Ibu
pernah bilang, “Ndok, kalau ada
masalah ya jangan lari toh. Memang kamu ndak lelah lari terus? Kamu sudah jadi wanita dewasa, pikiranmu
juga seharusnya ikut dewasa toh. Kamu
bukan anak umur 5 tahun lagi yang harus Ibu jaga. Sekarang, kamu yang harus
jaga hatimu sama hidupmu sendiri.” Meski beliau tidak berada di tanah
kelahirannya, tapi bahasa Jawanya masih kental serta medoknya.
Kau
hidup, kau pun telah dipilihkan jalannya. Tidak ada jalan cerita yang mulus,
bahkan jalan tol masih memiliki penghambat; apapun itu. Tadinya aku memang
berniat untuk lari dari masa lalu, tapi Ibu yang seakan-akan ikut merasakan,
langsung membuka kalimat, membuatku untuk mengurungkan niatku .Tapi, hingga
sekarang, aku tidak kunjung menghadapinya. Aku hanya menimbunnya dipojokkan.
Tidak pernah aku datangi.
Akan
ada saatnya kau menutup lembaran yang lain untuk membuka lembaran yang baru. Cerita
tidak pernah berhenti di satu halaman. Untuk mengetahui kelanjutannya, kau
harus menutup yang sebelumnya, untuk membaca halaman selanjutnya. Tapi,
terkadang orang terlalu lelah dan malas untuk membuka lembar selanjutnya,
apalagi untuk membacanya.
Tanganku
meraba-raba mencari kacamataku yang, seingatku, semalam aku letakkan di atas
nakas disamping tempat tidurku. Tidak mungkin ia jalan di tengah malam lalu
pindah ke sampingku, lalu tidur nyenyak di balik selimut tebal nan nyaman ini.
Ah pikiranku masih pagi-pagi saja sudah melantur. Aku sibakkan selimut putih
tebalku dan menurunkan kedua kakiku ke lantai yang berlapiskan permadani, lalu
memakai sandal kamarku, bergerak dari tempat tidur menuju jendela untuk
menyibakkan gordennya, membiarkan sinar matahari masuk ke dalam kamarku.
Masih
berbalutkan dengan kaus yang
kebesaran dan hotpants, aku keluar
dari kamar menuju ruang makan, lalu menuang air putih ke gelas bening, kemudian
menenggaknya hingga habis. Bulan ini sudah masuk musim gugur. Sehingga,
kemanapun aku pergi, syal berbahan tebal selalu tersedia di dalam tasku.
Sejujurnya
bukan karena perihal udaranya. Dibalik musim itu tersimpan cerita. Ah, tidak
usah dibahas. Membahasnya seperti mengorek cerita dan sakit lama. Memang,
mencintai itu satu paket dengan sakit hati.
Tanpa sadar aku sudah berada di balik pantry, tengah menyeduh kopi pagiku. Siapa yang suka jika harus
berakhir dengan sakit hati? Seperti kau membaca cerita yang berakhir sedih.
Tapi, siapa pula yang bisa mengelak?
Membahas
masa lalu tidak akan ada habisnya. Tapi, karena masa lalu, ia memberikan kita
pelajaran untuk melanjutkan masa depan kita selanjutnya. Sambil berjalan menuju
sofa, aku meregangkan tubuhku sambil menguap lebar. Seharusnya jam segini aku
masih terlelap di atas tempat tidurku dan tenggelam di dalam mimpi. Aku selalu
mencoba untuk terus menatap ke depan tanpa pernah menoleh. Namun, acap kali,
aku sendiri susah untuk menahan diriku untuk tidak menoleh ke belakang.
Adakalanya aku merindukan yang lama, ada kalanya aku merindukan yang
kemarin-kemarin. Biasanya, kerinduan itu datang masuk melalui celah-celah
kesepian yang terbuka, sekecil apapun. Telunjukku menekan music playerku dan mulai mengalun dengan pelan lagu-lagu
instrumental. Aku duduk dengan nyaman sambil memegang cangkir kopiku, meresapi
lantunan melodi tanpa lirik yang mengalir dari speaker.
Hidup
tidak semudah aliran lagu instrumental yang mengalir keluar dengan lembut dari speaker. Hidup kita seperti lagu
berlirik. Memiliki awal; memiliki titik puncak; memiliki akhir pula; dan
pastinya memiliki makna dibaliknya. Hanya saja, lagu berlirik kita sendiri
tidak tahu dimana ujungnya. Seperti pelangi bukan?
Orang
selalu bilang, cepatlah move on.
Mengatakannya memang selalu mudah, tapi melakukannya butuh perjuangan, tidak
semudah kita berganti pakaian. Berganti pakaian saja, kita masih harus
memikirkan cocok atau tidak. Apalagi melupakan seorang yang pernah benar-benar
hidup dalam hidupmu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar.
Kembali
terngiang di telingaku dengan kata-kata Ibu,”Jangan dipaksakan, ndok. Biar bagaimanapun, sejelek apapun
sikapnya, dia tetap pernah menjadi orang yang kamu sayangi. Pernah jadi orang
yang nemenin kamu, kenangan-kenangan kamu juga toh isinya sama dia juga kan? Jangan bermusuhan sama masa lalu.
Nanti kamu dimusuhin balik loh. Kalau memang belum bisa lupa ya berarti belum
waktunya. Ndak usah dipaksa. Yang
namanya Waktu, kamu ndak bisa paksa.
Mau kamu mundurin jarumnya, toh dia
tetap bergerak maju juga ndok.” Maka
aku pun membiarkan semuanya berjalan seperti biasa.
Karena
ya, keadaan, waktu, bahkan cuaca sekalipun tidak bisa dipaksakan sesuai
kehendak kita sendiri. Hanya saja, terkadang orang tetap mencoba hingga lupa
bagaimana caranya untuk menemukan kebahagiaan lain yang tengah menunggu untuk
dijemput. Aku melompat kaget dari sofa karena jam beker disampingku berdering
kencang. “Telat bangun ya?!”ledekku sambil menekan tombol off. “Ck!”decakku sebal karena setengah kopiku tumpah ke baju.
Jika
aku libur kuliah, selama di apartemen, aku akan menghabiskan waktu dengan
menonton tv, membaca novel hingga habis ditemani kafein dan camilan ringan
lainnya, hingga lupa mandi. Bukan lupa, tapi malas. Lagipula tidak ada yang
akan mencium bauku selama aku di dalam apartemenku. Tapi, tempat tinggalku yang
sudah kuhuni selama hampir 3 tahun, selalu wangi dengan pengharum ruangan. Ya,
oleh pengharum ruangan. Tapi, pemiliknya juga wangi! Hanya saat libur saja yang
tidak wangi. Astaga, kenapa jadi membicarakan aibku?! Untungnya, aku tidak
tinggal dengan Ibu. Aku memilih untuk mencari apartemen yang dekat dengan
kampusku.
Ketika
aku tengah berjalan menuju kamarku untuk ganti baju, aku mendapati segunung,
tidak, setumpuk surat-surat. Dari brosur makanan dan diskonan, sampai surat
tagihan yang masih jauh dari tanggal tagihannya bertemu menjadi satu di depan
pintu. Aku mulai menyortirnya satu per satu hingga sampailah sebuah brosur di
tanganku. Hanya selebaran. Tadinya aku hampir memasukkannya ke dalam tempat
sampah.
Aku
berjalan-jalan santai di trotoar yang cukup luas untuk muat sebuah mobil.
Untungnya hari ini panasnya tidak terik, jadi aku tidak perlu mengeluarkan
payungku dari dalam tas, dan hari ini udaranya terasa teduh. Aku masuk ke
sebuah restoran kecil dan memilih tempat duduk di dekat kaca yang menghidangkan
pemandangan jalan raya yang lengang. Aku
langsung memesan kopiku kesukaanku. Dimanapun aku datangi, aku akan mencari
kopi kesukaanku.
Ibu
tengah menyesap grean tea yang uap
panasnya masih mengepul keluar dari balik cangkirnya. “Kamu sudah
lihat?”tanyanya tanpa basa-basi. Ya, beginilah Ibuku. Dia tidak pernah suka
yang namanya bertele-tele. Kalau memang ada satu topik yang akan dia bahas, dia
akan langsung membahasnya tanpa memakai kata sambutan, seperti misalnya,
“Bagaimana kabarmu?”,“Apakah tidurmu nyenyak?”,“Masih mau tambah kopi?” atau
“Ayo makan sambil membahasnya.” Tidak pernah. Jadi, aku sudah kebal terhadap
ke-tidak-bertele-tele-an beliau.
Aku
terkekeh kecil. “Hampir masuk tempat sampah. Ibu yang taruh disana ya?”
Beliau
menggelengkan kepalanya dengan kening yang berkerut. “Untuk apa? Gadisku,
selebaran itu disebarkan ke setiap kotak pos. Apartemenmu kan memiliki alamat
pos juga kan? Yasudah, makanya selebaran itu ada disana. Ih, buat apa
capek-capek ke apartemenmu cuma buat naruh selebaran itu.”ledek Ibu. Aku
tergelak karenanya.
“Lalu?”tanyanya
lagi, bahkan ia bertanya disaat aku belum sempat menarik nafas.
Bahuku
terkulai lemas karenanya. “Harus datang ya Bu?”tanyaku sambi memainkan bibir
cangkir kopiku yang sudah sampai beberapa menit yang lalu saat aku tengah
tergelak.
Sambil
mengedikkan bahunya yang tertutupi syal warna merah marun, beliau menjawab,
“Kamu mau sampai kapan sembunyi? Iya, Ibu tau, kamu ndak lari. Tapi, kalau begini, namanya kamu sembunyi. Kamu ndak lelah sembunyi terus? Orang main
petak umpet juga ada capeknya ndok.
Saran Ibu, datangi saja. Kalau ternyata dia memang ndak ada disana, ya anggap saja itu keberuntunganmu untuk terus
bersembunyi. Kalau ternyata dia memang ada disana, ya anggap saja itu sudah
jalanmu untuk bertemu dan menyelesaikannya. Aduh, anak gadis Ibu kok jadi
senang main petak umpet toh.” Beliau
geleng-geleng kepala lalu menelengkan kepalanya keluar jendela.
Aku
terkekeh karenanya. Saat aku tengah akan membuka mulut, beliau memotong, “Ibu ndak mau, kamu kehilangan kesempatan
kayak Ibu. Cuma itu kok, ndok. Selama
kamu bisa selesaikan, selesaikan baik-baik. Kalau kepalamu dan dia sekeras
batu, ya kapan kelarnya toh. Ada
kalanya kamu harus berubah menjadi beludru supaya semuanya selesai dengan
halus, selesainya juga dengan baik-baik. Bukan selesainya seperti sehabis
tawuran pakai batu.”
Ya,
cerita Ibu sudah lama sekali.
Beliau
ingin menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan Ayah, karena setelah
perceraian mereka terkadang masih sering bertengkar dan sering kali tidak
menemukan titik terangnya. Lalu, saat Ibu hendak menyelesaikannya dan meminta
maaf, Ibu hanya menemukan Ayah yang sudah tidur nyenyak dibalik batu nisannya.
Sejak itu Ibu selalu menyesal. Dan setiap bulan Ibu selalu mengunjungi Ayah
sambil beberapa kali mengucapkan kata maaf. Menurutku, kuburan Ayah yang paling
bersih dari yang lain. Karena, setiap bulan dibersihkan oleh Ibu dan selalu
dibawakan buah-buahan kesukaan Ayah.
Aku
jadi memikirkan ulang. Tidak ada salahnya mencoba untuk datang kesana. Lagipula
pasti tempat itu ramai dikunjungi. Aku bisa bersembunyi di tempat seramai itu.
“Kenapa masih disini toh ndok? Hari
ini kan hari terakhir pamerannya.”ujar Ibu dengan nada bingung. Aku terkejut.
“Hari terakhir?! Kenapa Ibu baru bilang sekarang?!”gerutuku dengan tidak
sabaran mengeluarkan selebaran tersebut dan menelusuri tulisan-tulisannya. Dan
ternyata benar. Pamerannya sudah berlangsung selama dua minggu, dan hari ini
hari terakhir.
“Ya
ampun, anak gadis. Pasti kamu baru beresin semua surat-suratmu di depan pintu
ya?”tanya Ibu dengan santai. Aku terkekeh malu lalu buru-buru menenggak habis
kopiku. “Aku jalan ya, Bu. Ibu hati-hati pulangnya. Kalau sudah di rumah,
kabarin aku, Bu.”ujarku sambil mengecup pipi kanannya, dan keningku dikecup
oleh beliau. “Iya, ndok. Kamu juga
hati-hati dijalannya ya.” Aku langsung mengedipkan sebelah mataku padanya lalu
keluar dari tempat tersebut dan berjalan menuju halte bus.
Kau
percaya takdir? Karma saja hidup, masa takdir tidak hidup.
Itu
jalan hidup kita; ceritanya saling berbeda satu sama lain. Bahkan, sekalipun
kalian kembar, tetap saja, jalan ceritamu dengan kembaranmu akan berbeda.
Kadang-kadang takdir bisa membawamu mundur, kembali ke cerita lalumu. Biasanya
memang seperti itu jika di cerita lalumu masih ada yang belum selesai. Mungkin,
dia bermaksud untuk menyuruhmu untuk menyelesaikan lebih dahulu masalahmu lalu
barulah melanjutkan ceritamu.
Cerita
fiksi saja memiliki alur mundur. Hanya saja, jika kau sudah dibawa oleh takdir
untuk menyelesaikan masa lalumu, berarti dia sudah bosan menunggumu tidak
kunjung menyelesaikan masalahmu. Seperti aku. Maka dari itu ia mulai bergerak
membantu karena bosan menunggu.
Kakiku
menapaki trotoar setelah turun dari bus, lalu mencari-cari gedung yang tengah
ramai dikunjungi di barisan gedung-gedung tinggi hadapanku. Sebenarnya nama
gedungnya ada di selebaran, hanya saja aku malas untuk mengambilnya di dalam
ransel.
Mataku
yang memakai softlens menangkap satu kalimat yang tidak biasa berada di negara
ini. Aku terdiam di depan gedung tersebut dengan wajah yang pias. Sepertinya
aku salah gedung, iya, sepertinya begitu. Tapi, tidak mungkin aku salah gedung.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikiranku. Antara mau percaya dan tidak mau.
Aku masih tidak percaya dengan tulisan yang ditulis besar-besar tersebut,
meskipun di bagian bawahnya ada dalam bahasa lain.
Perlahan-lahan
aku melangkah masuk melewati pintu yang terbuka secara otomatis. Angin dingin
menyambutku dengan tidak sopan. Dingin sekali! Pendingin diruangan ini
sepertinya masih baru sekali atau mungkin kelewat banyak? Gerutuku dalam hati
sambil menepuk-nepuk pipiku untuk menetralkan kembali dinginnya. Setelah
melewati pintu masuk itu, di kedua sisiku, bersandarlah pigura-pigura yang
berisi kan foto hitam putih, yang berpigura berwarna abu-abu metalik dan
mengkilat.
Mataku
menelusuri setiap foto di dalam pigura ini.
Hingga
saat ini, aku masih mengagumi foto-foto hasil karyanya. Tidak usah memikirkan
dari kapan, karena tidak akan aku jelaskan secara terinci.
Perlahan-lahan,
semakin ke dalam ruangan, foto-foto yang berada di pigura abu-abu metalik itu
mulai terasa aku kenali. Jantungku melompat-lompat kesana kemari tidak ada
henti. Adrenalinku terpacu karenanya. Aku seperti terseret arus, karena aku
berjalan terus ke dalam ruangan untuk mencari tahu kelanjutan-kelanjutan foto
yang berada di dalam pigura.
Foto
bisa menyimpan seluruh kenanganmu dengan abadi, tidak kalah abadinya dengan
kenangan di pikiranmu sendiri. Tapi, mudah untuk dihapuskan pula seperti
kenangan di dalam pikiranmu. Foto seperti kenangan yang tervisualisasikan;
gambar yang bisa kau lihat dan perhatikan dengan saksama. Tapi, tidak dengan
kenangan yang hidup dalam otak kita. Kita tidak bisa memilahnya satu per satu.
Saat
sudah mulai menjauhi pintu masuk, foto-foto itu mulai memiliki cerita, bagiku.
Ada
foto ketika aku tengah berjinjit mengambil layangan yang tersangkut di pohon
dengan wajah sebal karena tidak berhasil juga. Sepertinya foto itu diambil
diam-diam, karena terlihat ada daun-daun, ah apa mungkin itu semak-semak? Entahlah.
Aku ingat foto yang itu. aku tersenyum geli mengingatnya.
Saat
masih zaman-zamannya layangan popular, aku yang tidak bisa bermain layangan
hanya bisa memperhatikan orang-orang yang bermain layangan. Lalu, saat aku
tengah berjalan kaki entah darimana, dari kejauhan aku melihat ada layangan
yang tersangkut. Sebelum mereka – para pemburu layangan yang lepas – sampai
lebih dahulu, maka aku bergegas untuk mencoba mengambilnya, tapi ternyata aku
tidak sampai. Karena sebal, akhirnya aku biarkan saja layangan itu. Konyol
sekali tingkahku saat itu.
Ada
foto ketika aku tengah menggendong anak tetangga untuk mengambil mangga. Anak
kecil itu merengek-rengek meminta mangga tersebut. Karena aku tidak memiliki
galah, maka akhirnya aku menggendongnya di pundakku untuk mengambil yang
terdekat. Dan ah! Foto itu di deretkan secara berurutan! Dimulai dari, aku yang
berjongkok, anak kecil itu naik ke pundakku, aku yang setengah berdiri dan
tengah menyeimbangkan tubuhku, aku yang berdiri tegak dengan anak kecil yang
menggapai-gapaikan tangannya, anak kecil itu berhasil memetik satu mangga yang
ternyata masih muda namun sangat disayang oleh anak kecil itu, hingga berhenti
di aku menurunkan anak kecil itu. Semuanya berwarna hitam putih. Dan lagi-lagi,
foto itu diambil diam-diam. Mungkin kalau dulu, aku sudah merasa dikuntit oleh
orang yang mengerikan, jika tahu aku difoto diam-diam seperti ini.
Aku
kenal foto ini, meskipun hanya siluet. Foto ketika aku tengah berjalan di
tengah sawah dengan dua tangan yang terentang menembus angin, demi
menyeimbangkan tubuhku supaya tidak terpeleset ke dalam sawah. Saat itu, aku
tengah di tugas sekolah. Tinggal dengan orang-orang yang tinggal di pedesaan.
Tugas yang diberikan pada satu angkatan sekolahku. Dan ya! Aku satu kelompok
dengannya. Aku mengulum senyum sedih.
Masih
banyak foto lagi yang memiliki cerita bagiku. Tapi, foto itu lebih banyak
diambil diam-diam. Tanpa aku sadari, aku ternyata sudah masuk ke ruang
utamanya. Di dalam sini ternyata lebih ramai lagi. Ia menyandarkan foto-foto
itu di atas penyangga; ditempelkan di dinding lalu menjorok ke luar secara
berjejer; hanya disandarkan begitu saja di lantai agar terkesan santai dan
tidak terlalu formal; ada yang diletakkan di setiap dinding, satu pigura.
Sejauh
ini aku belum melihat siluet tubuhnya. Maka aku berharap aku tidak pernah
menemukan atau ditemukan olehnya di tempat seramai ini.
Setiap
foto selalu berhasil menyerapku lalu menghipnotisku dengan sempurna. Dan
sepertinya hal tersebut berlaku bagi siapapun yang datang dan melihat isi
foto-foto di dalam piguran abu-abu yang mengkilat karena disinari oleh lampu,
seperti dibubuhi oleh gliter.
Beberapa
kali aku bertabrakan dan menabrak dengan orang yang lalu lalang, mondar-mandir
untuk melihat dari satu foto ke foto yang lain.
Aku
kalah. Ya, aku kalah pada rasa rindu ini. Ia lebih kuat dari yang aku kira.
Rindu
ini seperti sudah berakar. Aku tidak bisa mengelak lagi dari rasa rindu ini.
Tapi,
rasa ini, yang selama ini terlelap entah di bagian mana diriku, tidak akan
pernah tersampaikan, maka dari itu ketika ia hidup kembali, rasanya perih. Aku
sudah tidak terlalu memikirkan isi foto-foto tersebut. Tapi, ada satu foto yang
menarik mataku.
Foto
kesukaanku dari sekian foto yang aku sukai. Aku yang berdiri membelakangi
matahari tenggelam, meninggalkan siluet tubuhku yang tengah mengangkat tangan
ke udara dan angin laut mengibas-ngibaskan rambut panjangku, yang saat ini
tengah aku cepol dipuncak kepalaku, digantung seorang diri di dinding.
Semakin
aku bergerak menjauh dari dinding itu, semakin banyak foto yang aku sukai dari
dulu. Foto ketika aku tengah memeluk anak singa; ketika aku melewati kebun teh
dengan kuda; ada juga saat aku tengah berkuda di arenanya; ada ketika aku
tengah melompat diudara dalam busana baletku; ketika aku tengah melongo menatap
Menara Eiffel, bagian foto ini, aku selalu terbahak dan saat ini pun aku tengah
menahan tawaku karena kekonyolan mukaku sendiri; ketika aku berdiri miring,
mengikuti miringnya Menara Pisa; ketika aku tengah menggigit lolipop yang
berwarna-warni, lalu ia memotretnya secara tiba-tiba; ketika aku tengah
memejamkan mata sambil menyesap aroma kopiku; ada satu pigura yang berisi emosi
di wajahku, berisi saat wajahku tengah cemberut; saat wajahku tengah marah;
saat wajahku tengah bengong; saat wajahku tengah terkantuk-kantuk; saat aku
tertidur pulas dengan mulut yang terbuka; aku yang tengah serius mewarnai buku
gambar sepupuku; dan yang paling konyol wajahku yang abis bangun tidur ketika
aku tengah dikerjai tengah malam olehnya untuk sebuah surprise ulang tahunku; saat aku meniup lilin dengan mata yang
setengah tertutup; lalu emosi wajahku berhenti saat aku berdiri disampingnya
dengan sekotak kue ulang tahun dengan lilin yang masih menyala dan aku
tersenyum bahagia dengannya yang berada disampingku.
Dan
satu pigura itu benar-benar penuh, namun tertata dengan rapih.
Meskipun
hubungan kami harus direntangkan oleh jarak yang berkilo-kilometer, tapi
seperti itulah dulu bahagiaku dengannya. Untungnya, tidak direntangkan oleh
waktu juga. Meskipun aku berada jauh darinya, ia bahkan datang ke tempatku
untuk memberikan kejutan ulang tahunku, dan aku pun pernah seperti itu padanya,
hanya saja ia yang lebih dahulu membuat kejutan untukku.
Seluruh
foto barusan adalah masa-masa ketika aku menikmati jalannya hidupku bersamanya.
Foto yang diambil diam-diam olehnya, ketika masih zaman-zamannya anak kecil –
remaja tanggung, maksudku – masih tahu malu untuk pendekatan pada lawan jenis.
Ada
lagi! Foto ketika aku dipantai didengannya. Aku mengambil foto dari depan dengan
latar belakang pantai dan matahari terbit, lalu tiba-tiba sebelum aku menekan
tombolnya, ia muncul dan mencium pipiku. Saat itu aku meneriakinya
habis-habisan dengan sebal, sedangkan ia hanya terawa terbahak karena melihatku
bersemu merah. Aku tersenyum tipis saat melihat foto itu.
Seluruh
foto itu berhenti di satu titik. Di satu dinding. Di satu pigura yang berbeda
dari lainnya, foto yang berbingkaikan pigura berwarna emas metalik. Nafasku
tercekat di tenggorokan. Aku masih ingat hari itu. Hari terakhirku berada di
negara yang aku kunjungi dengannya di musim gugur, hari ketika aku tengah duduk
menunggu dengan sabar di bangku taman, yang perlahan-lahan aku mulai rasakan
pohon yang memberikan aku keteduhan mulai menggugurkan daun-daun kuningnya lalu
satu tanganku menengadah ke atas seperti menadahkan dedaunan yang jatuh, hari
dimana ketika akhirnya ia mengungkapkan satu kalimat tersebut. Hari dimana
pula, aku harus dengan ikhlas melepasnya.
Nafasku
masih belum berjalan dengan normal.
Foto
itu banyak dikunjungi oleh orang-orang. Mengapa? Karena hanya itu satu-satunya
foto yang tidak dalam warna hitam putih, dan ditambah lagi, ia memotretnya
tepat ketika daun-daun itu berguguran.
Telingaku
mendengar samar-samar suara yang aku kenali. Tunggu! Itu suaraku! Aku mendekati
salah satu layar putih yang perlahan-lahan muncul tulisan yang lalu muncul
dalam berbagai bahasa: Kilas Balik di Hari Ulang Tahunku. Paru-paruku seperti
hampa udara.
“Hai jelekku! Selamat pagi, selamat
siang, selamat sore, selamat malam, selamat dini hari!”
Aku bisa melihat, aku berteriak di depan kamera sambil tertawa lebar. “Maaf ya kali ini aku tidak bisa
memberikanmu kejutan seperti kemarin-kemarin. Dan maaf ya kali ini aku tengah
berselingkuh dengan tugas-tugas dan lari-larian mengejar dosen untuk tugasku.
Akh, dosen disini senang sekali bermain kejar-kejaran. Kau tidak lupa ini
tanggal berapa? Semoga saja kau lupa, jadi aku bisa mengingatkanmu. Jadinya lebih
romantis kan?” Ada senyum lebarku di layar.
“Hari
ini, aku lagi liburan di pantai. Sungguh, rasanya sesak berada di dalam kamar
terus-menerus untuk menyelesaikan satu tugas yang tidak ada ujungnya. Jadinya,
aku menarik teman-teman baikku ke pantai. Kau pasti ingat kan pantai ini?
Jangan bilang kau tidak ingat!? Kalau sampai kau tidak ingat, lihat saja nanti
saat kita bertemu, kepalamu akan penuh jitakkanku!” terdengar suara gelak
tawaku yang meledek. Aku pun bisa mendengar orang-orang diruangan ini ikut
tergelak.
“Aku tidak perlu menanyakan kabarmu
kan? Aku tahu kamu pasti baik-baik saja disana! Karena, kalau kau tidak
baik-baik saja, pasti sekarang kau tengah menelponku dan merengek-rengek minta
ditemani. Hah! Aku hafal sekali tingkahmu jika sakit.”
Aku kembali tertawa. “Hei, jangan lupa
untuk makan. Jangan terlalu sibuk selingkuh dengan kameramu. Disini aku
khawatir pada kesehatanmu juga. Ah, dan tenang saja, disini aku baik-baik saja
kok.” Kali ini suaraku dan mimik wajahku berubah serius. “Awas ya kau komat kamit, ‘Memang aku
bertanya?’ Aku tahu kau pasti akan berkomat kamit seperti itu hahaha” Suaraku
berubah menjadi lebih santai lagi.
“Pantainya lagi gak seramai liburan
loh! Ah ya ampun! aku sampai lupa aku ke sini mau ngapain hahahah.”
Saat itu, aku tertawa sambil menepuk keningku. “Bantu pegangin handicamnya
dooong!” Di layar itu aku bisa
lihat dan mendengar suara teriakanku sendiri yang meminta tolong temanku untuk
memegangi handicamku. Aku, juga
setiap orang diruangan ini bisa melihat, aku tengah berjongkok di pasir basah,
lalu mulai menuliskan tulisan ‘Selamat Ulang Tahun, Tukang Foto-ku.’ Dalam
tulisan kapital.
“SELAMAT ULANG
TAHUN TUKANG FOTOKU!!!” Sepertinya aku
memang senang berteriak. “Semakin jelek
ya, semakin sayang sama aku, semakin sukses jadi tukang fotonya, semakin sukses
jadi tukang video juga, semakin jayus, semakin sehat, semakin sering kangen
sama aku, semakin semakin deh ya pokoknya buat kamu!” aku mengucapkan
serentetan harapanku untuknya di depan handicamku
sambil mengarahkan ke atas pasir yang aku corat-coret tadi. Lalu, kembali
terdengar suara teriakan sebalku menggema di speaker ruangan ini. “AKH! OH
TIDAK! Tulisannya dibawa kabur sama air!!” Aku berteriak-teriak panik. Aku
bisa mendengar suara orang yang terkekeh karena ketololanku di dalam ruangan
ini. “EH SIAPA SURUH DITULIS DISITU?!!”
Aku bisa mendengar suara temanku saat kuliah dulu yang berteriak karena
kebodohanku. Di dalam video itu, aku menoleh dan tertawa lebar karena baru
sadar. Aku berdiri bersedekap tidak jauh dari layar tersebut.
Kali ini, handicam
itu dipegang oleh orang lain. Sedangkan aku, saat itu tengah memegang kue ulang
tahunnya dengan sangat hati-hati. Di datas kue tersebut kembali ada tulisan
yang sama dengan tulisan yang aku tulis dipasir tadi dan lilin ulang tahun yang
berangka 21. “Yaaahh pasti enggak bisa
niup lilinnya kan? Pasti sambil nonton videoku dengan muka pengen kan? Hahaha
aku wakilin aja ya tiup lilinnya.” Kali ini wajahku disorot dalam jarak
cukup dekat saat tengah meniup lilin angka 21 tersebut. dan sekali lagi, aku
mengucapkan, “Selamat ulang tahun di
tahun ke 21 ya. Aku percaya kok, kau bisa jadi apa yang selama ini kau impikan.
Apapun impianmu, aku tetap mendukungmu. Dan dimanapun kau berada saat itu, kau
harus tau, aku selalu mendukungmu.” Dengan serius. Lalu, lagi-lagi ada
teriakan, “Jangan nangis, hey, jangan
nangis. Malu, udah dewasa masa nangis.” Aku yang saat itu tengah memegang
kue, langsung menoleh dengan cepat dan cemberut, apalagi karena ditertawakan
teman-temanku saat itu. Lagi-lagi, orang-orang disini ikut tertawa juga.
Aku pun menahan tawa.
“Kadonya mungkin
lagi dalam perjalanan sampai dirumahmu. Jangan lupa dibuka dan disimpan ya! Aku
harap kau suka. Soalnya itu hasil kerja kerasku selama ini! Awas kalau kau
buang ya!” Dilayar, aku bisa
melihat senyum setanku. Aku ternyata pintar mengancam ya. “Sampai disini dulu ya acaraku buatmu! I wish you love this! Rekamanku pasti enggak bakal sebagus
rekamanmu, tapi percaya deh, aku buatnya dengan hati dan cinta.” Lalu, aku
tersenyum lebar. “See you very soon, tukang fotoku! Love ya!” Sebelum video itu habis, aku bisa
melihat diriku di dalam video itu tersenyum. Ah, aku bahkan baru sadar,
ternyata video itu memiliki beberapa subtitle-nya. Pantas saja, orang-orang
disini mengerti dan ikut tertawa.
Belum sempat orang membubarkan diri, ada satu video
lagi yang diputar.
“Kau ingat tempat ini kan? Pasti
kau ingat. Berhubung, ini hanya sebentar, jadi kalau kau ingin yang lama,
silahkan menyalakan tombol ulangnya. Baiklah, selamat menikmati perjalanan yang
sangat sebentar ini. Oh iya, satu lagi! Aku merindukanmu.” Ya,
aku memang seperti itu. Kalau aku memang merasakan seperti itu, aku akan
langsung mengatakan langsung padanya. Karena aku tahu, ia bukan pembaca
pikiran, apalagi ahli primbon. Jadi, dia pasti tidak tahu apa yang aku rasakan.
Lama kelamaan, dia pun seperti itu, langsung mengatakan perasaannya. Video ini
pun seperti yang sebelumnya, diberikan subtitle penerjemah.
Video
itu hanya beberapa menit. Aku merekam salah satu tempat kenanganku dengannya.
Salah satu air terjun kesukaan aku dan dia. Aku menyebutnya Pojok Masa, karena
aku sering ke tempat tersebut dengannya. Setelah mendekati akhir, kamera
tersebut kembali kedepan wajahku. “Selamat
datang di Pojok Masa.” Sesaat aku
tersenyum di depan kamera, dan video itu pun selesai. Kali ini yang muncul
adalah ucapan terima kasih karena sudah mau menontonnya. Setelah layar itu
menggelap, ruangan ini penuh dengan riuh rendah tepuk tangan. Aku menggigit
bibir bawahku yang sudah mulai bergetar.
Aku
sudah bersiap-siap untuk berbalik, dan keluar dari ruangan ini.
“Kali
ini, aku yang tidak akan melepasmu.” Aku langsung berdiri tegak. Bulu romaku
meremang, padahal ia mengatakannya dengan sangat lembut. Aku bahkan tidak
berani menatap ia yang tengah berdiri di depanku. Ah! Dan aku berharap tidak
ada yang memperhatikan kami.
“H-hei. Long time no see.”
Sapaku, tanpa menatapnya.
“Are you happy all this time?”tanyanya,
tidak membalas ucapanku.
“Iya.”jawabku
lagi.
“Hei,
bilang saja yang sejujurnya.” Aku bisa merasakan tubuhnya berubah menjadi lebih
santai dari yang sebelumnya.
Aku
masih berdiri dengan kaku dan tidak menjawab kalimatnya. “Haruskah aku bilang
lebih dahulu?”tanyanya lagi. Aku pun diam. Mataku menatap jauh darinya.
“Aku
merindukanmu.”ujarnya. Kembali, aku gigit bibir bawahku. Kali ini aku menahan
kalimatku sendiri yang sudah menggantung diujung lidahku. Sekarang ia berusaha
mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, lalu menatapku dengan tatapan jahil. Sudut-sudut
bibirku mulai terangkat. “Aku tahu, pipimu akan bersemu seperti ini!”ledeknya.
Aku mendesis sebal. “Jadi, kau masih belum mau mengatakannya juga?”desahnya
dengan lemah.
Aku
menatapnya yang tengah menatapku dengan tatapan lembut dari balik matanya yang
berwarna coklat tua, namun menyimpan rasa teduh yang pernah aku rasakan, dan
yang selalu aku rindukan. “Baiklah, baiklah. Aku mengerti tatapanmu itu.”
Ia
menghela nafas, lalu memulai cerita. “Sebelumnya, maaf aku tidak sempat memberi
kabar padamu seperti yang aku janjikan terakhir kali. Aku selama ini mengejar
studiku dulu sampai selesai. Aku sebenarnya sudah berniat untuk mencarimu
selepas studi. Tapi, selepas studi, aku ditawari pekerjaan untuk memotret dan
tawari untuk mencoba untuk memasukkan beberapa hasil fotoku ke dalam pameran
orang yang menawariku pekerjaan tersebut. Beberapa hasil fotoku terjual cukup
mahal loh!” katanya dengan bangga, bukan dengan nada yang sombong, ya aku pun
ikut bangga karenanya. “Aku pernah dibantu oleh orang yang menawariku pekerjaan
untuk membuat pameran tunggal di beberapa kota di negara tempatku studi.
Setelah beberapa lama, aku bertemu dengan sponsorku. Ia menawariku untuk
pameran ke beberapa negara. Dan aku boleh menentukan negara-negara mana saja
yang mau aku singgahi.”
Aku
memotong kalimatnya. “Negara ini, negara keberapa?”
Ia
menjawab dengan santai. “Negara yang terakhir.” Aku menahan nafasku. Perasaan
sebal mulai menyelimutiku. Lalu, ia melanjutkan, “Sudah beberapa bulan aku
keliling beberapa negara untuk pameran, beberapa foto yang ada disini, juga
memang hasilku selama studi kemarin. Aku bahkan tidak sempat menghitung berapa
lama. Karena, setiap negara, jadwal pamerannya berbeda-beda. Tapi, seingatku,
selalu lebih dari 3 hari. Ternyata, sponsorku orang sudah cukup dikenal oleh
orang-orang. Di negara kedua terakhir dari negara ini, aku menelpon Ibumu dan
mengobrol banyak dengannya. Aku memang sudah mencari informasi tentangmu
jauh-jauh hari, bahkan sampai informasi tentang apakah kau sudah memiliki
penggantiku atau belum saat ini, jadi ya, aku memang sengaja memasukkan negara
ini di daftar yang paling terakhir. Jadi, aku mencari Ibumu dulu untuk meminta
maaf untuk yang lalu. Aku sempat putus asa, sudah hampir 2 minggu pameran ini,
tapi aku bahkan tidak melihat dirimu. Sponsorku hanya memberikan waktu maksimal
2 minggu saja. Ternyata hari ini kau datang. Dua video tadi, sengaja aku putar
hanya di pameran ini saja. Jadi, jangan sampai kau berpikir aku memutar
video-video itu disetiap pameranku. Hmm, tapi ya, hanya video terakhir yang aku
putar disetiap pameranku.” Jelasnya sambil tertawa lebar.
Aku
mengulum senyum. Perasaan sebal yang tadinya menyelimutiku entah sudah lenyap
kemana sekarang. Ternyata Ibu memang sudah tahu dari dulu. Pantas saja beliau
gencar sekali menyuruhku untuk datang. “Jadi, sekarang kau akan mengakuinya
atau tidak?”tanyanya, lagi.
“Harus
aku katakan?”jawabku dengan pertanyaan, tanpa nada.
Ia
pura-pura berpikir. “Sepertinya tidak perlu.”jawabnya dengan singkat.
Kali
ini aku tidak bisa menahan tawaku. “Ah dasar kau ini! Masih suka mengerjaiku!”
Aku
melompat ke dalam pelukannya, lalu berbisik dengan pelan, “Yang penting hanya
kau.” Ia mengusap-ngusap puncak kepalaku dengan lembut. “Sebelum kau meminta
maaf, aku sudah memaafkanmu lebih dulu kok. Tapi, kali ini awas ya kalau pergi tanpa
kabar!”ancamku. “Siap, bos! Bahkan kau masih suka mengancam ya.”jawabnya. Aku
tertawa di dalam pelukannya.
“OHOHOHOH!
Kau lupa hari ini tanggal berapa!”seruku penuh dengan kemisteriusan..
Ia
menatapku dengan bingung. “Memang ini tanggal berapa?”tanyanya. Aku tidak
mengizinkannya untuk melihat tanggal di jam-nya.
Aku
menangkup wajahnya, lalu tersenyum lebar padanya. Aku menarik nafas sebentar,
lalu mengatakan “Selamat ulang tahun, tukang fotoku! Selamat datang kembali!”pekikku
kegirangan. “Asik! Dia lupa! Jadi lebih romantis kan?!”seruku. Ia menepuk
keningnya karena lupa.
“Baiklah,
kali ini kau berhasil.”eluhnya. Aku tahu, ia tidak serius mengeluhnya. Karena,
selanjutnya ia kembali mendekapku dan berbisik. “Terima kasih sudah mengingatkanku.”
Aku jawab, “Kembali kasih, tukang fotoku!” masih dengan suara yang sarat akan
kegirangan. Aku terkekeh lebar karenanya, dan ia ikut terkekeh. Aku tidak tahu
ia terkekeh karena apa.
Saat
musim gugur beberapa tahun lalu, saat aku tengah menunggunya datang, akhirnya
ia datang, tapi membawa berita kurang baik, “Aku dapat beasiswa ke luar negeri.”
Bahkan, tanpa ia mengatakan maksudnya, aku tahu maksud dari kalimat itu. “Kau
ambil kan? Itu kan impianmu. Jangan kau lepas. Aku selalu mendukungmu, kok.”jawabku
sambil tersenyum pahit.
“Tapi
–“
“Kalau
begitu, hubungan kita bertukar status saja menjadi teman. Itu lebih baik kan?
Supaya kau bisa fokus juga pada beasiswamu disana.” Aku langsung memotong
kalimatnya.
Ia
mengenggam tanganku dan tersenyum kecil. “Aku akan sering mengabarimu lewat
apapun. Skype-mu jangan di sign out ya.”katanya. Tapi, setelah hari
itu, aku tidak pernah muncul di akun Skype-ku.
Itu hari terakhir aku bertemu dengannya. Karena, aku memutuskan untuk pulang
lebih dahulu dan mengurung diri di kamar selama berhari-hari tanpa sepengetahuannya.
Sekilas
aku melihat Ibu berada di ruangan ini tengah menatapku dengannya, sambil
tersenyum. “Kau menungguku ya?”tanyanya sambil menurunkanku dari pelukannya.
Aku
mengerutkan keningku. “Tidak. Jangan kepedean!”ledekku padanya sambil menjitak
kepalanya.
Ia
mengaduh sambil tertawa. “Ah, aku tahu. Kau memang menungguku.”ledeknya lagi.
“Ya!
Kau minta aku jitak terus-terusan?!”teriakku ditengah kebisingan orang-orang
yang mengobrol dan mondar-mandir diruangan ini yang tengah sibuk memperhatikan
setiap foto dan syukurlah, tidak ada yang memperhatikan kami berdua, dengan dia
yang tertawa lebar di depanku.
Aku
tidak tahu takdirku akan berjalan kemana, jika hari ini aku tidak dibawanya ke
sini, ke pameran tunggalnya yang ia sebut dengan Pojok Masa. Apalagi jika aku memaksa menolak, cerita hari ini tidak akan ada. Tidak ada yang
bisa menebak alur hidupnya sendiri, bukan? Aku sendiri pun begitu. Ternyata, aku dibawa
mundur, untuk menyelesaikan yang lama, lalu kembali bersama dengannya untuk
melanjutkan lembaran cerita selanjutnya. Percayalah pada apa yang membawamu, dibalik tujuannya tersebut, tersimpan makna.
Terima
kasih.
Fin.