Sudah pernah dengar kalau ada orang yang kehilangan
itu berbahagia? Ah, mungkin ada. Tapi, percayalah padaku itu hanya
kepura-puraan belaka saja. Sejauh ini tidak ada yang benar-benar bahagia
meskipun ia baru saja kehilangan. Jangan percaya ketika ia tersenyum. Jika kau
bisa benar-benar melihat kau akan tahu perbedaannya seperti apa antara senyuman
yang benar-benar senyuman dan senyuman yang menyembunyikan rasa sakit.
“Bengong aja. Diculik setan loh.” Aku menoleh
sekilas sambil mencibir.
“Iya, kalau aku sampai diculik ya itu pasti kau
satu-satunya orang yang bakal melakukan itu.”jawabku sambil mendelik.
Ia tertawa. Tawa renyah yang selalu, ah yang sering
aku rindukan maksudku. “Berarti aku setan dong?”katanya disela-sela tawa.
“I’m not say
that, dude.”ledekku, sambil mengedipkan satu mataku kearahnya.
“Lagipula kalau aku menculikmu yang ada aku rugi.”
Kata-katanya menggantung diudara.
“Kok gitu?”gerutuku dengan kening yang berkerut.
“Iyalah, mending kalau kau benar-benar makan tiga
kali sehari, lah kalau kau itu udah
makan lebih dari tiga kali sehari porsinya kayak kuli pula. Mungkin, orang yang
menculikmu yang nggak tahu apa-apa bakal langsung ninggalin kau
ditempat.”candanya.
Aku meninju pelan lengannya sambil tertawa.
“Sialan.”cemoohku padanya. Ia terkekeh.
“Ngelamunin apa sih? Awas aja kalau ngelamunin aku.”
Aku bergidik ngeri. “Kau ini akibat baru pertama
kali jomblo atau emang lagi stres akibat diputusin? Aku sudah bilang, wanita
yang itu nggak ada benarnya. Udah benar kau kembali dengan yang lama, malah
ngeyel.”kataku. Ia menatapku dengan tatapan datar, lalu sedetik kemudian hanya
mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
“Lebih baik kau habiskan segera jus alpukat itu
sebelum sebagai gantinya kau mandi jus alpukat. Belum pernah kan?”ancamnya
dengan sangat santai, namun tajam. Selanjutnya, aku hanya tertawa
terbahak-bahak. Ia tidak akan pernah tega untuk menyiramku. Percaya padaku,
hanya aku yang berani menyiramnya didepan umum. Selanjutnya? Ia terkekeh
panjang yang bagiku menyeramkan dan dengan gerakan tiba-tiba langsung memelukku
erat, maksudnya adalah supaya aku ikut basah. Kurang ajar kan? Sebenarnya aku
yang kurang ajar. Hahaha.
“Baiklah. Aku habiskan sekarang, lalu gantinya kau
belikan aku Starbucks botol yang harganya selangit itu, ya? Oke? Deal!” Aku
langsung menenggak jus alpukat itu hingga tandas. Dan ia hanya melongo
melihatku.
“Ayo, sekarang beli kopinya!”seruku sambil
menggeretnya keluar dari kafe shop itu.
“Eh, apa-apaan?! Nggak deal dong! Itu kan hanya
sepihak.”gerutunya sambil melepaskan lengannya yang aku tarik.
“Ya nggak bisa, kau harus beli itu atau kau pulang
jalan kaki?” Aku tersenyum menang karena aku memegang kartu as-nya. Sepertinya
ia lupa kalau tadi aku yang mengendarai mobilnya kesini. Ia mendesah sebal, dan
langsung masuk ke mobil disisi supir. Sebelum masuk ke balik kemudi, aku
tertawa bahagia atas kemenanganku mendebatnya.
Dia orang yang pernah dan masih aku cintai saat ini.
Namun, yang tidak pernah aku ucapkan. Ia tidak tampan, tapi dimataku aku senang
melihat wajahnya. Aku menakar wajah seseorang dari enak-dilihat-atau-tidak, ya
simplenya, wajahnya bosenin atau tidak. Hanya itu. Aku tidak suka menakar
seseorang dari dia-tampan-atau-tidak. Kesannya mendiskriminasikan yang lainnya,
dan aku tidak suka. Dan aku suka rambutnya yang tidak pernah menyentuh kerah
baju, namun memiliki jambul. Aku sering sekali menertawakan jambul itu.
“Udah dong, nggak usah masang wajah cemberut gitu. Kita
bentar lagi sampai, kok.”ujarku sambil menepuk-nepuk kepalanya yang malah
semakin cemberut. Ia paling tidak suka ditepuk-tepuk, tapi ia tidak pernah
menepisnya. Paling ia hanya memberikan wajah yang siap menelan orang
hidup-hidup. Aku terbahak-bahak melihat wajahnya yang semakin kusam.
“Kau ini benar-benar berniat membuat kantongku
kering? Kau nggak tahu apa tadi kau makan sebanyak apa? Terus, sekarang minta
dibeliin Starbucks?! Kau pikir aku ini Ayahmu?! Untung aku bukan pacarmu. Kalau
aku pacarmu, sekarang dipikiranku adalah bagaimana caranya aku bisa mutusin kau yang mulutnya berbisa kayak
ular.”celotehnya panjang lebar dari bangku disamping supir. Aku hanya
menjawabnya dengan tertawa saja.
Dia tidak akan benar-benar marah padaku, percayalah.
Aku melompat turun dari mobilnya yang tinggi itu,
diikuti oleh pemilik mobil dengan wajah yang cemberut. Ia berjalan mendahuluiku
dan mendorong pintu untukku. “Terima kasih.”ucapku dengan tulus. See? Bahkan dengan wajah masamnya itu ia
tetap masih bisa berlaku sopan pada wanita yang sudah membuat wajahnya masam
ini. Tapi, coba kalau aku perhatikan. Ia tidak akan seperti itu pada perempuan-perempuannya
yang lain. Ya kalau dia kesal pada wanita itu, jangan harap ia akan memanjakan
wanitanya, yang ada malah ditinggal dibelakangnya, apalagi langkahnya dia dua
langkahnya orang normal. Kejam.
“Tidak yang mahal-mahal!”perintahnya sambil menyerahkan
dompet coklat tuanya. Aku menerimanya dengan senang hati. Perutku ini paling
anti kalau belum kena kopi. Parah ya? Aku memesan cappucino, seperti biasa. Dan
untuk mengembalikkan moodnya si bos itu, aku memesankan latte hangat untuknya.
“Kan aku tidak pesan kopi!”serunya, masih dengan
nada yang sebal.
“Yaudah, aku yang habisin aja semua kalau kau nggak
mau.”kataku sambil menarik gelas kopi yang aku letakkan dihadapannya. Tapi,
sedetik kemudian ia menahannya.
“Biar aku yang bantu habiskan.”jawabnya dengan
lemah. Aku tertawa dalam hati. Lihatkan? Dia itu hanya malu-malu kucing saja.
Aku membiarkan udara sejuk melewati jarak diantara
kami ini. Aku selalu menikmati waktuku seperti ini. Dan ia tidak pernah mengusikku,
ia terlalu tahu bagaimana caranya memberikan aku quality time untuk diriku sendiri meskipun saat itu aku sedang
bersamanya. Satu tanganku memegang cangkir cappucino hangat itu, dan sementara
yang satu lagi membalik halaman novel yang aku letakkan terbuka diatas meja.
“Liv...” Aku merasa familiar dengan nama itu. Aku
mendongak dan mendapatinya tengah menatap seseorang yang berdiri di kejauhan,
sedang mengantri kopi. Aku menyipitkan mataku hingga tinggal segaris, dan aku
membeku ditempat. Aku merutuki diriku sendiri. Sepertinya hari ini bukan hari
keberuntunganku. Aku menyandarkan punggungku kesandaran sofa dengan tidak mood.
“Samperin aja.”kataku dengan tidak bersemangat. Ia
menatapku setengah berharap.
“Kalau kau yakin itu dia, ya samperin. Kalau nggak,
ya tetep coba. Daripada gigit jari.”gumamku tak acuh, melarikan tatapanku ke
buku. Supaya ia tidak perlu melihat emosi yang tiba-tiba muncul antara sedih,
cemburu, iri, dan senang yang ada di mataku. Mamaku selalu berkata kalau setiap
emosi yang tidak aku sampaikan dan hanya aku simpan itu selalu bisa terlihat
dimataku, meski hanya melihat sekilas saja.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dari kursinya. Ia
berjalan dengan ragu-ragu ke arah antrian, perlahan ia menoleh ke arahku. Aku
mengangguk sambil tersenyum, memberinya kepercayaan kalau ia tidak salah lihat,
karena aku sendiri yakin kalau kita tidak salah lihat soalnya. Ia membalikkan
badannya dan berjalan dengan mantap ke barisan antrian.
Sedetik kemudian aku mendengar suara pekikkan
tertahan. Aku menghembuskan nafas lega. Ternyata kami memang tidak salah lihat.
Diam-diam aku tersenyum. Setelah hampir sekian lama ia tidak bertemu dengan
wanita yang benar-benar ia anggap wanita dimatanya, kini mereka bertemu
kembali. Ternyata waktu memiliki skenarionya sendiri. Secara tidak langsung
waktu mengatur pertemuan mereka. Aku memang memiliki kepercayaan kalau waktu
memang memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan dua orang yang sudah
berpisah untuk bertemu kembali. Meskipun sudah terpisahkan berkali-kali namun, jika
memang mereka ditakdirkan bertemu kembali maka akan terjadi. Tidak ada yang
bisa menentang alam, kalau memang sudah jodoh. Seorang dukun sekali pun.
Aku meletakkan sepasang earphone ditelingaku. Menghalau suara-suara bising disekitarku dan
lanjut membaca. Kopi yang tinggal setengah itu tidak aku hiraukan. Aku sudah
tidak terlalu mood untuk menghabiskan kopi itu saat ini. Mungkin nanti.
Belum lama aku membaca, ia kembali ke sofanya. Aku
menatap dengan heran. Aku pikir ia akan mengajak wanita itu duduk disini.
berhubung ada satu sofa kosong disamping kami ini. “Loh, kok nggak diajak
gabung?”tanyaku bingung.
Ia terkekeh. “Dia tadi lagi nemenin temannya makan
siang. Terus pas dia mau ke wc dan lewat sini, dia lihat disini antriannya lagi
nggak panjang, jadi dia mampir. Tadi abis pesan kopi, dia langsung balik ke
tempat makan. Dan kau tahu, kita tukeran nomor handphone!”pekiknya dengan
bahagia. Jujur, aku tidak pernah melihatnya sebahagia ini. Bahkan, hanya dengan
saling bertukar nomor handphone saja sudah sanggup membuat laki-laki
dihadapanku ini berbuat apa saja. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat
tingkahnya. Seperti bocah yang mendapatkan permen dalam sekali minta.
“Yaudah, bagus kan moodnya balik lagi? Sekarang aku
bisa pesan kopi lagi kan?”kataku dengan datar.
Wajahnya tidak kalah datar dariku saat menjawab,
“Tidak.” dengan tegas dan mulai sibuk dengan handphonenya. Aku rasa kalau aku
menghilang sekarang juga ia tidak akan tahu atau bahkan tidak peduli. Aku
memberengut di sofa dan melanjutkan acara membacaku dan menyesap
sedikit-sedikit kopiku yang sudah menipis.
Lebih baik aku pulang dan tidur, daripada aku harus
merasakan aura-aura yang sanggup membuatku gila karena cemburu dan iri. “Ayo
pulang. Tapi, aku mau beli satu kopi dulu buat dibawa pulang. Tenang saja kau nggak
usah protes kali ini aku beli pakai duitku.”jawabku dengan datar, aku langsung
menambahkan kalimat terakhir dibelakang sebelum ia sempat protes karena hari
ini aku sudah cukup jadi cewek matre.
Ia menunggu dengan sabar disampingku yang sedang
menunggu namaku dipanggil. Kali ini jemarinya tidak sibuk mengetikkan pesan di
ponsel. Begitu aku mendapatkan kopiku, aku langsung berjalan lebih dulu menuju
pintu, namun ia selalu bisa mendahuluiku. Aku biarkan ia membukakan pintu
untukku dan mengucapkan terima kasih dalam gumaman.
“Kali ini kau saja yang nyetir. Aku capai. Mau
tidur.”kataku setengah malas, sambil melempar kunci mobil kearahnya yang dengan
kening berkerut menerima kunci mobil itu dan langsung mengambil jalan ke pintu
supir. Begitu aku duduk dibangku yang nyaman itu, aku langsung memejamkan mata,
sementara ia memutarkan lagu jazz
instrumental di music player.
Ketika aku membuka mata sebentar aku mendapati ia
tengah mengetik sesuatu diponselnya. “Kau ini berniat untuk membunuhku dengan
main ponsel saat nyetir?!”pekikku kaget. Ia pun terkejut mendengar aku yang
memekik tiba-tiba. Setahuku, dan semoga belum berubah, dia adalah laki-laki
yang paling anti untuk bermain ponsel saat sedang nyetir. Dan aku tidak tahu,
hari ini ia sedang kesambet setan apa sehingga tiba-tiba dia seperti ini.
“Kau bisa tunggu sampai dirumahku dulu kan untuk membalas
pesannya?”gerutuku dengan sinis. Ia menghembuskan nafas dan meletakkan
ponselnya di dashboard. Tidak lama
kemudian, aku bisa merasakan ada getaran dari ponsel itu. Aku langsung
mengambil ponsel itu sebelum tangannya lebih dulu. Dan ada satu pesan yang
muncul di layar. Oh, ternyata benar. Mereka langsung smsan. Aku membalas pesan
wanita itu tanpa permisi dengan mengatakan untuk tidak menghubunginya yang saat
ini sedang menyetir. Memang dari nada balasanku seperti sinis, tapi masa
bodolah. Aku tidak mau hanya karena sms, dan dia tega untuk membahayakan dua
nyawa.
Ia hanya diam saja saat aku mengomel tadi. Aku pun
diam. Karena, aku merasa tidak bersalah. Jadi, aku merasa tidak memiliki
kewajiban untuk meminta maaf padanya. Wajahku masih cemberut saja. Lalu
tangannya itu menyentuh puncak kepalaku dan mengusapnya pelan-pelan, hal yang
biasanya ia lakukan untuk menenangkanku.
“Maaf, ya.”ujarnya dengan lembut masih dengan
mengusap-usap rambutku.
Sepertinya aku lupa memberitahu kalau dia itu juga
tahu cara mengembalikkan moodku. Tapi, hanya dia yang sanggup mengembalikkan
moodku hanya dengan seperti ini.
“Ayo dong, jangan cemberut terus. Aku kan udah minta
maaf. Aku tahu kau khawatir, aku tahu. Aku minta maaf.” Ia masih berusaha
membujukku dengan suaranya yang lembut dan dalam itu.
“Iya.”jawabku pendek. Pelan-pelan wajah cemberutku
menghilang, seiring dan menghilangnya usapan dirambutku.
“Gitu dong. Jadinya kan aku bisa pulang dengan
selamat.”candanya.
“Kok gitu?”
“Kan bisa aja, pas kau turun dari mobil kau
menyumpah-nyumpahi aku saking masih sebalnya sama aku. Hayo? Iya kan?”ledeknya.
Aku mencibir, namun tidak kembali kesal. Ia tertawa pelan karenanya.
Begitu sampai di depan pintu rumah, oops maksudnya
apartemen yang sederhana yang menjadi tempat aku indekos, aku mencium pipinya
sebagai tanda perpisahan untuk hari ini. “Hati-hati dijalan ya. Thank you for the coffee.”ujarku setelah
ia balas mencium puncak kepalaku. Aku tidak tahu mengapa ia senang mencium
puncak kepalaku.
Saat aku turun dari mobil itu dan menunggu mobil itu
menghilang dari pandangan, aku kembali merasakan satu perasaan yang selalu
sama. Kehilangan. Rasanya, aku hanya tidak ingin berpisah dengannya meskipun
besok dan seterusnya kami akan bertemu. Dari hal barusan, kalian jangan
berpikiran aku dan dia berpacaran ya. Asal kalian tahu aja, dia itu masih stuck di mantannya yang tadi ketemu di
Starbucks. Hahaha. Aku menertawakan diriku sendiri yang mencintai seorang yang
masih terjebak di masa lalu. Aku tidak pernah berniat untuk merebut
perhatiannya. Karena, bagiku seperti ini saja sudah cukup. Naif ya? biarlah.
Aku mencoba untuk bersyukur. Meskipun aku sendiri harus menekan rasa iri yang
lebih besar daripada cemburu ini.
Aku melangkah dengan gontai menuju elevator yang
membawaku ke lantai tiga tempat indekosku berada beberapa meter dari elevator.
Kotak besi itu mengeluarkan suara ‘ting’ sesaat sebelum pintu terbuka. Begitu
aku masuk ke dalam, aku meletakkan sepatuku di dekat anak tangga pertama. Dan
begitu aku naik keatas, aku menyibakkan gorden di jendela besarku. Membiarkan
matahari sore merangkak masuk kedalam ruanganku ini, sembari berjalan menuju pantry untuk membuat teh hangat yang aku
bawa ke ruang tv.
Biasanya kalau dia sedang malas pulang cepat ke
rumahnya, ia akan mampir disini sampai malam hanya untuk bermalas-malasan
disofa denganku. Tapi, sepertinya hari ini ia terlalu bersemangat untuk
mendekam dikamarnya dengan ponsel yang ia bawa kemana-mana. Berani bertaruh
denganku, mulai besok ia tidak akan pernah jauh dari ponselnya barang sesenti
pun. Mungkin, kalau sekarang aku iseng meneleponnya, aku akan dibanjiri dengan
segala makian dari paling halus sampai paling kasar yang ia punya dan aku hanya
akan menjawabnya dengan tertawa terbahak-bahak. Pasti ia mengharapkan kalau
wanita itu yang meneleponnya atau membalas smsnya.
Aku terkikik geli saat membayangkan wajahnya yang
kesal karena merasa di php-in oleh ponsel sendiri.
Aku menghembuskan nafas panjang. Ketika tidak ada
wanita lain dihidupnya selain aku, aku sanggup untuk tertawa lega dan
benar-benar bahagia. Tapi, ketika ada satu yang melangkah masuk kedalam
hidupnya selain aku, rasanya aku ingin memilih untuk pergi saja saat itu dan meninggalkannya
berdua dengan dunianya. Karena, aku tahu aku tidak akan bisa seperti mereka.
Itu hanya harapan kosong yang tidak akan terealisasikan. Hanya mimpi seorang
gadis kecil yang ingin dijemput oleh pangeran berkuda.
Aku duduk termangu seperti orang yang kehilangan
ruhnya dengan dua tangan yang menangkup gelas teh dan dengan tv yang menyala
tanpa ada niatan untuk aku tonton. Aku menyalakan tv itu dengan niatan supaya
terdengar ramai saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Pada akhirnya, aku
memutuskan untuk merinngkuk di sofa itu sampai tertidur. Dan tidak menyentuh
teh yang aku buat itu.
Kira-kira bisa semudah itu kah meninggalkan perasaan
seperti meninggalkan teh yang sudah dibuat begitu saja? Andai saja bisa. Tapi,
pasti tidak semudah itu. Aku lebih menghargai teh yang dibuat dari beberapa
proses. Itu mengajarkanku bahwa semuanya tidak instan, pasti membutuhkan
proses. Memang bukan hanya teh, kopi juga. Tapi, ya suka-suka aku dong mau pake
yang mana.
Aku terbangun oleh deringan bel di pintu apartemenku.
Aku menoleh ke kanan dan kiri. “Gila! Udah gelap lagi aja. Jam berapa coba
ini?”gerutuku.
“HEI GADIS PEMALAS! CEPAT BUKA PINTUNYA!” Teriak
sebuah suara dari balik luar pintu dengan gemas. Aku menepuk jidatku. Lupa! Kalau
aku telat membukakan pintu dalam hitungan detik, mungkin pintu itu sudah
terpental entah kemana dan membuat tetangga yang lain siap menelepon polisi.
Aku membuka pintu dengan lebar-lebar. “Ngapain
disini?”tanyaku sambil bersandar di kusen pintu.
“Mau ngebakar! Ya aku mau bikin makanan!”jawabnya
dengan gusar dan menenteng barang belanjaannya ke dalam, meninggalkan aku yang
masih bengong. Tumben ini anak orang belanja sendirian. Biasanya dia udah
merongrong aku di telepon untuk menemaninya belanja bahan masakan.
“Kau itu ya aku teleponin nggak ada jawabannya mulu.
Itu mbak-mbak operator mungkin udah bete kali ngasih tau aku buat nelpon nanti
lagi. Sekali lagi aku nelpon kau, mungkin mbak operator itu bakal langsung
teriak ‘BISA TELEPON NANTI AJA NGGAK?!’ Hiiiiiy, ngeri!” Aku hanya bisa tertawa
terbahak-bahak di sofa mendengar ia bercerita. Aku sendiri bingung, dia itu
sebenarnya lagi ngomelin aku atau mbak-mbak operator?
“Heh! Nggak usah ngejogrog
disitu! Bantuin aku bikin makan malam nih! Emang aku kesini buat jadi pembokat
gratis semalam?! Buru!”serunya sambil mengacung-acungkan pisau. Aku langsung
melompati dua anak tangga yang menuju dapur.
“Siap pak bos!”seruku.
Waktu aku buka handphoneku, ternyata ada sekitar 20 missed call. Ya, cuma dia doang the one and only yang sampai menelepon
segitu banyaknya. Dan sms yang aku nggak bisa hitung sama sekali. dari yang
paling halus sampai yang isinya capslock
semua. Aku tertawa terbahak-bahak setiap membaca semua pesannya. Ia memberengut
ditempat duduknya.
Kami memutuskan untuk makan malam di beranda luar
yang menghadap langsung ke keramaian kota dan lampu-lampu rumah dan jalanan.
Duduk di bangku selonjoran yang bisa ditemukan di pinggir kolam renang atau
pantai itu. Sorry, aku nggak tahu
namanya. Hahaha.
“Hah! Ini enak banget!”ujarnya sambil menumpukkan
kedua tangannya dibelakang kepala dan memejamkan matanya. Aku masih sibuk
mencicipi masakannya. Jadi, selama satu jam berkutat di dapur itu aku hanya
menjadi kelinci percobaan, enak atau tidak. Karena, aku berhasil menghancurkan
gorengannya diatas panggangan.
“Ini apalagi!”gumamku dengan mulut penuh.
“Hah! Kau itu makan mulu, tapi nggak ada
gendutnya.”jawabnya. Aku terkekeh dan masih asik mencomot sana-sini.
“Menurutmu, aku udah bisa ngajakin dia jalan belum
ya?” Tiba-tiba ia berkata melenceng jauh dari topik. Alhasil, makanan yang aku
telan salah masuk jalur dan membuatku tersedak dan megap-megap seperti
kehabisan napas. “Uhuk...huk...uhuk...” Ia langsung panik dan mengusap-ngusap
punggungku dengan lembut sambil memberikanku minum.
“Makannya pelan-pelan dong. Nggak bakal langsung
habis kok ini semua makanannya. Tenang aja.”katanya dengan santai sambil
kembali ke posisinya semula setelah aku berhasil mengontrol nafasku lagi.
Aku cemberut dan mengabaikan kata-katanya. Selera
makanku jadi menghilang karenanya.
“Jadi, gimana menurutmu?”
“Menurutku apaan?!”sergahku dengan nada tinggi. Ia
langsung menoleh. Aku buru-buru berdeham-deham dan menenggak minumanku. Oops,
reaksiku kelewatan.
“Lagi PMS, ya?”katanya dengan polos.
“Enak aja. Udah lewat kali!”jawabku.
“Maksudku, perasaan marah selalu, kok.”balasnya,
lalu tertawa melihat wajahku yang langsung ditekuk 7 lipatan.
“JAYUS!”teriakku. meskipun ada jarak cukup jauh,
tapi teriakanku sepertinya sukses menusuk gendang telinganya.
“Tolong, Re, kalau mau teriak-teriak liat situasi
dan jam.”gerutunya, masih memegangi telinganya. Berharap masih berfungsi dengan
baik.
“Mana bisa!”jawabku dengan santai selonjoran di
kursi malas itu dan menikmati udara malam. Memang kata orang udara malam itu
tidak baik untuk kesehatan. Tapi, untuk saat ini...masa bodoh lah dengan hal
itu. Udaranya terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Udara itu sama ya kayak perasaan. Bisa merasakannya
itu menyenangkan, tapi ketika sudah merasakannya lagi rasanya seperti
kehilangan dan rasanya akan mati mungkin. Udara dan perasaan itu memiliki satu
persamaan, sama-sama membuat orang ketergantungan.
“Udah malem, udah duduk diluar, malah bengong lagi
ini gadis. Eh apa udah nggak?”celetuknya sambil menggigit sepotong sosis yang
mulai dingin.
Aku langsung menatapnya dengan tajam, “Kau belum
pernah dilemparin panci ya?!”
Ia mengangkat kedua tangannya seperti menyerah
sambil tertawa-tawa dan dengan mulut yang sibuk mengunyah potongan sosis.
“Aku kira malam ini kau akan mendekam di dalam kamar
dan dengan tangan yang sibuk sms-an.”
“Aku tidak akan sejahat itu padamu, Re. Aku tahu
kalau kau akan merindukanku.”
“TIDUR DISINI KAU!”ancamku dan langsung masuk ke
dalam dan mengunci rolling door yang
terhubung ke beranda luar.
Meskipun rolling
door itu sudah aku tutup, tapi suara
tawanya masih menggema. Aku mendengus sebal. Dasar laki-laki itu, tingkat
kepedeannya sudah di level menakutkan. Biarkan saja dia tidur dalam dingin
begitu.
Sudah jam segini, ia tidak akan pulang. Dan aku
memang akan melarangnya pulang. Jalanan sudah terlalu sepi untuk membiarkannya
menyetir sendirian.
“Ayolah, Re. Kau tega mengunci aku diluar sini?
Bukannya aku sumber isi perutmu?”bujuknya sambil bersandar di besi beranda
dekat pintu, dengan dua tangan yang bersedekap di dadanya, dan dengan seringai
yang menghiasi wajahnya.
Hah! Dasar lemah! Dibujuk gitu aja aku langsung
membukakannya pintu.
Tapi, hal selanjutnya yang membuatku terkejut adalah
tubuhku ditarik ke pelukannya. Wangi tubuhnya langsung menyerang indra
penciumanku. Begitu kedua lengannya memerangkap tubuhku, ia mendesah lega.
“Udah lama nggak kayak gini.” Ia menumpukkan
kepalanya di puncak kepalaku.
Hening. Aku tidak berani menjawab, apalagi
mengeluarkan suara. Yang ada nanti malah aku menjawabnya dengan gemetaran.
Memang sudah cukup lama tidak seperti ini. Sering
aku merindukan kami yang seperti saat ini. Tapi, tidak mungkin bagiku untuk
meminta padanya atau tiba-tiba langsung memeluknya. Karena, biasanya dialah
yang lebih dulu melakukan hal tersebut. Ya contohnya seperti ini.
“Udah berapa lama ya?”
Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
Diam. Ia berkata apa-apa. Tapi, tangannya mengusap
kepalaku dengan lembut.
Kedua tanganku memeluk punggungnya. Punggung yang
sering kali menjadi objek tinjuku, tapi yang dibalas dengan tawa terbahaknya
seakan-akan itu hanya sebuah cubitan anak kecil yang tidak sakit.
Nyaman. Rasanya, aku tidak ingin keluar dari lingkup
pelukannya yang seperti ini.
Harap dimaklumi jam tidurku, ya. Udah kayak
kelelawar aja jam tidurku ini. teman-temanku selain ia saja sampai frustasi
kalau mau menghubungiku harus setelah jam 12 siang. Kadang, malah lebih.
Heheheh.
“Hei, anak gadis. Lekas bangun! Aku sudah siapkan
cappucino hangat buatmu dan roti bakar coklat. Cepat bangun kalau tidak mau
kehabisan.”bisiknya. Hidungku samar-samar mencium wangi aftershave darinya. Hmm, sepertinya dia baru beres mandi.
Aku menyibakkan selimutku entah kemana, dan berjalan
dengan lunglai ke ruang makan dengan rambut yang menjulur ke segala arah mata
angin. Masa bodoh dengan pakaian tidurku yang hanya mengenakan baju kedodoran
dan celana pendek yang tersembunyi dibaliknya. Aku duduk di bar stool dan memutar-mutarnya.
“Ayo cepatlah mana kopiku?! Lama kali kau
ini!”gerutuku dengan wajah cemberut.
“Udah tinggal minum aja banyak protes. Nih. Kalau
mau lagi masih ada di teko.” Selang sedetik, beli indekosku berdering. Aku
mengantar laki-laki itu yang sudah mandi, sudah wangi, sudah pakai kaus ganti,
dan sudah pakai celana sedengkul itu berjalan ke arah pintu indekos dengan
kening berkerut dan dengan mulut sibuk menyeruput kopi.
Dalam hati, aku heran. Memangnya aku sempat
mengundang seseorang kesini sesiang ini untuk menikmati kopi dan roti bakar
yang menurutku sudah terlalu siang untuk disebut sarapan? Emang iya ya? Semalam
kan aku nggak mabuk. Semalam habis dari beranda itu, kami nonton film sampai
ketiduran. Terus, bangun pagi tadi aku udah diatas kasur. Jadi? Ah, kalian
tidak perlu khawatir. Laki-laki itu sudah tahu dimana ia akan tidur. Di sofa
bed. Bahkan di sofa itu sudah ada bantal dan selimut yang ia bawa sendiri.
Wait. Jadi, siapa gerangan yang siang-siang begini
bertamu? Jarang sekali ada yang bertamu sesiang ini ke indekosku kecuali
laki-laki ini.
Aku yang hendak memutar tubuhku kembali ke posisi
semula, malah menyemprotkan isi mulutku
begitu melihat siapa yang muncul di puncak tangga. Perempuan itu! Hanya
mengenakan dress selulut bermotif floral berwarna krem dan dengan rambut coklat
tuanya yang digerai. Laki-laki itu menatapku dengan heran yang menyemprotkan
kopiku. Dia nggak tau aja perasaan gue. Shock, man!
“Siang, Re. Baru bangun ya?”tanyanya dengan ramah.
Aku hanya terkekeh miris.
“Iya, biasalah semalam abis begadang ngelonin itu
laki.”kataku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali. Perempuan
itu menoleh ke lain arah dan tertawa pelan.
“Rain, aku...aku ya pokoknya kesana lah.”kataku
dengan kikuk mengambil cangkir kopi dan piring roti bakarku dan memilih untuk
keluar ke beranda. Sebelum ia sempat menahanku, rolling door itu sudah aku tutup duluan. Karena, kalau aku sudah
disini, ia tidak akan kesini, dan memilih untuk duduk di sofa ruang tamu saja.
Aku duduk selonjoran dan memejamkan mataku. Aku
biarkan kopi dan roti itu mendingin. Berharap supaya perasaan ini buru-buru
membeku saja. Seandainya semudah itu. melihatnya dengan wanita yang lainnya aku
sudah biasa. Tapi, dengan wanita yang ini. Rasanya terlalu menyesakkan.
Mengapa? Karena, hanya wanita ini satu-satunya yang benar-benar ia cintai; yang
benar-benar ia anggap wanita di matanya. Aku? Baginya aku memang wanita, tapi
setengah laki-laki. Ia bahkan sempat menyarankan padaku untuk periksa ke
dokter, barangkali hormon laki-laki di tubuhku lebih banyak. Dan dia mendapat
hadiah sebuah jitakan kencang dariku, membuatnya mengaduh kesakitan. Aku sih
bodo amat. Dia bakal sembuh cepat ini kok.
“Demen banget bengong sih.” Sikutku ditepuk pelan.
“Siapa yang bengong sih?! Nggak lihat ini mata
merem?!”gerutuku dengan sebal dan memunggunginya.
“Kalau mau tidur ya di kasur lah. Pegal tau kalau
aku harus mengangkutmu ke kasur. Udah bagus nggak aku seret.”katanya.
“Nggak usah, aku udah enjoy disini. Kau balik lagi
ke dalam aja. Temenin tuh.”kataku, setengah mengusirnya.
“Dia lagi ke kamar mandi.”katanya dengan singkat,
dan datar.
“Berantem?”tanyaku.
Ia terkekeh. “Ya nggak lah. Cuma....”
“Rain?” Aku menoleh ke arah pintu. Laki-laki itu
menoleh sambil tersenyum dan kembali masuk ke dalam.
Rain. Hujan. Laki-laki yang kukenal ini memang seperti
hujan. Menyejukkan, namun dimiliki oleh semua orang. Aku sempat tertawa begitu
tahu namanya. Saat aku tertawa, ia menatapku dengan heran. Mungkin, ia berpikir
aku ini perempuan gila yang baru kenal dengannya namun sudah menertawakan
namanya. Aku bukan menertawakan namanya, aku menertawakan pada kegilaan otakku.
Aku pernah berpikir, kalau ada laki-laki yang seperti hujan dan bernama seperti
hujan, mungkin akan terdengar unik, tapi aku menyukai pikiran sesaatku itu.
Aku kenal dengannya di salah satu tempat les bahasa,
laki-laki ini sekelas denganku. Setelah aku kenal, aku hanya bisa geleng-geleng
kepala. Aku tidak pernah menyangka dia memiliki sisi gila dan sisi percaya diri
yang kelewat batas. Saat ia kenal dengan wanita yang ia puja-puja yang kini ada
di dalam itu, ia terlihat seperti seseorang yang sudah menemukan jodohnya dan
sudah siap menikah besok. Dan saat mereka berpisah, ia terlihat seperti orang
yang siap mati saat itu juga. Aku hanya memberikannya pelukan menenangkan dan
secangkir kopi. Terkadang, aku membiarkan ia tertidur diatas pangkuanku. Dan
suatu hari, entah di hari keberapa ia kehilangan, ia terbangun disisiku sambil
tersenyum dan mencium puncak kepalaku. Dan bergumam, “Terima kasih.” Aku hanya
menatapnya terheran-heran.
Selanjutnya ya seperti saat ini. Ia seperti baru
bangun dari tidur panjang dan mimpi buruknya, lalu merasa bahagia kalau apa
yang ia impikan tidak terjadi di dunia nyata.
Seorang wanita berdiri di dekat rolling door, “Re, aku pulang dulu ya.” Aku mengangguk sambil
tersenyum.
“Re, aku antar dia ke pintu dulu ya.”
“Sekalian aja kau pulang sana!”ledekku padanya yang
hanya terkekeh. Tahu bahwa aku tidak benar-benar menyuruhnya pulang.
“Teh sama kopinya keburu dihabisin sama lalar.”
“Biarin aja.” Jawabku dengan tak acuh, masih dengan
memejamkan mata.
“Re...,”panggilnya pelan. Aku menggumam, “Apa sih?
Ganggu amat orang lagi santai.” Tiba-tiba ia meraih tanganku yang aku tumpukkan
dibelakang kepala, ke dalam genggaman tangannya yang terasa...pas. Mau berapa
kali aku dibuat shock hari ini olehnya? Satu kali lagi mungkin aku bisa dapat
jodoh ganteng! Ngarep banget nggak sih? Biarin. Namanya juga ngarep, nggak
bakal ngira-ngira.
Aku membuka mataku dan menatapnya dengan kening
berkerut. Ia yang membelakangi sinar matahari, membuat rambut coklatnya
terlihat kemerah-merahan, dan membiaskan semburat cahaya oranye. Samar-samar
aku melihat ia tersenyum lembut padaku dengan mata teduhnya, “Orang tuaku
semalam baru saja touchdown disini
dan mereka menginap di hotel dekat bandara, nanti malam mereka baru move ke rumahku –“
Aku mendengus sebal dibikin penasaran gini, aku
langsung memotong kalimatnya, “Rain, langsung ke poin utamanya. Kau tahu kan
kalau aku tidak suka yang bertele-tele. I will appreciate you, if you to the point.
How I hate –“
Ia pun membalas memotong kalimatku dengan santai,
“Re, aku mau ajak kau ketemu orang tuaku.” WAIT!
Give me a second, no, a minuteee~~! What he said?!! Did he serious with that?! Jantung
aku rasanya mau copot sampai ke ujung jempol.
Aku yang hampir melongo itu berdeham pelan, “Aku kan
udah biasa ketemu sama orang tuamu. Trus? Something
wrong?”tanyaku, berlagak polos.
Ia tertawa. “Kali ini dalam konteks yang berbeda,
Re. I want to announce to them, that I want you to
be part of my life, to be my partner for the rest of my time, Re. Because, at
the first time we met, I know, one day I will realized this feeling. And I
know, I should to admit it. I don’t want to become a liar to myself. That’s the
reason I want you to meet my parents soon even though they already know you.” Ia
menarik nafas pelan, lalu ia menatap langsung ke mataku, dan berkata, “So, ich liebe dich, Re.” Ia menutup
serangkaian kalimatnya itu dengan menarik kepalaku dan mengecup puncak
kepalaku.
HAHAHAHA! Dia belum liat aja mukaku saat ini! Udah
kayak kepiting rebus, man! Kalau dia
lihat, paling dia akan tertawa sampai jatuh ke lantai segala. Kali ini mungkin
jantungku benar-benar merosot sampai ke ujung jempol kaki.
Aku masih melongo. Tapi, lagi-lagi aku mencoba untuk
stay cool, “Emang aku bakal bilang
iya? Emang aku bakal bilang mau?”kataku dengan wajah tengil.
Lagi, ia tertawa. “Kapan kau bisa menolakku? Aku
minta ditemani ke tempat gym, kau mau. Aku minta tolong kau menjemput dua orang
tuaku, kau mau. Aku minta tolong kau untuk menemaniku gunting rambut, kau mau.
Bahkan, kau rela-rela saja jadi obat nyamuk saat aku dengan pacar-pacarku yang
sebelumnya ini.”
“Memang itu bisa jadi tolok ukur? Nggak tuh. Semua
sahabat kan bakal melakukan itu semua. Kau juga tidak bisa menolakku, Rain. Kau
yang paling tidak menolakku. Kalau aku sebutkan semuanya satu-satu, keburu
malam.” Kataku dengan tawa.
“Tapi, ada satu yang belum aku minta
darimu.”katanya, ia bahkan tidak menjawab kalimatku. Aku mengerutkan kening. “Apa?”tanyaku
dengan bingung.
“Jadi, ibu untuk anak kita nantinya.”Hah! Lemah
banget, baru dibilang gitu aja aku udah tersipu-sipu.
“Aku selalu suka bagian kau yang seperti ini!
Hahaha~!!” Dan ia memelukku sambil tertawa.
“Emang udah aku jawab iya atau tidak?! Lalu, aku ini
orang kedua dari wanita itu?!”gerutuku, menahan malu.
“Dengan ekspresimu seperti itu, aku sudah tahu
jawaban yang akan kau berikan untukku. Tidak usah khawatir, aku selalu tahu apa
yang ada di pikiranmu. Kepalamu terlalu transparan dimataku. Dan, soal mantanku
itu, ia sebentar lagi akan menikah. Aku mengundangnya kesini juga sekalian ia
mengantarkan surat undangan. Untuk kita.”jawabnya dengan lembut. “Jadi, anggap
saja, yang kemarin-kemarin itu aku hanya mengujimu, Re.” Ia berbisik sambil
tertawa puas.
Aku mencubit pinggangnya, membuatnya mengaduh dalam
tawanya.
“Ich liebe dich,
Rain.” Bisikku.
“Aku tahu, Re, aku tahu. Aku tidak pernah meminta
apalagi berharap kau akan menjawab kalimat itu. Karena, aku selalu tahu
kau.”katanya. Ia mencium puncak kepalaku lama sekali.
Senja kota Wina hari ini menjadi saksi biksu
serangkaian kalimat yang ia ucapkan padaku dengan lembut, namun tegas dan penuh
keyakinan.
Leee kerenn leeee keren! Baguslah pokoknya. Gue suka ceritanya. Ceritanya tuh sosweeeettttt banget :")))) kurangnya cuma masih ada yang typo dan sisanya goodlah :)
BalasHapussoooo sweet sekali vale :'> bagus! :D
BalasHapusihhh berhasil banget buat jomblo yg ngenes gini klepek" karna iri :') DUNIA INI NGGA ADIL
BalasHapus