A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Jumat, 11 April 2014

Payung


Sepertinya kali ini iklim dan cuaca sedang senang mengajak bercanda.
Sebentar-sebentar hujan, sebentarnya lagi panas terik.
“Maunya apa sih?!”gerutuku dengan sebal sambil melihat keluar jendela. Baru beberapa menit yang lalu, aku bersemangat untuk keluar dari rumah karena tadi, tolong ditekankan bagian kata ‘tadi’, cuacanya sangat mendukung untuk keluar rumah. Padahal aku hanya ke toilet tidak sampai 10 menit, tiba-tiba awannya merajuk dan mulai menggelap. Ya, bahkan awan saja sanggup membuat wajah setiap orang menggelap juga. Mungkin, ia tidak suka hanya ia seorang yang wajahnya menggelap akibat merajuk.
Tidak enak sudah membuat janji lalu membatalkannya tiba-tiba hanya karena sebentar lagi akan hujan. Maka, aku pun bergegas untuk mengejar bus sebelum tertinggal dan malah dikejar oleh hujan. Aku tidak apa-apa jika dikejar hujan, aku hanya tidak mau dikejar saat aku tengah janjian, tidak lucu datang dalam keadaan basah kuyup seperti kucing yang kecebur di selokan. Aku buru-buru mengenakan keds dan keluar dari rumah seraya mengunci pintu dan berjalan dengan cepat menuju halte bus terdekat.
Aku tidak pernah membawa payung. Lebih menyenangkan hujan-hujanan daripada memakai payung, maka dari itu aku jarang memakai tas, sekalipun memakai tas, aku memilih untuk memakai yang memiliki anti-air. Memakai payung seperti sedang menghindari sesuatu. Sayangnya, aku tidak pernah memakai payung untuk menghindar dari masa lalu. Aku selalu mencoba untuk menghadapi masa laluku sendiri, apapun isinya. Mungkin lucu rasanya jika kita memakai pelindung anti-masa-lalu. Seperti anak kecil yang menghindar dari badut, bahkan mungkin anak kecil yang lebih berani menghadapi badut, dibandingkan aku.
Aku menunggu bus yang kedatangannya bahkan mengalahkan buffering YouTube dengan kecepatan rendah, seraya mengetuk-ketukkan kakiku ke lantai halte dengan tidak sabaran. Aku hendak berdiri saat melihat bus yang aku tunggu tengah melaju dengan kecepatan sedang, lalu kembali duduk saat melihat isi bus tersebut sudah seperti isi kaleng ikan sarden. Mengerikan.
Aku memasang sepasang earphone di kedua telingaku untuk menghilangkan rasa jenuhku menunggu bus yang lama sekali datangnya. Semoga bus kali ini sesepi halte ini, yang isinya hanya aku seorang.
Aku malah sempat lupa bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Konyol.
Aku tidak menghitung sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya. Untuk apa lagipula. Mungkin, aku terlalu menikmati masa-masa sendiriku. Tapi, terkadang ada waktunya saat aku iri melihat yang lainnya. Namun, dalam sekejap, rasa itu akan hilang begitu saja. Hanya rasa iri yang seliwat. Mungkin, karena seiring waktu, aku mulai memiliki sistem kekebalan sendiri.
Sudahlah, tidak ada untungnya memikirkan yang lama. Tidak akan merubah keadaan sekalipun. Seperti kau membuka satu folder, kau akan menemukan folder lain di dalamnya dan seterusnya seperti itu. Kapan selesainya? Tidak akan selesai, jika bukan kau sendiri yang menyelesaikan dan memilih menu exit. Tapi, terkadang tidak semudah itu keluar dari masa lalu.
Akhirnya, bus yang sesuai aku mau, muncul di belokan dengan kecepatan normal dan memang terlihat seperti bus pada umumnya, tidak ramai, tidak juga sepi. Bus tersebut belum menepi pun, aku sudah berdiri menunggu di pinggir halte. Aku langsung mengambil tempat duduk dekat pintu keluar. Siapa tahu, tiba-tiba saja bus dalam keadaan ramai dan aku susah turun dan akibatnya aku tidak bisa turun di halte yang seharusnya. Ribet.
Lebih baik salah halte, daripada salah hati. Setidaknya salah halte tidak terlalu menyakitkan, tapi kalau salah hati itu baru menyakitkan dan hanya sia-sia saja jadinya. Sudah membuang waktu dengan percuma hanya untuk mencintai hal yang salah. Tapi, kita seringkali membodohi diri sendiri. Berpura-pura segalanya baik-baik saja, padahal sebenarnya tahu kalau ada yang tidak baik-baik saja.  Berusaha menutupi bau dari masalah tersebut. Lalu, saat sadar untuk mulai memperbaikinya, yang ada malah bertemu dengan keterlambatan. Kemudian apa? Penyesalan.
Banyak yang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan kehilangan; banyak yang membutuhkan waktu untuk tenggelam dalam kehilangan tersebut dan menjadi gila hanya perihal kehilangan yang sebenarnya masih bisa tergantikan; banyak pula yang membutuhkan waktu untuk mulai memindahkan rasa, kembali pada tempat semulanya. Tergantung bagaimana orang tersebut meladeni kehilangan itu.
Aku? Aku memilih belajar untuk merasakannya, namun tidak tenggelam, dan perlahan-lahan mulai memindahkan satu per satu dari kepingan perasaan sendiri kembali ke tempatnya. Ya, aku menggabungkan ketiga pilihan tersebut, siapa tahu berjalan dengan baik. Sejauh ini aku belum menemukan masalah dengan tiga pilihan yang aku gabungkan tersebut.
Aku melompat turun saat bus tersebut menepi di halte yang aku tuju dan langsung berjalan menuju tempat janjianku dengan teman-teman yang lainnya. Sebentar lagi, aku akan meninggalkan kota ini; sebentar lagi aku meninggalkan kenanganku disini. Biarlah kota ini yang menyimpan keseluruhan kenanganku dalam bentuk arsip-arsip.
Aku menatap teman-temanku dari kejauhan. Betapa aku akan merindukan kebersamaanku dengan mereka saat aku sudah tidak disini lagi. Ya, aku pasti akan merindukan mereka semua. Mereka melambai padaku yang aku balas dengan anggukan samar dan langsung bergabung dengan mereka. Melupakan sejenak segala kekusutan pikiran dan perasaan dan fokus pada mereka yang sebentar lagi akan berpisah.
Sebenarnya, waktuku masih cukup lama. Hanya saja, aku tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk bersantai. Banyak hal yang harus aku urus disana-sini. Belum lagi aku harus membereskan ruang hati yang masih berantakan, layaknya orang yang baru saja pindahan. Beberapa diantara mereka pun sudah ada yang memulai aktifitas dan meninggalkan masa hiatus mereka. Bahkan, sudah ada yang sebentar lagi akan meninggalkan kota ini lebih dahulu. Sehingga, masa untuk bertemu sesering saat ini dan kemarin-kemarin akan terasa langka nantinya. Jadi, kami memutuskan untuk memanfaatkan waktu kami. 

Perputaran waktu dalam rotasinya mulai susah untuk dikontrol. Ia berputar terlalu cepat di porosnya, hingga tiba-tiba sudah sampai pada tahap, “Keep in touch, darl.”ujar yang lainnya padaku dan pada teman-temanku yang lain yang akan lebih dahulu pindah dari kota ini. Aku bisa melihat, beberapa dari mereka menahan air matanya dengan tertawa miris dan suara yang parau. Aku hanya bisa tersenyum tipis saat kami satu per satu saling berpelukan, lalu mengucapkan selamat jalan dan sampai jumpa. Padahal aku baru satu tahun bersama mereka yang sudah hampir 3 tahun bersama, tapi aku merasa sudah seperti tinggal dengan sebuah keluarga.
Segalanya tidak ada yang mudah untuk dilalui, namun waktu akan memberikan pelajarannya sendiri, dia akan mengajarkannya dengan caranya sendiri, dengan atau tanpa kita sadari. Aku berdiri di depan kaca kedai tempat kami biasa berkumpul, dan tempat kami berpisah untuk terakhir kalinya pula. Rintik-rintik sudah mulai turun. Aku bukannya tidak mau menerobos rintik-rintik, aku hanya belum mau pulang.
Hidupku hanya berputar dalam satu rotasi, sejauh yang aku sadari. Jatuh cinta, mencintai, dicintai, melepaskan, melupakan, dan mengenang. Aku tidak tahu, aku masih di kota yang sama atau tidak dengannya. Jika, aku memang masih satu kota dengannya, aku ingin bertemu dengannya untuk terakhir kali. Untuk mengucapkan selamat tinggal.
Tapi, aku biarkan waktu yang berikan jawaban. Aku tidak akan menunggu. Jika memang ada jawabannya, maka aku akan siap dengan jawaban yang diberikan. Jika tidak pun, aku tidak apa-apa. Aku menengadahkan telapak tanganku ke atas. Menadah rintik-rintik yang jatuh dan menggenang di telapak tanganku.
Aku menghela nafas dan masuk ke dalam rintik-rintik hujan. Ponselku dan uangku sudah aku bungkus dalam satu tempat yang terbuat dari plastik. Jadi aku santai-santai saja. Aku tahu, orang-orang yang aku lewati dan melewatiku pasti heran, tapi aku sudah terbiasa dengan pandangan heran mereka. Setiap kali bersitatap denganku, aku akan melontarkan senyum lebar, menyerupai cengiran pada mereka yang akan langsung buang muka.
Banyak anak-anak kecil yang menawarkan ojeg payung, tapi aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala singkat dan melanjutkan langkahku. Dulu, jika ia tahu aku akan keluar saat cuaca yang akan hujan, ia pasti akan menanyakan aku dimana dan tanpa aku minta, ia akan menjemputku. Beserta payung juga. Saat berada dibawah payung yang sama dengannya, tangannya yang satu lagi akan menggenggam tanganku, supaya aku tidak bandel dan keluar dari dalam lindungan payungnya. Jika aku memaksa, ia akan menggeram padaku dari sela-sela giginya dan aku tahu, aku tidak bisa mengelak. Rasanya saat itu, seperti aku benar-benar dijaga dalam lingkupannya dan tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Karena, bagiku selama aku bersamanya semuanya akan terasa baik-baik saja.
Ah, dulu. Kata ‘dulu’ itu selalu mengandung banyak cerita. Seperti kata ‘dulu’-lah yang menyimpan kenangan setiap orang.
Aku berjalan santai dalam rintik-rintik hujan yang mulai membasahi tanah yang kering. Aku selalu menanti saat-saat ketika hujan salju mulai berjatuhan dan menyentuh tanah dengan perlahan-lahan dan disertai hembusan angin yang sanggup untuk membekukan tangan dan membuat lidah menjadi kelu karena dinginnya, yang terjadi hanya di akhir tahun saja.
Aku berdiri bersama dengan penyebrang lainnya di dekat lampu merah. Menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Berdiam di antara lautan orang-orang berpayung dengan berbagai warna dan mulai mengikuti arus ketika arus tersebut mulai bergerak perlahan saat lampu merah itu berubah menjadi hijau.
Aku berjalan sambil meresapi rintik-rintik hujan yang perlahan-lahan menyentuh kulitku yang meskipun tertutupi oleh jaket, tapi air tersebut masih bisa meresap dan menembusnya dengan sempurna, dan kering dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hebat ya? Rasa ini dengan mudah meresap, tapi sayangnya, untuk bisa kembali seperti sedia kala, membutuhkan waktu yang cukup lama. Rasanya melelahkan.
Masih bisa aku rasakan titik-titik air yang meresap ke kulitku hingga tiba-tiba aku merasa titik-titik air tersebut berhenti meresap melewati jaketku. “Kalau sedang jalan, perhatikan jalan di depanmu. Jangan menunduk terus. Kalau menabrak orang lain bagaimana?” Aku langsung mendongak dengan postur tubuh yang menegang.
Aku menoleh ke kiriku dan kedua mataku dengan suksesnya, terbelalak dengan lebar dan tanpa tahu sopan santun, mulutku langsung menganga saking terkejutnya. Aku langsung menyadarkan diriku sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalaku berusaha supaya bayangannya lenyap dari pandanganku. Sudah beberapa kali aku menggelengkan kepalaku, tapi bayangannya masih saja menghantui pupil mataku.
Ketika tersadar bahwa aku tidak sedang bermimpi, aku sudah berada diseberang jalan dengannya yang mengkerutkan keningnya dengan heran. “Kau ini kenapa? Seperti melihat hantu saja.”serunya.
Aku masih diam.
Tunggu, aku diam bukan karena tidak ingin menjawabnya, tapi diriku masih diliputi oleh keterkejutan. Memang benar ya kata orang, hal yang sebenarnya terlihat tidak mungkin terjadi, bisa saja suatu saat bisa terjadi. Sebelumnya aku tidak percaya, tapi setelah aku mengalaminya saat ini, aku percaya.
Tiba-tiba aku menjadi orang gagu. Aku menatapnya dengan dua kelopak mata yang melebar saking terkejutnya. Tapi, aku buru-buru menutupinya dengan mendengus. “Kenapa kau senang sekali seperti ini?”tegurnya, diselipi decakan bingung. Aku memilih diam. “Ayolah, ucapkan beberapa kalimat saja. Jangan diam seperti ini. Seperti berjalan dengan patung.”
Aku menghela nafas dengan kasar. “Sedang apa kau disini?” Pada akhirnya, aku bertanya juga.
Ia terkekeh pelan. Aku bisa merasakannya lewat lengannya yang bergetar. “Ya, aku pikir sudah saatnya aku kembali.”jawabnya dengan santai. Aku kembali tidak bersuara. Aku tertawa dalam hati. Tawa miris. Kembali disaat aku akan pergi. Pilihan waktu yang sangat-teramat tepat. Pintar sekali.
“Aku pulang lebih dahulu.”ujarku sambil keluar dari jangkauan payung dan lengannya. Yep, jalan cepat. Di belakang punggungku tidak terdengar suara yang memanggil namaku, aku semakin memacu langkahku. Baguslah. Jadi, selama dia pergi ke dunia antah berantahnya itu, sepertinya dia semedi untuk melupakanku, melupakan namaku, dan mungkin lebih mirisnya lagi, melupakan kenangan kami. Rasanya aneh menyebutkan kata terakhir itu.
Omonganku ini sudah seperti orang yang cukup lama tidak mengingat-ngingatnya lagi. Padahal diam-diam masih sering mengenangnya lagi. Sstt, ini rahasia kita saja. Dia tidak perlu tahu. Kalau dia sampai tahu, aku tidak tahu akan sebesar apa kepalanya itu. Dia itu mudah sekali untuk besar kepala dan rasa percaya dirinya itu sudah sangat overload. Heran.
Aku sendiri bingung dia itu semedi dimana. Tiba-tiba menghilang dan tiba-tiba muncul. Aku memang sengaja tidak mencari tahu keberadaannya. Padahal sebenarnya aku mati-matian menahan rasa ingin tahu ini. ‘Toh dia juga tidak akan peduli lagi. Tapi, kenapa dia harus muncul disaat-saat seperti ini saat aku sudah akan beranjak keluar dari sini? Sudah direncanakan dari jauh-jauh hari kah? Konyol sekali orang itu.
Tapi, tetap saja. Biar bagaimanapun, dia orang yang sempat bersamaku disaat susah dan senang juga. Memang tidak seharusnya aku membencinya. Ah, aku bukan membencinya, aku hanya masih.....mencintainya. Mungkin? Sepertinya. Aku tidak berani untuk memperkirakannya. Ah, sejak kapan cinta bisa di kira-kira? Ngawur.
Aku mulai memperlambat jalanku ketika merasa sudah tidak akan diganggu olehnya lagi. Perlahan-lahan hujan juga mulai menyisakan rintik-rintik kecil. Rintik-rintik yang bisa membuat orang pusing, katanya. Tapi, tidak se-memusingkan perihalnya di otakku. Bahkan rintik-rintik tipis nan kecil ini tidak sanggup untuk menghapus bayang-bayangnya.
Aku memperlambat jalanku dan beberapa kali menghindari kubangan dengan riak-riak kecil akibat rintik-rintik hujan yang jatuh perlahan-lahan diatas kubangan tersebut. menghindari kubangan lebih mudah bukan daripada menghindari kenangan lama yang tiba-tiba menghantuimu? Aku mendesah dengan sebal. “Kenapa dia harus tiba-tiba muncul disaat seperti ini?”gerutuku sambil mengerutkan kening.
“Maksudmu, aku?”tanyanya dengan wajah yang bingung saat aku tolehkan kepalaku. Rahangku hampir jatuh melihatnya yang tiba-tiba berada disampingku, oke ini terlalu berlebihan. Tapi, sungguh. Tidak mungkin aku tidak terkejut melihat dia yang sudah aku tinggalkan cukup jauh di belakang sana, dan tiba-tiba berada disini, di-sam-ping-ku.
“Kau bertapa untuk mencari ilmu hitam?”tuduhku.
Ia terdiam sejenak, kaget. Itu yang aku lihat dari ekspresi di wajahnya. Lalu, detik berikutnya ia tertawa. Terbahak-bahak. “Kau ini gila? Kata siapa aku bertapa? Mencari ilmu hitam? Aduh, ada apa dengan otakmu ini.”gerutunya disela-sela tawanya yang tidak kunjung berhenti. Aku cemberut dengan sebal dikatain seperti itu olehnya yang sudah menghilang dan muncul tiba-tiba, persis seperti hantu jika begini terus.
“Tidak ada apa-apa dengan otakku. Kau ini berlebihan.”gerutuku sambil melangkah dengan cepat, berusaha meninggalkannya saat itu juga. Dan, ternyata ia bisa menyamai langkahku! Aku langsung berhenti mendadak. “Kau ini sedang apa?!”tanyaku tiba-tiba. Ia terkejut karena aku berhenti mendadak.
“Aku sedang berjalan disampingmu dan tiba-tiba kau berhenti mendadak.”jawabnya dengan polos. Hah, tepatnya sok naif. Aku mengerutkan keningku dengan sebal karena masih tidak bisa mengerti jalan pikirannya saat ini.
“Bukan itu maksudku. Maksudku, untuk apa kau mengikutiku? Aku mau pulang.”gerutuku.
“Ya aku mau mengantarmu pulang. Apakah itu salah? Bukankah dulu –“
Aku mengangkat tanganku ke depan wajahnya, menghentikan kalimat selanjutnya yang sudah bisa aku tebak kelanjutannya. “Tolong ya, itu dulu. Bukan saat ini. Jadi, tolong dibedakan.”gerutuku dengan sebal. Ia menghela nafas sebentar dan tersenyum. “Baiklah, maaf kalau begitu. Ayo lanjutkan lagi perjalanan pulangnya. Sebelum hujannya tambah deras.”ujarnya.
“Tidak. Aku  pulang sendiri. Kau pulanglah.”ujarku dengan tegas.
“Tidak baik seorang gadis pulang sendirian.”
For God’s sake, ini masih terang. Lampu jalan saja belum menyala. Aku masih bisa pulang sendiri.”ujarku dengan gusar.
“Ayolah, berhenti untuk keras kepala.”ujarnya sambil tersenyum dan mulai mengambil langkah lebih dahulu. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dengan kesal. Sebenarnya saat ini yang keras kepala itu siapa, gerutuku dalam hati. Tapi, kakiku tetap saja melangkah dibelakangnya. Terkadang, otak memang susah untuk disinkronkan dengan hal-hal yang lainnya.
“Kalau kau terus berjalan di belakangku, bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak diculik oleh orang?”katanya sambil memutar badan ke belakang, membuatku terkejut.
“Aku masih bisa menjaga diriku sendiri.”jawabku tanpa berhenti dan terus berjalan, melewatinya. “Baiklah terserah kau saja.”jawabnya dengan santai dan mengikuti langkahku di belakang.
Kami berjalan dalam diam. Sebenarnya, aku yang sengaja mendiamkannya. Karena aku tidak ada niat sama sekali untuk membuka obrolan, sedangkan dia, dia berusaha untuk membuka obrolan namun hanya aku jawab seperlunya saja. Ia hanya menghela nafas dan menghembuskan nafas setiap kali ia ingin membuka obrolan namun diurungkan kembali, karena akhirnya ia sadar bahwa aku tidak ada niatan sama sekali untuk mengobrol dengannya. Baguslah kalau akhirnya dia sadar.
Langkahku mulai memasuki area keramaian. Aku menengok jam tangan yang aku pakai di tangan kiriku dan mendesah sebal. Pantas saja sudah mulai ramai, ini kan jam pulang kantor. Ditambah lagi cuacanya masih hujan seperti ini, sudah pasti mereka semua berbondong-bondong itu cepat sampai di tempat tujuan sebelum dihadang hujan.
Di udara yang dingin ini, tiba-tiba aku merasakan kehangatan yang lain yang menjalar masuk ke dalam kulit membuatku sedikit berjengit karena terkejut. Aku menengok ke sampingku dan mendapatinya sedang menggenggam tanganku yang diselipkan di dalam saku raincoatnya yang tebal dan berwarna hitam. Wajahnya terlihat serius menatap khalayak ramai di depan matanya, berbanding terbalik denganku yang menatapnya dengan melongo. Seseorang mungkin bisa membantuku untuk menadahkan kedua bola mataku supaya tidak jatuh sampai ke lantai, karena saat ini kedua bola mataku sudah siap untuk melompat dari rongganya. Oh, pardon my language.
Berani-beraninya dia! Ketika aku membuka mulut untuk memulai pertengkaran dengannya, ia memotong lebih dahulu udara yang tengah aku hirup, “Sstt. Kali ini berkompromilah denganku, sekali saja. Ini di tengah keramaian. Aku tidak mau kau kehilangan arah pulang. Hanya itu saja. Dan udaranya sudah mulai menusuk-nusuk. Aku juga tidak mau kau masuk angin.”katanya sambil berhenti sebentar. “Karena, aku tahu kau tidak suka di dalam payung, jadi baiklah payung ini tidak akan aku pakai. Ayo kita jalan seperti tidak sedang hujan.” Aku semakin melongo. Kapan dia menutup payungnya saja aku tidak tahu. “Seperti dulu.”gumamnya, namun masih tertangkap oleh telingaku.
Aku tidak menjawab semua kalimat yang ia ucapkan, hanya mengikuti langkahnya dengan satu tanganku yang berada di dalam raincoat tebal itu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menggenggam tangan yang selalu hangat ini. Tangan yang kehangatannya tidak pernah terusik oleh cuaca yang dingin menusuk seperti ini. Kehangatan yang pernah tinggal untukku yang kini sudah menguap dan digantikan oleh rasa dingin.
Diam-diam aku menikmati setiap detiknya ketika tanganku berada dalam genggamannya. Kembali aku rasakan bahwa semuanya akan terasa baik-baik saja ketika aku berada dalam genggamannya. Konyol bukan sih? Ah entahlah. Untuk saat ini aku tidak mau peduli dulu. Apalagi, setelah aku sampai di rumah aku sudah harus mengucapkan selamat tinggal padanya. The really goodbye to him.
“Minum kopi dulu gimana? Aku rasa aku butuh kopi.”tawarku dengan nada yang sedikit dibuat cuek. Aku bisa merasakan bahwa ia menghembuskan nafas panjang. Dalam hati, aku tersenyum. So, I lose now. I should admit that I really really miss him. Eventually, I also admit that I missing him for a long time that I can not count it. If I count how long he went, it gives me more pain inside.
“Baiklah. Ayo. Semoga setiap kedai kopi tidak terlalu ramai. Setidaknya, kita tidak perlu untuk standing party dengan gelas kopi di tangan. Itu tidak lucu sebenarnya, meskipun anti mainstream.”celotehnya. Mendadak aku merasa kedua pipiku menghangat ketika mendengar ia mengucapkan kata ‘kita’ untuk menyebutkan aku dan dia. Oh holy mother, it is not good. I am sure. Semoga ia tidak menyadari kalau pipiku mungkin saja sedang bersemu saat ini.
“Ya, semoga saja.”jawabku, masih berusaha mengatur nadaku agar masih terkesan cuek. Padahal aku menahan degup jantungku yang berdebar-debar supaya tidak terdengar olehnya mati-matian, yang sebenarnya tidak mungkin bisa ia dengar.
Kami berhenti di lampu merah penyebrangan. Tanganku masih berada dalam genggamannya, di dalam saku raincoat. Aku tidak ingin kehilangan momen ini, seriusan. Tapi, detik berikutnya setelah aku merasa seperti itu, aku merasa kecewa karena tanganku kehilangan rasa hangatnya, karena kali ini tanganku tergantung dengan bebas disisi tubuhku karena ia melepaskan genggamannya. Ya, kau harus tahu, rasanya seperti kehilangan barang yang benar-benar kau sayangi dan setelah dijaga mati-matian barang itu dengan mudahnya menghilang.
Oh shit. Aku menahan nafas ketika tangan yang tadinya mengenggam tanganku itu berpindah ke pundakku dan ia merapatkan tubuhku dengannya. “Maaf, aku harus seperti ini karena aku tidak mau kau terbawa arus orang yang menyeberang. Kecuali kau lebih ingin terbawa arus yang menyeberang.”bisiknya ditengah keramaian. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala beberapa kali. Semoga ia mengerti maksudku. Oh ternyata, karena ini makanya dilepas gandengannya. Aku menertawakan kebodohanku sendiri, tapi di dalam hati.
Ia benar-benar melindungiku bahkan ketika menyeberang dan harus melawan arus orang yang menyeberang dari arah yang berlawanan. Ternyata kedai kopi yang kami tuju tidak terlalu jauh dari tempat kami menyeberang tadi. Ia mendorong pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk lebih dulu. Aku memilih tempat duduk di luar ruangan dan ia yang pergi memesan kopi. Semoga saja dia masih ingat kopi favoritku.
“Satu cappuccino dengan 3 gula merah, dan satu vanilla latte dengan 3 gula merah. Aku masih ingat dengan baik kopi kesukaanmu.”ujarnya sambil meletakkan gelas kopi cappuccino panas di hadapanku dan beserta bungkus-bungkus gula merah di samping gelasku. Aku tersenyum kecil seraya mengucapkan, “Terima kasih.” Dan menyobek semua bungkusan gula merah dan menuangkannya ke dalam cangkir kopiku.
“Jadi, apakah selama ini kau baik-baik saja?”tanyanya sambil meletakkan gelas kopi yang barusan ia sesap isinya dengan hati-hati.
Aku mendongak dari acara mengaduk-aduk gula. “Hhmm? Oh, iya. Aku baik-baik saja. Buktinya aku ada dihadapanmu saat ini tanpa kurang satu pun kan?”jawabku dengan cueknya dan kembali mengaduk-aduk kopiku. Aku berusaha untuk tidak bertanya balik.
“Maaf kalau selama ini aku menghilang. Aku tahu ini terdengar tidak penting untukmu, ditambah lagi dengan kita yang hanya berstatus sebagai teman, setidaknya aku menganggapnya seperti sampai saat ini, setelah aku memilih untuk udahan. Tapi, selama aku tidak ada sekitarmu, aku pergi menemani Ibu berobat di luar negeri untuk mengobati kanker rahimnya.”katanya menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk kecil masih dengan mengaduk-aduk isi cangkir kopiku dan sesekali meniupnya. Pantas saja waktu itu Ibu pernah kelihatan panik pas terima telepon.
“Kau tidak mau meminta penjelasan apa-apa dariku?”tanyanya, terdengar putus asa.
Aku mendongak dan menatapnya. “Untuk apa? Kau sudah memilih untuk berhenti, meskipun aku masih ingin bersamamu juga tidak akan mengubah keputusanmu kan? Aku terlalu mengenalmu untuk meminta untuk tetap disampingku. Karena, aku paham, sekalinya kau membuat keputusan, hanya kau yang bisa merubahnya. Jadi, lebih baik aku menurut saja.”jawabku dengan tak acuh dan melemparkan pandanganku ke jalanan.
“Baiklah. Aku tahu aku salah, aku tidak memberikanmu penjelasan yang jelas. Sebenarnya ini sepele.” Ia terkekeh sebentar, lalu melanjutkan, “Aku tahu, aku akan menemani Ibuku cukup lama di luar negeri, dan aku tidak bisa untuk berhubungan jarak jauh denganmu. Dan aku juga tahu prinsipmu yang tidak bisa berhubungan jarak jauh. Jadi, karena aku tidak mau mengekangmu dalam hubungan jarak jauh yang kau sendiri tidak setujui itu, aku memilih satu-satunya jalan yang menurutku, ya mau gimana lagi. Aku memberikanmu jalan untuk bisa memulai hubungan yang baru dengan orang lain, dengan begitu kau akan melupakanku, kan?”ceritanya panjang lebar. Aku menopang daguku dengan tanganku diatas meja, mendengarkan ia menjelaskan.
“Aku hanya mencoba peruntungan saja hari ini untuk bertemu denganmu. Aku tahu, jika aku mampir ke rumahmu, detik kedua kau membuka pintu untukku, aku yakin kau akan langsung menutup pintu itu di depan hidungku.”katanya terkekeh. Aku jadi ikutan terkekeh, karena aku yakin kalau aku akan melakukan hal tersebut jika memang benar ia mampir ke rumahku ketika aku sedang dirumah hari ini.
“Aku senang bisa melihatmu tertawa seperti tadi, karena melihatmu tertawa seperti tadi akan jarang aku temui lagi setelah hari ini.”katanya. Tawa kecilku berhenti mendadak dan menatapnya dengan bingung. Dan takut. Takut kalau ia akan pergi meninggalkanku untuk kesekian kalinya. Aku tak apa untuk memulai dari nol lagi hubunganku dengannya, sungguh.
“Kenapa?”tanyaku dengan bingung.
Ia tersenyum. “Aku tahu, sebentar lagi kau akan pindah. Aku tidak tahu bisa menyusulmu atau tidak, aku tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi setelah hari ini, setelah kau pindah.”ujarnya, nadanya terdengar letih. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari seharusnya. Ya Tuhan. Rasanya lebih menyesakkan lagi ketika hal penting yang tadinya hilang sudah kembali, lalu harus kehilangan sekali lagi.
“Aku mohon, ketika kau sudah jauh disana, sudah jauh dari lingkupanku, tetaplah tertawa seperti itu. Aku ingin kau terus bahagia, dengan atau tanpa aku. Hanya itu yang aku mau setelah kita memang sudah tidak sama-sama lagi.”katanya sambil tersenyum lemah.
“Kau memutuskan untuk meninggalkanku sekali lagi?”sergahku dengan tidak percaya.
“Tidak. Aku tidak meninggalkanmu. Aku akan selalu disini. Jika Dewi Fortuna masih menjadi temanku nanti, aku akan menunggumu pulang kesini.”candanya. Tapi, aku tidak menganggap hal itu lucu. Tidak sama sekali.
“Aku tidak akan kembali kesini, hanya orang tuaku yang akan datang main kesana. Ya mungkin, memang ada baiknya kau untuk memulai hubungan yang baru.”ujarku dengan dingin. Ia menatapku dengan lekat-lekat.
“Baiklah, baiklah. Karena, aku tidak mau kehilanganmu sekali lagi, aku mengakui kalau aku berbohong.”katanya sambil mengangkat tangannya, tanda menyerah. Ia berdiri dari bangkunya, mengambil raincoat yang ia sampirkan disandaran kursinya dan berjalan keluar. Aku menatapnya dengan bingung. Aku menenggak setengah kopiku dan mengejarnya keluar kedai. Ia berjalan dengan santai diatas trotoar dengan dua tangan yang berada di dalam saku raincoatnya.
Aku langsung menghadangnya. Menutupi jalannya dengan dua tanganku yang terentang. “Apa maksudmu berbohong?!”tanyaku dengan tajam, keningku berkerut dengan heran. Ia masih menatapku dengan santai dan sesekali tertawa kecil.
Karena, badannya yang cukup tinggi dariku, tingginya melampaui kepalaku sebenarnya, “Aku bohong kalau aku akan menunggumu disini. Mana rela aku menunggumu disini.”ledeknya. Rahang bawahku langsung terbuka dengan bebas.
“Iya, iya, aku akan ikut denganmu kesana. Aku tidak akan pergi lagi untuk kesekian kalinya. Tapi, kau harus fokus dengan kuliahmu juga ya disana. Deal?”katanya.
“SERIUS?!”pekikku sambil menutup mulutku dengan kedua tanganku.
Ia mengangguk dengan santainya.
“Tapi kau juga janji ya tidak akan pergi lagi?!”ancamku. Ia mengangguk dengan patuh, namun dengan senyum yang menyerupai seringaian jahil khasnya.
“Mana tanda materainya?”tanyaku dengan santai. Ia mendekatiku lalu meletakkan kedua tangannya di dua sisi pipiku. Menghadapkan wajahnya dengan wajahku.
“Aku tidak akan –“ Ia mengecup keningku.
“ – pergi meninggalkan –“ Ia mencium pipi kiriku.
“ – dirimu lagi.“ Ia mencium pipi kananku.
“Aku akan –“ Ia mencium daguku.
“ – selalu ada –“ Ia mencium ujung hidungku.
“ – untukmu.” Ia mencium bibirku dengan hangat sebagai perekat dari materainya.
Aku langsung menghamburkan tubuhku ke dalam pelukannya yang langsung dibalas dengan pelukan erat darinya. Aku tidak peduli dengan orang-orang disekitar yang lalu-lalang memperhatikan kami sambil tersenyum. Dan ada beberapa yang bertepuk tangan kecil sambil lewat. Aku masih tersenyum dengan bahagianya. Kesempatan itu akan selalu ada untuk mereka yang benar-benar berhak untuk mendapatkannya lagi, begitu pula dengan kepercayaan.
Aku yakin, aku bisa melewati semua dengannya. Aku percaya itu. Dengannya, semuanya terasa baik-baik saja dan terasa lengkap; kali ini aku menyadari bahwa aku benar-benar membutuhkan payung untuk melindungiku. Ia akan selalu menjadi payung nomor satuku, yang akan selalu ada untuk melindungiku.

Fin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar