Ini kisah tentang satu hati yang didatangi oleh dua
cinta.
Satu diantaranya berhasil masuk; yang lainnya
terlambat. Meski, diterima ia hanya akan berada di luar pintu. Tidak akan
pernah mendapat izin untuk masuk. Dan itu aku.
Aku yang menjadi tembok baginya; aku juga yang
menjadi bahunya.
“Kalau ada apa-apa, cerita aja.”ujarku sambil
tersenyum mengerti,
Menjadi bank cerita baginya. Ia tersenyum dari
tempat duduknya. Aku sibuk mengunyah kentang yang bergaram. Sudah pernah merasakan
luka yang masih basah lalu disiram oleh garam? Itu lebih menyakitkan dari sakit
gigi. Bisa menjadi persamaan dengan sakit hati. Mereka sama-sama perih dan
menyakitkan.
“Lagi nggak betah.” Ia mengucapkan satu kalimat itu
akhirnya. Aku mencondongkan tubuhku.
Dalam satu helaan nafas, aku menjawab,“Hati-hati.”
Lalu, kembali menyandarkan punggungku kesandaran bangku dan mengunyah kentang
goreng kembali.
“Hati-hati untuk?”tanyanya bingung.
“Kalau sudah ada perasan tidak betah, hati-hati.
Segala macam bentuk batu dari kerikil hingga batu kali bisa menghadangmu dan
dia, ditengah jalan.”jawabku diplomatis. Ia menghembuskan nafas dengan kasar.
Ia tidak tahu bagaimana rasanya saat aku hilang kontak dengannya, selama
berminggu-minggu.
“Kau berbicara seperti peramal saja.”candanya. Aku
mengedikkan bahu dengan tak acuh.
“Aku berbicara sesuai fakta dan pengalaman yang aku
alami sendiri. Ya, kalau begitu terserah kau.”kataku dan mengambil kentang
goreng lagi. Ia menyentuh tanganku untuk pertama kalinya, ia mengusapnya
perlahan. Aku menutupi tangannya dengan tanganku yang lainnya dan tersenyum
lebar. Lalu tangannya yang lain menyentuh pipiku sembari tersenyum juga. Jika
bisa meminta, aku ingin meminta waktu untuk tidak berputar kemana-mana.
Aku melupakan keadaan sekitar. Aku sudah tidak
memedulikan dunia sekitar lebih tepatnya. Itu menjadi yang pertama. Juga yang
terakhir. Aku selalu mengatakan apapun yang aku rasakan padanya. Itu janjiku
pada diriku sendiri. Dan aku sangat berharap ia tidak menutup-nutupi sesuatu
dariku. Meski aku tahu dia memiliki 1001 cara untuk berbohong. Karena, aku
percaya.
“Tadi yang kau buang pasti struknya kan?!”tuduhku
tiba-tiba, ia tertawa.
“Kenapa memangnya?”jawabnya dengan pertanyaan.
“Kalau memang iya, pasti sengaja kau buang supaya
aku tidak mengganti duitmu kan?”gerutuku dengan sebal, ditambah lagi ia hanya
tertawa.
“Aku merindukanmu.”kataku tiba-tiba. Aku sudah
mengatakan padanya, saat aku berkata begitu, aku selalu minta padanya untuk
tidak berbohong. Aku sudah siap dengan jawaban paling buruk yang selalu
tersedia. Lama ia tidak menjawab. “Ya, aku tahu. Kau tidak.”kataku sambil
terkekeh. Aku tidak mau terlalu lama terjebak dalam kekakuan.
“Belakangan aku sibuk. Bahkan pacarku sendiri tidak
aku rindukan.”elaknya.
Aku tersenyum disela-sela kekehanku. “Tidak
apa-apa.”jawabku.
Seharian itu kami habiskan dengan mengobrol.
Bercerita dari satu topik melompat ke topik yang lainnya. Untung tempat itu
sepi. Sehingga aku tidak perlu mengontrol suara tawaku. Biarlah hari ini
seperti ini. Karena tidak akan ada hari ini untuk esok, lusa, dan seterusnya.
Ia mengantarku pulang. Tidak, tidak sampai dirumah.
Terlalu jauh baginya. Jujur, saat dalam perjalanan, aku berharap ia menggandeng
tanganku. Tapi, ternyata terbayarkan dengan ia berdiri disisi luar jalan selama
perjalanan, bagiku itu salah satu bentuk perhatian seorang laki-laki pada
wanita. Sejak aku sampai dirumah sampai aku tidur, aku selalu tersenyum. Dan
diam-diam aku mengucapkan ‘terima kasih untuk hari ini’, meskipun ia tidak
mendengarnya. Tapi, siapa tahu angin akan mengantar kalimat itu padanya.
Aku tidak tahu akan sampai kapan semuanya akan
seperti ini.
Ia tidak ada ancang-ancang untuk mengungkit atau
membuka persoalan tentang ini.
Aku pun memutuskan untuk tidak memulai lebih dahulu.
Mungkin karena saat ini aku tengah nyaman dengan
posisiku.
Jahat, ya. Egois, ya.
Tapi, aku bisa apa? Aku seperti terperangkap dalam ruangan
kosong hampa udara.
***
Hubungan kami sudah putus, maksudku komunikasi kami
sudah putus entah sejak kapan. Aku bukan tidak menyadarinya, aku hanya tidak
mau menyadarinya. Semakin aku sadar aku telah kehilangannya, rasa rindu itu
semakin sering mencengkeramku dengan erat dan perasaan kehilangan itu tidak
akan pernah pergi. Aku tidak menghitung waktu kapan tepatnya dan sudah berlalu
berapa lama kami terputuskan oleh komunikasi.
Aku sedang dalam masa proses menghilangkan racunnya
dari tubuhku dan dari otakku, hingga suatu malam ia mengirim pesan padaku.
“Ingin putus.” Aku sempat terdiam sejenak saat
membacanya karena terjebak dalam keterkejutanku. Aku tahu ini hanya pemikiran
sesaatnya. Tapi, terlalu gegabah. Kadang ia memang selalu melangkah tanpa
berpikir.
Ia selalu menyimpan kekesalannya sendiri dan
menumpuknya seperti pakaian kotor yang tidak akan pernah dicuci. Ia tidak akan
pernah mengungkapkan kekesalannya. Aku selalu menyuruhnya untuk mengatakan
apapun itu pada perempuannya. Aku tidak tahu apakah ia menurutiku atau tidak.
Aku hanya ingin menyelamatkan hubungan mereka.
Segala macam sumpah serapahnya ia tumpahkan, aku
hanya bisa tersenyum maklum walaupun ia tidak melihatnya. Seperti inilah
sisinya saat ia sudah tidak terkontrol. Ia seperti sebuah kotak dengan persegi
yang banyak. Ia memiliki sisi yang banyak yang terkadang ia simpan sendiri.
“Jangan gila.”balasku padanya. Cukup lama ia tidak
membalasnya, dan aku dibuatnya khawatir. Lalu, hanya dengan satu balasan, sudah
cukup membuatku menahan napas. Tidak lama lagi ia akan mengatakan keinginannya
ini pada perempuannya. Aku mengembalikan satu kalimat yang sempat ia berikan
padaku, dulu. “Kau pernah mengatakan padaku, kau sudah memutuskan untuk
mencintainya, maka kau harus menerima kekurangan dan kelebihannya.”
Dan, ia tidak pernah membalas pesanku. Semoga ia
memikirkan kalimatnya sendiri.
Muncul dan hilang. Timbul dan tenggelam.
Setiap harinya setelah ia mengatakan keinginannya
itu padaku, aku selalu menunggu dengan tidak sabaran. Lalu, setiap satu hari
berakhir tanpa sesuatu yang berarti, aku menghembuskan napasku dengan lega.
Hingga saat aku pikir, semuanya sudah tenang dan ia tidak melakukan tindakan
bodohnya, ia melakukannya.
Lalu, hubungan kami benar-benar sudah selesai sejak
saat itu.
Komunikasi kami sudah tidak ada lagi.
Jalan keluarnya sudah disediakan sejak pintu masuk
itu disediakan.
Fin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar