A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Senin, 24 Juni 2013

Beautiful Goodbye


Aku pernah membaca, menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran. Dan ya, aku menyetujuinya. Siapa yang suka dengan menunggu? Tidak ada, termasuk aku. Apalagi menunggu hal yang tidak pasti, itu termasuk hal yang menyebalkan dan sia-sia.
Aku benci apapun itu yang membuatku harus menunggu. Bahkan menunggu ponselku berdering yang menandakan ada pesan darimu saja sudah cukup melatih tingkat kesabaran dan kegusaranku. Tapi, ternyata meski aku menunggu hingga aku terlelap di penghujung hari, aku tidak mendapatkan hasil dari segala upayaku. Sungguh, aku ingin menertawakan ketololanku sendiri.
Jatuh cinta itu mudah, hanya sulit di bagian melewatinya, lalu terasa berat disaat kau sampai di bagian harus melupakan dan melepaskan. Siapa yang suka dengan kata ’melepaskan’? Apalagi jika termasuk dalam konteks melepaskan orang yang disayangi, tidak akan ada yang rela. Percaya padaku. Sepertinya pepatah tua yang mengatakan, mencintai tidak harus memiliki itu ada benarnya. Mencintai diam-diam seperti ini sesungguhnya juga tidak mudah.
Telingaku menangkap suara ramai di belakangku. Lalu, tak lama terdengar suara langkah kaki di belakangku.
“Kau menyuruhku menunggu hingga gajah bergading satu?”gerutuku dengan sebal pada orang yang sedaritadi aku tunggu, yang akhirnya duduk di seberangku sambil memberikan cengiran lebarnya. Bahkan, kopi yang mengisi cangkirku sudah habis hingga tandas, ia baru sampai.
“Tidak. Mungkin hingga macan betina dihadapanku menjadi lebih jinak dari sebelumnya.”ujarnya seraya mengedikkan bahu. Aku mendesis sebal.
“Kau harusnya bersyukur kopiku sudah habis.”kataku.
“Memang kenapa?” Ia menjawab dengan tak acuh sambil menelusuri daftar menu.
“Jika kopiku masih terisi penuh, aku jamin saat ini kau tengah berjalan keluar dari tempat ini untuk mencari baju ganti.”jawabku dengan ketus, ia tertawa.
“Oh kalau soal itu, tidak perlu kau cemaskan.” Tidak lama kemudian, ia mengangkat sebuah kaos Polo berwarna hitam tanpa kerah. Aku yakin ia bisa melihat keterkejutanku melalui mataku, karena ia langsung tertawa puas. Yeah, aku pernah menyiramnya saking sebalnya aku padanya karena tingkat kejayusannya yang membuatku harus memutar bola mataku dengan gemas. Tapi, ia tidak pernah marah, ia malah hanya tertawa. Mungkin sejak saat itu ia diam-diam selalu membawa baju ganti, dengan modus untuk berjaga-jaga.
 Ia pun pergi memesan kopi. Aku heran, ia sudah biasa membeli kopi yang sama setiap kali datang kesini, tapi hari ini ia memilih untuk melihat-lihat daftar menu. Aku yakin sebentar lagi kopi yang biasa ia pesan disebutkan oleh barista.
Don’t ask about my coffee.”ujarnya sambil melambaikan tangan padaku seraya menyuruhku untuk tidak bertanya.
“Aku tidak akan bertanya tentang kopimu, untuk apa lagipula. Aku hanya mau bertanya, mengapa kau harus melihat daftar menu dulu kalau akhirnya kau akan membeli kopi yang sama juga?”tanyaku dengan kening yang berkerut.
Ia terkekeh diseberangku. “Siapa tahu ada kopi atau yang lainnya yang baru.” Aku tidak berhasil menahan diriku untuk tidak memutar kedua bola mataku dengan gemas.
“Kau harus mulai meningkatkan tingkat kejayusanmu menjadi profesional besok-besok.”gerutuku.
“Ya, aku sempat memikirkannya. Jika aku sudah berhasil sampai di profesional, pegang kata-kataku, kau orang pertama yang tahu.”ujarnya sambil mengerling ke arahku dan menyesap kopinya.
As your wish, dude.”ujarku dengan nada datar ke arahnya. “Lebih baik sekarang kau pesankan aku kopi lagi daripada aku harus meneteskan air liurku melihat kau minum kopi sedangkan punyaku sudah habis.”tambahku lagi dengan wajah yang pura-pura memelas.
“Tinggal pesan kan? Nanti kau yang bayar bukan?”ejeknya dengan polos, membuatku gemas setengah mati karenanya.
Oh please dear. Are you kidding me right now?!”gerutuku. Sebelum aku sempat memiliki rencana untuk melemparinya dengan sepatu sandalku, ia sudah menghilang dari pandanganku dan sudah masuk dalam barisan mengantri. Aku langsung mengacungkan jempolku padanya yang membalasnya dengan mengedipkan sebelah matanya.
Entah sudah sejak berapa lama kami berteman, tapi aku tidak ada niatan untuk menghitungnya. Hanya teman minum kopi saja. Awalannya padahal hanya bertemu di toko buku. Awal yang menggelikan sebenarnya jika diingat kembali.
Aku dengan bersemangatnya mencari seri terbaru dari komik Conan, dan kata petugas toko buku, seri terbarunya sepertinya sudah mulai habis dan mulai berserakan. Saat aku menemukannya terselip di komik-komik lain, ternyata ada tangan lainnya yang bersamaan denganku mengambil komik tersebut. Aku pun dengan sigap menahan komik tersebut supaya tidak diambil.
Aku menoleh dengan cepat ke sampingku dan tersenyum lebar dengan arti –ladies-first-please­- “Aku lebih dulu ya.”ucapku, masih dengan nada sopan. Ia menggeleng dengan tak acuh.
“Aku yang lebih dulu.”ujarnya, tidak mau mengalah. Aku mendesis sebal ke arahnya. Berharap ia segera sadar kalau ia tengah berhadapan dengan seorang wanita, bukan dengan kaumnya.
“Lepaskan tanganmu dari komikku.”gerutunya lagi, dengan tidak sopan. Aku berhasil dibuat menganga karenanya. Bless me, God! Ternyata memang benar laki-laki yang tahu sopan santun di dunia ini persediaannya sudah habis.
“Tidak. Seharusnya kau yang melepaskan tanganmu itu dari komikku.”balasku lagi. Aku sudah tidak memperdulikan tata kramaku, karena ia sendiri sudah tidak memeperdulikan tata kramanya sendiri.
“Aku sudah bilang beberapa menit yang lalu, kalau ini komikku.”balasnya lagi.
Aku mendengus geli. “Aku bahkan sudah bilang dari awal, ini komikku.” Kali ini aku sudah mulai menyelipkan nada mengancam dalam kalimatku, ia tidak terlihat kaget.
Saat laki-laki itu hendak menjawab, kalimatnya disela oleh dehaman yang cukup keras. Aku dan ia mendongak dan mendapati pengurus toko buku tersebut tengah berdiri menjulang diatas kami dengan kedua lengan yang terlipat di depan dadanya dan menatap kami dengan sangar. Aku merasa seperti anak SMP yang ketahuan akan mencuri komik.
Kami berdua sontak berdiri bersamaan, masih dengan tangan yang tidak mau lepas dari komik Conan seri terbaru tersebut. “Ada apa?”tanyanya dengan galak. Aku pun langsung angkat dagu.
“Ia merebut komikku.”ujarku seperti anak kecil yang melapor pada orang tuanya karena dijahili.
“Tidak. Aku sudah bilang padanya kalau aku yang menemukannya pertama kali.”kata laki-laki disampingku. Aku menoleh dengan cepat dan memberikan tatapan yang sanggup melubangi keningnya hanya dengan satu kali tatapan. Sungguh, laki-laki ini bahkan tidak mau mengalah pada perempuan.
“Kau ini tidak mau mengalah pada perempuan?!”seruku akhirnya.
“Tidak. Untuk yang satu ini aku tidak akan pernah mengalah.”
“Kau tidak pernah –“
“EHEM!”bentak petugas dihadapan kami sekali lagi.
Tanpa tedeng aling-aling, kami berdua didepak keluar dari toko buku tersebut tanpa membawa komik tersebut. Saat di depan pintu toko buku, kami saling melemparkan tatapan yang memiliki arti –ini-semua-karena-kau– lalu masih dengan rasa gondok, aku meninggalkan toko buku tersebut.
Aku pun tidak pernah mau kembali ke toko tersebut. Malu, sudah pasti.
Lalu, beberapa pekan kemudian, aku yang tengah kelaparan dan tengah ‘mengidam’ masakan Italia, buru-buru ke restoran Italia kesukaanku. Aku memutar bola mataku dengan sebal karena keadaan restoran yang ramai dengan orang-orang berkemeja dan ber-rok necis ala orang kantoran dan memang itulah mereka. Aku sendiri sebenarnya bukan orang kantoran, hanya anak kuliahan yang selepas pulang kuliah selalu singgah makan disini.  
Mata elangku menangkap beberapa orang yang beranjak berdiri dari bangkunya.
Seraya tersenyum lebar, aku berjalan dengan cepat menuju meja tersebut. Bahkan mengalahkan petugas cleaning service yang tengah berjalan menuju meja tersebut untuk membersihkan meja.”Akhirnya.”desahku dengan bahagia sambil meletakkan tasku dibangku samping. “Kau?!”pekikku tiba-tiba bersamaan dengan laki-laki pembuat onar dan tidak mau mengalah pada perempuan hanya karena komik.
“Oh please, aku sedang tidak ingin berdebat kalau soal makanan. Perutku benar-benar sudah kelaparan.”gerutunya dengan wajah memelas. Aku langsung memasang muka tembok.
“Siapa yang peduli?!”sergahku dengan sebal. Sebenarnya perutku juga sudah sangat kelaparan. “Yang jelas aku yang duduk lebih dahulu disini.”
“Please, kali ini mengalahlah.”
“Oke, tidak ada yang mengalah. Karena aku hanya makan sendiri, tidak apa-apa. Asal kau juga tidak membawa siapapun kesini. Karena aku tidak suka makan di meja yang berdesak-desakkan.” Laki-laki itu langsung mengangguk patuh dan langsung menelpon. Samar-samar aku bisa mendengar kalau ia membatalkan janji makan siangnya dengan terburu-buru, entah dengan siapa. Dan ternyata memang benar, kalau aku tidak memberikan syarat seperti itu, mungkin sekarang aku harus rela makan sambil berdesak-desakkan dalam satu meja bundar kecil yang khusus empat orang, sedangkan ia menelpon lebih dari 4 orang. Hard to imagine.
Aku pun langsung memesan makanan kesukaanku. Berupa dua potong paha ayam yang dipanggang, paha atas dan paha bawah yang terbilang cukup jumbo ukurannya, yang dibaluri dengan black pepper. Ia sempat melongo saat melihat pesananku sampai. Aku tidak terlalu memperhatikan pesanannya.
“Kenapa?”tanyaku dengan ketus.
“Kau bisa menghabiskan paha yang segitu besar?”tanyanya dengan bingung.
“Tentu. Kalau tidak untuk apa aku pesan. Aku makan lebih dahulu.”ujarku dengan bahagia melihat dua potong paha yang sudah dihidangkan di depan mataku, lalu tanganku merogoh tas untuk mengeluarkan Tupperware merah jambuku yang terisi air putih secara penuh. Punya laki-laki itu pun tidak lama kemudian sudah dihidangkan dan sudah siap untuk disantap. Kami makan dalam diam.
Setengah jam kemudian, “Hah! Kenyang.”desisku sambil mengusap-usap perutku dan tersenyum lebar. Ia kembali bengong melihat piringku yang kosong, dan hanya tulang-tulang paha ayam yang tersisa, punyanya pun sudah tandas entah sejak kapan.
Mungkin sejak itu aku dan laki-laki yang memiliki tingkat humor yang buruk ini mulai berteman, aku samar-samar mulai lupa dengan apa yang terjadi selanjutnya. Sepertinya aku dan ia langsung terlibat obrolan seru setelah berkenalan. Siapa yang mulai duluan memperkenalkan dirinya? Aku lupa. Aku dan ia pun membuat janji untuk datang ke restoran Italia ini setiap hari, entah untuk makan atau hanya minum, yang ternyata lebih sering memesan kopi ketimbang makanannya. Lama-kelamaan, tidak ada pesan untuk saling memberitahu jam dan kapan, hanya ada pesan, ‘seperti biasa.’ Biasanya ia yang selalu mengirim pesan seperti itu padaku, namun terkadang aku duluan yang mengirimnya pesan, dan ia akan membalas, ‘sudah karatan.’ Dan aku tidak bisa mengontrol suara tawaku lagi setelah membaca pesannya.
Tiba-tiba ia muncul di hadapanku, menutupi objek yang sedang kutatap padahal otakku tengah membongkar masa lalu sambil meletakkan cangkir kopi di hadapanku, “Jika kau terus-menerus memperhatikanku dengan tatapan ‘lapar’ seperti itu, mungkin kau tidak akan pernah sampai dirumahmu, melainkan sampai di rumahku. Kalau mau cepat, ya hotel.”serunya seraya mengerling nakal padaku. Sulit bagiku untuk menahan mulutku sendiri untuk tidak menganga. Detik selanjutnya aku langsung tertawa terbahak-bahak. Ia pun ikut terkekeh.
“Perbaiki tingkat humormu.”kataku detik berikutnya dengan wajah dan suara yang datar. Ia yang tengah terkekeh, langsung berubah arah menjadi mendesis sebal. “Aku pikir kali ini humorku berhasil.”hardiknya, setengah menggerutu.
Kami menghabiskan siang itu dengan mengobrol obrolan yang dari sepele dan tidak penting, hingga yang penting.  Orang silih berganti di dalam kedai ini. Hanya kami berdua yang belum juga pulang. Aku nyaman hanya dengan seperti ini dengannya. Tanpa harus memusingkan hal-hal yang lain. Dengan posisi seperti ini aku tidak akan pernah memikirkan, bahwa ia akan pergi.
Apakah mencintai itu harus selalu menyakitkan? Tidak selamanya, sepertinya.
Bahkan, mencintai pun akan selalu menemukan penghujung dimana kita bertemu dengan perpisahan. Akan selalu ada kemungkinan untuk kehilangan yang tersedia.


Mengapa aku tidak pernah menghitung dari kapan awal pertemuan kami? Karena itu hanya akan membuatku menyadari, aku akan semakin dekat dengan hari dimana aku akan berpisah dengannya suatu hari nanti.
Sudah lewat beberapa hari aku datang ke restoran ini, duduk sambil membawa harapan akan bertemu lagi dengannya seperti biasa, namun ternyata hingga sore aku tidak melihat ujung batang hidungnya, dari sejak beberapa hari kemarin yang sudah lewat, aku lalui seorang diri. Besok, lusa, dan seterusnya akan selalu begitu sepertinya. Aku tidak tahu akan sampai kapan.
Lalu, entah di hari keberapa aku datang tanpanya, hari ini aku datang tepat waktu, dan kemarin-kemarin memang selalu tepat waktu, saat aku duduk di bangku yang biasa kami tempati, aku menemukan kejutan di bangkunya. Ada sebuah bungkusan yang bersandar di bangku tersebut. Aku takut untuk meraihnya, takut ternyata itu bukan untukku.
Aku pun memutuskan untuk memesan kopiku dan kembali ke tempat dudukku. Hingga kopi pesananku dihidangkan, pelayan di restoran ini tidak ada ancang-ancang untuk mengambil bungkusan tersebut dari hadapanku, padahal sebentar lagi jam laki-laki-berselera-humor-buruk itu datang. Kalau ia datang dan bungkusan itu masih disana, aku yakin 100% ia akan dengan lancang dan tanpa permisi menyobek bungkusan berwarna coklat tersebut.
Hampir sejam lebih lamanya aku duduk di bangku ini. Aku menatap isi cangkirku yang sudah hampir tandas. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Sepertinya dia, karena aku mendengar suara langkah yang mendekatiku.
“Mau menunggu –“ Kalimatku menggantung diujung lidahku, karena terkejut.
“Maaf, Nona. Ini ada titipan surat untuk Anda.” Ya, aku terkejut karena ternyata bukan dia yang datang, melainkan pelayan yang datang menghampiriku seraya mengulurkan sebuah amplop putih.
“Terima kasih.”ujarku dengan ragu-ragu, lalu pelayan tersebut langsung mohon diri untuk permisi. Aku memegang amplop putih tersebut dengan tangan yang gemetaran. Di bagian depannya tertulis, Beloved. Pelan-pelan jantungku mulai berdetak tidak sesuai iramanya.
Untuk jam yang hampir jam makan siang, restoran ini masih terbilang cukup sepi untuk dikatakan restoran-yang-selalu-penuh-saat-mendekati-jam-makan-siang-dan-sesudahnya. Aku mulai membuka amplop tersebut dan menemukan selembar surat yang dilipat. Firasatku mulai berbisik buruk; pikiranku masih bersikeras ini pertanda baik. Aku bingung harus memilih yang mana diantara keduanya. Konyolnya, aku sendiri bisa mendengar suara detak jantungku yang berdetak terlalu cepat.
Aku membuka lipatan demi lipatan surat tersebut dan terdiam cukup lama untuk meresapinya.
Jika aku datang, kita akan menyimpan bungkusan di hadapanmu itu bersama-sama. Lalu, jika akhirnya satu jam lebih aku tidak juga datang, berarti aku telah gagal. Maka, pulanglah dan jangan kembali bersama dengan bungkusan itu.
Maaf, jika nantinya aku malah tidak bisa menepati janjiku untuk bisa bertahan seperti yang lalu-lalu aku janjikan padamu.
Raya.
Pikiranku tiba-tiba kosong. Ini pasti jayusannya kan? Iya pasti ini jayusannya. Aku percaya ini jayusannya. Dengan terburu-buru aku keluar dari restoran sambil menitipkan pesan pada pelayan dengan kalimat yang tidak beraturan tapi memiliki inti bahwa aku menitipkan apapun yang ada di mejaku untuk dijaga, aku memanggil taksi dan menyebutkan nama rumah sakit yang termasuk sering dicari dan direkomendasikan.
Aku mendapatkan nama rumah sakit itu dari nomor telpon yang sempat masuk ke ponsel Raya saat ia tengah ke toilet, entah kapan itu. Ia jelas-jelas menuliskan nama rumah sakit tersebut secara lengkap sebagai caller ID. Saat ia kembali, ia menatapku yang tengah membaca majalah dengan tatapan curiga, namun aku membalasnya dengan tatapan bingung dan kecurigaannya sirna.
Dengan tergesa-gesa aku bertanya pada petugas di bilik informasi. Pasti yang bernama Raya dengan penyakit leukimia stadium akhir di rumah sakit ini hanya satu, dan hanya dia. Karena, akhirnya perawat tersebut menunjukkan jalan menuju ruang ICU. Tanpa mengucapkan terima kasih, aku langsung lari menuju ruang ICU. Di depan ruang ICU, aku bisa melihat sepasang suami istri yang tadinya sedang berpelukan, menyadari kedatanganku dan Ibunya menghampiriku, lalu ganti memelukku. Bisa kurasakan bahuku basah oleh air mata dari Ibu Raya yang tengah mendekapku erat. Raya akan selalu cerita tentang apapun pada Ibunya, dan sepertinya tentangku tidak ia lewatkan. Dari kejauhan aku bisa melihat lampu ruang operasi masih berwarna merah, itu tandanya operasi masih berlangsung.
Aku belum terlambat. Aku berjalan dengan tertatih menuju bangku tunggu dengan bahu yang terkulai lemas bersama Ibu Raya yang menggenggam tanganku, dan Ayah Raya merangkul bahuku.
Tiba-tiba kalimatnya entah kapan ia ucapkan terngiang di telingaku, “Kalau suatu saat aku gagal dan kalah, aku pasti jadi bintang. Kan banyak yang bilang, orang yang meninggal bakal bertransformasi jadi bintang lama-kelamaan.” Yang saat itu aku jawab dengan, “Iya, kalau baik. Kalau kau, pasti dipertimbangkan lagi soalnya tukang jayus amatiran.”ledekku saat itu. Aku ingat ekspresinya saat itu yang langsung cemberut begitu aku jawab.
Tidak apa-apa aku harus mendengarkan seluruh kejayusannya, asalkan aku masih bisa melihatnya tersenyum seperti kemarin-kemarin, tanpa beban; asal aku masih bisa melihatnya tertawa; asal aku masih bisa melihatnya mengerling padaku; asal ia berhasil kali ini.
Berjam-jam aku menunggu diluar. Dilorong rumah sakit yang sunyinya terasa mencekam, padahal jika dilihat, suasananya ramai.
Kali ini aku tengah berusaha untuk melebarkan sabarku untuk hasil yang terbaik ataupun yang terburuk. Diam-diam aku mulai melatih mentalku jika nantinya ternyata harus menerima kenyataan terburuk. Hari-hari yang aku lewati dengannya di restoran Italia itu mulai berkelebatan di kepalaku tanpa bisa aku kontrol.
Apapun kemungkinan nantinya saat dokter keluar dari ruang ICU, aku harus terima, meski itu kemungkinan buruk yang keluar. Bahkan untuk yang satu ini, bukan hanya sabar yang harus dilebarkan, ketabahanpun harus aku lebarkan.
Menunggu dan terus menunggu.


Setiap orang memiliki awal dan akhir cerita yang berbeda.
Tidak akan ada yang tahu akhir ceritanya, meski kita sudah berencana untuk mengakhirinya seperti apa dan pula tidak ada yang bisa merubah rancangan yang sudah disiapkan. Alurnya sudah ditentukan, maka sudah pasti akan terjadi. Hanya masalah waktu, kapan dan dimana akan terjadi. Kita tidak bisa memilih akhir yang bahagia atau yang sedih. Aku, kamu, dia, dan yang lainnya sudah disiapkan akhir ceritanya bahkan mungkin sejak sebelum cerita itu sendiri dimulai.
Aku sudah optimis saat dokter keluar dari ruang ICU dengan wajah yang tersenyum dan cerah. Lalu, satu jam setelah itu, senyum dokter tersebut tidak pernah aku lihat, wajahnya tidak secerah satu jam sebelumnya. Tubuhnya merespon negatif. Ia hanya sempat melihatku sebentar seraya tersenyum dan mengangguk lemah, sebelum akhirnya genggaman tangannya yang berdiam di dalam tanganku melemah dan akhirnya terkulai tak bernyawa di samping tubuhnya yang dipenuhi selang-selang sebagai alat penunjang hidupnya. Orangtuanya, terlebih Ibunya, mulai terisak dalam sunyi saat akhirnya detektor jantung menyuarakan suara melengking khasnya diudara, menyiarkan kabar buruk bagi siapapun yang mendengarnya. Aku tidak sanggup lagi menahan buliran air mataku yang sudah mulai menggenang sejak ia tersenyum padaku, senyumnya yang terakhir. Yang terakhir yang lihat.
. Raya akhirnya memilih akhir yang menurutnya yang terbaik baginya, juga bagi siapapun, dan aku harus terima keputusannya. Berhari-hari sebelum pemakamannya, aku dihantui oleh mimpi tentangnya, berisi tentang pelukan hangatnya yang tidak pernah aku rasakan; berisi tentang permintaan maafnya; lalu akhirnya sampai pada permintaan untuk melupakannya, lalu setelah ia menghilang aku akan terbangun dengan peluh yang sebesar biji jagung mengalir, dan  kembali menangis hingga mengakibatkan mataku sembab.


Aku memilih untuk tidak berada diantara kerumunan orang yang tengah menatap beberapa orang yang sedang memegang cangkul penuh tanah, dengan payung di tangan mereka. Aku berteduh di bawah pohon yang tidak jauh dari tempatnya. Kututupi mata bengkakku dengan kacamata hitam. Air mataku masih belum bisa aku bendung. Perlahan-lahan, satu per satu, orang-orang mulai pergi. Yang tersisa hanya Ibunya yang masih berjongkok disampingnya.
Aku yang masih mematung tidak jauh darinya, dikejutkan oleh Ayah Raya yang memberikan sebuah amplop, lagi. Beliau berdiri disampingku yang masih memegang amplop tersebut dengan gemetaran.
“Percayalah ini yang terbaik buat Raya.”ujar Ayah Raya sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Ia menghembuskan nafas, “Perpisahan itu akan selalu menjadi ekormu. Kau tidak bisa memotongnya, karena sebenarnya itu adalah bagianmu juga.” Beliau menarik dan menghembuskan nafasnys dengan berat.
“Jangan terus larut dalam tangis. Om yakin, Raya tidak akan suka kau terlalu lama larut dalam sedihmu. Ia pernah bilang pada Om, jika suatu saat ia memutuskan untuk berhenti berjuang, ia ingin, tidak ada orang yang terlalu larut dalam kesedihannya terlalu lama karena ia sudah memutuskan untuk menyerah. Kau pasti salah satu diantaranya.” Beliau memberikan jeda sebentar bagiku untuk meresapi setiap kata-katanya.
Lalu mulai melanjutkan, “Terima kasih sudah menjaga Raya supaya tidak jatuh. Terima kasih sudah menemani Raya di penghujung umurnya. Terima kasih sudah menggenggamnya saat ia lemah. Dan, terima kasih sudah bersamanya selama ini.” Ayah Raya menarik nafas panjang, sambil menepuk bahuku, ia berkata, “Pulanglah. Kau bisa datang menemui Raya kapanpun kau mau. Rumah kami pun selalu terbuka untukmu.”ujarnya sambil menoleh dan tersenyum.
Aku menoleh padanya dengan perlahan, beliau bisa melihat kristal bening yang mengalir turun dari balik kacamata hitamku. Ia memelukku dengan hangat, lalu mengusap rambutku dengan lembut. Mungkin, seperti inilah rasanya dipeluk oleh Raya.
My dear,
I’m apologize because I’m often to late from our schedule. But, for all of this late, I’m really thanked to you, that you are still waiting for me although I’m late one or two hours from our plan. I know, you are understood that I don’t mean it. I’m apologize I’m never invite you to visit me. I’m really won’t you to visit me whenever I am. For seriously, I’m not able to meet you when I’m weak.
I just wanna say thank you for all of your time, for our coffee time although we are not in the cafe shop. And I’m really enjoyed my time with you. You make me feel I’m not sick. And I have a reason to survive, so I’m trying to keep my reason so well. You know my reason? Yes, it’s you. But, so far, I can’t, I’m failed. Whereas you always said to me to survive, you always said that you are always support me and made me to remember to smile so that I can forget my disease.
But, I’m start to doesn’t able to survive or to forget all of this shit disease. To be honest, I’m really want you to be here with me, but I know, you shouldn’t to come here to accompany me. I’m won’t you to sad.
Terima kasih kau tidak pernah mengungkit-ungkitnya.
Terima kasih kau sudah membuatku merasa tidak membuang-buang waktuku yang sisa sedikit dengan percuma. Pasir dalam jamku sebentar lagi habis. Maaf aku tidak pernah mengungkapkan langsung padamu, tapi diam-diam aku mencintaimu. Aku tidak pernah mau memberitahukannya padamu, karena aku tidak mau kau merasa terbebani. Kau pantas untuk mendapatkan yang lebih baik dariku. Seorang yang bisa kau genggam tangannya dengan hangat, seorang yang bisa kau peluk, seorang yang bisa kau ajak berbagi, seorang yang bisa memelukmu dengan hangat saat sedih atau bahagia, seorang yang bisa mengembalikan suasana hatimu jika tiba-tiba berubah buruk, bukan dengan seorang yang sakit sepertiku yang hidupnya tinggal menghitung dengan kesepuluh jarinya.
Terakhir, terima kasih untuk tidak pernah meninggalkanku.
Buka dan simpanlah bungkusan yang aku titipkan di tempat kita. Itu menjadi titipan terakhirku untukmu, jika ternyata aku gagal.
Sampai jumpa ketika kita sudah berada di langit yang sama.
Selamat tinggal, Bumi.

Raya.
Perlukah aku ungkapkan juga, Raya? Kau pasti tahu rahasiaku yang diam-diam aku rasakan. Bodohnya aku, aku tidak pernah mengatakan padamu, bahkan hingga ketika kau sudah memutuskan untuk berhenti berjuang.


Sepulangku dari rumah sakit; sepulangku setelah mengantar Raya hingga tidur lelapnya, aku mengambil bungkusan tersebut di restoran Italia. Pelayan-pelayan itu memberikan senyum yang seperti memiliki arti kami-turut-berduka saat aku melangkah masuk ke dalam resto dengan langkah yang lesu dan juga sendirian. Akhirnya aku tahu, surat tersebut yang mengantarnya adalah perawat dari rumah sakit, maka dari itu mereka tahu apa yang terjadi. Aku mengangguk lemah pada mereka.
Raya menitipkan sebuah kanvas berisi lukisan. Lukisan yang berisi impianku.
Seorang gadis yang berambut panjang berwarna hitam legam, duduk dengan dua kaki yang menggantung di tembok, tengah mendongak dengan dua tangan yang dilebarkan dan bertumpu di belakang punggungnya tengah memandang langit yang dilukis berwarna hitam lalu diberikan sentuhan glitter berwarna emas yang tidak terlalu banyak, ditambah dengan dilukisnya bintang-bintang, disekeliling supermoon yang terang berwarna putih kekuningan dihadapan gadis itu. Lukisan yang dilukis di kanvas horizontal yang akhirnya lukisan itu aku gantung di dinding diatas kepala tempat tidurku.
Rasanya menyakitkan harus menumpuk rasa rindu hingga menggunung dan tidak pernah bisa tersampaikan secara langsung. Tapi, biarlah. Sejalannya waktu, rindu itu akan tersampaikan secara tidak langsung, sadar atau tidak sadar.


Seiring waktu, aku mulai belajar untuk melafalkan kata selamat tinggal pada Jagat Rayaku.

Fin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar