A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Jumat, 21 Juni 2013

Cap 3 Jari (20 Juni 2013)

this is all of my photos with my pals at June 20th, 2013:

 Left: Claudia Milano (yang punya kamera)

 Left: Fena Feliana. Right: Herlina.

 Left to Right: Maria Patricia, Beatrix Imanuella, Inggrid Dosi. 

 Left: Inggrid Dosi

 Left to Right: Claudia Milano, Inggrid Dosi

 Left: Maria Patricia, Beatrix Imanuella, Inggrid Dosi. Right: Anastasia Ria.

 Left: Beatrix Imanuella, Maria Patricia, Claudia Milano. Right: Aulia Mustika, Anastasia Ria.

 Right to Left: Maria Patricia, Beatrix Imanuella, Claudia Milano, Anastasia Ria.

 front: Inggrid Dosi

 Left to Right: Claudia Milano, Inggrid Dosi

 ght: Aulia Mustika

 : Beatrix Imanuella, Inggrid Dosi, Maria Patricia, Claudia Milano, Anastasia Ria

 Front: Inggrid Dosi

 Left to Right: Anastasia Ria, Aulia Mustika, Inggrid Dosi.

 Left to Right: Aulia Mustika, Patrick.

 Left: Claudia Milano. Right: Inggrid Dosi

 Left to Right: Inggrid Dosi, David, Anastasia Ria.

 Back: Anastasia Ria. Front: Aulia Mustika

 Left: Inggrid Dosi. Right: Claudia Milano

 Left to Right: Beatrix Imanuella, Maria Patricia, Maria Claudia, Anastasia Ria, Inggrid Dosi, Herlina. 

 Left: Aulia Mustika. Right: Claudia Milano.

 : Anastasia Ria

 : Claudia Milano

 : Aulia Mustika

 : Maria Patricia 

 Left to Right: Anastasia Ria, Maria Patricia, Beatrix Imanuella.

 Right to Left: Siti Aminah, Anggi Krist

 Right: Anastasia Ria, Claudia Milano. Left: Beatrix Imanuella, Maria Patricia.

 : Beatrix Imanuella

 Left to Right: Claudia Milano, Anastasia Ria, Maria Patricia, Beatrix Imanuella.

 Left to Right: Maria Patricia, Beatrix Imanuella, Anastasia Ria, Anggi Krist, Siti Aminah, Aulia Mustika. 

 : Claudia Milano, David.

 : Fena Feliana

 Right to Left: Inggrid Dosi, Beatrix Imanuella, Maria Patricia. 

 : Maria Claudia. 

 : Anastasia Ria.

 : Anggi Krist. 

 Right to Left: Beatrix Imanuella, Maria Patricia, Anastasia Ria, Claudia Milano, Inggrid Dosi. 

 : Inggrid Dosi. 

 Right to Left: Beatrix Imanuella, Maria Patricia, Aulia Mustika. 

 : Herlina

 Right to Left: Anggi Krist, Mia Larasati, Maria Claudia. 

 Right: Beatrix Imanuella. Left: Maria Patricia. 

 : Patrick *nama belakang patrick susah banget-_-*

 : Mia Larasati

 : Siti Aminah

 : Aulia Mustika.

 Left to Right: Maria Claudia, Mia Larasati, Anggi Krist, Siti Aminah.

 : Siti Aminah, Claudia Milano.

 : Inggrid Dosi, Anastasia Ria.

 : Herlina, Fena Feliana

 Left to Right: Maria Claudia, Mia Larasati, Anggi Krist, Siti Aminah.


soon we will be completely separated. I will miss you all, both are in the picture and that is not in the picture. I will really miss all the moments with you during our high school at Budi Mulia. keep in touch with each other via any media, and also do not forget, either memories or each other. see you at the reunion day soon guys. and I'll waiting for. I love you pals! -xoxo-

with a bunch of love, hugs, and kisses from writer.

Minggu, 09 Juni 2013

terima kasih karena sudah pernah...

A. Mengisi hariku.
B. Menjadi sandaranku, tanpa pernah aku minta.
C. Menemaniku dikala aku sendiri.
D. Merangkai kenangan demi kenangan bersamaku.
E. Berada disampingku tanpa pernah aku minta.
F. Memberikanku kenyamanan yang tidak pernah tergantikan.
G. Menjadi tempat curahan hatiku.
H. Mendukung apapun keputusan yang aku buat.
I. Selalu tersenyum padaku dengan tulus.
J. Mengalah untukku.
K. Meminta maaf lebih dahulu, meski aku yang salah.
L. Tertawa dan menangis denganku.
M. Merindukanku.
N. Mengkhawatirkanku.
O. Memberikan seluruh perhatianmu padaku.
P. Memaafkan kesalahan-kesalahanku dan menerimaku kembali.
Q. Mengingatkanku akan kesalahanku.
R. Mengingatkanku akan batasan-batasanku.
S. Menggenggam tanganku dengan hangat.
T. Menjadi tempatku berteduh.
U. Menjadi sahabat, sekaligus keluarga bagiku.
V. Memberikanku kehangatan layaknya rumah.
W. Menerimaku dengan segala kekurangan juga kelebihanku.
X. Memberikanku kekuatan.
Y. Memelukku.
Z. Mencintaiku. 

Kedua.


Ini kisah tentang satu hati yang didatangi oleh dua cinta.
Satu diantaranya berhasil masuk; yang lainnya terlambat. Meski, diterima ia hanya akan berada di luar pintu. Tidak akan pernah mendapat izin untuk masuk. Dan itu aku.
Aku yang menjadi tembok baginya; aku juga yang menjadi bahunya.
“Kalau ada apa-apa, cerita aja.”ujarku sambil tersenyum mengerti,
Menjadi bank cerita baginya. Ia tersenyum dari tempat duduknya. Aku sibuk mengunyah kentang yang bergaram. Sudah pernah merasakan luka yang masih basah lalu disiram oleh garam? Itu lebih menyakitkan dari sakit gigi. Bisa menjadi persamaan dengan sakit hati. Mereka sama-sama perih dan menyakitkan.
“Lagi nggak betah.” Ia mengucapkan satu kalimat itu akhirnya. Aku mencondongkan tubuhku.
Dalam satu helaan nafas, aku menjawab,“Hati-hati.” Lalu, kembali menyandarkan punggungku kesandaran bangku dan mengunyah kentang goreng kembali.
“Hati-hati untuk?”tanyanya bingung.
“Kalau sudah ada perasan tidak betah, hati-hati. Segala macam bentuk batu dari kerikil hingga batu kali bisa menghadangmu dan dia, ditengah jalan.”jawabku diplomatis. Ia menghembuskan nafas dengan kasar. Ia tidak tahu bagaimana rasanya saat aku hilang kontak dengannya, selama berminggu-minggu.
“Kau berbicara seperti peramal saja.”candanya. Aku mengedikkan bahu dengan tak acuh.
“Aku berbicara sesuai fakta dan pengalaman yang aku alami sendiri. Ya, kalau begitu terserah kau.”kataku dan mengambil kentang goreng lagi. Ia menyentuh tanganku untuk pertama kalinya, ia mengusapnya perlahan. Aku menutupi tangannya dengan tanganku yang lainnya dan tersenyum lebar. Lalu tangannya yang lain menyentuh pipiku sembari tersenyum juga. Jika bisa meminta, aku ingin meminta waktu untuk tidak berputar kemana-mana.
Aku melupakan keadaan sekitar. Aku sudah tidak memedulikan dunia sekitar lebih tepatnya. Itu menjadi yang pertama. Juga yang terakhir. Aku selalu mengatakan apapun yang aku rasakan padanya. Itu janjiku pada diriku sendiri. Dan aku sangat berharap ia tidak menutup-nutupi sesuatu dariku. Meski aku tahu dia memiliki 1001 cara untuk berbohong. Karena, aku percaya.
“Tadi yang kau buang pasti struknya kan?!”tuduhku tiba-tiba, ia tertawa.
“Kenapa memangnya?”jawabnya dengan pertanyaan.
“Kalau memang iya, pasti sengaja kau buang supaya aku tidak mengganti duitmu kan?”gerutuku dengan sebal, ditambah lagi ia hanya tertawa.
“Aku merindukanmu.”kataku tiba-tiba. Aku sudah mengatakan padanya, saat aku berkata begitu, aku selalu minta padanya untuk tidak berbohong. Aku sudah siap dengan jawaban paling buruk yang selalu tersedia. Lama ia tidak menjawab. “Ya, aku tahu. Kau tidak.”kataku sambil terkekeh. Aku tidak mau terlalu lama terjebak dalam kekakuan.
“Belakangan aku sibuk. Bahkan pacarku sendiri tidak aku rindukan.”elaknya.
Aku tersenyum disela-sela kekehanku. “Tidak apa-apa.”jawabku.
Seharian itu kami habiskan dengan mengobrol. Bercerita dari satu topik melompat ke topik yang lainnya. Untung tempat itu sepi. Sehingga aku tidak perlu mengontrol suara tawaku. Biarlah hari ini seperti ini. Karena tidak akan ada hari ini untuk esok, lusa, dan seterusnya.
Ia mengantarku pulang. Tidak, tidak sampai dirumah. Terlalu jauh baginya. Jujur, saat dalam perjalanan, aku berharap ia menggandeng tanganku. Tapi, ternyata terbayarkan dengan ia berdiri disisi luar jalan selama perjalanan, bagiku itu salah satu bentuk perhatian seorang laki-laki pada wanita. Sejak aku sampai dirumah sampai aku tidur, aku selalu tersenyum. Dan diam-diam aku mengucapkan ‘terima kasih untuk hari ini’, meskipun ia tidak mendengarnya. Tapi, siapa tahu angin akan mengantar kalimat itu padanya.

Aku tidak tahu akan sampai kapan semuanya akan seperti ini.
Ia tidak ada ancang-ancang untuk mengungkit atau membuka persoalan tentang ini.
Aku pun memutuskan untuk tidak memulai lebih dahulu.
Mungkin karena saat ini aku tengah nyaman dengan posisiku.
Jahat, ya. Egois, ya.
Tapi, aku bisa apa? Aku seperti terperangkap dalam ruangan kosong hampa udara.
***
Hubungan kami sudah putus, maksudku komunikasi kami sudah putus entah sejak kapan. Aku bukan tidak menyadarinya, aku hanya tidak mau menyadarinya. Semakin aku sadar aku telah kehilangannya, rasa rindu itu semakin sering mencengkeramku dengan erat dan perasaan kehilangan itu tidak akan pernah pergi. Aku tidak menghitung waktu kapan tepatnya dan sudah berlalu berapa lama kami terputuskan oleh komunikasi.
Aku sedang dalam masa proses menghilangkan racunnya dari tubuhku dan dari otakku, hingga suatu malam ia mengirim pesan padaku.
“Ingin putus.” Aku sempat terdiam sejenak saat membacanya karena terjebak dalam keterkejutanku. Aku tahu ini hanya pemikiran sesaatnya. Tapi, terlalu gegabah. Kadang ia memang selalu melangkah tanpa berpikir.
Ia selalu menyimpan kekesalannya sendiri dan menumpuknya seperti pakaian kotor yang tidak akan pernah dicuci. Ia tidak akan pernah mengungkapkan kekesalannya. Aku selalu menyuruhnya untuk mengatakan apapun itu pada perempuannya. Aku tidak tahu apakah ia menurutiku atau tidak. Aku hanya ingin menyelamatkan hubungan mereka.
Segala macam sumpah serapahnya ia tumpahkan, aku hanya bisa tersenyum maklum walaupun ia tidak melihatnya. Seperti inilah sisinya saat ia sudah tidak terkontrol. Ia seperti sebuah kotak dengan persegi yang banyak. Ia memiliki sisi yang banyak yang terkadang ia simpan sendiri.
“Jangan gila.”balasku padanya. Cukup lama ia tidak membalasnya, dan aku dibuatnya khawatir. Lalu, hanya dengan satu balasan, sudah cukup membuatku menahan napas. Tidak lama lagi ia akan mengatakan keinginannya ini pada perempuannya. Aku mengembalikan satu kalimat yang sempat ia berikan padaku, dulu. “Kau pernah mengatakan padaku, kau sudah memutuskan untuk mencintainya, maka kau harus menerima kekurangan dan kelebihannya.”
Dan, ia tidak pernah membalas pesanku. Semoga ia memikirkan kalimatnya sendiri.

Muncul dan hilang. Timbul dan tenggelam.
Setiap harinya setelah ia mengatakan keinginannya itu padaku, aku selalu menunggu dengan tidak sabaran. Lalu, setiap satu hari berakhir tanpa sesuatu yang berarti, aku menghembuskan napasku dengan lega. Hingga saat aku pikir, semuanya sudah tenang dan ia tidak melakukan tindakan bodohnya, ia melakukannya.
Lalu, hubungan kami benar-benar sudah selesai sejak saat itu.
Komunikasi kami sudah tidak ada lagi.
Jalan keluarnya sudah disediakan sejak pintu masuk itu disediakan.

Fin 

Rabu, 05 Juni 2013

Kereta

Pergi dengan kecepatan tinggi; sedang; normal.
Sanggup memuat banyak orang.
Lalu, berhenti di satu tempat, kemudian berangkat kembali untuk menuju tempat lain yang sudah menunggu. Tidak menetap di satu tempat. Bahkan, cinta itu sendiri bisa berpindah-pindah tempat. Perasaannya masih sama, hanya saja rasa dan orang yang menciptakannya yang suka berganti-ganti seperti musim.
Ia memiliki kapasitasnya sendiri. Hati juga memiliki kapasitas dan itu hanya muat untuk satu orang saja. Jika, memang dimuati oleh dua atau lebih, pada akhirnya ia harus memilih satu diantara sekian. Itu merupakan hal terberat. Lebih baik memutuskan pergi sendiri daripada diusir.
Wajahnya masih setia menghiasi halaman depan ponselku. Setiap kali aku membuka halaman depan ponselku, aku selalu tersenyum melihatnya juga tersenyum lebar, seperti sedang tersenyum padaku. Aku sering menyebutnya si senyum-selebar-bahu, karena senyumnya terlalu lebar hingga menampilkan deretan gigi-giginya yang rapih. Senyumnya selalu terasa hangat, meskipun dengan kantung mata yang tebal menghiasi kedua matanya.
Ada hal yang tercipta namun memang tidak bisa kita gapai untuk kita miliki. Itu berarti tidak tercipta untuk kita. Jadi, cobalah untuk tidak memaksakan keadaan. Karena, aku tengah beradaptasi dengan keadaan tersebut.

Aku duduk menunggu keretaku datang di peron yang tidak seramai saat jam berangkat sekolah dan kantor, atau juga saat pulang sekolah hingga jam pulang kantor. Orang banyak yang berlalu lalang. Tapi, tidak semua duduk atau berdiri menunggu dengan sabar. Ada yang berdiri dengan gelisah, mungkin ia tengah mengejar waktu. Ada yang duduk dengan malas-malasan di bangku peron, ada pula yang berjalan bergerombol sambil cekikikan. Di peron, aku mendapatkan suasana baru dan orang-orang dengan segala macam bentuk kepribadian yang terlihat.
Di jalan raya memang banyak orang yang aku temui dengan berbagai kepribadian, hanya saja, aku bosan dengan satu kepribadian mereka yang selalu sama antara marah dan kesal karena kemacetan yang sudah turun temurun.
Di jemariku tergantung satu gantungan. Tugu. Aku tidak terlalu kenal kota itu. Tapi, ia senang kesana. Ia senang melihat Tugu. Kemanapun aku pergi aku selalu membawa gantungan ini. Aku tidak menggantungnya di gantungan tas, mengapa? Jika ia ada di tanganku, aku selalu merasa dekat dengannya. Terasa terlalu ngilu dan klise memang, tapi saat kau yang berada diposisiku, mungkin kau akan mengerti bagaimana rasanya.
Saat aku tengah duduk dengan nyaman, seseorang menghampiriku dengan ramah, dan bertanya sambil menunjuk bangku yang kosong disebelahku, “Boleh duduk disini?” Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Laki-laki itu duduk di sebelahku dan tidak terlihat terburu-buru, ia hanya terlihat sepertiku. Duduk dengan tenang dan terlihat nyaman.
Bisa kudengar suara yang memberitahukan bahwa akan ada kereta yang masuk di jalur melalui pengeras suara. Itu bukan keretaku saat kereta yang dimaksud melewatiku dengan kecepatan sedang, dan perlahan-lahan berhenti. Belum sampai 5 menit, pintu-pintu kereta yang tadinya terbuka sudah mulai tertutup otomatis dan ia mulai bergerak pelan.
Aku mengulum senyum saat melihat segerombolan remaja yang masih mengenakan seragam berlari-larian di anak-anak tangga berusaha mengejar kereta yang saat itu tengah menutup pintunya, lalu menatap kereta itu dengan tatapan sebal campur capai.
Seperti kataku. Berada diperon, kita bisa melihat berbagai macam ekspresi yang berubah-ubah. Ada orang yang memang hanya duduk diperon, dalam artian ia memang hanya duduk disini, tidak berencana untuk menaiki kereta menuju sebuah tujuan. Karena bisa saja disinilah tujuan mereka yang sebenarnya, seperti pedagang asongan yang mondar-mandir di atas peron; petugas-petugas kebersihan yang dengan setia membersihkan dan merawat peron; dan sebagainya.
“Sudah lama duduk disini?”tanya laki-laki disampingku dengan ramah. Aku tidak menoleh hanya untuk menjawab.
“Ya.”jawabku singkat. Ia tidak bertanya lagi. Akupun bingung harus membuka pembicaraan dengan topik apa, karena sesungguhnya aku tengah malas untuk bertukar kata. Jadi, biarlah hanya hiruk pikuk suasana peron yang terdengar.
Aku sempat bingung, mengapa laki-laki disampingku ini belum juga beranjak dari duduknya padahal sejak ia duduk, sudah beberapa kereta yang yang lewat. Aku hanya bingung, dan aku tidak ada niatan untuk bertanya. ‘Toh itu urusannya bukan urusanku. Lagipula stasiun ini tidak memiliki peraturan bahwa semua orang yang datang dan membeli tiket harus naik kereta.
“Mengapa tidak naik kereta? Dari tadi sudah banyak kereta yang lalu lalang.” Ternyata laki-laki disampingku memiliki pertanyaan yang sama denganku. Hanya saja,ia memiliki tingkat keingintahuan yang besar dibandingkan aku, maka akhirnya ia memutuskan untuk bertanya sedangkan aku memutuskan untuk tidak memedulikannya.
“Aku menunggu yang lain.”jawabku seadanya dan tidak balas bertanya.
Kembali terdengar olehku suara di pengeras suara yang memberitahukan akan ada kereta yang masuk di jalur lagi. “Kalau sudah tahu, tidak akan ada yang datang dari usahamu menunggu, jangan menunggu lagi. Kehilangan itu memang menyakitkan, tapi jangan buat rasa sakit itu menggerogoti hatimu.”ucapnya tiba-tiba, terselip nada ramah dan bersahaja.
Aku menoleh pada laki-laki itu, tersembunyi rasa terkejut dalam mataku, lalu sebelum aku sempat menjawab, laki-laki itu sudah menyelaku, “Aku pergi lebih dulu.”ujarnya sambil tersenyum dan masuk ke kereta melalui pintu yang terbuka di hadapan kami. Sebelum pintu itu menutup, laki-laki itu memberikan satu senyum tipisnya, lalu kereta itu pun berlalu dengan perlahan dan kemudian kecepatannya bertambah.
Aku masih termenung.
Aku berada di dalam peron; membeli karcis; duduk layaknya orang yang menunggu keretanya datang, tapi sebenarnya aku tidak ada niat untuk pergi kemana-mana. Aku hanya menunggu. Ya, aku tahu aku menunggu sesuatu yang tidak mungkin untuk kembali. Aku disini menunggunya yang telah pergi, padahal telah meninggalkan kata akan kembali, tapi ternyata waktu membodohiku. Ia tidak pernah kembali.
Lalu, aku yang dibodohi oleh waktu ini, sering datang ke peron ini. Peron yang menjadi saksi bisu perpisahan kami; tempat yang mendengar kalimat terakhirnya bahwa ia akan kembali, tapi ternyata kenyataannya berbalik pahit. Datang dengan membawa harapan bahwa aku hanya bermimpi saat itu. Bahwa sebenarnya ia akan kembali sambil tersenyum padaku saat turun dari kereta dengan pintu yang terbuka di depan bangku yang saat itu aku dan ia duduki yang juga saat ini tengah aku tempati, lalu ia akan merangkul bahuku dengan hangat dan mengajakku untuk pulang. Setiap kali datang, aku akan duduk disini dengan harapan tersebut.
Laki-laki itu mungkin sama denganku, namun ia tidak mudah dibodohi oleh waktu.
Aku masih duduk di bangku ini dengan segala pikiran yang seperti benang wol yang kusut. Perasaanku masih tidak mau percaya hingga saat ini, bahwa ia telah pergi bersama dengan kereta yang juga tidak pernah kembali. Pikiranku tengah berusaha keras untuk menggerakkan tubuhku untuk bergerak pulang dan tidak pernah kembali kesini. Tapi, saat ini perasaan dan pikiranku sedang tidak sinkron.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu memutuskan untuk pulang. Pikiranku bernafas lega karena ia tidak perlu berjuang keras; perasaanku merasa tersakiti.
Aku pun menuruni tangga peron tersebut dan bergerak meninggalkan stasiun seraya meninggalkan tiket kecil yang aku beli beberapa jam yang lalu di tempat sampah. Sekaligus meninggalkan harapan kosong tersebut disini. Saat aku kembali nanti, mungkin sudah dengan harapan yang baru.
Aku harus mulai belajar menerima kenyataan bahwa ia tidak akan pernah kembali hingga kapan pun meski aku bersikeras menunggunya disini.

Fin. 

Satu Pertemuan


Perpisahan merupakan awal dari sebuah pertemuan. Yang baru.
Seperti kamu melangkah keluar dari sebuah ruangan dan kembali masuk ke ruangan yang lain. Dengan keadaan yang berbeda, dengan orang-orang yang berbeda. Memulainya dari bawah.
Namun, jangan terlena dengan pertemuan manis itu, sayang.
Pertemuan akan selalu berada dalam satu paket dengan perpisahan.
Kamu harus mempersiapkan jika si perpisahan itu tiba-tiba menyapamu.
Dan pastikan saat itu, kamu sudah siap.
Namun, sesungguhnya, tidak ada orang yang siap dengan sebuah perpisahan.

Ya, kamu yang berhasil membuatku semakin jatuh cinta dengan pertemuan itu.
Ya, kamu juga yang membuatku semakin jatuh cinta pada apa yang kamu tawarkan padaku.
Hingga aku sadar, bahwa ternyata aku belum siap untuk bertukar sapa dengan sahabatmu, perpisahan. Aku tidak ingin mengenalnya, dan aku pun tidak ingin ia mengenalku. Karena, suatu saat ia bisa menarikmu pulang dengan satu senyum sinis darinya dan kamu pun kan menghilang.
Jika ia kenal padaku, ia akan dengan mudahnya mencariku untuk mendapatkanmu.
Kamu memang udara bagiku.
Tidak selamanya aku bisa memilikimu. Suatu saat kamu akan ditarik keluar dan tempatmu disamping lenganku ini akan terasa hampa udara. Aku hanya bisa menghirupmu, namun aku tidak bisa membuatkan hak paten terhadapmu.
Kamu begitu mudah membuatku jatuh cinta,
Kamu begitu mudah membuatku merindu,
Kamu pula yang begitu mudah membuatku susah untuk mengenal kata melupakan.
Apakah untuk mempelajari pelajaran itu begitu susahnya?
Apakah ia menggunakan rumus? Tidak.
Apakah ia menggunakan bahasa yang rumit? Tidak.
Apakah ia menggunakan analisa layaknya seorang professor yang sedang meneliti penemuan baru? Tidak.
Lalu, mengapa hanya dengan belajar dari melupakan begitu rumit?
Sesungguhnya, ia dipelajari bukan dengan rumus, bukan dengan bahasa yang rumit, ia pun tidak diteliti. Hanya saja, ia hanya dirasa dan diresapi oleh perasaan itu sendiri.
Kamu memiliki gembok itu, kamu pula yang memiliki kuncinya.
Kamu yang memiliki masalah itu, kamu pula yang memiliki jalan keluarnya.
Tidak ada soal yang dibuat tanpa kunci jawaban.
Kecuali, soal itu mengenai persoalan hati dan perasaan.
Karena mereka tidak selamanya memiliki kunci jawaban.
Kunci itu akan dengan sendirinya. Bersama waktu. Hanya saja mereka datang dari area abu-abu.
Jangan menerka mereka, karena mereka hanya seperti bayang. Semakin kamu terka, akan semakin kelam mereka.

Satu pertemuan memulai pertemuan yang lain.
Padahal aku tidak mengonsumsi obat-obatan.
Hanya saja, kamu sudah menjadi obat-obatan bagiku, yang membuat canduku melebihi dosis yang seharusnya. Sepertinya aku butuh rehabilitasi.
Indah bukan memulai tahun yang baru, hari yang baru, nafas yang baru, kehidupan yang baru, kenangan yang baru pun akan segera datang. Namun, jika disana tidak adanya kamu? Apakah masih bisa kusebut mereka dengan hal yang baru? Denganmu, per harinya kamu taburkan warna baru disetiap sudut hitam-putihku. Bagaimana jika tiba-tiba, kamu, pemberi warna itu berhenti memberi warna? Mungkin sudut hitam-putihku akan mulai merangkak dan menempati tempatnya sebelum kamu gusur dengan menaburinya dengan pewarna.
Bukan. Ini bukan pewarna yang berbahaya. Ini hanyalah pewarna sederhana.
Mungkin, kamu mengenalnya dengan satu kata nan klise.
Cinta.