A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Kamis, 29 Agustus 2013

Satu Definisi


Setiap orang bukannya berhak untuk bahagia? Hanya saja, setiap orang memiliki bahagia yang berbeda. Tapi, jangan kau pikir bahagia setiap orang memiliki artian yang berbeda. Artian bahagia itu hingga saat ini, masih tetaplah sama. Perasaan ketika kau merasakan perasaan senang. Dengan kau merasa senang karena hal sekecil apapun, kecuali hal yang negatif tentunya, kau sudah bisa menyebutnya bagian dari definisi bahagia.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya dengan mendapatkan balon, ada.
Orang yang sanggup bahagia hanya dengan bisa bersitatap dengan seorang yang dicintai meski hanya sebentar, ada. Pada umumnya, rasa bahagia seperti itu sanggup didefinisikan oleh kaum perempuan. Euforia setelah bersitatap selalu terasa masih kental biar sudah lewat beberapa waktu.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya dengan mendapatkan cokelat, ada.
Banyak hal yang sanggup membuat setiap orang bahagia dengan mudahnya.
Aku? Dengan bisa bersamanya saja sudah cukup, meski hanya dalam rentang waktu yang kecil; melihatnya tersenyum meski hanya dari jarak yang sanggup dilewati beberapa burung yang sedang terbang juga sudah termasuk bahagia bagiku.
Pada intinya, bahagiaku hanya bertumpu disatu titik. Dirinya.
Ada orang yang bahkan sanggup untuk mempertahankan kebahagiannya meski tahu hanya sia-sia, namun sejauh ini masih bertahan. Aku.
Kau tidak bingung membayangkan bagaimana aku bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama demi mempertahankan kebahagianku. Aku bertahan, karena aku bersungguh-sungguh. Karena aku tahu, titik tumpu bahagiaku masih padanya, dan hingga kini masih belum pindah pelabuhan.
Aku tidak tahu, akan sampai kapan aku bertumpu pada satu titik ini. Bukannya, aku tidak tahu, aku hanya tidak berani untuk memprediksikannya. Akan ada waktunya, saat ada sebuah celah dimana tumpu-bahagia-ku akan bertumpu pada titik yang lain. Dan, ya, meski sudah kupersiapkan sejak dini, tetap saja saat terjadi, aku ditertawakan oleh kenyataan.
Konyol. Padahal, aku sudah tahu, tidak ada yang siap dengan perpisahan dalam bentuk apapun itu. Kalau begitu, jika memang tidak ingin berpisah, tidak usah bertemu, iya kan? Tapi, namanya manusia. Selalu ada waktunya untuk bertemu, dan ya, waktu untuk berpisah juga.
Aku memainkan lensa kameraku. Membidik sasaran apa saja yang aku lihat di depan mataku dari ketinggian gedung.
“Lebih baik tidak usah bermain dengan lensa dulu, kalau sedang tidak fokus dan malah merusak hasilnya.”ucapnya. Aku turunkan kamera yang menutupi setengah wajahku sambil mendengus.
“Kau ini.” Hanya itu yang terucap. Karena, aku memang tidak bisa mengelak. Meski aku mengelak, dirinya tetap akan tahu.
“Aku lagi tersedia buat dengerin cerita perempuan yang penuh dramatisir, kok.”candanya. Aku mendelik kearahnya yang langsung tertawa.
Aku menggeleng sambil membersihkan kameraku. “Tidak ada yang perlu diceritakan. Kau ini terlalu berlebihan kalau jadi perasa.”ledekku. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok dan menatapku penuh selidik. Aku mengangkat kameraku dan membidik apapun itu.
“Kau yakin?”tanyanya penuh selidik.
Oh c’mon. I’m fine. Kau ini terlalu berlebihan.”desahku dengan sebal. Tidak berselang lama, rambutku berantakan karenanya. “YA!”teriakku dengan sebal. Dia hanya tertawa melihatku merapikan rambutku sambil menggerutu.
“Kau tahu,”
“Tidak.”
“ – kau ini salah satu temanku yang tidak pernah menceritakan apapun yang ada di otak dan hatimu. Selalu saja, aku yang bercerita.”sambungnya, tanpa mengindahkan ejekanku. Aku menarik nafas, yang sedari tadi aku tahan. Jika aku sedari tadi bernafas dengan lancar, yang terhirup olehku bukanlah udara, tapi wangi tubuhnya yang menguar ditiup angin.
“Jadi, karena hanya itu kau tidak mau berteman denganku lagi?”hinaku. Maksudku hanya bercanda. Tapi, ia menanggapinya dengan serius.
Ia menatapku dengan lekat, membuatku jengah.
Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Hanya berusaha untuk meredakan kejengahanku saja. “Ya! Kau ini jangan menatapku seperti akan menerkamku habis-habisan!”seruku sambil mengambil beberapa langkah mundur. Ia berdecak sebal karena aku malah menganggapnya sedang bercanda.
“Dengarkan aku dan jawab pertanyaanku dengan jujur.”ucapnya dengan sangat pelan dan serius. Bulu romaku tiba-tiba meremang mendengarnya berbicara seperti itu. “Kau ini menyeramkan.”ucapku disela-sela ia menarik nafas.
“Sstt. Hanya jawab dengan jujur saja.”
“Ya sudah, cepat tanyakan! Kau ini sanggup membuat badan kucing berjinjit dengan cepat.”gerutuku.
Ia terdiam lama, sambil menarik nafas ia bertanya, “Kau masih normal, kan?”tanyanya dengan wajah......astaga aku menahan tawa terbahak-bahakku, yang memelas.
“ASTAGA!” Aku tidak bisa menahan tawaku ketika mendengar pertanyaannya. Selang sedetik, ia cemberut. “Otakmu itu sudah tua sepertinya, ya. Tentu saja aku masih normal. Aku masih menyukai dan akan selalu menyukai yang berjenis kelamin laki-laki. Tidak seperti kau, kanan-kiri, oke.”ledekku. Wajahnya semakin ditekuk. Ketika aku menertawakannya lagi, wajahnya langsung sembilan tekuk.
Terkadang, hanya dengan seperti ini dengannya sudah termasuk dalam pengertian bahagiaku. Kadang-kadang, kami akan sibuk dengan lensa masing-masing, tapi kami tidak benar-benar saling diam. Aku bingung menjelaskannya.
Kami saling mengenal belum dalam hitungan waktu yang cukup lama, padahal. Tapi, kami berteman sudah seperti teman lama. Dia sanggup memberikan aku rasa nyaman. Meski seharusnya aku tahu, ia sudah bertuan, tidak seharusnya rasa nyaman ini berkembang biak menjadi hal yang dilarang.
Tapi, ya itulah mengapa aku menyebutnya titik-tumpu-bahagiaku.


Walaupun waktunya lebih banyak dengan wanitanya, ia masih berusaha untuk menyempatkan waktu untukku. Terkadang, aku sebal sendiri jika wanitanya sudah mulai memanipulasi dirinya. Tapi, aku juga tau diri, kalau aku sebenarnya tidak ada hak. Karena, toh aku hanya berstatus sebagai temannya. Bahkan, kalau bisa disebut, aku seperti masuk dalam lingkaran hidup mereka tiba-tiba. Jadi, aku harus belajar bersyukur perihal itu.
Aku menyusuri kembali jalan cerita, dari awal aku bertemu dengannya.
Sebenarnya, aku tidak ada niatan untuk seperti ini dengannya. Awalnya aku hanya mau berbincang dengannya tentang beberapa hal, namun lama kelamaan menjadi lebih sering berbincang. Namanya juga takdir. Tidak ada yang tahu sama sekali akan dibawa menuju kemana jalan cerita mereka sendiri.
Aku tengah membersihkan lensa kameraku sebelum disimpan dengan apik di dalam tas khususnya, ketika tiba-tiba ia duduk di hadapanku sambil memberikan cengiran lebarnya yang menampilkan gigi-giginya yang tersusun dengan rapih. Aku mendongak dengan tak acuh sambil terus membersihkan lensa kameraku.
Ia mendesis sebal.
Aku mendongak lagi. “Apa?”tanyaku sambil menatapnya dengan kening yang berkerut. Ia kembali memamerkan gigi-gigi putih bersihnya ke arahku. “Kalau kau hanya ingin memamerkan gigi-gigi yang habis kau cuci bersih di dokter, lebih baik kau lupakan rencanamu itu. Karena, aku buru-buru dan tidak ada waktu untuk melihat ada yang kurang bersih atau benar-benar bersih.”gerutuku sambil melanjutkan acaraku menyimpan kameraku ke dalam tasnya dan bangkit berdiri dari bangku tembok yang aku duduki sejak tadi membidik sasaran-sasaran-tidak-jelasku, di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari lokasi rumahku dan rumahnya yang berjarak beberapa meter.
Aku bisa mendengarnya terkekeh pelan di belakangku, namun aku tetap melanjutkan langkahku sambil menggelengkan kepalaku karena hanya menganggapnya bercanda.
“Aku cuma mau minta tolong, jadi fotografer untuk foto pre wedding aku. Bisa, kan?”
Aku yang tengah melangkah, tiba-tiba terdiam di tempat. Membeku di tempatku berdiri. Tanpa perlu menoleh, aku tau bahwa ia tengah berjalan ke arahku. Tidak lama kemudian, ia sudah berdiri di hadapanku dengan wajah yang memohon. Aku bingung mau menolak dengan halus dengan cara seperti apa, karena aku tidak mungkin bisa menolak permintaannya.
Jika aku sebuah gedung, sebentar lagi aku akan runtuh. Ya, dapat aku pastikan.
Aku hanya mengangkat sudut-sudut bibirku, berharap itu menyerupai sebuah senyuman yang biasa aku tunjukan padanya.
“Aku pikirkan dulu ya.”kataku berdiplomatis. Ia langsung memberengut tidak suka.
Desisan sebal langsung meluncur dengan cepat dari bibirku.
“Baiklah, baiklah. Nanti, aku kabari kapan waktu kosongku. Kau kan yang harus menyesuaikan waktu dengan fotografernya.”ucapku dengan asal-asalan.
Wajahnya berubah sumringah. “Sebenarnya tidak boleh begitu. Tapi, ya sudahlah. Karena, aku percaya padamu, aku ikuti katamu saja.”jawabnya. Hatiku semakin mencelos mendengarnya. Ternyata, kemarin-kemarin itu aku sudah diberikan waktu untuk mulai merelakannya biar bagaimanapun. Dan dengan bodohnya, aku tidak mengindahkan kesempatan itu.
“Kalau sudah tidak ada urusan lagi, aku pergi lebih dahulu.”ujarku dengan nada datar dan langsung buru-buru menghilang dari hadapannya. Berusaha menghalau bulir-bulir ini mengalir lebih dahulu sebelum kepergianku dari hadapannya.

Kalimat singkatnya yang meminta tolong itu masih saja terngiang-ngiang ditelingaku, hingga hampir membuatku gila jika seperti ini terus menerus. Aku tidak memikirkannya, tapi kalimat itu seperti sudah terprogram untuk berputar secara otomatis di otakku.
Harus aku akui, bahwa terkadang aku iri ketika melihat tangannya merengkuh pinggang wanitanya dengan posesif, memberikan keamanan yang sanggup membuat seorang wanita merasa nyaman dan tidak ingin meninggalkan rengkuhan itu meski harus dibayar berapa pun. Aku bahkan berani bertaruh, aku pun tidak akan mau menukar rengkuhan itu dengan apapun yang ditawarkan padaku.
Akhirnya, aku mencapai kesepakatan dengannya. Tepatnya kapan, tempatnya dimana, dan lain sebagainya. Ternyata, mereka memang hanya tinggal mencari fotografer setelah mereka merencanakan ini semua. Mereka hanya mau mencicil. Ya, begitulah yang aku dengar dari wanitanya.
Aku berikan satu konsep yang terbayang di otakku.
Aku hanya ingin mereka terlihat santai, dan terlihat tidak terlalu formal.
Aku putuskan untuk berikan konsep, paralayang.
Terdengar rumit. Tapi, sepertinya akan menyenangkan. Aku akan mengambilnya secara diam-diam, begitulah yang aku bayangkan. Dari awal mereka mempersiapkan untuk paralayang hingga ditahap terakhir ketika paralayang mereka mencapai landasan, dan lalu membereskan peralatan paralayang mereka.
Memang terdengar seperti hanya foto main-main sekumpulan remaja yang tengah liburan. Justru, itu yang aku maksud. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuknya. Jika, ia memang sudah menemukan titik-tumpu-bahagianya sendiri, maka aku pun mau tidak mau turut bahagia.
Sejauh ini, mereka menyetujui konsepku.
Aku hanya bisa tersenyum lemah.
Dan hanya bisa berharap yang terbaik dari yang terbaik untuk titik-tumpu-bahagiaku yang sudah memutuskan jalannya. Aku akan merindukan masa ketika aku yang tertawa dengannya tanpa sebab yang pasti; aku yang menertawakannya ketika ia kepedasan, padahal makanannya tidak menggunakan cabai yang cukup banyak; menertawakan leluconnya dan saling melemparkan guyonan yang bisa disebut teramat-sangat jayus; dan masih banyak lagi.


Yang aku inginkan untuknya hanya satu hal yang sederhana: ia bahagia.
Bukankah, memang sudah seperti itu kesepakatan dengan Sang Seleksi Alam? Kesepakatan yang dibuat dibawah sadar. Mau bagaimanapun, aku tetap harus merelakan.
Hingga umurku saat ini, aku masih tetap saja belum sanggup mengerti jalan pikiran dari cerita hidup ini. Aku masih belum mengerti maunya berakhir seperti apa ceritaku ini.
Aku duduk diam di bangkuku dan merasakan semburan hangat matahari pagi di kulitku. Aku tersenyum lemah sambil menyentuh kulit yang dibelai oleh hangatnya matahari pagi ini.
“Mau diluar sampai matahari sore?”seru sebuah suara yang aku kenali, mengambil posisi duduk disampingku.
“Tidak, Bu. Sebentar lagi saja. Ibu tidak datang ke acaranya?”tanyaku sambil menatap lurus.
“Bagaimana Ibu bisa pergi, kalau anak Ibu dirumah sendirian? Ibu tidak mau terjadi apa-apa pada anak Ibu.”ujar Ibuku sambil mengusap lembut rambutku yang sengaja aku gerai.
Aku terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Ibu pergi saja, sebelum terlambat. Setidaknya ada yang mewakilkan dan ada yang menyampaikan pesan turut bahagiaku untuknya, Bu. Kalau Ibu tidak pergi, aku menitip pesan pada siapa?”ujarku sambil tersenyum lemah.
Aku bisa merasakan, Ibu tengah menarik nafas panjang. Beliau tengah terombang-ambing di tengah dilema. “Kau yakin, tidak mau ikut?”tanya Ibu dengan lembut dan hati-hati.
Bahuku terkulai lemas. “Bu, sampai kapan pun, aku tidak akan muncul di hadapannya. Aku sudah mengatakannya dari awal.”jawabku dengan lembut, berusaha membuat Ibu mengerti bahwa keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.
“Baiklah. Ibu antar kau masuk dulu ya. Ibu janji tidak akan lama disana. Begitu mengucapkan –“
“Aku bisa sendiri, Bu.”potongku sambil menyentuh tangannya yang lembut, yang tengah menggenggam tanganku dengan hangat.
“Tidak. Ibu temani.”ujar Ibu bersikeras. Aku hanya menjawabnya dengan menganggguk dan ikut berdiri ketika Ibu berdiri. Beliau menuntunku masuk ke dalam kamarku dan membantuku mengambil posisi berbaring di tempat tidurku. “Ibu tinggal dulu ya.”ucap Ibu sambil mengecup keningku. Aku menjawabnya dengan mengangguk pelan. Tidak lama berselang, aku mendengar suara pintu yang dibuka dan menutup.
Sejak kejadian yang menimpanya dan memperburuk keadaannya menjelang hari bahagianya, sudah aku putuskan untuk menitipkan apa yang biasa aku pergunakan, meski itulah yang terpenting untuk digunakan untuk melihat. 
Tidak lupa juga, di dalam suratku, aku titipkan sebuah memory card yang berisikan titik-tumpu-bahagiaku.
Lalu, pelan-pelan, bulir-bulir bening mulai mengalir turun di kedua sisi pipiku.


Untukmu,
Maaf, aku tidak bisa mengunjungimu hingga kapanpun, hingga di waktu yang tidak bisa aku prediksikan. Aku tahu, dengan atau tanpaku, kau akan bahagia. Ya, dengannya. Paralayang itu sudah menjadi tugas terakhirku untukmu sebelum pada akhirnya aku mundur dari dunia kita.
Dimanapun kau berada, aku yakin kau akan bahagia dengannya yang sudah menjadi titik-tumpu-bahagiamu. Karena, kau sudah menumpukan bahagiamu padanya, maka kau harus percaya, bahwa bahagiamu ada padanya. Jangan kau lalaikan tumpuanmu.
Aku hanya bisa berharap, kau bisa mengerti maksudku mengapa aku tidak bisa bertemu denganmu lagi.
Aku titipkan sebagian dari tumpuan bahagiaku untukmu.
Aku percaya, kau akan menjaga apa yang telah aku titipkan padamu.
Dirimu akan tetap menjadi titik-tumpu-bahagiaku.
Aku turut bahagia dalam bahagiamu.


Terkadang ada hal yang harus dikorbankan untuk mencapai kata bahagia, meski itu hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Terima kasih, karenamu aku mengenal kata bahagia meski dengan cara yang berbeda. 

Fin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar