A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Minggu, 09 Juni 2013

Kedua.


Ini kisah tentang satu hati yang didatangi oleh dua cinta.
Satu diantaranya berhasil masuk; yang lainnya terlambat. Meski, diterima ia hanya akan berada di luar pintu. Tidak akan pernah mendapat izin untuk masuk. Dan itu aku.
Aku yang menjadi tembok baginya; aku juga yang menjadi bahunya.
“Kalau ada apa-apa, cerita aja.”ujarku sambil tersenyum mengerti,
Menjadi bank cerita baginya. Ia tersenyum dari tempat duduknya. Aku sibuk mengunyah kentang yang bergaram. Sudah pernah merasakan luka yang masih basah lalu disiram oleh garam? Itu lebih menyakitkan dari sakit gigi. Bisa menjadi persamaan dengan sakit hati. Mereka sama-sama perih dan menyakitkan.
“Lagi nggak betah.” Ia mengucapkan satu kalimat itu akhirnya. Aku mencondongkan tubuhku.
Dalam satu helaan nafas, aku menjawab,“Hati-hati.” Lalu, kembali menyandarkan punggungku kesandaran bangku dan mengunyah kentang goreng kembali.
“Hati-hati untuk?”tanyanya bingung.
“Kalau sudah ada perasan tidak betah, hati-hati. Segala macam bentuk batu dari kerikil hingga batu kali bisa menghadangmu dan dia, ditengah jalan.”jawabku diplomatis. Ia menghembuskan nafas dengan kasar. Ia tidak tahu bagaimana rasanya saat aku hilang kontak dengannya, selama berminggu-minggu.
“Kau berbicara seperti peramal saja.”candanya. Aku mengedikkan bahu dengan tak acuh.
“Aku berbicara sesuai fakta dan pengalaman yang aku alami sendiri. Ya, kalau begitu terserah kau.”kataku dan mengambil kentang goreng lagi. Ia menyentuh tanganku untuk pertama kalinya, ia mengusapnya perlahan. Aku menutupi tangannya dengan tanganku yang lainnya dan tersenyum lebar. Lalu tangannya yang lain menyentuh pipiku sembari tersenyum juga. Jika bisa meminta, aku ingin meminta waktu untuk tidak berputar kemana-mana.
Aku melupakan keadaan sekitar. Aku sudah tidak memedulikan dunia sekitar lebih tepatnya. Itu menjadi yang pertama. Juga yang terakhir. Aku selalu mengatakan apapun yang aku rasakan padanya. Itu janjiku pada diriku sendiri. Dan aku sangat berharap ia tidak menutup-nutupi sesuatu dariku. Meski aku tahu dia memiliki 1001 cara untuk berbohong. Karena, aku percaya.
“Tadi yang kau buang pasti struknya kan?!”tuduhku tiba-tiba, ia tertawa.
“Kenapa memangnya?”jawabnya dengan pertanyaan.
“Kalau memang iya, pasti sengaja kau buang supaya aku tidak mengganti duitmu kan?”gerutuku dengan sebal, ditambah lagi ia hanya tertawa.
“Aku merindukanmu.”kataku tiba-tiba. Aku sudah mengatakan padanya, saat aku berkata begitu, aku selalu minta padanya untuk tidak berbohong. Aku sudah siap dengan jawaban paling buruk yang selalu tersedia. Lama ia tidak menjawab. “Ya, aku tahu. Kau tidak.”kataku sambil terkekeh. Aku tidak mau terlalu lama terjebak dalam kekakuan.
“Belakangan aku sibuk. Bahkan pacarku sendiri tidak aku rindukan.”elaknya.
Aku tersenyum disela-sela kekehanku. “Tidak apa-apa.”jawabku.
Seharian itu kami habiskan dengan mengobrol. Bercerita dari satu topik melompat ke topik yang lainnya. Untung tempat itu sepi. Sehingga aku tidak perlu mengontrol suara tawaku. Biarlah hari ini seperti ini. Karena tidak akan ada hari ini untuk esok, lusa, dan seterusnya.
Ia mengantarku pulang. Tidak, tidak sampai dirumah. Terlalu jauh baginya. Jujur, saat dalam perjalanan, aku berharap ia menggandeng tanganku. Tapi, ternyata terbayarkan dengan ia berdiri disisi luar jalan selama perjalanan, bagiku itu salah satu bentuk perhatian seorang laki-laki pada wanita. Sejak aku sampai dirumah sampai aku tidur, aku selalu tersenyum. Dan diam-diam aku mengucapkan ‘terima kasih untuk hari ini’, meskipun ia tidak mendengarnya. Tapi, siapa tahu angin akan mengantar kalimat itu padanya.

Aku tidak tahu akan sampai kapan semuanya akan seperti ini.
Ia tidak ada ancang-ancang untuk mengungkit atau membuka persoalan tentang ini.
Aku pun memutuskan untuk tidak memulai lebih dahulu.
Mungkin karena saat ini aku tengah nyaman dengan posisiku.
Jahat, ya. Egois, ya.
Tapi, aku bisa apa? Aku seperti terperangkap dalam ruangan kosong hampa udara.
***
Hubungan kami sudah putus, maksudku komunikasi kami sudah putus entah sejak kapan. Aku bukan tidak menyadarinya, aku hanya tidak mau menyadarinya. Semakin aku sadar aku telah kehilangannya, rasa rindu itu semakin sering mencengkeramku dengan erat dan perasaan kehilangan itu tidak akan pernah pergi. Aku tidak menghitung waktu kapan tepatnya dan sudah berlalu berapa lama kami terputuskan oleh komunikasi.
Aku sedang dalam masa proses menghilangkan racunnya dari tubuhku dan dari otakku, hingga suatu malam ia mengirim pesan padaku.
“Ingin putus.” Aku sempat terdiam sejenak saat membacanya karena terjebak dalam keterkejutanku. Aku tahu ini hanya pemikiran sesaatnya. Tapi, terlalu gegabah. Kadang ia memang selalu melangkah tanpa berpikir.
Ia selalu menyimpan kekesalannya sendiri dan menumpuknya seperti pakaian kotor yang tidak akan pernah dicuci. Ia tidak akan pernah mengungkapkan kekesalannya. Aku selalu menyuruhnya untuk mengatakan apapun itu pada perempuannya. Aku tidak tahu apakah ia menurutiku atau tidak. Aku hanya ingin menyelamatkan hubungan mereka.
Segala macam sumpah serapahnya ia tumpahkan, aku hanya bisa tersenyum maklum walaupun ia tidak melihatnya. Seperti inilah sisinya saat ia sudah tidak terkontrol. Ia seperti sebuah kotak dengan persegi yang banyak. Ia memiliki sisi yang banyak yang terkadang ia simpan sendiri.
“Jangan gila.”balasku padanya. Cukup lama ia tidak membalasnya, dan aku dibuatnya khawatir. Lalu, hanya dengan satu balasan, sudah cukup membuatku menahan napas. Tidak lama lagi ia akan mengatakan keinginannya ini pada perempuannya. Aku mengembalikan satu kalimat yang sempat ia berikan padaku, dulu. “Kau pernah mengatakan padaku, kau sudah memutuskan untuk mencintainya, maka kau harus menerima kekurangan dan kelebihannya.”
Dan, ia tidak pernah membalas pesanku. Semoga ia memikirkan kalimatnya sendiri.

Muncul dan hilang. Timbul dan tenggelam.
Setiap harinya setelah ia mengatakan keinginannya itu padaku, aku selalu menunggu dengan tidak sabaran. Lalu, setiap satu hari berakhir tanpa sesuatu yang berarti, aku menghembuskan napasku dengan lega. Hingga saat aku pikir, semuanya sudah tenang dan ia tidak melakukan tindakan bodohnya, ia melakukannya.
Lalu, hubungan kami benar-benar sudah selesai sejak saat itu.
Komunikasi kami sudah tidak ada lagi.
Jalan keluarnya sudah disediakan sejak pintu masuk itu disediakan.

Fin 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar