Perjalanan. Tidak ada yang mengerti
dan bisa menerka-nerka akan perjalanan hidupnya. Setiap orang memiliki jalan
raya sendiri. Tapi, terkadang, malah senang untuk masuk di jalan raya orang
lain, dan mencoba untuk menyamai jalan raya miliknya dengan yang lainnya. Kau
pasti mengerti maksudku. Dari setiap jalan raya, pasti akan ada ujung dari
jalan tersebut. Dari setiap perjalanan, akan selalu ada akhirnya. Sebuah cerita
pun akan memiliki akhir meskipun ia sering bersambung. Keseluruhannya sama
dengan hidupku; hidupmu; hidup dia; hidup kita. Hidup pun memiliki akhirnya. Hanya
saja kita tidak tahu dimana letaknya. Kau tidak bisa mencari, aku pun tidak
bisa mencari. Tapi, suatu saat, aku yakin, kita akan bertemu dengan akhir kita
sendiri.
Aku dan yang lain tengah istirahat dari perjalanan yang
cukup panjang dan melelahkan, padahal kerjaku hanya duduk. Baiklah, kerjaku
bukan hanya duduk, aku harus memantau laki-laki di depanku yang menavigasi
kendaraan roda duanya, agar berhati-hati dan harus memperingatinya
berkali-kali. Demi keselamatan kami berdua juga.
“Mana uang bayaranmu?”tagihku yang
tengah mengantri di depan kasir sambil menjulurkan tanganku padamu. “Berapa
harganya?”tanyamu sambil mengeluarkan dompet. “Sepuluh ribu rupiah.” Belum
sempat kau mengeluarkan uangnya, petugas kasir di hadapanku sudah menunggu
bayaranku dengan wajah sebal. Hah, ya menyebalkan.
“Pakai punyaku saja dulu.”ujarku
sambil mengeluarkan duitku dan langsung menyerahkan pada petugas kasir tersebut
yang langsung mengembalikan uang kembalian.
“Aku ganti sebentar.”katamu sambil
tersenyum lebar. Semakin lebar lagi melihatku yang kerepotan membawa nampan
berisi makananku dan minumnya.
“Ambilin sambalnya dong!”pinta
temanku yang sama repotnya denganku. Aku menatapmu dengan tatapan ‘aku juga!’
yang tidak terucap. Ketika kau sudah mengambilkan sambal untuk temanku, aku
langsung berseru dengan lantang. “Aku juga!”
Kau terkekeh, “Oh, kau
juga mau?” Aku tidak bisa menahan dua mataku untuk tidak berputar dengan gemas.
“Iya, aku juga mau.”jawabku padamu yang mengambil tempat untuk mengisi sambal
sambil terkekeh. Selanjutnya kau meletakkan sambal tersebut di nampanku yang
langsung melanjutkan langkahku menuju beranda luar dari kedai tersebut, dan
duduk berhadapan denganmu. Aku menyantap makan siangku, bukan, makan hampir
siangku, sedangkan kau menyantap minumanmu.
Ya, aku pun sibuk menyuapi salah
satu temanku yang tidak makan. Daripada nanti saat di perjalanan dia kelaparan?
Lebih baik satu bagi dua, tapi sama-sama kenyang. Setidaknya, lumayan kenyang.
Terkadang aku pun dan yang lainnya
bertemu dengan kemacetan.
Kemacetan dalam hidup itu bernama
masalah. Aku dan kalian pun pasti akan merasa kenal dekat dengannya. Karena,
kita acap kali merasakannya. Setelah masalah perut sudah berhasil diajak
kompromi, kami melanjutkan perjalanan kami yang cukup panjang dan melelahkan,
tapi tidak pernah meninggalkan keseruan dan terpaan angin dingin khas dataran
tinggi. Hitung-hitung untuk menyegarkan otak ini yang isinya sudah mulai tidak
beraturan. Perlahan-lahan bisa kurasakan kedua pipiku mulai mendingin karena
disapa oleh udara khas dataran tinggi, tempat tinggalnya para pucuk-pucuk teh.
Perjalananku semakin mendekati
tujuannya.
Sayangnya perjalanan hidupku masih
luntang-lantung tidak diketahui tujuannya.
“Dingin ya?”tanyamu. Aku
mendekatkan daguku ke bahu kirimu untuk menjawab, “Iya. Dinginnya mulai
kerasa. Tangan juga udah mulai beku.”jawabku sambil mengambil posisi semulaku
yang duduk tegak cukup jauh dari punggungnya. Bisa kulihat kau pun mulai
menggerak-gerakkan jemarimu yang sedari tadi mencengkeram kemudi motor.
“Udah mulai beku ya tangannya?”balas tanyaku sambil meletakkan daguku di atas bahu kirimu. “Iya.”jawabmu sambil terkekeh, masih dengan
usahanya untuk menggerak-gerakkan jemarinya.
“Sini, mau aku hangatkan?”candaku,
lalu menjauhkan diriku lagi.
“Caranya?”tanyamu sambil tertawa.
Sambil terkekeh aku menjawab, “Aku
peluk dari belakang!”cetusku.
Aku dan kau tertawa lebar. Aku tidak
bisa tertawa terlalu lebar, gigi-gigiku jadi cepat kering karena udara dingin. Tunggu,
kami berdua memang sudah terbiasa seperti ini. Tapi, kami tidak memiliki
hubungan yang spesial. Hanya antar teman.
Jalan yang kami lewati memang tidak
mulus, jadi mudah membuat lelah.
Dalam sebuah hubungan saja, akan
ada saatnya jalanan tidak mulus. Bertemu dengan jalan berlubang;
kerikil-kerikil dalam bentuk pasir yang halus yang bisa menggangu; dan bahkan
batu sungai yang besar pun bisa dengan sukses menghadang jalanmu. Tergantung
bagaimana kau menghadapi itu semua. Tapi, ada juga yang tidak sanggup dan
memilih untuk mengakhirinya. Jalanan ini seperti jalanan untuk sebuah ajang perlombaan.
Tapi, kalau yang namanya hidup,
sudah bukan untuk dijadikan ajang perlombaan.
Aku
tersentak kaget oleh sebuah tepukan ringan di pundakku. Pikiranku pun diam-diam
mulai kembali ke kehidupanku yang sekarang. Aku memaksakan seulas senyum tipis
pada seseorang yang menepuk pundakku. Ia menatapku dengan heran. “Kau sedang
memikirkan apa?”tanyanya, lalu mengulurkan sebuah cangkir teh hangat.
Aku
menggelengkan kepala. “Tidak memikirkan apa-apa.”jawabku sambil menyesap teh
hangat di hadapanku, lalu meletakkannya ke atas piringannya kembali. Udara sejuk
di penghujung musim dingin masih tersisa.
Laki-laki
di hadapanku masih menelitiku. “Kau masih memikirkannya?”tanyanya langsung. Aku
terdiam dengan kepala yang menoleh keluar jendela transparan disampingku.
Memandang ke kejauhan. Berusaha untuk menghindar dari pertanyaannya. Tapi,
selamanya aku tidak bisa menghindar. Aku tidak bisa terus-menerus lari. Entah sudah
berapa lama aku tinggal disini, berusaha meninggalkan dan bahkan melupakannya.
“Tidak
apa. Katakan saja. Siapa tau dengan kau ungkapkan, akan terasa lebih lega.”ujarnya
sambil menyentuh tanganku dengan hangat. Kami hanya sebatas teman. Baiklah,
laki-laki di hadapanku ini memang sudah beberapa kali menyatakan cinta, namun
selalu aku katakan, bahwa aku lebih nyaman hanya menjadi temannya.
Dan
ya, laki-laki ini memang tahu cerita lamaku.
Aku
sendiri tidak bisa meyakinkan perasaanku sendiri sudah berkembang sejak kapan
tepatnya. Sejak aku meletakkan daguku di bahumu kah, atau saat aku menagihmu untuk membayar minumanmu, atau saat aku mulai mendapatkan rasa nyaman
bersamamu, atau mungkin saat aku mulai tertawa bersamamu? Aku sadar saat
perlahan-lahan aku mulai merasakan kehilangan dirimu. Saat perlahan-lahan aku
mulai merindukanmu. Bukan, bukan merindukan karena kesepian. Banyak hal yang
bisa mengisi kesepianku. Tapi, kali itu aku tahu bahwa aku benar-benar merindukanmu.
Disisi
lain, aku juga penasaran, apakah kau merasakan hal yang sama atau tidak. Aku
tidak mungkin bertanya atau mengungkapkannya padamu. Mengapa? Karena, aku tidak
mau ada yang berubah. Sudah, lebih baik seperti ini saja. Tidak ada yang
terluka, tidak ada yang perlu mencoba untuk menghindar agar tidak ada yang
terluka. Bukannya aku tidak berani mengambil resiko, tapi ini demi kenyamanan
bersama.
Cukuplah
aku saja yang tahu perihal tersebut, tidak usah melibatkanmu. Aku tidak ingin kau pun terganggu. Aku berharap, perasaan tersebut hanya seliwat saja. Dan jika
memang untuk waktu yang lama, aku berharap itu akan terhapus dengan sendirinya
oleh waktu. Maka dari itu aku memutuskan untuk pergi. Lebih tepatnya, mencoba
untuk meninggalkan.
Acap
kali jemari ini gatal sekali untuk mengajak bicara lebih dulu di social
media atau melalui pesan, walau hanya saling bertukar kabar. Tapi, lagi-lagi
semua pesan tersebut selalu masuk dalam draftku. Karena, pasti nantinya aku
akan ketagihan. Konyol.
“Sepertinya
sudah saatnya untukmu kembali. Dan mengatakan yang sebenarnya.”ujarnya,
membuyarkan pikiranku yang sedang kutata. Aku menatapnya yang tengah menyesap
teh green tea. Berusaha meneliti
emosi di wajahnya. Saat sadar aku tengah meneliti emosi di wajahnya, ia
menutupi rasa kecewanya yang aku tangkap beberapa saat yang lalu dengan
terkekeh. “Sungguh, aku tidak apa-apa. Asal kau berjanji untuk tidak lupa
mengabariku disini. Ah, siapa tau aku bisa mengunjungimu disana!”cetusnya.
Aku
terkekeh. “Baiklah, baiklah. Aku berjanji.”
Laki-laki
dihadapanku ini memang sedang memiliki impian untuk mengunjungi negaraku. Ia penasaran
dengan isi dari negaraku. Padahal sudah aku katakan, isinya sangat tidak
beraturan dan membingungkan. Hmm, seperti perasaan yang tidak terdefinisikan, makanya
membingungkan.
Ya,
mungkin sudah saatnya. Sudah saatnya aku berhenti menekan perasaanku.
Sudah
saatnya untuk pulang. Pasti sudah banyak yang berubah.
Perjalanan
pulangku seperti jarum jam yang mengitari lingkarannya.
Bagaimana
kabarmu selama ini? Pasti baik-baik saja kan? Aku yakin.
Apakah
kau masih mengingatku? Aku ragu.
Bagaimana
rupamu saat ini? Pasti sudah lebih tampan dari terakhir kali kita bertemu.
Apakah
kau bahagia selama ini? Ya, kau pasti bahagia selama ini.
Apakah
kau sempat merindukanku? Aku sendiri ragu. Ah! Bukan, bukan maksudku dalam
konteks sebagai teman. Tapi, sebagai seorang perempuan yang sempat tertawa
bersamamu; perempuan yang dahulu sempat ingin menghabiskan hari terakhirnya di
tanah yang sama denganmu, namun harus gagal karena aku tahu kau pasti akan
menolaknya, bahkan sebelum aku membujuk.
Pernakah
kau mengkhawatirkanku? Jika kau merindukanku, mungkin kau akan
mengkhawatirkanku. Mungkin.
Pernakah
kau merasa kehilanganku? Jika kau memang memanggapku teman, dan atau lebih dari
sekadar itu, ya mungkin saja kau akan merasa kehilangan. Tapi, sekali lagi,
bukan sebagai seorang teman.
Kakiku
akhirnya menjejak di atas tanah yang sama denganmu. Jantungku berdebar tidak
karuan, menanti saat-saat aku bertemu denganmu. Bodoh sekali aku ini! aku
bahkan belum menghubungimu dan atau teman-teman yang lainnya untuk sekadar
memberi kabar. Ah, tapi nanti saja. Aku ingin menikmati dulu kesendirianku di
tanah asalku sendiri.
Sepertinya
aku datang di saat musim hujan. Hmm, betapa suasananya membuatku rindu. Masih terlalu
pagi untuk berjalan-jalan di trotoar merasakan panas matahari pagi. Tapi,
seharusnya matahari memang sudah terbit. Aku dongakkan kepalaku menghadap ke
langit. Dan benar saja, langit diatas kepalaku masih gelap. Bukan gelap karena
masih malam. Tapi, karena ya memang sedang musimnya.
Aku
menghela nafas dan melanjutkan langkahku di pinggir jalan yang mengarah ke
sebuah taman. Benar kan. Banyak yang berubah disini. Sebelum aku pergi, tempat
ini terlalu gersang oleh rumah-rumah tidak terpakai. Kini saat aku kembali,
sejauh mata memandang, aku mulai sering melihat taman-taman yang rindang. Taman
ini taman umum, dan jauh dari rumahku.
Aku
memang berniat untuk jalan pagi. Tapi, nyatanya aku seperti backpacker dengan tas ransel berisi
botol air yang terisi penuh oleh air putih, payung yang cukup besar, dan juga
sandal Crocs. Dua barang terakhir itu
untuk persiapan jika tiba-tiba hujan. Jadinya, aku seperti sedang wisata
seorang diri.
Ponselku
berdering. Aku terkekeh ketika membaca caller
ID yang tertera di layar ponselku. Laki-laki itu pasti sudah gemas karena
belum aku kabari. Aku pun menekan tombol hijau di sudut kiri ponselku dan
mendekatkannya ke telinga. “Hai! Aku sudah sampai dengan selamat! Kau tidak
perlu khawatir.”ujarku sambil terkekeh.
Aku
bisa mendengar ia mendengus sebal di seberang sambungan.
“Kau ini hanya memberiku janji
palsu ya?!”gerutunya.
“Tadi
aku masih jetlag.”jawabku sambil
tertawa.
Aku
terlibat pembicaraan yang cukup panjang dengannya. Ia menghawatirkanku.
Setelah
pembicaraanku dengannya selesai, aku menghela nafas panjang. Apakah kau akan
seperti ia yang mengkhawatirkanku yang baru beberapa jam saja tidak memberi
kabar? Aku bahkan pergi sudah hampir bertahun-tahun lamanya darimu. Lalu aku menghembuskan
nafasku lagi.
Aku
tengah berjalan santai menikmati udara pagi yang masih bersih dengan
pohon-pohon cemara berada di sisi-sisiku, ketika aku mendengar suara anak kecil
yang tertawa nyaring dan riang di belakangku lalu tak lama kemudian, ia lari
melewati sisi kananku. “Jangan lari-larian! Nanti kau jatuh!”teriak seseorang
dibelakangku. Aku memutar badan hendak menasehati orangtuanya yang lepas
tanggung jawab seperti barusan, langsung terpaku di tempatku berdiri. Sungguh,
aku menyesal telah memutar badanku.
Kali
ini aku berharap, aku ikut terbang tertiup oleh angin musim hujan. Apakah aku sedang
berada di lokasi syuting sebuah sinetron? Karena, mendadak aku merasa diguyur
oleh hujan yang deras. Tapi, lama-kelamaan aku seperti berada di tempat teduh.
Ketika aku sadar, aku tengah dipayungi.
“Lama
tidak jumpa.”ujarmu sambil tersenyum bercampur keterkejutan seraya mengulurkan
tanganmu.
Aku
memaksakan seulas senyum tipis bercampur pedih. “Ya, lama tidak jumpa.”jawabku seraya
menyusupkan jemariku yang dingin ke jemarimu yang hangat, yang sudah dilingkari
oleh sebuah cincin sederhana di jari manis.
Aku
mendongak. Menatap ke dalam matanya. Aku bisa menangkap sorot matanya yang
berbicara, ‘Aku minta maaf.’ Kembali kupaksakan seulas senyum, berusaha
terlihat tidak terjadi apa-apa. Mungkin bukan sebuah senyum kali ini. Aku hanya
mengangkat sudut-sudut bibirku. Hanya sebagai tanda formalitas.
Sepertinya,
aku tidak perlu mengatakan yang sebenarnya. Karena tidak akan merubah waktu.
Ternyata memang sudah jalanku untuk hanya menyimpannya sendiri. Mungkin juga,
karena aku yang terlambat. Seharusnya aku tidak boleh menyesal, ya seharusnya.
Bibirku
bergetar. Bukan karena kedinginan, tapi karena tangis yang mendesak untuk
keluar.
Aku
masih cukup terkejut untuk mengatakan sepatah dua patah kata. Maka aku putuskan
untuk melewatimu yang memayungiku dan bergerak menjauh darimu yang masih diam
di tempat.
Ya,
kau masih mengingatku. Karena kau membuka pembicaraan yang sangat singkat lebih
dahulu.
Ya,
kau ternyata masih setampan terakhir kali kita bertemu. Dan bahkan, sepertinya
semakin tampan dari yang terakhir.
Ya,
kali ini aku tidak perlu ragu. Kau selama ini memang sudah bahagia.
Selebihnya
aku tidak membutuhkan jawaban. Karena, itu tidak akan ada jawabannya.
Memang,
aku pulang dengan harapan aku bisa memulainya dari awal dengannya, jika ia
memang tidak mengingatku. Tapi, jika kau memang masih mengingatku, mungkin itu
lampu hijau. Tapi, tenyata, aku diberikan lampu merah. Tidak pernah terpikirkan
olehku akan berakhir seperti ini. Berakhir dengan kekecewaan. Memang sudah
sepantasnya aku tidak berharap.
Dalam
langkahku, aku tersenyum sedih. Perlahan, aku membuka telapak tanganku. Ada selembar
uang sepuluh ribu rupiah yang digulung dan sudah mulai basah karena terkena
hujan. Aku iseng membuka gulungan tersebut dan tersentak kaget karena mendapati
sebuah tulisan, ‘Terima kasih.’ Jika, aku masih anak SMA, aku akan
terbahak-bahak jika mendapati uang seperti ini. Tapi, kali ini rasanya aku
tidak sanggup tertawa terbahak-bahak, tapi sebaliknya.
Apa
yang sudah aku tinggalkan dibelakangku, sudah seharusnya tidak aku coba untuk meraihnya
kembali.
Kali
ini dan selanjutnya, tidak akan ada lagi, ‘Lama tidak jumpa.’
Kali
ini dan selanjutnya, hanyalah ‘Selamat Tinggal.’
Fin
komentar saya? KIRIM KE PENERBIT TERDEKAT ANDA!
BalasHapusTERIMA KASIH KOMENTAR ANDA!!! <3 <3 <3
Hapus