meninggalkan –“ Ia mencium pipi kiriku.
“ – dirimu lagi.“ Ia mencium pipi kananku.
“Aku akan –“ Ia mencium daguku.
“ – selalu ada –“ Ia mencium ujung hidungku.
“ – untukmu.” Ia mencium bibirku dengan hangat sebagai
perekat dari materainya.
Aku langsung menghamburkan tubuhku ke dalam
pelukannya yang langsung dibalas dengan pelukan erat darinya. Aku tidak peduli
dengan orang-orang disekitar yang lalu-lalang memperhatikan kami sambil
tersenyum. Dan ada beberapa yang bertepuk tangan kecil sambil lewat. Aku masih
tersenyum dengan bahagianya. Kesempatan itu akan selalu ada untuk mereka yang
benar-benar berhak untuk mendapatkannya lagi, begitu pula dengan kepercayaan.
Aku yakin, aku bisa melewati semua dengannya. Aku percaya
itu. Dengannya, semuanya terasa baik-baik saja dan terasa lengkap; kali ini aku
menyadari bahwa aku benar-benar membutuhkan payung untuk melindungiku. Ia akan
selalu menjadi payung nomor satuku, yang akan selalu ada untuk melindungiku.
Fin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar