Setiap orang bukannya berhak untuk bahagia? Hanya
saja, setiap orang memiliki bahagia yang berbeda. Tapi, jangan kau pikir
bahagia setiap orang memiliki artian yang berbeda. Artian bahagia itu hingga
saat ini, masih tetaplah sama. Perasaan ketika kau merasakan perasaan senang.
Dengan kau merasa senang karena hal sekecil apapun, kecuali hal yang negatif
tentunya, kau sudah bisa menyebutnya bagian dari definisi bahagia.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya
dengan mendapatkan balon, ada.
Orang yang sanggup bahagia hanya dengan bisa
bersitatap dengan seorang yang dicintai meski hanya sebentar, ada. Pada
umumnya, rasa bahagia seperti itu sanggup didefinisikan oleh kaum perempuan.
Euforia setelah bersitatap selalu terasa masih kental biar sudah lewat beberapa
waktu.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya
dengan mendapatkan cokelat, ada.
Banyak hal yang sanggup membuat setiap orang bahagia
dengan mudahnya.
Aku? Dengan bisa bersamanya saja sudah cukup, meski
hanya dalam rentang waktu yang kecil; melihatnya tersenyum meski hanya dari
jarak yang sanggup dilewati beberapa burung yang sedang terbang juga sudah
termasuk bahagia bagiku.
Pada intinya, bahagiaku hanya bertumpu disatu titik.
Dirinya.
Ada orang yang bahkan sanggup untuk mempertahankan
kebahagiannya meski tahu hanya sia-sia, namun sejauh ini masih bertahan. Aku.
Kau tidak bingung membayangkan bagaimana aku bisa
bertahan dalam waktu yang cukup lama demi mempertahankan kebahagianku. Aku
bertahan, karena aku bersungguh-sungguh. Karena aku tahu, titik tumpu bahagiaku
masih padanya, dan hingga kini masih belum pindah pelabuhan.
Aku tidak tahu, akan sampai kapan aku bertumpu pada
satu titik ini. Bukannya, aku tidak tahu, aku hanya tidak berani untuk
memprediksikannya. Akan ada waktunya, saat ada sebuah celah dimana
tumpu-bahagia-ku akan bertumpu pada titik yang lain. Dan, ya, meski sudah
kupersiapkan sejak dini, tetap saja saat terjadi, aku ditertawakan oleh
kenyataan.
Konyol. Padahal, aku sudah tahu, tidak ada yang siap
dengan perpisahan dalam bentuk apapun itu. Kalau begitu, jika memang tidak
ingin berpisah, tidak usah bertemu, iya kan? Tapi, namanya manusia. Selalu ada
waktunya untuk bertemu, dan ya, waktu untuk berpisah juga.
Aku memainkan lensa kameraku. Membidik sasaran apa
saja yang aku lihat di depan mataku dari ketinggian gedung.
“Lebih baik tidak usah bermain dengan lensa dulu,
kalau sedang tidak fokus dan malah merusak hasilnya.”ucapnya. Aku turunkan
kamera yang menutupi setengah wajahku sambil mendengus.
“Kau ini.” Hanya itu yang terucap. Karena, aku
memang tidak bisa mengelak. Meski aku mengelak, dirinya tetap akan tahu.
“Aku lagi tersedia buat dengerin cerita perempuan
yang penuh dramatisir, kok.”candanya. Aku mendelik kearahnya yang langsung
tertawa.
Aku menggeleng sambil membersihkan kameraku. “Tidak
ada yang perlu diceritakan. Kau ini terlalu berlebihan kalau jadi
perasa.”ledekku. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok dan menatapku penuh
selidik. Aku mengangkat kameraku dan membidik apapun itu.
“Kau yakin?”tanyanya penuh selidik.
“Oh c’mon. I’m
fine. Kau ini terlalu berlebihan.”desahku dengan sebal. Tidak berselang
lama, rambutku berantakan karenanya. “YA!”teriakku dengan sebal. Dia hanya
tertawa melihatku merapikan rambutku sambil menggerutu.
“Kau tahu,”
“Tidak.”
“ – kau ini salah satu temanku yang tidak pernah
menceritakan apapun yang ada di otak dan hatimu. Selalu saja, aku yang
bercerita.”sambungnya, tanpa mengindahkan ejekanku. Aku menarik nafas, yang
sedari tadi aku tahan. Jika aku sedari tadi bernafas dengan lancar, yang
terhirup olehku bukanlah udara, tapi wangi tubuhnya yang menguar ditiup angin.
“Jadi, karena hanya itu kau tidak mau berteman
denganku lagi?”hinaku. Maksudku hanya bercanda. Tapi, ia menanggapinya dengan
serius.
Ia menatapku dengan lekat, membuatku jengah.
Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak
gatal. Hanya berusaha untuk meredakan kejengahanku saja. “Ya! Kau ini jangan
menatapku seperti akan menerkamku habis-habisan!”seruku sambil mengambil
beberapa langkah mundur. Ia berdecak sebal karena aku malah menganggapnya
sedang bercanda.
“Dengarkan aku dan jawab pertanyaanku dengan
jujur.”ucapnya dengan sangat pelan dan serius. Bulu romaku tiba-tiba meremang
mendengarnya berbicara seperti itu. “Kau ini menyeramkan.”ucapku disela-sela ia
menarik nafas.
“Sstt. Hanya jawab dengan jujur saja.”
“Ya sudah, cepat tanyakan! Kau ini sanggup membuat
badan kucing berjinjit dengan cepat.”gerutuku.
Ia terdiam lama, sambil menarik nafas ia bertanya,
“Kau masih normal, kan?”tanyanya dengan wajah......astaga aku menahan tawa
terbahak-bahakku, yang memelas.
“ASTAGA!” Aku tidak bisa menahan tawaku ketika
mendengar pertanyaannya. Selang sedetik, ia cemberut. “Otakmu itu sudah tua
sepertinya, ya. Tentu saja aku masih normal. Aku masih menyukai dan akan selalu
menyukai yang berjenis kelamin laki-laki. Tidak seperti kau, kanan-kiri,
oke.”ledekku. Wajahnya semakin ditekuk. Ketika aku menertawakannya lagi,
wajahnya langsung sembilan tekuk.
Terkadang, hanya dengan seperti ini dengannya sudah
termasuk dalam pengertian bahagiaku. Kadang-kadang, kami akan sibuk dengan
lensa masing-masing, tapi kami tidak benar-benar saling diam. Aku bingung
menjelaskannya.
Kami saling mengenal belum dalam hitungan waktu yang
cukup lama, padahal. Tapi, kami berteman sudah seperti teman lama. Dia sanggup
memberikan aku rasa nyaman. Meski seharusnya aku tahu, ia sudah bertuan, tidak
seharusnya rasa nyaman ini berkembang biak menjadi hal yang dilarang.
Tapi, ya itulah mengapa aku menyebutnya
titik-tumpu-bahagiaku.
Walaupun waktunya lebih banyak dengan wanitanya, ia
masih berusaha untuk menyempatkan waktu untukku. Terkadang, aku sebal sendiri
jika wanitanya sudah mulai memanipulasi dirinya. Tapi, aku juga tau diri, kalau
aku sebenarnya tidak ada hak. Karena, toh
aku hanya berstatus sebagai temannya. Bahkan, kalau bisa disebut, aku seperti
masuk dalam lingkaran hidup mereka tiba-tiba. Jadi, aku harus belajar bersyukur
perihal itu.
Aku menyusuri kembali jalan cerita, dari awal aku
bertemu dengannya.
Sebenarnya, aku tidak ada niatan untuk seperti ini
dengannya. Awalnya aku hanya mau berbincang dengannya tentang beberapa hal,
namun lama kelamaan menjadi lebih sering berbincang. Namanya juga takdir. Tidak
ada yang tahu sama sekali akan dibawa menuju kemana jalan cerita mereka
sendiri.
Aku tengah membersihkan lensa kameraku sebelum
disimpan dengan apik di dalam tas khususnya, ketika tiba-tiba ia duduk di
hadapanku sambil memberikan cengiran lebarnya yang menampilkan gigi-giginya
yang tersusun dengan rapih. Aku mendongak dengan tak acuh sambil terus
membersihkan lensa kameraku.
Ia mendesis sebal.
Aku mendongak lagi. “Apa?”tanyaku sambil menatapnya
dengan kening yang berkerut. Ia kembali memamerkan gigi-gigi putih bersihnya ke
arahku. “Kalau kau hanya ingin memamerkan gigi-gigi yang habis kau cuci bersih
di dokter, lebih baik kau lupakan rencanamu itu. Karena, aku buru-buru dan
tidak ada waktu untuk melihat ada yang kurang bersih atau benar-benar
bersih.”gerutuku sambil melanjutkan acaraku menyimpan kameraku ke dalam tasnya
dan bangkit berdiri dari bangku tembok yang aku duduki sejak tadi membidik
sasaran-sasaran-tidak-jelasku, di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari
lokasi rumahku dan rumahnya yang berjarak beberapa meter.
Aku bisa mendengarnya terkekeh pelan di belakangku,
namun aku tetap melanjutkan langkahku sambil menggelengkan kepalaku karena
hanya menganggapnya bercanda.
“Aku cuma mau minta tolong, jadi fotografer untuk
foto pre wedding aku. Bisa, kan?”
Aku yang tengah melangkah, tiba-tiba terdiam di
tempat. Membeku di tempatku berdiri. Tanpa perlu menoleh, aku tau bahwa ia tengah
berjalan ke arahku. Tidak lama kemudian, ia sudah berdiri di hadapanku dengan
wajah yang memohon. Aku bingung mau menolak dengan halus dengan cara seperti
apa, karena aku tidak mungkin bisa menolak permintaannya.
Jika aku sebuah gedung, sebentar lagi aku akan
runtuh. Ya, dapat aku pastikan.
Aku hanya mengangkat sudut-sudut bibirku, berharap
itu menyerupai sebuah senyuman yang biasa aku tunjukan padanya.
“Aku pikirkan dulu ya.”kataku berdiplomatis. Ia
langsung memberengut tidak suka.
Desisan sebal langsung meluncur dengan cepat dari
bibirku.
“Baiklah, baiklah. Nanti, aku kabari kapan waktu
kosongku. Kau kan yang harus menyesuaikan waktu dengan fotografernya.”ucapku
dengan asal-asalan.
Wajahnya berubah sumringah. “Sebenarnya tidak boleh
begitu. Tapi, ya sudahlah. Karena, aku percaya padamu, aku ikuti katamu
saja.”jawabnya. Hatiku semakin mencelos mendengarnya. Ternyata, kemarin-kemarin
itu aku sudah diberikan waktu untuk mulai merelakannya biar bagaimanapun. Dan
dengan bodohnya, aku tidak mengindahkan kesempatan itu.
“Kalau sudah tidak ada urusan lagi, aku pergi lebih
dahulu.”ujarku dengan nada datar dan langsung buru-buru menghilang dari
hadapannya. Berusaha menghalau bulir-bulir ini mengalir lebih dahulu sebelum
kepergianku dari hadapannya.
Kalimat singkatnya yang meminta tolong itu masih
saja terngiang-ngiang ditelingaku, hingga hampir membuatku gila jika seperti
ini terus menerus. Aku tidak memikirkannya, tapi kalimat itu seperti sudah
terprogram untuk berputar secara otomatis di otakku.
Harus aku akui, bahwa terkadang aku iri ketika
melihat tangannya merengkuh pinggang wanitanya dengan posesif, memberikan
keamanan yang sanggup membuat seorang wanita merasa nyaman dan tidak ingin
meninggalkan rengkuhan itu meski harus dibayar berapa pun. Aku bahkan berani
bertaruh, aku pun tidak akan mau menukar rengkuhan itu dengan apapun yang
ditawarkan padaku.
Akhirnya, aku mencapai kesepakatan dengannya.
Tepatnya kapan, tempatnya dimana, dan lain sebagainya. Ternyata, mereka memang
hanya tinggal mencari fotografer setelah mereka merencanakan ini semua. Mereka
hanya mau mencicil. Ya, begitulah yang aku dengar dari wanitanya.
Aku berikan satu konsep yang terbayang di otakku.
Aku hanya ingin mereka terlihat santai, dan terlihat
tidak terlalu formal.
Aku putuskan untuk berikan konsep, paralayang.
Terdengar rumit. Tapi, sepertinya akan menyenangkan.
Aku akan mengambilnya secara diam-diam, begitulah yang aku bayangkan. Dari awal
mereka mempersiapkan untuk paralayang hingga ditahap terakhir ketika paralayang
mereka mencapai landasan, dan lalu membereskan peralatan paralayang mereka.
Memang terdengar seperti hanya foto main-main
sekumpulan remaja yang tengah liburan. Justru, itu yang aku maksud. Aku akan
berusaha sebaik mungkin untuknya. Jika, ia memang sudah menemukan
titik-tumpu-bahagianya sendiri, maka aku pun mau tidak mau turut bahagia.
Sejauh ini, mereka menyetujui konsepku.
Aku hanya bisa tersenyum lemah.
Dan hanya bisa berharap yang terbaik dari yang terbaik
untuk titik-tumpu-bahagiaku yang sudah memutuskan jalannya. Aku akan merindukan
masa ketika aku yang tertawa dengannya tanpa sebab yang pasti; aku yang
menertawakannya ketika ia kepedasan, padahal makanannya tidak menggunakan cabai
yang cukup banyak; menertawakan leluconnya dan saling melemparkan guyonan yang
bisa disebut teramat-sangat jayus; dan masih banyak lagi.
Yang aku inginkan untuknya hanya satu hal yang
sederhana: ia bahagia.
Bukankah, memang sudah seperti itu kesepakatan
dengan Sang Seleksi Alam? Kesepakatan yang dibuat dibawah sadar. Mau bagaimanapun,
aku tetap harus merelakan.
Hingga umurku saat ini, aku masih tetap saja belum
sanggup mengerti jalan pikiran dari cerita hidup ini. Aku masih belum mengerti
maunya berakhir seperti apa ceritaku ini.
Aku duduk diam di bangkuku dan merasakan semburan hangat
matahari pagi di kulitku. Aku tersenyum lemah sambil menyentuh kulit yang
dibelai oleh hangatnya matahari pagi ini.
“Mau diluar sampai matahari sore?”seru sebuah suara
yang aku kenali, mengambil posisi duduk disampingku.
“Tidak, Bu. Sebentar lagi saja. Ibu tidak datang ke
acaranya?”tanyaku sambil menatap lurus.
“Bagaimana Ibu bisa pergi, kalau anak Ibu dirumah
sendirian? Ibu tidak mau terjadi apa-apa pada anak Ibu.”ujar Ibuku sambil
mengusap lembut rambutku yang sengaja aku gerai.
Aku terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Ibu pergi saja,
sebelum terlambat. Setidaknya ada yang mewakilkan dan ada yang menyampaikan
pesan turut bahagiaku untuknya, Bu. Kalau Ibu tidak pergi, aku menitip pesan
pada siapa?”ujarku sambil tersenyum lemah.
Aku bisa merasakan, Ibu tengah menarik nafas
panjang. Beliau tengah terombang-ambing di tengah dilema. “Kau yakin, tidak mau
ikut?”tanya Ibu dengan lembut dan hati-hati.
Bahuku terkulai lemas. “Bu, sampai kapan pun, aku
tidak akan muncul di hadapannya. Aku sudah mengatakannya dari awal.”jawabku
dengan lembut, berusaha membuat Ibu mengerti bahwa keputusanku sudah bulat dan
tidak bisa diganggu gugat.
“Baiklah. Ibu antar kau masuk dulu ya. Ibu janji
tidak akan lama disana. Begitu mengucapkan –“
“Aku bisa sendiri, Bu.”potongku sambil menyentuh
tangannya yang lembut, yang tengah menggenggam tanganku dengan hangat.
“Tidak. Ibu temani.”ujar Ibu bersikeras. Aku hanya
menjawabnya dengan menganggguk dan ikut berdiri ketika Ibu berdiri. Beliau
menuntunku masuk ke dalam kamarku dan membantuku mengambil posisi berbaring di
tempat tidurku. “Ibu tinggal dulu ya.”ucap Ibu sambil mengecup keningku. Aku
menjawabnya dengan mengangguk pelan. Tidak lama berselang, aku mendengar suara
pintu yang dibuka dan menutup.
Sejak kejadian yang menimpanya dan memperburuk
keadaannya menjelang hari bahagianya, sudah aku putuskan untuk menitipkan apa yang biasa aku pergunakan, meski itulah yang terpenting untuk digunakan untuk melihat.
Tidak lupa juga, di dalam suratku, aku titipkan sebuah memory card yang berisikan titik-tumpu-bahagiaku.
Lalu, pelan-pelan, bulir-bulir bening mulai mengalir turun di kedua sisi pipiku.
Tidak lupa juga, di dalam suratku, aku titipkan sebuah memory card yang berisikan titik-tumpu-bahagiaku.
Lalu, pelan-pelan, bulir-bulir bening mulai mengalir turun di kedua sisi pipiku.
Untukmu,
Maaf, aku tidak
bisa mengunjungimu hingga kapanpun, hingga di waktu yang tidak bisa aku prediksikan. Aku tahu, dengan atau tanpaku, kau akan bahagia. Ya, dengannya.
Paralayang itu sudah menjadi tugas terakhirku untukmu sebelum pada akhirnya aku
mundur dari dunia kita.
Dimanapun kau
berada, aku yakin kau akan bahagia dengannya yang sudah menjadi
titik-tumpu-bahagiamu. Karena, kau sudah menumpukan bahagiamu padanya, maka kau
harus percaya, bahwa bahagiamu ada padanya. Jangan kau lalaikan tumpuanmu.
Aku hanya bisa
berharap, kau bisa mengerti maksudku mengapa aku tidak bisa bertemu denganmu
lagi.
Aku titipkan
sebagian dari tumpuan bahagiaku untukmu.
Aku percaya, kau
akan menjaga apa yang telah aku titipkan padamu.
Dirimu akan
tetap menjadi titik-tumpu-bahagiaku.
Aku turut
bahagia dalam bahagiamu.
Terkadang ada hal yang harus dikorbankan untuk
mencapai kata bahagia, meski itu hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Terima kasih, karenamu aku mengenal kata bahagia
meski dengan cara yang berbeda.
Fin.
Fin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar