A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 13 Juli 2013

10.000

Perjalanan. Tidak ada yang mengerti dan bisa menerka-nerka akan perjalanan hidupnya. Setiap orang memiliki jalan raya sendiri. Tapi, terkadang, malah senang untuk masuk di jalan raya orang lain, dan mencoba untuk menyamai jalan raya miliknya dengan yang lainnya. Kau pasti mengerti maksudku. Dari setiap jalan raya, pasti akan ada ujung dari jalan tersebut. Dari setiap perjalanan, akan selalu ada akhirnya. Sebuah cerita pun akan memiliki akhir meskipun ia sering bersambung. Keseluruhannya sama dengan hidupku; hidupmu; hidup dia; hidup kita. Hidup pun memiliki akhirnya. Hanya saja kita tidak tahu dimana letaknya. Kau tidak bisa mencari, aku pun tidak bisa mencari. Tapi, suatu saat, aku yakin, kita akan bertemu dengan akhir kita sendiri.
Aku dan yang lain tengah istirahat dari perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, padahal kerjaku hanya duduk. Baiklah, kerjaku bukan hanya duduk, aku harus memantau laki-laki di depanku yang menavigasi kendaraan roda duanya, agar berhati-hati dan harus memperingatinya berkali-kali. Demi keselamatan kami berdua juga.
“Mana uang bayaranmu?”tagihku yang tengah mengantri di depan kasir sambil menjulurkan tanganku padamu. “Berapa harganya?”tanyamu sambil mengeluarkan dompet. “Sepuluh ribu rupiah.” Belum sempat kau mengeluarkan uangnya, petugas kasir di hadapanku sudah menunggu bayaranku dengan wajah sebal. Hah, ya menyebalkan.
“Pakai punyaku saja dulu.”ujarku sambil mengeluarkan duitku dan langsung menyerahkan pada petugas kasir tersebut yang langsung mengembalikan uang kembalian.
“Aku ganti sebentar.”katamu sambil tersenyum lebar. Semakin lebar lagi melihatku yang kerepotan membawa nampan berisi makananku dan minumnya.
“Ambilin sambalnya dong!”pinta temanku yang sama repotnya denganku. Aku menatapmu dengan tatapan ‘aku juga!’ yang tidak terucap. Ketika kau sudah mengambilkan sambal untuk temanku, aku langsung berseru dengan lantang. “Aku juga!”
Kau terkekeh, “Oh, kau juga mau?” Aku tidak bisa menahan dua mataku untuk tidak berputar dengan gemas. “Iya, aku juga mau.”jawabku padamu yang mengambil tempat untuk mengisi sambal sambil terkekeh. Selanjutnya kau meletakkan sambal tersebut di nampanku yang langsung melanjutkan langkahku menuju beranda luar dari kedai tersebut, dan duduk berhadapan denganmu. Aku menyantap makan siangku, bukan, makan hampir siangku, sedangkan kau menyantap minumanmu.
Ya, aku pun sibuk menyuapi salah satu temanku yang tidak makan. Daripada nanti saat di perjalanan dia kelaparan? Lebih baik satu bagi dua, tapi sama-sama kenyang. Setidaknya, lumayan kenyang.
Terkadang aku pun dan yang lainnya bertemu dengan kemacetan.
Kemacetan dalam hidup itu bernama masalah. Aku dan kalian pun pasti akan merasa kenal dekat dengannya. Karena, kita acap kali merasakannya. Setelah masalah perut sudah berhasil diajak kompromi, kami melanjutkan perjalanan kami yang cukup panjang dan melelahkan, tapi tidak pernah meninggalkan keseruan dan terpaan angin dingin khas dataran tinggi. Hitung-hitung untuk menyegarkan otak ini yang isinya sudah mulai tidak beraturan. Perlahan-lahan bisa kurasakan kedua pipiku mulai mendingin karena disapa oleh udara khas dataran tinggi, tempat tinggalnya para pucuk-pucuk teh.
Perjalananku semakin mendekati tujuannya.
Sayangnya perjalanan hidupku masih luntang-lantung tidak diketahui tujuannya.
“Dingin ya?”tanyamu. Aku mendekatkan daguku ke bahu kirimu untuk menjawab, “Iya. Dinginnya mulai kerasa. Tangan juga udah mulai beku.”jawabku sambil mengambil posisi semulaku yang duduk tegak cukup jauh dari punggungnya. Bisa kulihat kau pun mulai menggerak-gerakkan jemarimu yang sedari tadi mencengkeram kemudi motor.
“Udah mulai beku ya tangannya?”balas tanyaku sambil meletakkan daguku di atas bahu kirimu. “Iya.”jawabmu sambil terkekeh, masih dengan usahanya untuk menggerak-gerakkan jemarinya.
“Sini, mau aku hangatkan?”candaku, lalu menjauhkan diriku lagi.
“Caranya?”tanyamu sambil tertawa.
Sambil terkekeh aku menjawab, “Aku peluk dari belakang!”cetusku.
Aku dan kau tertawa lebar. Aku tidak bisa tertawa terlalu lebar, gigi-gigiku jadi cepat kering karena udara dingin. Tunggu, kami berdua memang sudah terbiasa seperti ini. Tapi, kami tidak memiliki hubungan yang spesial. Hanya antar teman.
Jalan yang kami lewati memang tidak mulus, jadi mudah membuat lelah.
Dalam sebuah hubungan saja, akan ada saatnya jalanan tidak mulus. Bertemu dengan jalan berlubang; kerikil-kerikil dalam bentuk pasir yang halus yang bisa menggangu; dan bahkan batu sungai yang besar pun bisa dengan sukses menghadang jalanmu. Tergantung bagaimana kau menghadapi itu semua. Tapi, ada juga yang tidak sanggup dan memilih untuk mengakhirinya. Jalanan ini seperti jalanan untuk sebuah ajang perlombaan.
Tapi, kalau yang namanya hidup, sudah bukan untuk dijadikan ajang perlombaan.

Aku tersentak kaget oleh sebuah tepukan ringan di pundakku. Pikiranku pun diam-diam mulai kembali ke kehidupanku yang sekarang. Aku memaksakan seulas senyum tipis pada seseorang yang menepuk pundakku. Ia menatapku dengan heran. “Kau sedang memikirkan apa?”tanyanya, lalu mengulurkan sebuah cangkir teh hangat.
Aku menggelengkan kepala. “Tidak memikirkan apa-apa.”jawabku sambil menyesap teh hangat di hadapanku, lalu meletakkannya ke atas piringannya kembali. Udara sejuk di penghujung musim dingin masih tersisa.
Laki-laki di hadapanku masih menelitiku. “Kau masih memikirkannya?”tanyanya langsung. Aku terdiam dengan kepala yang menoleh keluar jendela transparan disampingku. Memandang ke kejauhan. Berusaha untuk menghindar dari pertanyaannya. Tapi, selamanya aku tidak bisa menghindar. Aku tidak bisa terus-menerus lari. Entah sudah berapa lama aku tinggal disini, berusaha meninggalkan dan bahkan melupakannya.
“Tidak apa. Katakan saja. Siapa tau dengan kau ungkapkan, akan terasa lebih lega.”ujarnya sambil menyentuh tanganku dengan hangat. Kami hanya sebatas teman. Baiklah, laki-laki di hadapanku ini memang sudah beberapa kali menyatakan cinta, namun selalu aku katakan, bahwa aku lebih nyaman hanya menjadi temannya.
Dan ya, laki-laki ini memang tahu cerita lamaku.
Aku sendiri tidak bisa meyakinkan perasaanku sendiri sudah berkembang sejak kapan tepatnya. Sejak aku meletakkan daguku di bahumu kah, atau saat aku menagihmu untuk membayar minumanmu, atau saat aku mulai mendapatkan rasa nyaman bersamamu, atau mungkin saat aku mulai tertawa bersamamu? Aku sadar saat perlahan-lahan aku mulai merasakan kehilangan dirimu. Saat perlahan-lahan aku mulai merindukanmu. Bukan, bukan merindukan karena kesepian. Banyak hal yang bisa mengisi kesepianku. Tapi, kali itu aku tahu bahwa aku benar-benar merindukanmu.
Disisi lain, aku juga penasaran, apakah kau merasakan hal yang sama atau tidak. Aku tidak mungkin bertanya atau mengungkapkannya padamu. Mengapa? Karena, aku tidak mau ada yang berubah. Sudah, lebih baik seperti ini saja. Tidak ada yang terluka, tidak ada yang perlu mencoba untuk menghindar agar tidak ada yang terluka. Bukannya aku tidak berani mengambil resiko, tapi ini demi kenyamanan bersama.
Cukuplah aku saja yang tahu perihal tersebut, tidak usah melibatkanmu. Aku tidak ingin kau pun terganggu. Aku berharap, perasaan tersebut hanya seliwat saja. Dan jika memang untuk waktu yang lama, aku berharap itu akan terhapus dengan sendirinya oleh waktu. Maka dari itu aku memutuskan untuk pergi. Lebih tepatnya, mencoba untuk meninggalkan.
Acap kali jemari ini gatal sekali untuk mengajak bicara lebih dulu di social media atau melalui pesan, walau hanya saling bertukar kabar. Tapi, lagi-lagi semua pesan tersebut selalu masuk dalam draftku. Karena, pasti nantinya aku akan ketagihan. Konyol.
“Sepertinya sudah saatnya untukmu kembali. Dan mengatakan yang sebenarnya.”ujarnya, membuyarkan pikiranku yang sedang kutata. Aku menatapnya yang tengah menyesap teh green tea. Berusaha meneliti emosi di wajahnya. Saat sadar aku tengah meneliti emosi di wajahnya, ia menutupi rasa kecewanya yang aku tangkap beberapa saat yang lalu dengan terkekeh. “Sungguh, aku tidak apa-apa. Asal kau berjanji untuk tidak lupa mengabariku disini. Ah, siapa tau aku bisa mengunjungimu disana!”cetusnya.
Aku terkekeh. “Baiklah, baiklah. Aku berjanji.”
Laki-laki dihadapanku ini memang sedang memiliki impian untuk mengunjungi negaraku. Ia penasaran dengan isi dari negaraku. Padahal sudah aku katakan, isinya sangat tidak beraturan dan membingungkan. Hmm, seperti perasaan yang tidak terdefinisikan, makanya membingungkan.
Ya, mungkin sudah saatnya. Sudah saatnya aku berhenti menekan perasaanku.
Sudah saatnya untuk pulang. Pasti sudah banyak yang berubah.

Perjalanan pulangku seperti jarum jam yang mengitari lingkarannya.
Bagaimana kabarmu selama ini? Pasti baik-baik saja kan? Aku yakin.
Apakah kau masih mengingatku? Aku ragu.
Bagaimana rupamu saat ini? Pasti sudah lebih tampan dari terakhir kali kita bertemu.
Apakah kau bahagia selama ini? Ya, kau pasti bahagia selama ini.
Apakah kau sempat merindukanku? Aku sendiri ragu. Ah! Bukan, bukan maksudku dalam konteks sebagai teman. Tapi, sebagai seorang perempuan yang sempat tertawa bersamamu; perempuan yang dahulu sempat ingin menghabiskan hari terakhirnya di tanah yang sama denganmu, namun harus gagal karena aku tahu kau pasti akan menolaknya, bahkan sebelum aku membujuk.
Pernakah kau mengkhawatirkanku? Jika kau merindukanku, mungkin kau akan mengkhawatirkanku. Mungkin.
Pernakah kau merasa kehilanganku? Jika kau memang memanggapku teman, dan atau lebih dari sekadar itu, ya mungkin saja kau akan merasa kehilangan. Tapi, sekali lagi, bukan sebagai seorang teman.
Kakiku akhirnya menjejak di atas tanah yang sama denganmu. Jantungku berdebar tidak karuan, menanti saat-saat aku bertemu denganmu. Bodoh sekali aku ini! aku bahkan belum menghubungimu dan atau teman-teman yang lainnya untuk sekadar memberi kabar. Ah, tapi nanti saja. Aku ingin menikmati dulu kesendirianku di tanah asalku sendiri.

Sepertinya aku datang di saat musim hujan. Hmm, betapa suasananya membuatku rindu. Masih terlalu pagi untuk berjalan-jalan di trotoar merasakan panas matahari pagi. Tapi, seharusnya matahari memang sudah terbit. Aku dongakkan kepalaku menghadap ke langit. Dan benar saja, langit diatas kepalaku masih gelap. Bukan gelap karena masih malam. Tapi, karena ya memang sedang musimnya.
Aku menghela nafas dan melanjutkan langkahku di pinggir jalan yang mengarah ke sebuah taman. Benar kan. Banyak yang berubah disini. Sebelum aku pergi, tempat ini terlalu gersang oleh rumah-rumah tidak terpakai. Kini saat aku kembali, sejauh mata memandang, aku mulai sering melihat taman-taman yang rindang. Taman ini taman umum, dan jauh dari rumahku.
Aku memang berniat untuk jalan pagi. Tapi, nyatanya aku seperti backpacker dengan tas ransel berisi botol air yang terisi penuh oleh air putih, payung yang cukup besar, dan juga sandal Crocs. Dua barang terakhir itu untuk persiapan jika tiba-tiba hujan. Jadinya, aku seperti sedang wisata seorang diri.
Ponselku berdering. Aku terkekeh ketika membaca caller ID yang tertera di layar ponselku. Laki-laki itu pasti sudah gemas karena belum aku kabari. Aku pun menekan tombol hijau di sudut kiri ponselku dan mendekatkannya ke telinga. “Hai! Aku sudah sampai dengan selamat! Kau tidak perlu khawatir.”ujarku sambil terkekeh.
Aku bisa mendengar ia mendengus sebal di seberang sambungan.
“Kau ini hanya memberiku janji palsu ya?!”gerutunya.
“Tadi aku masih jetlag.”jawabku sambil tertawa.
Aku terlibat pembicaraan yang cukup panjang dengannya. Ia menghawatirkanku.
Setelah pembicaraanku dengannya selesai, aku menghela nafas panjang. Apakah kau akan seperti ia yang mengkhawatirkanku yang baru beberapa jam saja tidak memberi kabar? Aku bahkan pergi sudah hampir bertahun-tahun lamanya darimu. Lalu aku menghembuskan nafasku lagi.
Aku tengah berjalan santai menikmati udara pagi yang masih bersih dengan pohon-pohon cemara berada di sisi-sisiku, ketika aku mendengar suara anak kecil yang tertawa nyaring dan riang di belakangku lalu tak lama kemudian, ia lari melewati sisi kananku. “Jangan lari-larian! Nanti kau jatuh!”teriak seseorang dibelakangku. Aku memutar badan hendak menasehati orangtuanya yang lepas tanggung jawab seperti barusan, langsung terpaku di tempatku berdiri. Sungguh, aku menyesal telah memutar badanku.
Kali ini aku berharap, aku ikut terbang tertiup oleh angin musim hujan. Apakah aku sedang berada di lokasi syuting sebuah sinetron? Karena, mendadak aku merasa diguyur oleh hujan yang deras. Tapi, lama-kelamaan aku seperti berada di tempat teduh. Ketika aku sadar, aku tengah dipayungi.
“Lama tidak jumpa.”ujarmu sambil tersenyum bercampur keterkejutan seraya mengulurkan tanganmu.
Aku memaksakan seulas senyum tipis bercampur pedih. “Ya, lama tidak jumpa.”jawabku seraya menyusupkan jemariku yang dingin ke jemarimu yang hangat, yang sudah dilingkari oleh sebuah cincin sederhana di jari manis.
Aku mendongak. Menatap ke dalam matanya. Aku bisa menangkap sorot matanya yang berbicara, ‘Aku minta maaf.’ Kembali kupaksakan seulas senyum, berusaha terlihat tidak terjadi apa-apa. Mungkin bukan sebuah senyum kali ini. Aku hanya mengangkat sudut-sudut bibirku. Hanya sebagai tanda formalitas.

Sepertinya, aku tidak perlu mengatakan yang sebenarnya. Karena tidak akan merubah waktu. Ternyata memang sudah jalanku untuk hanya menyimpannya sendiri. Mungkin juga, karena aku yang terlambat. Seharusnya aku tidak boleh menyesal, ya seharusnya.
Bibirku bergetar. Bukan karena kedinginan, tapi karena tangis yang mendesak untuk keluar.
Aku masih cukup terkejut untuk mengatakan sepatah dua patah kata. Maka aku putuskan untuk melewatimu yang memayungiku dan bergerak menjauh darimu yang masih diam di tempat.
Ya, kau masih mengingatku. Karena kau membuka pembicaraan yang sangat singkat lebih dahulu.
Ya, kau ternyata masih setampan terakhir kali kita bertemu. Dan bahkan, sepertinya semakin tampan dari yang terakhir.
Ya, kali ini aku tidak perlu ragu. Kau selama ini memang sudah bahagia.
Selebihnya aku tidak membutuhkan jawaban. Karena, itu tidak akan ada jawabannya.
Memang, aku pulang dengan harapan aku bisa memulainya dari awal dengannya, jika ia memang tidak mengingatku. Tapi, jika kau memang masih mengingatku, mungkin itu lampu hijau. Tapi, tenyata, aku diberikan lampu merah. Tidak pernah terpikirkan olehku akan berakhir seperti ini. Berakhir dengan kekecewaan. Memang sudah sepantasnya aku tidak berharap.
Dalam langkahku, aku tersenyum sedih. Perlahan, aku membuka telapak tanganku. Ada selembar uang sepuluh ribu rupiah yang digulung dan sudah mulai basah karena terkena hujan. Aku iseng membuka gulungan tersebut dan tersentak kaget karena mendapati sebuah tulisan, ‘Terima kasih.’ Jika, aku masih anak SMA, aku akan terbahak-bahak jika mendapati uang seperti ini. Tapi, kali ini rasanya aku tidak sanggup tertawa terbahak-bahak, tapi sebaliknya.
Apa yang sudah aku tinggalkan dibelakangku, sudah seharusnya tidak aku coba untuk meraihnya kembali.

Kali ini dan selanjutnya, tidak akan ada lagi, ‘Lama tidak jumpa.’
Kali ini dan selanjutnya, hanyalah ‘Selamat Tinggal.’

Fin

2 komentar: