A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Kamis, 22 Agustus 2013

Seharusnya.


Kau kenal dengan sang Jarak, kan? Satu kata yang memiliki arti sebuah ruang sela, bisa dalam bentuk satuan ukuran panjang dan atau seberapa jauh dekatnya sesuatu. Banyak orang-orang yang bilang, jikalau memang hubunganmu kuat dengannya meskipun diputuskan oleh jarak, tetap saja hati akan tetap dekat dan hubungan itu akan tetap utuh, jika saling percaya. Entah sejak kapan, aku tidak pernah setuju dengan pendapat tersebut, meski hanya beberapa persen saja.
Mengapa? Karena, jika kau memiliki, misalkan satu hubungan saja dan malah harus bermusuhan dengan jarak, maka rintanganmu akan semakin berat, nanti. Kau pun mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan baru tanpa dirinya. Lingkungan baru itu yang perlahan-lahan memberikanmu satu-per-satu cobaan. Yeah, kau pasti kenal dengan kalimat, seleksi alam.
Ada yang gugur, ada pula yang bertahan. Jarak yang memberikan pelajaran itu sendiri. Jika, kau memang sanggup, kau bisa melewatinya. Tapi, disetiap ada yang sanggup, pasti ada yang tidak sanggup. Entah itu perbandingannya jomplang, atau sama.


Mataku terbuka dengan perlahan, cukup lama aku diam dalam posisiku dengan kedua mataku yang menatap langit-langit kamarku dengan pikiran yang masih kemana-mana. Pelan-pelan jiwaku kembali ke tubuhku dan perlahan mulai sadar sepenuhnya. Dengan gerakan yang teramat pelan, aku menyibakkan selimutku. Berjalan menuju jendela untuk menyibakkan gordennya, mempersilahkan hangatnya sinar matahari membelai seisi ruangan kamarku dan menghangatkan sudut-sudutnya, masuk dengan menyusup dicelah-celah ruang.
Aku menghirup udara pagi dalam-dalam, membiarkan udara baru dan segar itu berputar di dalam rongga paru-paruku untuk membersihkan sisa-sisa udara kotor sebelumnya dan menghembuskannya dengan perlahan.
Hey, hidup tidak semudah kita menarik dan menghembuskan nafas. Tidak.
Jangan pernah meremehkan hidup, jika tidak ingin diremehkan balik oleh Sang Takdir, sang empunya jalan cerita. Kita hidup seperti ikut bermain dalam pasar modal, yang bisa disebut juga ikut judi legal. Aku seperti berjudi dengan hidupku sendiri setiap harinya. Karena, disetiap kali aku melangkah, aku harus memikirkan langkah selanjutnya.
Meski waktu tetap sama, tetap berputar diporosnya yang sama dalam satu lingkaran, tapi apa yang terjadi hari ini, hanya terjadi hari ini, tidak akan terjadi di kemudian hari. Saat-saat yang terjadi saat ini akan menjadi kenangan ketika hari sudah berganti. Satu rol film pendek untuk satu hari; satu cerita untuk satu hari.
Aku menyusurkan ujung-ujung jemariku di setiap gantungan foto. Entah itu hasil cetak polaroid dan atau dari kamar merah. Setiap foto menyimpan cerita, bagiku. Menurutku, itulah fungsi dari foto. Merekam, menyimpan, mengabadikan kenangan yang tidak bisa kita abadikan secara abadi. Meskipun tersimpan dalam otak ini, tapi tempurung otakku ini memang lemah terhadap hal mengingat-ingat. Untuk itulah, ritual setiap pagiku adalah menyusuri kenangan demi kenangan.
Seperti membuka satu per satu lembar setiap buku.
Terkadang, aku akan terpaku dalam satu kenangan.
Terkadang, aku memilih melewati kenangan tersebut tanpa berpikir dua kali.
Sambil menyusurkan jemari-jemariku, aku memejamkan kedua kelopak mataku, meresapinya. Diam-diam kedua sudut bibirku melengkung ke bawah. Membentuk lengkungan yang akrab sekali dengan mata kita. Seulas senyum.


Perjalanan menyusuri kenangan ini baru saja dimulai.
Dan perjalanan kedepan nanti jaraknya tidaklah sebentar.
Hidup kita membutuhkan proses; Dan mungkin, kita tengah berada dalam proses itu. Entah itu revolusi kah atau evolusi yang tengah berlangsung. Setiap proses orang-orang berbeda masanya. Perlahan-lahan aku mulai menyusuri kenangan demi kenangan yang terjalin seperti benang yang sudah selesai dari masa benang-wol-yang-kusut.
Aku mengaduh dengan pelan sambil menatap ujung jariku yang tertusuk entah apapun itu, aku tidak tahu jenis apa yang sudah menusuk ujung jariku hingga membuatnya berdarah. Jariku yang terluka digenggam dengan sangat erat. Aku tersenyum menenangkan.
“Tidak apa-apa, kok.”kataku. Kau hanya memberikan desisan sebalmu padaku, yang aku ketahui, kau tidak serius. Karena, hal selanjutnya yang kau lakukan, kau menatapku dengan dua bola mata yang penuh kekhawatiran.
“Makanya, hati-hati.”gumammu, aku bisa menangkap nada khawatir dibalik kalimat itu. Tanpa rasa malu atau pun jijik, kau menyesap darah yang mengalir dari ujung jemariku. Aku sempat bergidik sebentar, karena geli, bukan karena tidak biasa. “Tahan sebentar saja. Ini untuk menghentikan darah yang keluar dari jarimu.”katamu sambil pergi mengambil handsaplast di kotak P3K. Aku menatap jariku yang tadi tertusuk. Aku memotret ujung jemariku dengan kamera Polaroidku.
“Dasar wanita. Luka saja sampai diabadikan segala.”ledekmu.
“Karena disembuhkan olehmu, menurutku pantas-pantas saja untuk diabadikan.”kilahku sambil tersenyum, yang langsung disambut dengan decakan tidak setuju darimu. Aku tetap dengan santainya mengibas-ngibas kertas Polaroid, menunggu gambar yang dihasilkan muncul. Aku hanya tersenyum lebar, dan seperti anak kecil yang habis jatuh dan tidak menangis, aku berdiri menunggu dengan tenang ketika lukaku diberikan Betadine lalu ditutupi oleh handsaplast.
Kau yang tengah berdiri disampingku dan sudah selesai menempelkan handsaplast ke ujung jariku, menatapku dengan lembut. “Kau ini sudah besar, bukan anak kecil lagi. Masa bisa tertusuk kayu.”candamu sambil geleng-geleng kepala dan mengusap puncak kepalaku. Aku terkekeh layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang dinanti-nantikannya.
Aku berjalan lagi kedepan dengan senyum yang sudah memudar dan dengan genggaman tangan yang kosong disana.
Aku merasakan dua lengan memeluk pinggangku dari belakang, kepalamu bersandar dengan nyaman di bahuku. Aku mengangkat tangan kananku dan mengusap kepalamu dari samping dengan lembut,“So, please stay with me forever, ‘till the end of my life, ‘till the end of my life.” Aku tersenyum tersipu saat mendengar sepenggal lirik dari lagu kesukaanku itu mengalun di telingaku, selain perihal lagunya, tapi juga suaramu. Aku semakin tersenyum ketika suaramu sampai pada satu kalimat dalam lirik itu yang sangat aku sukai, diucapkan dengan sangat pelan.“Oh darling, I love you more each day.” Kepalaku mengangguk dengan mata yang terpejam erat, lalu kepalaku menoleh ke samping dan berbisik, “Aku juga.”
Suara dari saxophone itu sanggup membuatku terlena dan perlahan aku mulai bergerak kecil mengikuti alunan lagu yang dinyanyikan ulang oleh Sierra Soetedjo, dengan tubuhku yang bersandar padamu yang masih memeluk pinggangku dengan hangat. “Cause you’re the only one I have in my heart,”bisikku pada telingamu yang berada tepat disamping pipiku.
Aku tahu dengan baik bahwa bibirmu yang hangat itu tengah tersenyum, meskipun dengan mataku yang masih terpejam. Selang beberapa detik, dagumu yang masih bersandar dengan nyaman di bahuku, terasa seperti mengangguk mengiyakan lirik yang aku bisikan padamu. Sungguh, hanya seperti ini denganmu sepanjang hari, aku merasa sangat sanggup untuk melewati hari ini dengan berdiam diri di dalam rumah saja. Ya, tapi denganmu.
Aku melepaskan tanganku dari rambutnya yang lembut itu, membuka mataku dengan sangat perlahan, nyaris bergetar. Kembali menyusuri cetakan-cetakan foto yang menggantung dengan apik di gantungannya, menyusurinya seperti yang kemarin-kemarin, sendirian saja.
Memang dasar pecandu cerita karangan belaka, aku jadi lebih ingin hidup dalam cerita karangan penulis-penulis itu. Atau mungkin dalam karangan ceritaku sendiri. Ya, begitulah hidup. Ada hal yang memang tercipta namun tidak bisa atau tidak mungkin untuk dimiliki. Ugh, rasanya seperti saat kau sangat lapar dan kau melihat makanan yang sangat menggoda selera, tapi kau tahu kau tidak boleh makan makanan itu ataupun membelinya, rasanya itu.....ah sudahlah. Entah mungkin karena sebuah dan atau beberapa alasan. Aku tidak menyukainya. Aku tidak menyukai pantangan. Apalagi jika pantangannya disuruh untuk mulai melupakanmu. Ha-ha-ha. Rasanya seperti dipaksa untuk makan racun, ya.


Aku menghela nafas dengan berat. Kedua bahuku terkulai dengan lemas di samping tubuhku. Aku berdiri dalam diam di depan jendela besar dengan pikiran yang mulai memasuki fase benang-wol-yang-mulai-kusut dengan mata yang kembali terpejam. Dalam kesunyian, diam-diam rindu ini merangkak masuk melalui celah-celah yang tersisa. Aku hanya diam saja saat rindu ini menggelitikiku tanpa henti. Lama-kelamaan, bukan gelitikan yang aku rasakan lagi. Rindu ini mulai meradang dengan tidak sopannya.
“Kau kenapa diam terus?” Aku menoleh ke belakang melalui bahuku dan tersenyum.
“Tidak. Aku hanya sedang merindukan seseorang.” Candaku sambil menatap ke depan lagi. Dirimu menghampiriku dan berdiri di sampingku dengan postur tubuh seperti sedang kesal.
“Kau? Merindukan? Seseorang? Siapa?”tanyamu dengan nada kalimat yang sebal dan menuntut. Aku menahan mati-matian tawaku yang sudah menggelitik ujung lidahku.
Tidak lama kemudian, dirimu sadar bahwa aku tengah mengerjaimu. Karena, akhirnya dirimu berdesis sebal dan malah ganti menggelitiki pinggangku hingga aku minta ampun. “Ya! Cukup!”pekikku disela tawa kita dan dengan aku yang berusaha melepaskan tanganmu dari pinggangku.
“Siapa suruh mengerjaiku.”jawabmu yang tanpa ampun terus menggelitiki terus.
“Baiklah. Baiklah. Aku minta maaf!”teriakku sambil tertawa. Dirimu masih saja jahil menggelitikiku.
“Cepat bilang, kau merindukan siapa. Kalau tidak, aku tidak akan berhenti menggelitikimu.”ancammu dengan bercanda.
Aku semakin tertawa lebar. “Baiklah. Aku akan mengaku. Tapi, tolong berhenti. YA! Aku tidak bisa bicara dengan lancar.”kataku setengah tersendat karena lebih sering tertawa. Sedetik kemudian, kau berhenti.
Aku menatapmu dengan lembut. “Harus aku bilang, kalau kau sendiri sudah tau jawabannya, ya?” Aku memberikanmu satu pertanyaan yang seharusnya sudah kau ketahui jawabannya. Kau tersenyum lebar padaku dan melebarkan kedua lenganmu ke arahku. Dengan senang hati, dan tanpa pikir panjang, aku melangkah masuk ke dalam pelukan yang kau tawarkan padaku.
“Kau jiwa yang selalu aku puja.” Kau menyanyikanku satu kalimat terakhir dari lagu kesukaanmu, sambil mengusap-usap kepalaku dengan hangat. Rasanya begitu nyaman, diam dalam buaian di pelukanmu seperti ini. Nyamannya seperti kau duduk di sofa yang super-duper-teramat nyaman untuk ditinggalkan begitu saja. Ya, aku terlalu susah untuk meninggalkanmu. Dan aku tidak pernah mencobanya, karena selain aku tahu akan susah, aku pun memang tidak memiliki niatan untuk mencobanya.
Saranku, tidak perlu mencoba untuk melupakan jika terpaksa atau dipaksa. Biarkan waktu yang membantu melupakan, tapi lebih baik jika tidak dengan paksaan. Semakin dicoba akan terasa semakin rumit jika berusaha untuk melupakan. Mungkin kebalikannya yang akan terjadi; akan semakin mengingatnya.
Melupakan memang tidak pernah semudah saat mengucapkannya.


Mataku menyusuri sedikit demi sedikit sisa-sisa dari kenangan yang hampir selesai ini.
Sesekali diselingi senyum; tawa kecil; lalu berakhir dengan diam ketika aku sampai pada penghujung.
Biar bagaimanapun, berjagalah terus, karena kalian, termasuk aku, tidak pernah tahu kapan akan bertemu dengan perpisahan. Tidak ada sama sekali. Untuk menerima perpisahan itu tidak lah mudah. Tidak ada yang pernah menyukai perpisahan, karena yang dicintai hanya lah pertemuan itu sendiri.
Dari awal aku sudah menekankan pada diriku sendiri. Hari ini akan tetap datang, cepat atau lambat, dan aku tidak akan pernah bisa mengelak dari hari ini. Hari tidak bisa dipindah dengan seenaknya seperti memindahkan saluran televisi.
Seperti malam-malam sebelumnya di minggu ini, menonton ulang film-film yang sudah ditonton meskipun film itu baru ditonton beberapa hari yang lalu, di minggu yang berbeda. Aku duduk dengan tenang di sofa sambil menonton film kesukaan kita, saat kau menghampiriku dengan tenang dan duduk disampingku dengan lengan yang melingkar di bahuku.
Aku menoleh sebentar untuk tersenyum padamu, yang kau balas dengan senyum kecil, dan kembali fokus pada film yang tengah diputar di layar di hadapan kita. Tidak lama berselang dari senyum itu, tiba-tiba aku diserang firasat buruk. Kau merasakan gestur tubuhku yang tiba-tiba berubah menjadi lebih tegang, karena selanjutnya kau mengusap-ngusap puncak kepalaku. “Seperti ini saja dulu.”bisikmu sambil mengusap terus puncak kepalaku.
Gestur tubuhku sama sekali tidak berubah. Tidak lebih tenang, tapi melainkan lebih tegang. Sedang menghitung mundur, kataku. Tapi, hanya aku ucapkan dalam hati. Aku membiarkan kepalaku bersandar padanya. Aku tidak tahu mengapa, tapi yang awalnya aku sangat bersemangat untuk menonton ulang film ini, tiba-tiba dua insan di layar yang tengah kasmaran itu berubah menjadi membosankan. Seperti mengonsumsi makanan yang sama setiap hari dan setiap jamnya.
Lama kelamaan usapan lembut di kepalaku seperti lagu pengantar tidur bagiku, mataku mulai terasa berat untuk terbuka. Perlahan dua kelopak mata ini mulai menutup dengan sendirinya, sebelum aku jatuh ke alam mimpi, aku masih sempat mendengar kau membisikan satu kalimat, “I love you, but try to let me go. Please, forgive me.” Untuk yang terakhir kali.
Aku terbangun dengan posisi menghadap ke sisi yang biasa kau tempati di tempat tidur. Tanganku terjulur mengusap sisi tempat tidurmu, berharap menemukan lekukan-lekukan yang menandakan bahwa sisi itu sempat ditempati, tapi aku tidak pernah menemukannya, lagi. Perlahan aku menoleh ke arah nakas disamping tempat tidurku. Benda yang sangat tidak aku inginkan; benda yang sangat aku hindari, sudah berada disana ditemani dengan secarik memo yang menempel di plastik pembungkusnya.

Aku minta maaf karena aku pergi dalam diam. Bahkan, aku tidak berani untuk mengatakannya langsung padamu sekaligus memberikan ini langsung. Aku terlalu pengecut untuk mengucapkan selamat tinggal padamu. Aku tidak pernah sama sekali menghitung hari, karena aku tahu, aku semakin dekat dengan hari ini.
Tapi, terima kasih karena kau sudah menemani hari-hariku yang terasa berat untuk dilalui dan menerimaku meskipun kau sudah tahu kenyataan yang ada di depan matamu, kenyataan yang harus kau hadapi. Terima kasih karena sudah mencintaiku yang tidak layak menerimanya darimu. Terakhir, terima kasih untuk semua kenangan ini.
Tetap saja kau jiwa yang selalu aku puja.

Aku kembali.

Nafas yang mengalir masuk ke rongga-rongga dan yang mengalirkan udara ke dua bilik paru-paruku tiba-tiba berhenti. Aku menempelkan kembali memo itu di plastik transparan itu dan merebahkan kepalaku yang tiba-tiba terasa pening ke atas bantal yang masih menguarkan aroma tubuhmu dan mencoba untuk kembali tenggelam dalam mimpi diiringi oleh wangimu.
Kau sudah memutuskan untuk kembali melewati jarak itu untuk kembali kesana.

Bulu mataku yang dulu sangat kau puja, bergerak terbuka, kembali menatap kejauhan dengan pandangan yang hampa.
Ya, biar bagaimana pun, aku tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa kau sudah kembali ke tempat yang seharusnya. Aku menatap benda dengan memo yang sudah hampir usang itu dengan tatapan nanar. Kau pergi dalam diam, dan aku pun diam dalam ketidaktahuanku saat kau pergi.
Tidak ada yang salah diantara kita, sayang. Yang ada hanya hubungan kita yang ternyata tidak cukup kuat untuk dipisahkan oleh jarak, hingga akhirnya kau pun dipilihkan untuk yang lainnya.
Aku masih belum melangkah keluar dari kotak yang aku sebut-sebut Kenangan Kita. Mungkin, karena aku masih belum bisa melangkah keluar. Padahal, langkahku di dalam pun sudah mulai tertatih. Karena, yang selama ini aku jaga berdua denganmu, kini aku menjaganya seorang diri. Memang seharusnya aku yang mengakhirinya lebih dahulu sebelum akhirnya aku harus membenci melepaskan. Aku membiarkan undangan pernikahan itu tergeletak begitu saja diatas nakas berserta dengan memo yang kau tulis dengan rapih dan meninggalkan gantungan foto berisi kenangan itu dengan langkah gontai.

Kenangan akan tetap menjadi kenangan.
Tidak ada yang bisa merubah kenyataan tersebut.
Kegiatanku setiap pagi tetaplah tidak berubah.
Mengenang.

I’m really thanked for you. For anything you give and what I accept from you.
So, let me wish you are happy, because it’s supposed to be like that.
See you in another story and places, if it’s should.

Fin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar