Aku pernah membaca, menunggu adalah perkara
melebarkan kesabaran. Dan ya, aku menyetujuinya. Siapa yang suka dengan
menunggu? Tidak ada, termasuk aku. Apalagi menunggu hal yang tidak pasti, itu
termasuk hal yang menyebalkan dan sia-sia.
Aku benci apapun itu yang membuatku harus menunggu.
Bahkan menunggu ponselku berdering yang menandakan ada pesan darimu saja sudah
cukup melatih tingkat kesabaran dan kegusaranku. Tapi, ternyata meski aku
menunggu hingga aku terlelap di penghujung hari, aku tidak mendapatkan hasil
dari segala upayaku. Sungguh, aku ingin menertawakan ketololanku sendiri.
Jatuh cinta itu mudah, hanya sulit di bagian
melewatinya, lalu terasa berat disaat kau sampai di bagian harus melupakan dan
melepaskan. Siapa yang suka dengan kata ’melepaskan’? Apalagi jika termasuk
dalam konteks melepaskan orang yang disayangi, tidak akan ada yang rela.
Percaya padaku. Sepertinya pepatah tua yang mengatakan, mencintai tidak harus
memiliki itu ada benarnya. Mencintai diam-diam seperti ini sesungguhnya juga
tidak mudah.
Telingaku menangkap suara ramai di belakangku. Lalu,
tak lama terdengar suara langkah kaki di belakangku.
“Kau menyuruhku menunggu hingga gajah bergading
satu?”gerutuku dengan sebal pada orang yang sedaritadi aku tunggu, yang akhirnya
duduk di seberangku sambil memberikan cengiran lebarnya. Bahkan, kopi yang
mengisi cangkirku sudah habis hingga tandas, ia baru sampai.
“Tidak. Mungkin hingga macan betina dihadapanku
menjadi lebih jinak dari sebelumnya.”ujarnya seraya mengedikkan bahu. Aku
mendesis sebal.
“Kau harusnya bersyukur kopiku sudah habis.”kataku.
“Memang kenapa?” Ia menjawab dengan tak acuh sambil
menelusuri daftar menu.
“Jika kopiku masih terisi penuh, aku jamin saat ini
kau tengah berjalan keluar dari tempat ini untuk mencari baju ganti.”jawabku
dengan ketus, ia tertawa.
“Oh kalau soal itu, tidak perlu kau cemaskan.” Tidak
lama kemudian, ia mengangkat sebuah kaos Polo berwarna hitam tanpa kerah. Aku
yakin ia bisa melihat keterkejutanku melalui mataku, karena ia langsung tertawa
puas. Yeah, aku pernah menyiramnya
saking sebalnya aku padanya karena tingkat kejayusannya yang membuatku harus
memutar bola mataku dengan gemas. Tapi, ia tidak pernah marah, ia malah hanya
tertawa. Mungkin sejak saat itu ia diam-diam selalu membawa baju ganti, dengan
modus untuk berjaga-jaga.
Ia pun pergi
memesan kopi. Aku heran, ia sudah biasa membeli kopi yang sama setiap kali
datang kesini, tapi hari ini ia memilih untuk melihat-lihat daftar menu. Aku
yakin sebentar lagi kopi yang biasa ia pesan disebutkan oleh barista.
“Don’t ask
about my coffee.”ujarnya sambil melambaikan tangan padaku seraya menyuruhku
untuk tidak bertanya.
“Aku tidak akan bertanya tentang kopimu, untuk apa
lagipula. Aku hanya mau bertanya, mengapa kau harus melihat daftar menu dulu
kalau akhirnya kau akan membeli kopi yang sama juga?”tanyaku dengan kening yang
berkerut.
Ia terkekeh diseberangku. “Siapa tahu ada kopi atau
yang lainnya yang baru.” Aku tidak berhasil menahan diriku untuk tidak memutar
kedua bola mataku dengan gemas.
“Kau harus mulai meningkatkan tingkat kejayusanmu
menjadi profesional besok-besok.”gerutuku.
“Ya, aku sempat memikirkannya. Jika aku sudah
berhasil sampai di profesional, pegang kata-kataku, kau orang pertama yang
tahu.”ujarnya sambil mengerling ke arahku dan menyesap kopinya.
“As your wish,
dude.”ujarku dengan nada datar ke arahnya. “Lebih baik sekarang kau
pesankan aku kopi lagi daripada aku harus meneteskan air liurku melihat kau
minum kopi sedangkan punyaku sudah habis.”tambahku lagi dengan wajah yang
pura-pura memelas.
“Tinggal pesan kan? Nanti kau yang bayar
bukan?”ejeknya dengan polos, membuatku gemas setengah mati karenanya.
“Oh please dear.
Are you kidding me right now?!”gerutuku.
Sebelum aku sempat memiliki rencana untuk melemparinya dengan sepatu sandalku,
ia sudah menghilang dari pandanganku dan sudah masuk dalam barisan mengantri.
Aku langsung mengacungkan jempolku padanya yang membalasnya dengan mengedipkan
sebelah matanya.
Entah sudah sejak berapa lama kami berteman, tapi
aku tidak ada niatan untuk menghitungnya. Hanya teman minum kopi saja. Awalannya
padahal hanya bertemu di toko buku. Awal yang menggelikan sebenarnya jika
diingat kembali.
Aku dengan
bersemangatnya mencari seri terbaru dari komik Conan, dan kata petugas toko
buku, seri terbarunya sepertinya sudah mulai habis dan mulai berserakan. Saat
aku menemukannya terselip di komik-komik lain, ternyata ada tangan lainnya yang
bersamaan denganku mengambil komik tersebut. Aku pun dengan sigap menahan komik
tersebut supaya tidak diambil.
Aku menoleh
dengan cepat ke sampingku dan tersenyum lebar dengan arti –ladies-first-please- “Aku lebih dulu ya.”ucapku, masih dengan nada sopan. Ia menggeleng
dengan tak acuh.
“Aku yang lebih
dulu.”ujarnya, tidak mau mengalah. Aku mendesis sebal ke arahnya. Berharap ia
segera sadar kalau ia tengah berhadapan dengan seorang wanita, bukan dengan
kaumnya.
“Lepaskan
tanganmu dari komikku.”gerutunya lagi, dengan tidak sopan. Aku berhasil dibuat
menganga karenanya. Bless me, God! Ternyata memang benar laki-laki yang tahu
sopan santun di dunia ini persediaannya sudah habis.
“Tidak.
Seharusnya kau yang melepaskan tanganmu itu dari komikku.”balasku lagi. Aku
sudah tidak memperdulikan tata kramaku, karena ia sendiri sudah tidak
memeperdulikan tata kramanya sendiri.
“Aku sudah
bilang beberapa menit yang lalu, kalau ini komikku.”balasnya lagi.
Aku mendengus
geli. “Aku bahkan sudah bilang dari awal, ini komikku.” Kali ini aku sudah
mulai menyelipkan nada mengancam dalam kalimatku, ia tidak terlihat kaget.
Saat laki-laki
itu hendak menjawab, kalimatnya disela oleh dehaman yang cukup keras. Aku dan
ia mendongak dan mendapati pengurus toko buku tersebut tengah berdiri menjulang
diatas kami dengan kedua lengan yang terlipat di depan dadanya dan menatap kami
dengan sangar. Aku merasa seperti anak SMP yang ketahuan akan mencuri komik.
Kami berdua
sontak berdiri bersamaan, masih dengan tangan yang tidak mau lepas dari komik
Conan seri terbaru tersebut. “Ada apa?”tanyanya dengan galak. Aku pun langsung
angkat dagu.
“Ia merebut
komikku.”ujarku seperti anak kecil yang melapor pada orang tuanya karena
dijahili.
“Tidak. Aku
sudah bilang padanya kalau aku yang menemukannya pertama kali.”kata laki-laki
disampingku. Aku menoleh dengan cepat dan memberikan tatapan yang sanggup
melubangi keningnya hanya dengan satu kali tatapan. Sungguh, laki-laki ini
bahkan tidak mau mengalah pada perempuan.
“Kau ini tidak
mau mengalah pada perempuan?!”seruku akhirnya.
“Tidak. Untuk
yang satu ini aku tidak akan pernah mengalah.”
“Kau tidak
pernah –“
“EHEM!”bentak
petugas dihadapan kami sekali lagi.
Tanpa tedeng
aling-aling, kami berdua didepak keluar dari toko buku tersebut tanpa membawa
komik tersebut. Saat di depan pintu toko buku, kami saling melemparkan tatapan
yang memiliki arti –ini-semua-karena-kau–
lalu masih dengan rasa gondok, aku
meninggalkan toko buku tersebut.
Aku pun tidak
pernah mau kembali ke toko tersebut. Malu, sudah pasti.
Lalu, beberapa
pekan kemudian, aku yang tengah kelaparan dan tengah ‘mengidam’ masakan Italia,
buru-buru ke restoran Italia kesukaanku. Aku memutar bola mataku dengan sebal
karena keadaan restoran yang ramai dengan orang-orang berkemeja dan ber-rok
necis ala orang kantoran dan memang itulah mereka. Aku sendiri sebenarnya bukan
orang kantoran, hanya anak kuliahan yang selepas pulang kuliah selalu singgah
makan disini.
Mata elangku
menangkap beberapa orang yang beranjak berdiri dari bangkunya.
Seraya tersenyum
lebar, aku berjalan dengan cepat menuju meja tersebut. Bahkan mengalahkan
petugas cleaning service yang tengah berjalan menuju meja tersebut
untuk membersihkan meja.”Akhirnya.”desahku dengan bahagia sambil meletakkan
tasku dibangku samping. “Kau?!”pekikku tiba-tiba bersamaan dengan laki-laki
pembuat onar dan tidak mau mengalah pada perempuan hanya karena komik.
“Oh please, aku
sedang tidak ingin berdebat kalau soal makanan. Perutku benar-benar sudah
kelaparan.”gerutunya dengan wajah memelas. Aku langsung memasang muka tembok.
“Siapa yang
peduli?!”sergahku dengan sebal. Sebenarnya perutku juga sudah sangat kelaparan.
“Yang jelas aku yang duduk lebih dahulu disini.”
“Please, kali
ini mengalahlah.”
“Oke, tidak ada
yang mengalah. Karena aku hanya makan sendiri, tidak apa-apa. Asal kau juga
tidak membawa siapapun kesini. Karena aku tidak suka makan di meja yang
berdesak-desakkan.” Laki-laki itu langsung mengangguk patuh dan langsung
menelpon. Samar-samar aku bisa mendengar kalau ia membatalkan janji makan
siangnya dengan terburu-buru, entah dengan siapa. Dan ternyata memang benar,
kalau aku tidak memberikan syarat seperti itu, mungkin sekarang aku harus rela
makan sambil berdesak-desakkan dalam satu meja bundar kecil yang khusus empat
orang, sedangkan ia menelpon lebih dari 4 orang. Hard to imagine.
Aku pun langsung
memesan makanan kesukaanku. Berupa dua potong paha ayam yang dipanggang, paha
atas dan paha bawah yang terbilang cukup jumbo ukurannya, yang dibaluri dengan black pepper.
Ia sempat melongo saat melihat pesananku sampai. Aku tidak terlalu
memperhatikan pesanannya.
“Kenapa?”tanyaku
dengan ketus.
“Kau bisa
menghabiskan paha yang segitu besar?”tanyanya dengan bingung.
“Tentu. Kalau
tidak untuk apa aku pesan. Aku makan lebih dahulu.”ujarku dengan bahagia
melihat dua potong paha yang sudah dihidangkan di depan mataku, lalu tanganku
merogoh tas untuk mengeluarkan Tupperware merah jambuku yang terisi air putih secara
penuh. Punya laki-laki itu pun tidak lama kemudian sudah dihidangkan dan sudah
siap untuk disantap. Kami makan dalam diam.
Setengah jam
kemudian, “Hah! Kenyang.”desisku sambil mengusap-usap perutku dan tersenyum
lebar. Ia kembali bengong melihat piringku yang kosong, dan hanya tulang-tulang
paha ayam yang tersisa, punyanya pun sudah tandas entah sejak kapan.
Mungkin sejak itu aku dan laki-laki yang memiliki
tingkat humor yang buruk ini mulai berteman, aku samar-samar mulai lupa dengan
apa yang terjadi selanjutnya. Sepertinya aku dan ia langsung terlibat obrolan
seru setelah berkenalan. Siapa yang mulai duluan memperkenalkan dirinya? Aku
lupa. Aku dan ia pun membuat janji untuk datang ke restoran Italia ini setiap
hari, entah untuk makan atau hanya minum, yang ternyata lebih sering memesan
kopi ketimbang makanannya. Lama-kelamaan, tidak ada pesan untuk saling
memberitahu jam dan kapan, hanya ada pesan, ‘seperti
biasa.’ Biasanya ia yang selalu mengirim pesan seperti itu padaku, namun
terkadang aku duluan yang mengirimnya pesan, dan ia akan membalas, ‘sudah karatan.’ Dan aku tidak bisa
mengontrol suara tawaku lagi setelah membaca pesannya.
Tiba-tiba ia muncul di hadapanku, menutupi objek
yang sedang kutatap padahal otakku tengah membongkar masa lalu sambil
meletakkan cangkir kopi di hadapanku, “Jika kau terus-menerus memperhatikanku
dengan tatapan ‘lapar’ seperti itu, mungkin kau tidak akan pernah sampai
dirumahmu, melainkan sampai di rumahku. Kalau mau cepat, ya hotel.”serunya
seraya mengerling nakal padaku. Sulit bagiku untuk menahan mulutku sendiri
untuk tidak menganga. Detik selanjutnya aku langsung tertawa terbahak-bahak. Ia
pun ikut terkekeh.
“Perbaiki tingkat humormu.”kataku detik berikutnya
dengan wajah dan suara yang datar. Ia yang tengah terkekeh, langsung berubah
arah menjadi mendesis sebal. “Aku pikir kali ini humorku berhasil.”hardiknya,
setengah menggerutu.
Kami menghabiskan siang itu dengan mengobrol obrolan
yang dari sepele dan tidak penting, hingga yang penting. Orang silih berganti di dalam kedai ini.
Hanya kami berdua yang belum juga pulang. Aku nyaman hanya dengan seperti ini
dengannya. Tanpa harus memusingkan hal-hal yang lain. Dengan posisi seperti ini
aku tidak akan pernah memikirkan, bahwa ia akan pergi.
Apakah mencintai itu harus selalu menyakitkan? Tidak
selamanya, sepertinya.
Bahkan, mencintai pun akan selalu menemukan
penghujung dimana kita bertemu dengan perpisahan. Akan selalu ada kemungkinan untuk
kehilangan yang tersedia.
Mengapa aku tidak pernah menghitung dari kapan awal
pertemuan kami? Karena itu hanya akan membuatku menyadari, aku akan semakin
dekat dengan hari dimana aku akan berpisah dengannya suatu hari nanti.
Sudah lewat beberapa hari aku datang ke restoran
ini, duduk sambil membawa harapan akan bertemu lagi dengannya seperti biasa,
namun ternyata hingga sore aku tidak melihat ujung batang hidungnya, dari sejak
beberapa hari kemarin yang sudah lewat, aku lalui seorang diri. Besok, lusa,
dan seterusnya akan selalu begitu sepertinya. Aku tidak tahu akan sampai kapan.
Lalu, entah di hari keberapa aku datang tanpanya, hari
ini aku datang tepat waktu, dan kemarin-kemarin memang selalu tepat waktu, saat
aku duduk di bangku yang biasa kami tempati, aku menemukan kejutan di
bangkunya. Ada sebuah bungkusan yang bersandar di bangku tersebut. Aku takut
untuk meraihnya, takut ternyata itu bukan untukku.
Aku pun memutuskan untuk memesan kopiku dan kembali
ke tempat dudukku. Hingga kopi pesananku dihidangkan, pelayan di restoran ini
tidak ada ancang-ancang untuk mengambil bungkusan tersebut dari hadapanku, padahal
sebentar lagi jam laki-laki-berselera-humor-buruk itu datang. Kalau ia datang
dan bungkusan itu masih disana, aku yakin 100% ia akan dengan lancang dan tanpa
permisi menyobek bungkusan berwarna coklat tersebut.
Hampir sejam lebih lamanya aku duduk di bangku ini.
Aku menatap isi cangkirku yang sudah hampir tandas. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
Sepertinya dia, karena aku mendengar suara langkah yang mendekatiku.
“Mau menunggu –“ Kalimatku menggantung diujung
lidahku, karena terkejut.
“Maaf, Nona. Ini ada titipan surat untuk Anda.” Ya,
aku terkejut karena ternyata bukan dia yang datang, melainkan pelayan yang
datang menghampiriku seraya mengulurkan sebuah amplop putih.
“Terima kasih.”ujarku dengan ragu-ragu, lalu pelayan
tersebut langsung mohon diri untuk permisi. Aku memegang amplop putih tersebut
dengan tangan yang gemetaran. Di bagian depannya tertulis, Beloved. Pelan-pelan jantungku mulai berdetak tidak sesuai
iramanya.
Untuk jam yang hampir jam makan siang, restoran ini
masih terbilang cukup sepi untuk dikatakan
restoran-yang-selalu-penuh-saat-mendekati-jam-makan-siang-dan-sesudahnya. Aku
mulai membuka amplop tersebut dan menemukan selembar surat yang dilipat. Firasatku
mulai berbisik buruk; pikiranku masih bersikeras ini pertanda baik. Aku bingung
harus memilih yang mana diantara keduanya. Konyolnya, aku sendiri bisa
mendengar suara detak jantungku yang berdetak terlalu cepat.
Aku membuka lipatan demi lipatan surat tersebut dan
terdiam cukup lama untuk meresapinya.
Jika aku datang,
kita akan menyimpan bungkusan di hadapanmu itu bersama-sama. Lalu, jika akhirnya
satu jam lebih aku tidak juga datang, berarti aku telah gagal. Maka, pulanglah
dan jangan kembali bersama dengan bungkusan itu.
Maaf, jika
nantinya aku malah tidak bisa menepati janjiku untuk bisa bertahan seperti yang
lalu-lalu aku janjikan padamu.
Raya.
Pikiranku tiba-tiba kosong. Ini pasti jayusannya
kan? Iya pasti ini jayusannya. Aku percaya ini jayusannya. Dengan terburu-buru
aku keluar dari restoran sambil menitipkan pesan pada pelayan dengan kalimat
yang tidak beraturan tapi memiliki inti bahwa aku menitipkan apapun yang ada di
mejaku untuk dijaga, aku memanggil taksi dan menyebutkan nama rumah sakit yang
termasuk sering dicari dan direkomendasikan.
Aku mendapatkan nama rumah sakit itu dari nomor
telpon yang sempat masuk ke ponsel Raya saat ia tengah ke toilet, entah kapan
itu. Ia jelas-jelas menuliskan nama rumah sakit tersebut secara lengkap sebagai
caller ID. Saat ia kembali, ia
menatapku yang tengah membaca majalah dengan tatapan curiga, namun aku
membalasnya dengan tatapan bingung dan kecurigaannya sirna.
Dengan tergesa-gesa aku bertanya pada petugas di
bilik informasi. Pasti yang bernama Raya dengan penyakit leukimia stadium akhir
di rumah sakit ini hanya satu, dan hanya dia. Karena, akhirnya perawat tersebut
menunjukkan jalan menuju ruang ICU. Tanpa mengucapkan terima kasih, aku
langsung lari menuju ruang ICU. Di depan ruang ICU, aku bisa melihat sepasang
suami istri yang tadinya sedang berpelukan, menyadari kedatanganku dan Ibunya menghampiriku,
lalu ganti memelukku. Bisa kurasakan bahuku basah oleh air mata dari Ibu Raya
yang tengah mendekapku erat. Raya akan selalu cerita tentang apapun pada
Ibunya, dan sepertinya tentangku tidak ia lewatkan. Dari kejauhan aku bisa
melihat lampu ruang operasi masih berwarna merah, itu tandanya operasi masih
berlangsung.
Aku belum terlambat. Aku berjalan dengan tertatih
menuju bangku tunggu dengan bahu yang terkulai lemas bersama Ibu Raya yang
menggenggam tanganku, dan Ayah Raya merangkul bahuku.
Tiba-tiba kalimatnya entah kapan ia ucapkan
terngiang di telingaku, “Kalau suatu saat
aku gagal dan kalah, aku pasti jadi bintang. Kan banyak yang bilang, orang yang
meninggal bakal bertransformasi jadi bintang lama-kelamaan.” Yang saat itu
aku jawab dengan, “Iya, kalau baik. Kalau
kau, pasti dipertimbangkan lagi soalnya tukang jayus amatiran.”ledekku saat
itu. Aku ingat ekspresinya saat itu yang langsung cemberut begitu aku jawab.
Tidak apa-apa aku harus mendengarkan seluruh
kejayusannya, asalkan aku masih bisa melihatnya tersenyum seperti
kemarin-kemarin, tanpa beban; asal aku masih bisa melihatnya tertawa; asal aku
masih bisa melihatnya mengerling padaku; asal ia berhasil kali ini.
Berjam-jam aku menunggu diluar. Dilorong rumah sakit
yang sunyinya terasa mencekam, padahal jika dilihat, suasananya ramai.
Kali ini aku tengah berusaha untuk melebarkan
sabarku untuk hasil yang terbaik ataupun yang terburuk. Diam-diam aku mulai
melatih mentalku jika nantinya ternyata harus menerima kenyataan terburuk.
Hari-hari yang aku lewati dengannya di restoran Italia itu mulai berkelebatan
di kepalaku tanpa bisa aku kontrol.
Apapun kemungkinan nantinya saat dokter keluar dari
ruang ICU, aku harus terima, meski itu kemungkinan buruk yang keluar. Bahkan
untuk yang satu ini, bukan hanya sabar yang harus dilebarkan, ketabahanpun
harus aku lebarkan.
Menunggu dan terus menunggu.
Setiap orang memiliki awal dan akhir cerita yang
berbeda.
Tidak akan ada yang tahu akhir ceritanya, meski kita
sudah berencana untuk mengakhirinya seperti apa dan pula tidak ada yang bisa
merubah rancangan yang sudah disiapkan. Alurnya sudah ditentukan, maka sudah
pasti akan terjadi. Hanya masalah waktu, kapan dan dimana akan terjadi. Kita
tidak bisa memilih akhir yang bahagia atau yang sedih. Aku, kamu, dia, dan yang
lainnya sudah disiapkan akhir ceritanya bahkan mungkin sejak sebelum cerita itu
sendiri dimulai.
Aku sudah optimis saat dokter keluar dari ruang ICU
dengan wajah yang tersenyum dan cerah. Lalu, satu jam setelah itu, senyum
dokter tersebut tidak pernah aku lihat, wajahnya tidak secerah satu jam
sebelumnya. Tubuhnya merespon negatif. Ia hanya sempat melihatku sebentar
seraya tersenyum dan mengangguk lemah, sebelum akhirnya genggaman tangannya yang
berdiam di dalam tanganku melemah dan akhirnya terkulai tak bernyawa di samping
tubuhnya yang dipenuhi selang-selang sebagai alat penunjang hidupnya.
Orangtuanya, terlebih Ibunya, mulai terisak dalam sunyi saat akhirnya detektor
jantung menyuarakan suara melengking khasnya diudara, menyiarkan kabar buruk
bagi siapapun yang mendengarnya. Aku tidak sanggup lagi menahan buliran air mataku
yang sudah mulai menggenang sejak ia tersenyum padaku, senyumnya yang terakhir.
Yang terakhir yang lihat.
. Raya akhirnya memilih akhir yang menurutnya yang terbaik
baginya, juga bagi siapapun, dan aku harus terima keputusannya. Berhari-hari
sebelum pemakamannya, aku dihantui oleh mimpi tentangnya, berisi tentang
pelukan hangatnya yang tidak pernah aku rasakan; berisi tentang permintaan
maafnya; lalu akhirnya sampai pada permintaan untuk melupakannya, lalu setelah
ia menghilang aku akan terbangun dengan peluh yang sebesar biji jagung mengalir,
dan kembali menangis hingga
mengakibatkan mataku sembab.
Aku memilih untuk tidak berada diantara kerumunan
orang yang tengah menatap beberapa orang yang sedang memegang cangkul penuh
tanah, dengan payung di tangan mereka. Aku berteduh di bawah pohon yang tidak
jauh dari tempatnya. Kututupi mata bengkakku dengan kacamata hitam. Air mataku
masih belum bisa aku bendung. Perlahan-lahan, satu per satu, orang-orang mulai
pergi. Yang tersisa hanya Ibunya yang masih berjongkok disampingnya.
Aku yang masih mematung tidak jauh darinya, dikejutkan
oleh Ayah Raya yang memberikan sebuah amplop, lagi. Beliau berdiri disampingku
yang masih memegang amplop tersebut dengan gemetaran.
“Percayalah ini yang terbaik buat Raya.”ujar Ayah
Raya sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Ia menghembuskan nafas,
“Perpisahan itu akan selalu menjadi ekormu. Kau tidak bisa memotongnya, karena
sebenarnya itu adalah bagianmu juga.” Beliau menarik dan menghembuskan nafasnys
dengan berat.
“Jangan terus larut dalam tangis. Om yakin, Raya
tidak akan suka kau terlalu lama larut dalam sedihmu. Ia pernah bilang pada Om,
jika suatu saat ia memutuskan untuk berhenti berjuang, ia ingin, tidak ada orang
yang terlalu larut dalam kesedihannya terlalu lama karena ia sudah memutuskan
untuk menyerah. Kau pasti salah satu diantaranya.” Beliau memberikan jeda
sebentar bagiku untuk meresapi setiap kata-katanya.
Lalu mulai melanjutkan, “Terima kasih sudah menjaga
Raya supaya tidak jatuh. Terima kasih sudah menemani Raya di penghujung
umurnya. Terima kasih sudah menggenggamnya saat ia lemah. Dan, terima kasih
sudah bersamanya selama ini.” Ayah Raya menarik nafas panjang, sambil menepuk
bahuku, ia berkata, “Pulanglah. Kau bisa datang menemui Raya kapanpun kau mau.
Rumah kami pun selalu terbuka untukmu.”ujarnya sambil menoleh dan tersenyum.
Aku menoleh padanya dengan perlahan, beliau bisa
melihat kristal bening yang mengalir turun dari balik kacamata hitamku. Ia
memelukku dengan hangat, lalu mengusap rambutku dengan lembut. Mungkin, seperti
inilah rasanya dipeluk oleh Raya.
My dear,
I’m apologize
because I’m often to late from our schedule. But, for all of this late, I’m
really thanked to you, that you are still waiting for me although I’m late one
or two hours from our plan. I know, you are understood that I don’t mean it.
I’m apologize I’m never invite you to visit me. I’m really won’t you to visit
me whenever I am. For seriously, I’m not able to meet you when I’m weak.
I just wanna say
thank you for all of your time, for our coffee time although we are not in the
cafe shop. And I’m really enjoyed my time with you. You make me feel I’m not
sick. And I have a reason to survive, so I’m trying to keep my reason so well.
You know my reason? Yes, it’s you. But, so far, I can’t, I’m failed. Whereas
you always said to me to survive, you always said that you are always support
me and made me to remember to smile so that I can forget my disease.
But, I’m start
to doesn’t able to survive or to forget all of this shit disease. To be honest,
I’m really want you to be here with me, but I know, you shouldn’t to come here
to accompany me. I’m won’t you to sad.
Terima kasih kau
tidak pernah mengungkit-ungkitnya.
Terima kasih kau
sudah membuatku merasa tidak membuang-buang waktuku yang sisa sedikit dengan
percuma. Pasir dalam jamku sebentar lagi habis. Maaf aku tidak pernah
mengungkapkan langsung padamu, tapi diam-diam aku mencintaimu. Aku tidak pernah
mau memberitahukannya padamu, karena aku tidak mau kau merasa terbebani. Kau
pantas untuk mendapatkan yang lebih baik dariku. Seorang yang bisa kau genggam tangannya dengan hangat,
seorang yang bisa kau peluk, seorang yang bisa kau ajak berbagi, seorang yang
bisa memelukmu dengan hangat saat sedih atau bahagia, seorang yang bisa
mengembalikan suasana hatimu jika tiba-tiba berubah buruk, bukan dengan seorang
yang sakit sepertiku yang hidupnya tinggal menghitung dengan kesepuluh jarinya.
Terakhir, terima
kasih untuk tidak pernah meninggalkanku.
Buka dan
simpanlah bungkusan yang aku titipkan di tempat kita. Itu menjadi titipan
terakhirku untukmu, jika ternyata aku gagal.
Sampai jumpa ketika
kita sudah berada di langit yang sama.
Selamat tinggal,
Bumi.
Raya.
Perlukah aku ungkapkan juga, Raya? Kau pasti tahu
rahasiaku yang diam-diam aku rasakan. Bodohnya aku, aku tidak pernah mengatakan
padamu, bahkan hingga ketika kau sudah memutuskan untuk berhenti berjuang.
Sepulangku dari rumah sakit; sepulangku setelah
mengantar Raya hingga tidur lelapnya, aku mengambil bungkusan tersebut di
restoran Italia. Pelayan-pelayan itu memberikan senyum yang seperti memiliki
arti kami-turut-berduka saat aku melangkah masuk ke dalam resto dengan langkah
yang lesu dan juga sendirian. Akhirnya aku tahu, surat tersebut yang
mengantarnya adalah perawat dari rumah sakit, maka dari itu mereka tahu apa
yang terjadi. Aku mengangguk lemah pada mereka.
Raya menitipkan sebuah kanvas berisi lukisan. Lukisan
yang berisi impianku.
Seorang gadis yang berambut panjang berwarna hitam
legam, duduk dengan dua kaki yang menggantung di tembok, tengah mendongak dengan
dua tangan yang dilebarkan dan bertumpu di belakang punggungnya tengah
memandang langit yang dilukis berwarna hitam lalu diberikan sentuhan glitter berwarna emas yang tidak terlalu
banyak, ditambah dengan dilukisnya bintang-bintang, disekeliling supermoon yang terang berwarna putih
kekuningan dihadapan gadis itu. Lukisan yang dilukis di kanvas horizontal yang akhirnya
lukisan itu aku gantung di dinding diatas kepala tempat tidurku.
Rasanya menyakitkan harus menumpuk rasa rindu hingga
menggunung dan tidak pernah bisa tersampaikan secara langsung. Tapi, biarlah.
Sejalannya waktu, rindu itu akan tersampaikan secara tidak langsung, sadar atau
tidak sadar.
Seiring waktu, aku mulai belajar untuk melafalkan
kata selamat tinggal pada Jagat Rayaku.
Fin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar