A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Senin, 01 Juli 2013

Pojok Masa.

Ibu pernah bilang, “Ndok, kalau ada masalah ya jangan lari toh. Memang kamu ndak lelah lari terus? Kamu sudah jadi wanita dewasa, pikiranmu juga seharusnya ikut dewasa toh. Kamu bukan anak umur 5 tahun lagi yang harus Ibu jaga. Sekarang, kamu yang harus jaga hatimu sama hidupmu sendiri.” Meski beliau tidak berada di tanah kelahirannya, tapi bahasa Jawanya masih kental serta medoknya.
Kau hidup, kau pun telah dipilihkan jalannya. Tidak ada jalan cerita yang mulus, bahkan jalan tol masih memiliki penghambat; apapun itu. Tadinya aku memang berniat untuk lari dari masa lalu, tapi Ibu yang seakan-akan ikut merasakan, langsung membuka kalimat, membuatku untuk mengurungkan niatku .Tapi, hingga sekarang, aku tidak kunjung menghadapinya. Aku hanya menimbunnya dipojokkan. Tidak pernah aku datangi.
Akan ada saatnya kau menutup lembaran yang lain untuk membuka lembaran yang baru. Cerita tidak pernah berhenti di satu halaman. Untuk mengetahui kelanjutannya, kau harus menutup yang sebelumnya, untuk membaca halaman selanjutnya. Tapi, terkadang orang terlalu lelah dan malas untuk membuka lembar selanjutnya, apalagi untuk membacanya.
Tanganku meraba-raba mencari kacamataku yang, seingatku, semalam aku letakkan di atas nakas disamping tempat tidurku. Tidak mungkin ia jalan di tengah malam lalu pindah ke sampingku, lalu tidur nyenyak di balik selimut tebal nan nyaman ini. Ah pikiranku masih pagi-pagi saja sudah melantur. Aku sibakkan selimut putih tebalku dan menurunkan kedua kakiku ke lantai yang berlapiskan permadani, lalu memakai sandal kamarku, bergerak dari tempat tidur menuju jendela untuk menyibakkan gordennya, membiarkan sinar matahari masuk ke dalam kamarku.
Masih berbalutkan dengan kaus yang kebesaran dan hotpants, aku keluar dari kamar menuju ruang makan, lalu menuang air putih ke gelas bening, kemudian menenggaknya hingga habis. Bulan ini sudah masuk musim gugur. Sehingga, kemanapun aku pergi, syal berbahan tebal selalu tersedia di dalam tasku.
Sejujurnya bukan karena perihal udaranya. Dibalik musim itu tersimpan cerita. Ah, tidak usah dibahas. Membahasnya seperti mengorek cerita dan sakit lama. Memang, mencintai itu satu paket dengan sakit hati.  Tanpa sadar aku sudah berada di balik pantry, tengah menyeduh kopi pagiku. Siapa yang suka jika harus berakhir dengan sakit hati? Seperti kau membaca cerita yang berakhir sedih. Tapi, siapa pula yang bisa mengelak?
Membahas masa lalu tidak akan ada habisnya. Tapi, karena masa lalu, ia memberikan kita pelajaran untuk melanjutkan masa depan kita selanjutnya. Sambil berjalan menuju sofa, aku meregangkan tubuhku sambil menguap lebar. Seharusnya jam segini aku masih terlelap di atas tempat tidurku dan tenggelam di dalam mimpi. Aku selalu mencoba untuk terus menatap ke depan tanpa pernah menoleh. Namun, acap kali, aku sendiri susah untuk menahan diriku untuk tidak menoleh ke belakang. Adakalanya aku merindukan yang lama, ada kalanya aku merindukan yang kemarin-kemarin. Biasanya, kerinduan itu datang masuk melalui celah-celah kesepian yang terbuka, sekecil apapun. Telunjukku menekan music playerku dan mulai mengalun dengan pelan lagu-lagu instrumental. Aku duduk dengan nyaman sambil memegang cangkir kopiku, meresapi lantunan melodi tanpa lirik yang mengalir dari speaker.
Hidup tidak semudah aliran lagu instrumental yang mengalir keluar dengan lembut dari speaker. Hidup kita seperti lagu berlirik. Memiliki awal; memiliki titik puncak; memiliki akhir pula; dan pastinya memiliki makna dibaliknya. Hanya saja, lagu berlirik kita sendiri tidak tahu dimana ujungnya. Seperti pelangi bukan?
Orang selalu bilang, cepatlah move on. Mengatakannya memang selalu mudah, tapi melakukannya butuh perjuangan, tidak semudah kita berganti pakaian. Berganti pakaian saja, kita masih harus memikirkan cocok atau tidak. Apalagi melupakan seorang yang pernah benar-benar hidup dalam hidupmu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar.
Kembali terngiang di telingaku dengan kata-kata Ibu,”Jangan dipaksakan, ndok. Biar bagaimanapun, sejelek apapun sikapnya, dia tetap pernah menjadi orang yang kamu sayangi. Pernah jadi orang yang nemenin kamu, kenangan-kenangan kamu juga toh isinya sama dia juga kan? Jangan bermusuhan sama masa lalu. Nanti kamu dimusuhin balik loh. Kalau memang belum bisa lupa ya berarti belum waktunya. Ndak usah dipaksa. Yang namanya Waktu, kamu ndak bisa paksa. Mau kamu mundurin jarumnya, toh dia tetap bergerak maju juga ndok.” Maka aku pun membiarkan semuanya berjalan seperti biasa.
Karena ya, keadaan, waktu, bahkan cuaca sekalipun tidak bisa dipaksakan sesuai kehendak kita sendiri. Hanya saja, terkadang orang tetap mencoba hingga lupa bagaimana caranya untuk menemukan kebahagiaan lain yang tengah menunggu untuk dijemput. Aku melompat kaget dari sofa karena jam beker disampingku berdering kencang. “Telat bangun ya?!”ledekku sambil menekan tombol off. “Ck!”decakku sebal karena setengah kopiku tumpah ke baju.
Jika aku libur kuliah, selama di apartemen, aku akan menghabiskan waktu dengan menonton tv, membaca novel hingga habis ditemani kafein dan camilan ringan lainnya, hingga lupa mandi. Bukan lupa, tapi malas. Lagipula tidak ada yang akan mencium bauku selama aku di dalam apartemenku. Tapi, tempat tinggalku yang sudah kuhuni selama hampir 3 tahun, selalu wangi dengan pengharum ruangan. Ya, oleh pengharum ruangan. Tapi, pemiliknya juga wangi! Hanya saat libur saja yang tidak wangi. Astaga, kenapa jadi membicarakan aibku?! Untungnya, aku tidak tinggal dengan Ibu. Aku memilih untuk mencari apartemen yang dekat dengan kampusku.
Ketika aku tengah berjalan menuju kamarku untuk ganti baju, aku mendapati segunung, tidak, setumpuk surat-surat. Dari brosur makanan dan diskonan, sampai surat tagihan yang masih jauh dari tanggal tagihannya bertemu menjadi satu di depan pintu. Aku mulai menyortirnya satu per satu hingga sampailah sebuah brosur di tanganku. Hanya selebaran. Tadinya aku hampir memasukkannya ke dalam tempat sampah.


Aku berjalan-jalan santai di trotoar yang cukup luas untuk muat sebuah mobil. Untungnya hari ini panasnya tidak terik, jadi aku tidak perlu mengeluarkan payungku dari dalam tas, dan hari ini udaranya terasa teduh. Aku masuk ke sebuah restoran kecil dan memilih tempat duduk di dekat kaca yang menghidangkan pemandangan jalan raya yang lengang.  Aku langsung memesan kopiku kesukaanku. Dimanapun aku datangi, aku akan mencari kopi kesukaanku.
Ibu tengah menyesap grean tea yang uap panasnya masih mengepul keluar dari balik cangkirnya. “Kamu sudah lihat?”tanyanya tanpa basa-basi. Ya, beginilah Ibuku. Dia tidak pernah suka yang namanya bertele-tele. Kalau memang ada satu topik yang akan dia bahas, dia akan langsung membahasnya tanpa memakai kata sambutan, seperti misalnya, “Bagaimana kabarmu?”,“Apakah tidurmu nyenyak?”,“Masih mau tambah kopi?” atau “Ayo makan sambil membahasnya.” Tidak pernah. Jadi, aku sudah kebal terhadap ke-tidak-bertele-tele-an beliau.
Aku terkekeh kecil. “Hampir masuk tempat sampah. Ibu yang taruh disana ya?”
Beliau menggelengkan kepalanya dengan kening yang berkerut. “Untuk apa? Gadisku, selebaran itu disebarkan ke setiap kotak pos. Apartemenmu kan memiliki alamat pos juga kan? Yasudah, makanya selebaran itu ada disana. Ih, buat apa capek-capek ke apartemenmu cuma buat naruh selebaran itu.”ledek Ibu. Aku tergelak karenanya.
“Lalu?”tanyanya lagi, bahkan ia bertanya disaat aku belum sempat menarik nafas.
Bahuku terkulai lemas karenanya. “Harus datang ya Bu?”tanyaku sambi memainkan bibir cangkir kopiku yang sudah sampai beberapa menit yang lalu saat aku tengah tergelak.
Sambil mengedikkan bahunya yang tertutupi syal warna merah marun, beliau menjawab, “Kamu mau sampai kapan sembunyi? Iya, Ibu tau, kamu ndak lari. Tapi, kalau begini, namanya kamu sembunyi. Kamu ndak lelah sembunyi terus? Orang main petak umpet juga ada capeknya ndok. Saran Ibu, datangi saja. Kalau ternyata dia memang ndak ada disana, ya anggap saja itu keberuntunganmu untuk terus bersembunyi. Kalau ternyata dia memang ada disana, ya anggap saja itu sudah jalanmu untuk bertemu dan menyelesaikannya. Aduh, anak gadis Ibu kok jadi senang main petak umpet toh.” Beliau geleng-geleng kepala lalu menelengkan kepalanya keluar jendela.
Aku terkekeh karenanya. Saat aku tengah akan membuka mulut, beliau memotong, “Ibu ndak mau, kamu kehilangan kesempatan kayak Ibu. Cuma itu kok, ndok. Selama kamu bisa selesaikan, selesaikan baik-baik. Kalau kepalamu dan dia sekeras batu, ya kapan kelarnya toh. Ada kalanya kamu harus berubah menjadi beludru supaya semuanya selesai dengan halus, selesainya juga dengan baik-baik. Bukan selesainya seperti sehabis tawuran pakai batu.”
Ya, cerita Ibu sudah lama sekali.
Beliau ingin menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan Ayah, karena setelah perceraian mereka terkadang masih sering bertengkar dan sering kali tidak menemukan titik terangnya. Lalu, saat Ibu hendak menyelesaikannya dan meminta maaf, Ibu hanya menemukan Ayah yang sudah tidur nyenyak dibalik batu nisannya. Sejak itu Ibu selalu menyesal. Dan setiap bulan Ibu selalu mengunjungi Ayah sambil beberapa kali mengucapkan kata maaf. Menurutku, kuburan Ayah yang paling bersih dari yang lain. Karena, setiap bulan dibersihkan oleh Ibu dan selalu dibawakan buah-buahan kesukaan Ayah.
Aku jadi memikirkan ulang. Tidak ada salahnya mencoba untuk datang kesana. Lagipula pasti tempat itu ramai dikunjungi. Aku bisa bersembunyi di tempat seramai itu. “Kenapa masih disini toh ndok? Hari ini kan hari terakhir pamerannya.”ujar Ibu dengan nada bingung. Aku terkejut. “Hari terakhir?! Kenapa Ibu baru bilang sekarang?!”gerutuku dengan tidak sabaran mengeluarkan selebaran tersebut dan menelusuri tulisan-tulisannya. Dan ternyata benar. Pamerannya sudah berlangsung selama dua minggu, dan hari ini hari terakhir.
“Ya ampun, anak gadis. Pasti kamu baru beresin semua surat-suratmu di depan pintu ya?”tanya Ibu dengan santai. Aku terkekeh malu lalu buru-buru menenggak habis kopiku. “Aku jalan ya, Bu. Ibu hati-hati pulangnya. Kalau sudah di rumah, kabarin aku, Bu.”ujarku sambil mengecup pipi kanannya, dan keningku dikecup oleh beliau. “Iya, ndok. Kamu juga hati-hati dijalannya ya.” Aku langsung mengedipkan sebelah mataku padanya lalu keluar dari tempat tersebut dan berjalan menuju halte bus.


Kau percaya takdir? Karma saja hidup, masa takdir tidak hidup.
Itu jalan hidup kita; ceritanya saling berbeda satu sama lain. Bahkan, sekalipun kalian kembar, tetap saja, jalan ceritamu dengan kembaranmu akan berbeda. Kadang-kadang takdir bisa membawamu mundur, kembali ke cerita lalumu. Biasanya memang seperti itu jika di cerita lalumu masih ada yang belum selesai. Mungkin, dia bermaksud untuk menyuruhmu untuk menyelesaikan lebih dahulu masalahmu lalu barulah melanjutkan ceritamu.
Cerita fiksi saja memiliki alur mundur. Hanya saja, jika kau sudah dibawa oleh takdir untuk menyelesaikan masa lalumu, berarti dia sudah bosan menunggumu tidak kunjung menyelesaikan masalahmu. Seperti aku. Maka dari itu ia mulai bergerak membantu karena bosan menunggu.
Kakiku menapaki trotoar setelah turun dari bus, lalu mencari-cari gedung yang tengah ramai dikunjungi di barisan gedung-gedung tinggi hadapanku. Sebenarnya nama gedungnya ada di selebaran, hanya saja aku malas untuk mengambilnya di dalam ransel.
Mataku yang memakai softlens menangkap satu kalimat yang tidak biasa berada di negara ini. Aku terdiam di depan gedung tersebut dengan wajah yang pias. Sepertinya aku salah gedung, iya, sepertinya begitu. Tapi, tidak mungkin aku salah gedung. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikiranku. Antara mau percaya dan tidak mau. Aku masih tidak percaya dengan tulisan yang ditulis besar-besar tersebut, meskipun di bagian bawahnya ada dalam bahasa lain.
Perlahan-lahan aku melangkah masuk melewati pintu yang terbuka secara otomatis. Angin dingin menyambutku dengan tidak sopan. Dingin sekali! Pendingin diruangan ini sepertinya masih baru sekali atau mungkin kelewat banyak? Gerutuku dalam hati sambil menepuk-nepuk pipiku untuk menetralkan kembali dinginnya. Setelah melewati pintu masuk itu, di kedua sisiku, bersandarlah pigura-pigura yang berisi kan foto hitam putih, yang berpigura berwarna abu-abu metalik dan mengkilat.
Mataku menelusuri setiap foto di dalam pigura ini.
Hingga saat ini, aku masih mengagumi foto-foto hasil karyanya. Tidak usah memikirkan dari kapan, karena tidak akan aku jelaskan secara terinci.
Perlahan-lahan, semakin ke dalam ruangan, foto-foto yang berada di pigura abu-abu metalik itu mulai terasa aku kenali. Jantungku melompat-lompat kesana kemari tidak ada henti. Adrenalinku terpacu karenanya. Aku seperti terseret arus, karena aku berjalan terus ke dalam ruangan untuk mencari tahu kelanjutan-kelanjutan foto yang berada di dalam pigura.
Foto bisa menyimpan seluruh kenanganmu dengan abadi, tidak kalah abadinya dengan kenangan di pikiranmu sendiri. Tapi, mudah untuk dihapuskan pula seperti kenangan di dalam pikiranmu. Foto seperti kenangan yang tervisualisasikan; gambar yang bisa kau lihat dan perhatikan dengan saksama. Tapi, tidak dengan kenangan yang hidup dalam otak kita. Kita tidak bisa memilahnya satu per satu.
Saat sudah mulai menjauhi pintu masuk, foto-foto itu mulai memiliki cerita, bagiku.
Ada foto ketika aku tengah berjinjit mengambil layangan yang tersangkut di pohon dengan wajah sebal karena tidak berhasil juga. Sepertinya foto itu diambil diam-diam, karena terlihat ada daun-daun, ah apa mungkin itu semak-semak? Entahlah. Aku ingat foto yang itu. aku tersenyum geli mengingatnya.
Saat masih zaman-zamannya layangan popular, aku yang tidak bisa bermain layangan hanya bisa memperhatikan orang-orang yang bermain layangan. Lalu, saat aku tengah berjalan kaki entah darimana, dari kejauhan aku melihat ada layangan yang tersangkut. Sebelum mereka – para pemburu layangan yang lepas – sampai lebih dahulu, maka aku bergegas untuk mencoba mengambilnya, tapi ternyata aku tidak sampai. Karena sebal, akhirnya aku biarkan saja layangan itu. Konyol sekali tingkahku saat itu.
Ada foto ketika aku tengah menggendong anak tetangga untuk mengambil mangga. Anak kecil itu merengek-rengek meminta mangga tersebut. Karena aku tidak memiliki galah, maka akhirnya aku menggendongnya di pundakku untuk mengambil yang terdekat. Dan ah! Foto itu di deretkan secara berurutan! Dimulai dari, aku yang berjongkok, anak kecil itu naik ke pundakku, aku yang setengah berdiri dan tengah menyeimbangkan tubuhku, aku yang berdiri tegak dengan anak kecil yang menggapai-gapaikan tangannya, anak kecil itu berhasil memetik satu mangga yang ternyata masih muda namun sangat disayang oleh anak kecil itu, hingga berhenti di aku menurunkan anak kecil itu. Semuanya berwarna hitam putih. Dan lagi-lagi, foto itu diambil diam-diam. Mungkin kalau dulu, aku sudah merasa dikuntit oleh orang yang mengerikan, jika tahu aku difoto diam-diam seperti ini.
Aku kenal foto ini, meskipun hanya siluet. Foto ketika aku tengah berjalan di tengah sawah dengan dua tangan yang terentang menembus angin, demi menyeimbangkan tubuhku supaya tidak terpeleset ke dalam sawah. Saat itu, aku tengah di tugas sekolah. Tinggal dengan orang-orang yang tinggal di pedesaan. Tugas yang diberikan pada satu angkatan sekolahku. Dan ya! Aku satu kelompok dengannya. Aku mengulum senyum sedih.
Masih banyak foto lagi yang memiliki cerita bagiku. Tapi, foto itu lebih banyak diambil diam-diam. Tanpa aku sadari, aku ternyata sudah masuk ke ruang utamanya. Di dalam sini ternyata lebih ramai lagi. Ia menyandarkan foto-foto itu di atas penyangga; ditempelkan di dinding lalu menjorok ke luar secara berjejer; hanya disandarkan begitu saja di lantai agar terkesan santai dan tidak terlalu formal; ada yang diletakkan di setiap dinding, satu pigura.
Sejauh ini aku belum melihat siluet tubuhnya. Maka aku berharap aku tidak pernah menemukan atau ditemukan olehnya di tempat seramai ini.
Setiap foto selalu berhasil menyerapku lalu menghipnotisku dengan sempurna. Dan sepertinya hal tersebut berlaku bagi siapapun yang datang dan melihat isi foto-foto di dalam piguran abu-abu yang mengkilat karena disinari oleh lampu, seperti dibubuhi oleh gliter.
Beberapa kali aku bertabrakan dan menabrak dengan orang yang lalu lalang, mondar-mandir untuk melihat dari satu foto ke foto yang lain.
Aku kalah. Ya, aku kalah pada rasa rindu ini. Ia lebih kuat dari yang aku kira.
Rindu ini seperti sudah berakar. Aku tidak bisa mengelak lagi dari rasa rindu ini.
Tapi, rasa ini, yang selama ini terlelap entah di bagian mana diriku, tidak akan pernah tersampaikan, maka dari itu ketika ia hidup kembali, rasanya perih. Aku sudah tidak terlalu memikirkan isi foto-foto tersebut. Tapi, ada satu foto yang menarik mataku.
Foto kesukaanku dari sekian foto yang aku sukai. Aku yang berdiri membelakangi matahari tenggelam, meninggalkan siluet tubuhku yang tengah mengangkat tangan ke udara dan angin laut mengibas-ngibaskan rambut panjangku, yang saat ini tengah aku cepol dipuncak kepalaku, digantung seorang diri di dinding.
Semakin aku bergerak menjauh dari dinding itu, semakin banyak foto yang aku sukai dari dulu. Foto ketika aku tengah memeluk anak singa; ketika aku melewati kebun teh dengan kuda; ada juga saat aku tengah berkuda di arenanya; ada ketika aku tengah melompat diudara dalam busana baletku; ketika aku tengah melongo menatap Menara Eiffel, bagian foto ini, aku selalu terbahak dan saat ini pun aku tengah menahan tawaku karena kekonyolan mukaku sendiri; ketika aku berdiri miring, mengikuti miringnya Menara Pisa; ketika aku tengah menggigit lolipop yang berwarna-warni, lalu ia memotretnya secara tiba-tiba; ketika aku tengah memejamkan mata sambil menyesap aroma kopiku; ada satu pigura yang berisi emosi di wajahku, berisi saat wajahku tengah cemberut; saat wajahku tengah marah; saat wajahku tengah bengong; saat wajahku tengah terkantuk-kantuk; saat aku tertidur pulas dengan mulut yang terbuka; aku yang tengah serius mewarnai buku gambar sepupuku; dan yang paling konyol wajahku yang abis bangun tidur ketika aku tengah dikerjai tengah malam olehnya untuk sebuah surprise ulang tahunku; saat aku meniup lilin dengan mata yang setengah tertutup; lalu emosi wajahku berhenti saat aku berdiri disampingnya dengan sekotak kue ulang tahun dengan lilin yang masih menyala dan aku tersenyum bahagia dengannya yang berada disampingku.
Dan satu pigura itu benar-benar penuh, namun tertata dengan rapih.
Meskipun hubungan kami harus direntangkan oleh jarak yang berkilo-kilometer, tapi seperti itulah dulu bahagiaku dengannya. Untungnya, tidak direntangkan oleh waktu juga. Meskipun aku berada jauh darinya, ia bahkan datang ke tempatku untuk memberikan kejutan ulang tahunku, dan aku pun pernah seperti itu padanya, hanya saja ia yang lebih dahulu membuat kejutan untukku.
Seluruh foto barusan adalah masa-masa ketika aku menikmati jalannya hidupku bersamanya. Foto yang diambil diam-diam olehnya, ketika masih zaman-zamannya anak kecil – remaja tanggung, maksudku – masih tahu malu untuk pendekatan pada lawan jenis.
Ada lagi! Foto ketika aku dipantai didengannya. Aku mengambil foto dari depan dengan latar belakang pantai dan matahari terbit, lalu tiba-tiba sebelum aku menekan tombolnya, ia muncul dan mencium pipiku. Saat itu aku meneriakinya habis-habisan dengan sebal, sedangkan ia hanya terawa terbahak karena melihatku bersemu merah. Aku tersenyum tipis saat melihat foto itu.
Seluruh foto itu berhenti di satu titik. Di satu dinding. Di satu pigura yang berbeda dari lainnya, foto yang berbingkaikan pigura berwarna emas metalik. Nafasku tercekat di tenggorokan. Aku masih ingat hari itu. Hari terakhirku berada di negara yang aku kunjungi dengannya di musim gugur, hari ketika aku tengah duduk menunggu dengan sabar di bangku taman, yang perlahan-lahan aku mulai rasakan pohon yang memberikan aku keteduhan mulai menggugurkan daun-daun kuningnya lalu satu tanganku menengadah ke atas seperti menadahkan dedaunan yang jatuh, hari dimana ketika akhirnya ia mengungkapkan satu kalimat tersebut. Hari dimana pula, aku harus dengan ikhlas melepasnya.
Nafasku masih belum berjalan dengan normal.
Foto itu banyak dikunjungi oleh orang-orang. Mengapa? Karena hanya itu satu-satunya foto yang tidak dalam warna hitam putih, dan ditambah lagi, ia memotretnya tepat ketika daun-daun itu berguguran.
Telingaku mendengar samar-samar suara yang aku kenali. Tunggu! Itu suaraku! Aku mendekati salah satu layar putih yang perlahan-lahan muncul tulisan yang lalu muncul dalam berbagai bahasa: Kilas Balik di Hari Ulang Tahunku. Paru-paruku seperti hampa udara.
“Hai jelekku! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, selamat dini hari!” Aku bisa melihat, aku berteriak di depan kamera sambil tertawa lebar. “Maaf ya kali ini aku tidak bisa memberikanmu kejutan seperti kemarin-kemarin. Dan maaf ya kali ini aku tengah berselingkuh dengan tugas-tugas dan lari-larian mengejar dosen untuk tugasku. Akh, dosen disini senang sekali bermain kejar-kejaran. Kau tidak lupa ini tanggal berapa? Semoga saja kau lupa, jadi aku bisa mengingatkanmu. Jadinya lebih romantis kan?” Ada senyum lebarku di layar.
 “Hari ini, aku lagi liburan di pantai. Sungguh, rasanya sesak berada di dalam kamar terus-menerus untuk menyelesaikan satu tugas yang tidak ada ujungnya. Jadinya, aku menarik teman-teman baikku ke pantai. Kau pasti ingat kan pantai ini? Jangan bilang kau tidak ingat!? Kalau sampai kau tidak ingat, lihat saja nanti saat kita bertemu, kepalamu akan penuh jitakkanku!” terdengar suara gelak tawaku yang meledek. Aku pun bisa mendengar orang-orang diruangan ini ikut tergelak.
“Aku tidak perlu menanyakan kabarmu kan? Aku tahu kamu pasti baik-baik saja disana! Karena, kalau kau tidak baik-baik saja, pasti sekarang kau tengah menelponku dan merengek-rengek minta ditemani. Hah! Aku hafal sekali tingkahmu jika sakit.” Aku kembali tertawa. “Hei, jangan lupa untuk makan. Jangan terlalu sibuk selingkuh dengan kameramu. Disini aku khawatir pada kesehatanmu juga. Ah, dan tenang saja, disini aku baik-baik saja kok.” Kali ini suaraku dan mimik wajahku berubah serius. “Awas ya kau komat kamit, ‘Memang aku bertanya?’ Aku tahu kau pasti akan berkomat kamit seperti itu hahaha” Suaraku berubah menjadi lebih santai lagi.
“Pantainya lagi gak seramai liburan loh! Ah ya ampun! aku sampai lupa aku ke sini mau ngapain hahahah.” Saat itu, aku tertawa sambil menepuk keningku. “Bantu pegangin handicamnya dooong!” Di layar itu aku bisa lihat dan mendengar suara teriakanku sendiri yang meminta tolong temanku untuk memegangi handicamku. Aku, juga setiap orang diruangan ini bisa melihat, aku tengah berjongkok di pasir basah, lalu mulai menuliskan tulisan ‘Selamat Ulang Tahun, Tukang Foto-ku.’ Dalam tulisan kapital.
“SELAMAT ULANG TAHUN TUKANG FOTOKU!!!” Sepertinya aku memang senang berteriak. “Semakin jelek ya, semakin sayang sama aku, semakin sukses jadi tukang fotonya, semakin sukses jadi tukang video juga, semakin jayus, semakin sehat, semakin sering kangen sama aku, semakin semakin deh ya pokoknya buat kamu!” aku mengucapkan serentetan harapanku untuknya di depan handicamku sambil mengarahkan ke atas pasir yang aku corat-coret tadi. Lalu, kembali terdengar suara teriakan sebalku menggema di speaker ruangan ini. “AKH! OH TIDAK! Tulisannya dibawa kabur sama air!!” Aku berteriak-teriak panik. Aku bisa mendengar suara orang yang terkekeh karena ketololanku di dalam ruangan ini. “EH SIAPA SURUH DITULIS DISITU?!!” Aku bisa mendengar suara temanku saat kuliah dulu yang berteriak karena kebodohanku. Di dalam video itu, aku menoleh dan tertawa lebar karena baru sadar. Aku berdiri bersedekap tidak jauh dari layar tersebut.
Kali ini, handicam itu dipegang oleh orang lain. Sedangkan aku, saat itu tengah memegang kue ulang tahunnya dengan sangat hati-hati. Di datas kue tersebut kembali ada tulisan yang sama dengan tulisan yang aku tulis dipasir tadi dan lilin ulang tahun yang berangka 21. “Yaaahh pasti enggak bisa niup lilinnya kan? Pasti sambil nonton videoku dengan muka pengen kan? Hahaha aku wakilin aja ya tiup lilinnya.” Kali ini wajahku disorot dalam jarak cukup dekat saat tengah meniup lilin angka 21 tersebut. dan sekali lagi, aku mengucapkan, “Selamat ulang tahun di tahun ke 21 ya. Aku percaya kok, kau bisa jadi apa yang selama ini kau impikan. Apapun impianmu, aku tetap mendukungmu. Dan dimanapun kau berada saat itu, kau harus tau, aku selalu mendukungmu.” Dengan serius. Lalu, lagi-lagi ada teriakan, “Jangan nangis, hey, jangan nangis. Malu, udah dewasa masa nangis.” Aku yang saat itu tengah memegang kue, langsung menoleh dengan cepat dan cemberut, apalagi karena ditertawakan teman-temanku saat itu. Lagi-lagi, orang-orang disini ikut tertawa juga.
Aku pun menahan tawa.
“Kadonya mungkin lagi dalam perjalanan sampai dirumahmu. Jangan lupa dibuka dan disimpan ya! Aku harap kau suka. Soalnya itu hasil kerja kerasku selama ini! Awas kalau kau buang ya!” Dilayar, aku bisa melihat senyum setanku. Aku ternyata pintar mengancam ya. “Sampai disini dulu ya acaraku buatmu! I wish you love this! Rekamanku pasti enggak bakal sebagus rekamanmu, tapi percaya deh, aku buatnya dengan hati dan cinta.” Lalu, aku tersenyum lebar. See you very soon, tukang fotoku! Love ya!Sebelum video itu habis, aku bisa melihat diriku di dalam video itu tersenyum. Ah, aku bahkan baru sadar, ternyata video itu memiliki beberapa subtitle-nya. Pantas saja, orang-orang disini mengerti dan ikut tertawa.
Belum sempat orang membubarkan diri, ada satu video lagi yang diputar.
“Kau ingat tempat ini kan? Pasti kau ingat. Berhubung, ini hanya sebentar, jadi kalau kau ingin yang lama, silahkan menyalakan tombol ulangnya. Baiklah, selamat menikmati perjalanan yang sangat sebentar ini. Oh iya, satu lagi! Aku merindukanmu.” Ya, aku memang seperti itu. Kalau aku memang merasakan seperti itu, aku akan langsung mengatakan langsung padanya. Karena aku tahu, ia bukan pembaca pikiran, apalagi ahli primbon. Jadi, dia pasti tidak tahu apa yang aku rasakan. Lama kelamaan, dia pun seperti itu, langsung mengatakan perasaannya. Video ini pun seperti yang sebelumnya, diberikan subtitle penerjemah.
Video itu hanya beberapa menit. Aku merekam salah satu tempat kenanganku dengannya. Salah satu air terjun kesukaan aku dan dia. Aku menyebutnya Pojok Masa, karena aku sering ke tempat tersebut dengannya. Setelah mendekati akhir, kamera tersebut kembali kedepan wajahku. “Selamat datang di Pojok Masa.”  Sesaat aku tersenyum di depan kamera, dan video itu pun selesai. Kali ini yang muncul adalah ucapan terima kasih karena sudah mau menontonnya. Setelah layar itu menggelap, ruangan ini penuh dengan riuh rendah tepuk tangan. Aku menggigit bibir bawahku yang sudah mulai bergetar.
Aku sudah bersiap-siap untuk berbalik, dan keluar dari ruangan ini.
“Kali ini, aku yang tidak akan melepasmu.” Aku langsung berdiri tegak. Bulu romaku meremang, padahal ia mengatakannya dengan sangat lembut. Aku bahkan tidak berani menatap ia yang tengah berdiri di depanku. Ah! Dan aku berharap tidak ada yang memperhatikan kami.
“H-hei. Long time no see.” Sapaku, tanpa menatapnya.
“Are you happy all this time?”tanyanya, tidak membalas ucapanku.
“Iya.”jawabku lagi.
“Hei, bilang saja yang sejujurnya.” Aku bisa merasakan tubuhnya berubah menjadi lebih santai dari yang sebelumnya.
Aku masih berdiri dengan kaku dan tidak menjawab kalimatnya. “Haruskah aku bilang lebih dahulu?”tanyanya lagi. Aku pun diam. Mataku menatap jauh darinya.
“Aku merindukanmu.”ujarnya. Kembali, aku gigit bibir bawahku. Kali ini aku menahan kalimatku sendiri yang sudah menggantung diujung lidahku. Sekarang ia berusaha mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, lalu menatapku dengan tatapan jahil. Sudut-sudut bibirku mulai terangkat. “Aku tahu, pipimu akan bersemu seperti ini!”ledeknya. Aku mendesis sebal. “Jadi, kau masih belum mau mengatakannya juga?”desahnya dengan lemah.
Aku menatapnya yang tengah menatapku dengan tatapan lembut dari balik matanya yang berwarna coklat tua, namun menyimpan rasa teduh yang pernah aku rasakan, dan yang selalu aku rindukan. “Baiklah, baiklah. Aku mengerti tatapanmu itu.”
Ia menghela nafas, lalu memulai cerita. “Sebelumnya, maaf aku tidak sempat memberi kabar padamu seperti yang aku janjikan terakhir kali. Aku selama ini mengejar studiku dulu sampai selesai. Aku sebenarnya sudah berniat untuk mencarimu selepas studi. Tapi, selepas studi, aku ditawari pekerjaan untuk memotret dan tawari untuk mencoba untuk memasukkan beberapa hasil fotoku ke dalam pameran orang yang menawariku pekerjaan tersebut. Beberapa hasil fotoku terjual cukup mahal loh!” katanya dengan bangga, bukan dengan nada yang sombong, ya aku pun ikut bangga karenanya. “Aku pernah dibantu oleh orang yang menawariku pekerjaan untuk membuat pameran tunggal di beberapa kota di negara tempatku studi. Setelah beberapa lama, aku bertemu dengan sponsorku. Ia menawariku untuk pameran ke beberapa negara. Dan aku boleh menentukan negara-negara mana saja yang mau aku singgahi.”
Aku memotong kalimatnya. “Negara ini, negara keberapa?”
Ia menjawab dengan santai. “Negara yang terakhir.” Aku menahan nafasku. Perasaan sebal mulai menyelimutiku. Lalu, ia melanjutkan, “Sudah beberapa bulan aku keliling beberapa negara untuk pameran, beberapa foto yang ada disini, juga memang hasilku selama studi kemarin. Aku bahkan tidak sempat menghitung berapa lama. Karena, setiap negara, jadwal pamerannya berbeda-beda. Tapi, seingatku, selalu lebih dari 3 hari. Ternyata, sponsorku orang sudah cukup dikenal oleh orang-orang. Di negara kedua terakhir dari negara ini, aku menelpon Ibumu dan mengobrol banyak dengannya. Aku memang sudah mencari informasi tentangmu jauh-jauh hari, bahkan sampai informasi tentang apakah kau sudah memiliki penggantiku atau belum saat ini, jadi ya, aku memang sengaja memasukkan negara ini di daftar yang paling terakhir. Jadi, aku mencari Ibumu dulu untuk meminta maaf untuk yang lalu. Aku sempat putus asa, sudah hampir 2 minggu pameran ini, tapi aku bahkan tidak melihat dirimu. Sponsorku hanya memberikan waktu maksimal 2 minggu saja. Ternyata hari ini kau datang. Dua video tadi, sengaja aku putar hanya di pameran ini saja. Jadi, jangan sampai kau berpikir aku memutar video-video itu disetiap pameranku. Hmm, tapi ya, hanya video terakhir yang aku putar disetiap pameranku.” Jelasnya sambil tertawa lebar.
Aku mengulum senyum. Perasaan sebal yang tadinya menyelimutiku entah sudah lenyap kemana sekarang. Ternyata Ibu memang sudah tahu dari dulu. Pantas saja beliau gencar sekali menyuruhku untuk datang. “Jadi, sekarang kau akan mengakuinya atau tidak?”tanyanya, lagi.
“Harus aku katakan?”jawabku dengan pertanyaan, tanpa nada.
Ia pura-pura berpikir. “Sepertinya tidak perlu.”jawabnya dengan singkat.
Kali ini aku tidak bisa menahan tawaku. “Ah dasar kau ini! Masih suka mengerjaiku!”
Aku melompat ke dalam pelukannya, lalu berbisik dengan pelan, “Yang penting hanya kau.” Ia mengusap-ngusap puncak kepalaku dengan lembut. “Sebelum kau meminta maaf, aku sudah memaafkanmu lebih dulu kok. Tapi, kali ini awas ya kalau pergi tanpa kabar!”ancamku. “Siap, bos! Bahkan kau masih suka mengancam ya.”jawabnya. Aku tertawa di dalam pelukannya.
“OHOHOHOH! Kau lupa hari ini tanggal berapa!”seruku penuh dengan kemisteriusan..
Ia menatapku dengan bingung. “Memang ini tanggal berapa?”tanyanya. Aku tidak mengizinkannya untuk melihat tanggal di jam-nya.
Aku menangkup wajahnya, lalu tersenyum lebar padanya. Aku menarik nafas sebentar, lalu mengatakan “Selamat ulang tahun, tukang fotoku! Selamat datang kembali!”pekikku kegirangan. “Asik! Dia lupa! Jadi lebih romantis kan?!”seruku. Ia menepuk keningnya karena lupa.
“Baiklah, kali ini kau berhasil.”eluhnya. Aku tahu, ia tidak serius mengeluhnya. Karena, selanjutnya ia kembali mendekapku dan berbisik. “Terima kasih sudah mengingatkanku.”
Aku jawab, “Kembali kasih, tukang fotoku!” masih dengan suara yang sarat akan kegirangan. Aku terkekeh lebar karenanya, dan ia ikut terkekeh. Aku tidak tahu ia terkekeh karena apa.

Saat musim gugur beberapa tahun lalu, saat aku tengah menunggunya datang, akhirnya ia datang, tapi membawa berita kurang baik, “Aku dapat beasiswa ke luar negeri.” Bahkan, tanpa ia mengatakan maksudnya, aku tahu maksud dari kalimat itu. “Kau ambil kan? Itu kan impianmu. Jangan kau lepas. Aku selalu mendukungmu, kok.”jawabku sambil tersenyum pahit.
“Tapi –“
“Kalau begitu, hubungan kita bertukar status saja menjadi teman. Itu lebih baik kan? Supaya kau bisa fokus juga pada beasiswamu disana.” Aku langsung memotong kalimatnya.
Ia mengenggam tanganku dan tersenyum kecil. “Aku akan sering mengabarimu lewat apapun. Skype­-mu jangan di sign out ya.”katanya. Tapi, setelah hari itu, aku tidak pernah muncul di akun Skype-ku. Itu hari terakhir aku bertemu dengannya. Karena, aku memutuskan untuk pulang lebih dahulu dan mengurung diri di kamar selama berhari-hari tanpa sepengetahuannya.

Sekilas aku melihat Ibu berada di ruangan ini tengah menatapku dengannya, sambil tersenyum. “Kau menungguku ya?”tanyanya sambil menurunkanku dari pelukannya.
Aku mengerutkan keningku. “Tidak. Jangan kepedean!”ledekku padanya sambil menjitak kepalanya.
Ia mengaduh sambil tertawa. “Ah, aku tahu. Kau memang menungguku.”ledeknya lagi.
“Ya! Kau minta aku jitak terus-terusan?!”teriakku ditengah kebisingan orang-orang yang mengobrol dan mondar-mandir diruangan ini yang tengah sibuk memperhatikan setiap foto dan syukurlah, tidak ada yang memperhatikan kami berdua, dengan dia yang tertawa lebar di depanku.
Aku tidak tahu takdirku akan berjalan kemana, jika hari ini aku tidak dibawanya ke sini, ke pameran tunggalnya yang ia sebut dengan Pojok Masa. Apalagi jika aku memaksa menolak, cerita hari ini tidak akan ada. Tidak ada yang bisa menebak alur hidupnya sendiri, bukan? Aku sendiri pun begitu. Ternyata, aku dibawa mundur, untuk menyelesaikan yang lama, lalu kembali bersama dengannya untuk melanjutkan lembaran cerita selanjutnya. Percayalah pada apa yang membawamu, dibalik tujuannya tersebut, tersimpan makna. 

Terima kasih.


Fin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar