Kau kenal dengan sang Jarak, kan? Satu kata yang memiliki
arti sebuah ruang sela, bisa dalam bentuk satuan ukuran panjang dan atau
seberapa jauh dekatnya sesuatu. Banyak orang-orang yang bilang, jikalau memang
hubunganmu kuat dengannya meskipun diputuskan oleh jarak, tetap saja hati akan
tetap dekat dan hubungan itu akan tetap utuh, jika saling percaya. Entah sejak
kapan, aku tidak pernah setuju dengan pendapat tersebut, meski hanya beberapa
persen saja.
Mengapa? Karena, jika kau memiliki, misalkan satu hubungan
saja dan malah harus bermusuhan dengan jarak, maka rintanganmu akan semakin
berat, nanti. Kau pun mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan baru
tanpa dirinya. Lingkungan baru itu yang perlahan-lahan memberikanmu satu-per-satu
cobaan. Yeah, kau pasti kenal dengan
kalimat, seleksi alam.
Ada yang gugur, ada pula yang bertahan. Jarak yang
memberikan pelajaran itu sendiri. Jika, kau memang sanggup, kau bisa
melewatinya. Tapi, disetiap ada yang sanggup, pasti ada yang tidak sanggup.
Entah itu perbandingannya jomplang, atau sama.
Mataku terbuka dengan perlahan, cukup lama aku diam
dalam posisiku dengan kedua mataku yang menatap langit-langit kamarku dengan
pikiran yang masih kemana-mana. Pelan-pelan jiwaku kembali ke tubuhku dan
perlahan mulai sadar sepenuhnya. Dengan gerakan yang teramat pelan, aku
menyibakkan selimutku. Berjalan menuju jendela untuk menyibakkan gordennya,
mempersilahkan hangatnya sinar matahari membelai seisi ruangan kamarku dan
menghangatkan sudut-sudutnya, masuk dengan menyusup dicelah-celah ruang.
Aku menghirup udara pagi dalam-dalam, membiarkan
udara baru dan segar itu berputar di dalam rongga paru-paruku untuk
membersihkan sisa-sisa udara kotor sebelumnya dan menghembuskannya dengan
perlahan.
Hey, hidup tidak semudah kita menarik dan menghembuskan
nafas. Tidak.
Jangan pernah meremehkan hidup, jika tidak ingin
diremehkan balik oleh Sang Takdir, sang empunya jalan cerita. Kita hidup
seperti ikut bermain dalam pasar modal, yang bisa disebut juga ikut judi legal.
Aku seperti berjudi dengan hidupku sendiri setiap harinya. Karena, disetiap
kali aku melangkah, aku harus memikirkan langkah selanjutnya.
Meski waktu tetap sama, tetap berputar diporosnya
yang sama dalam satu lingkaran, tapi apa yang terjadi hari ini, hanya terjadi
hari ini, tidak akan terjadi di kemudian hari. Saat-saat yang terjadi saat ini
akan menjadi kenangan ketika hari sudah berganti. Satu rol film pendek untuk
satu hari; satu cerita untuk satu hari.
Aku menyusurkan ujung-ujung jemariku di setiap
gantungan foto. Entah itu hasil cetak polaroid dan atau dari kamar merah.
Setiap foto menyimpan cerita, bagiku. Menurutku, itulah fungsi dari foto.
Merekam, menyimpan, mengabadikan kenangan yang tidak bisa kita abadikan secara
abadi. Meskipun tersimpan dalam otak ini, tapi tempurung otakku ini memang
lemah terhadap hal mengingat-ingat. Untuk itulah, ritual setiap pagiku adalah
menyusuri kenangan demi kenangan.
Seperti membuka satu per satu lembar setiap buku.
Terkadang, aku akan terpaku dalam satu kenangan.
Terkadang, aku memilih melewati kenangan tersebut
tanpa berpikir dua kali.
Sambil menyusurkan jemari-jemariku, aku memejamkan
kedua kelopak mataku, meresapinya. Diam-diam kedua sudut bibirku melengkung ke
bawah. Membentuk lengkungan yang akrab sekali dengan mata kita. Seulas senyum.
Perjalanan menyusuri kenangan ini baru saja dimulai.
Dan perjalanan kedepan nanti jaraknya tidaklah sebentar.
Hidup kita membutuhkan proses; Dan mungkin, kita
tengah berada dalam proses itu. Entah itu revolusi kah atau evolusi yang tengah
berlangsung. Setiap proses orang-orang berbeda masanya. Perlahan-lahan aku
mulai menyusuri kenangan demi kenangan yang terjalin seperti benang yang sudah
selesai dari masa benang-wol-yang-kusut.
Aku mengaduh dengan pelan sambil menatap ujung
jariku yang tertusuk entah apapun itu, aku tidak tahu jenis apa yang sudah
menusuk ujung jariku hingga membuatnya berdarah. Jariku yang terluka digenggam
dengan sangat erat. Aku tersenyum menenangkan.
“Tidak apa-apa, kok.”kataku. Kau hanya memberikan
desisan sebalmu padaku, yang aku ketahui, kau tidak serius. Karena, hal
selanjutnya yang kau lakukan, kau menatapku dengan dua bola mata yang penuh
kekhawatiran.
“Makanya, hati-hati.”gumammu, aku bisa menangkap nada
khawatir dibalik kalimat itu. Tanpa rasa malu atau pun jijik, kau menyesap
darah yang mengalir dari ujung jemariku. Aku sempat bergidik sebentar, karena
geli, bukan karena tidak biasa. “Tahan sebentar saja. Ini untuk menghentikan
darah yang keluar dari jarimu.”katamu sambil pergi mengambil handsaplast di kotak P3K. Aku menatap
jariku yang tadi tertusuk. Aku memotret ujung jemariku dengan kamera
Polaroidku.
“Dasar wanita. Luka saja sampai diabadikan
segala.”ledekmu.
“Karena disembuhkan olehmu, menurutku pantas-pantas
saja untuk diabadikan.”kilahku sambil tersenyum, yang langsung disambut dengan
decakan tidak setuju darimu. Aku tetap dengan santainya mengibas-ngibas kertas
Polaroid, menunggu gambar yang dihasilkan muncul. Aku hanya tersenyum lebar,
dan seperti anak kecil yang habis jatuh dan tidak menangis, aku berdiri menunggu
dengan tenang ketika lukaku diberikan Betadine lalu ditutupi oleh handsaplast.
Kau yang tengah berdiri disampingku dan sudah
selesai menempelkan handsaplast ke
ujung jariku, menatapku dengan lembut. “Kau ini sudah besar, bukan anak kecil
lagi. Masa bisa tertusuk kayu.”candamu sambil geleng-geleng kepala dan mengusap
puncak kepalaku. Aku terkekeh layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan
hadiah yang dinanti-nantikannya.
Aku berjalan lagi kedepan dengan senyum yang sudah
memudar dan dengan genggaman tangan yang kosong disana.
Aku merasakan dua lengan memeluk pinggangku dari
belakang, kepalamu bersandar dengan nyaman di bahuku. Aku mengangkat tangan kananku
dan mengusap kepalamu dari samping dengan lembut,“So, please stay with me forever, ‘till the end of my life, ‘till the
end of my life.” Aku tersenyum tersipu saat mendengar sepenggal lirik dari
lagu kesukaanku itu mengalun di telingaku, selain perihal lagunya, tapi juga
suaramu. Aku semakin tersenyum ketika suaramu sampai pada satu kalimat dalam
lirik itu yang sangat aku sukai, diucapkan dengan sangat pelan.“Oh darling, I love you more each day.” Kepalaku
mengangguk dengan mata yang terpejam erat, lalu kepalaku menoleh ke samping dan
berbisik, “Aku juga.”
Suara dari saxophone
itu sanggup membuatku terlena dan perlahan aku mulai bergerak kecil mengikuti
alunan lagu yang dinyanyikan ulang oleh Sierra Soetedjo, dengan tubuhku yang
bersandar padamu yang masih memeluk pinggangku dengan hangat. “Cause you’re the only one I have in my
heart,”bisikku pada telingamu yang berada tepat disamping pipiku.
Aku tahu dengan baik bahwa bibirmu yang hangat itu
tengah tersenyum, meskipun dengan mataku yang masih terpejam. Selang beberapa
detik, dagumu yang masih bersandar dengan nyaman di bahuku, terasa seperti mengangguk
mengiyakan lirik yang aku bisikan padamu. Sungguh, hanya seperti ini denganmu
sepanjang hari, aku merasa sangat sanggup untuk melewati hari ini dengan
berdiam diri di dalam rumah saja. Ya, tapi denganmu.
Aku melepaskan tanganku dari rambutnya yang lembut
itu, membuka mataku dengan sangat perlahan, nyaris bergetar. Kembali menyusuri
cetakan-cetakan foto yang menggantung dengan apik di gantungannya, menyusurinya
seperti yang kemarin-kemarin, sendirian saja.
Memang dasar pecandu cerita karangan belaka, aku
jadi lebih ingin hidup dalam cerita karangan penulis-penulis itu. Atau mungkin
dalam karangan ceritaku sendiri. Ya, begitulah hidup. Ada hal yang memang
tercipta namun tidak bisa atau tidak mungkin untuk dimiliki. Ugh, rasanya seperti saat kau sangat
lapar dan kau melihat makanan yang sangat menggoda selera, tapi kau tahu kau
tidak boleh makan makanan itu ataupun membelinya, rasanya itu.....ah sudahlah.
Entah mungkin karena sebuah dan atau beberapa alasan. Aku tidak menyukainya.
Aku tidak menyukai pantangan. Apalagi jika pantangannya disuruh untuk mulai
melupakanmu. Ha-ha-ha. Rasanya seperti dipaksa untuk makan racun, ya.
Aku menghela nafas dengan berat. Kedua bahuku
terkulai dengan lemas di samping tubuhku. Aku berdiri dalam diam di depan
jendela besar dengan pikiran yang mulai memasuki fase
benang-wol-yang-mulai-kusut dengan mata yang kembali terpejam. Dalam kesunyian,
diam-diam rindu ini merangkak masuk melalui celah-celah yang tersisa. Aku hanya
diam saja saat rindu ini menggelitikiku tanpa henti. Lama-kelamaan, bukan
gelitikan yang aku rasakan lagi. Rindu ini mulai meradang dengan tidak
sopannya.
“Kau kenapa diam terus?” Aku menoleh ke belakang melalui
bahuku dan tersenyum.
“Tidak. Aku hanya sedang merindukan seseorang.”
Candaku sambil menatap ke depan lagi. Dirimu menghampiriku dan berdiri di
sampingku dengan postur tubuh seperti sedang kesal.
“Kau? Merindukan? Seseorang? Siapa?”tanyamu dengan
nada kalimat yang sebal dan menuntut. Aku menahan mati-matian tawaku yang sudah
menggelitik ujung lidahku.
Tidak lama kemudian, dirimu sadar bahwa aku tengah
mengerjaimu. Karena, akhirnya dirimu berdesis sebal dan malah ganti
menggelitiki pinggangku hingga aku minta ampun. “Ya! Cukup!”pekikku disela tawa
kita dan dengan aku yang berusaha melepaskan tanganmu dari pinggangku.
“Siapa suruh mengerjaiku.”jawabmu yang tanpa ampun
terus menggelitiki terus.
“Baiklah. Baiklah. Aku minta maaf!”teriakku sambil
tertawa. Dirimu masih saja jahil menggelitikiku.
“Cepat bilang, kau merindukan siapa. Kalau tidak,
aku tidak akan berhenti menggelitikimu.”ancammu dengan bercanda.
Aku semakin tertawa lebar. “Baiklah. Aku akan
mengaku. Tapi, tolong berhenti. YA! Aku tidak bisa bicara dengan lancar.”kataku
setengah tersendat karena lebih sering tertawa. Sedetik kemudian, kau berhenti.
Aku menatapmu dengan lembut. “Harus aku bilang,
kalau kau sendiri sudah tau jawabannya, ya?” Aku memberikanmu satu pertanyaan
yang seharusnya sudah kau ketahui jawabannya. Kau tersenyum lebar padaku dan
melebarkan kedua lenganmu ke arahku. Dengan senang hati, dan tanpa pikir
panjang, aku melangkah masuk ke dalam pelukan yang kau tawarkan padaku.
“Kau jiwa yang
selalu aku puja.” Kau
menyanyikanku satu kalimat terakhir dari lagu kesukaanmu, sambil mengusap-usap
kepalaku dengan hangat. Rasanya begitu nyaman, diam dalam buaian di pelukanmu
seperti ini. Nyamannya seperti kau duduk di sofa yang super-duper-teramat
nyaman untuk ditinggalkan begitu saja. Ya, aku terlalu susah untuk
meninggalkanmu. Dan aku tidak pernah mencobanya, karena selain aku tahu akan
susah, aku pun memang tidak memiliki niatan untuk mencobanya.
Saranku, tidak perlu mencoba untuk melupakan jika
terpaksa atau dipaksa. Biarkan waktu yang membantu melupakan, tapi lebih baik
jika tidak dengan paksaan. Semakin dicoba akan terasa semakin rumit jika
berusaha untuk melupakan. Mungkin kebalikannya yang akan terjadi; akan semakin
mengingatnya.
Melupakan memang tidak pernah semudah saat mengucapkannya.
Mataku menyusuri sedikit demi sedikit sisa-sisa dari
kenangan yang hampir selesai ini.
Sesekali diselingi senyum; tawa kecil; lalu berakhir
dengan diam ketika aku sampai pada penghujung.
Biar bagaimanapun, berjagalah terus, karena kalian,
termasuk aku, tidak pernah tahu kapan akan bertemu dengan perpisahan. Tidak ada
sama sekali. Untuk menerima perpisahan itu tidak lah mudah. Tidak ada yang
pernah menyukai perpisahan, karena yang dicintai hanya lah pertemuan itu
sendiri.
Dari awal aku sudah menekankan pada diriku sendiri.
Hari ini akan tetap datang, cepat atau lambat, dan aku tidak akan pernah bisa
mengelak dari hari ini. Hari tidak bisa dipindah dengan seenaknya seperti
memindahkan saluran televisi.
Seperti malam-malam sebelumnya di minggu ini,
menonton ulang film-film yang sudah ditonton meskipun film itu baru ditonton
beberapa hari yang lalu, di minggu yang berbeda. Aku duduk dengan tenang di
sofa sambil menonton film kesukaan kita, saat kau menghampiriku dengan tenang
dan duduk disampingku dengan lengan yang melingkar di bahuku.
Aku menoleh sebentar untuk tersenyum padamu, yang
kau balas dengan senyum kecil, dan kembali fokus pada film yang tengah diputar
di layar di hadapan kita. Tidak lama berselang dari senyum itu, tiba-tiba aku
diserang firasat buruk. Kau merasakan gestur tubuhku yang tiba-tiba berubah
menjadi lebih tegang, karena selanjutnya kau mengusap-ngusap puncak kepalaku. “Seperti
ini saja dulu.”bisikmu sambil mengusap terus puncak kepalaku.
Gestur tubuhku sama sekali tidak berubah. Tidak
lebih tenang, tapi melainkan lebih tegang. Sedang
menghitung mundur, kataku. Tapi, hanya aku ucapkan dalam hati. Aku
membiarkan kepalaku bersandar padanya. Aku tidak tahu mengapa, tapi yang
awalnya aku sangat bersemangat untuk menonton ulang film ini, tiba-tiba dua
insan di layar yang tengah kasmaran itu berubah menjadi membosankan. Seperti
mengonsumsi makanan yang sama setiap hari dan setiap jamnya.
Lama kelamaan usapan lembut di kepalaku seperti lagu
pengantar tidur bagiku, mataku mulai terasa berat untuk terbuka. Perlahan dua
kelopak mata ini mulai menutup dengan sendirinya, sebelum aku jatuh ke alam
mimpi, aku masih sempat mendengar kau membisikan satu kalimat, “I love you, but try to let me go. Please,
forgive me.” Untuk yang terakhir kali.
Aku terbangun dengan posisi menghadap ke sisi yang
biasa kau tempati di tempat tidur. Tanganku terjulur mengusap sisi tempat
tidurmu, berharap menemukan lekukan-lekukan yang menandakan bahwa sisi itu
sempat ditempati, tapi aku tidak pernah menemukannya, lagi. Perlahan aku
menoleh ke arah nakas disamping tempat tidurku. Benda yang sangat tidak aku
inginkan; benda yang sangat aku hindari, sudah berada disana ditemani dengan
secarik memo yang menempel di plastik pembungkusnya.
Aku minta maaf
karena aku pergi dalam diam. Bahkan, aku tidak berani untuk mengatakannya
langsung padamu sekaligus memberikan ini langsung. Aku terlalu pengecut untuk
mengucapkan selamat tinggal padamu. Aku tidak pernah sama sekali menghitung
hari, karena aku tahu, aku semakin dekat dengan hari ini.
Tapi, terima
kasih karena kau sudah menemani hari-hariku yang terasa berat untuk dilalui dan
menerimaku meskipun kau sudah tahu kenyataan yang ada di depan matamu,
kenyataan yang harus kau hadapi. Terima kasih karena sudah mencintaiku yang
tidak layak menerimanya darimu. Terakhir, terima kasih untuk semua kenangan
ini.
Tetap saja kau
jiwa yang selalu aku puja.
Aku kembali.
Nafas yang mengalir masuk ke rongga-rongga dan yang
mengalirkan udara ke dua bilik paru-paruku tiba-tiba berhenti. Aku menempelkan
kembali memo itu di plastik transparan itu dan merebahkan kepalaku yang
tiba-tiba terasa pening ke atas bantal yang masih menguarkan aroma tubuhmu dan
mencoba untuk kembali tenggelam dalam mimpi diiringi oleh wangimu.
Kau sudah memutuskan untuk kembali melewati jarak
itu untuk kembali kesana.
Bulu mataku yang dulu sangat kau puja, bergerak
terbuka, kembali menatap kejauhan dengan pandangan yang hampa.
Ya, biar bagaimana pun, aku tidak bisa mengelak dari
kenyataan bahwa kau sudah kembali ke tempat yang seharusnya. Aku menatap benda
dengan memo yang sudah hampir usang itu dengan tatapan nanar. Kau pergi dalam
diam, dan aku pun diam dalam ketidaktahuanku saat kau pergi.
Tidak ada yang salah diantara kita, sayang. Yang ada
hanya hubungan kita yang ternyata tidak cukup kuat untuk dipisahkan oleh jarak,
hingga akhirnya kau pun dipilihkan untuk yang lainnya.
Aku masih belum melangkah keluar dari kotak yang aku
sebut-sebut Kenangan Kita. Mungkin, karena aku masih belum bisa melangkah
keluar. Padahal, langkahku di dalam pun sudah mulai tertatih. Karena, yang
selama ini aku jaga berdua denganmu, kini aku menjaganya seorang diri. Memang
seharusnya aku yang mengakhirinya lebih dahulu sebelum akhirnya aku harus
membenci melepaskan. Aku membiarkan undangan pernikahan itu tergeletak begitu
saja diatas nakas berserta dengan memo yang kau tulis dengan rapih dan
meninggalkan gantungan foto berisi kenangan itu dengan langkah gontai.
Kenangan akan tetap menjadi kenangan.
Tidak ada yang bisa merubah kenyataan tersebut.
Kegiatanku setiap pagi tetaplah tidak berubah.
Mengenang.
I’m really
thanked for you. For anything you give and what I accept from you.
So, let me wish
you are happy, because it’s supposed to be like that.
See you in
another story and places, if it’s should.
Fin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar