A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Rabu, 05 Juni 2013

Kereta

Pergi dengan kecepatan tinggi; sedang; normal.
Sanggup memuat banyak orang.
Lalu, berhenti di satu tempat, kemudian berangkat kembali untuk menuju tempat lain yang sudah menunggu. Tidak menetap di satu tempat. Bahkan, cinta itu sendiri bisa berpindah-pindah tempat. Perasaannya masih sama, hanya saja rasa dan orang yang menciptakannya yang suka berganti-ganti seperti musim.
Ia memiliki kapasitasnya sendiri. Hati juga memiliki kapasitas dan itu hanya muat untuk satu orang saja. Jika, memang dimuati oleh dua atau lebih, pada akhirnya ia harus memilih satu diantara sekian. Itu merupakan hal terberat. Lebih baik memutuskan pergi sendiri daripada diusir.
Wajahnya masih setia menghiasi halaman depan ponselku. Setiap kali aku membuka halaman depan ponselku, aku selalu tersenyum melihatnya juga tersenyum lebar, seperti sedang tersenyum padaku. Aku sering menyebutnya si senyum-selebar-bahu, karena senyumnya terlalu lebar hingga menampilkan deretan gigi-giginya yang rapih. Senyumnya selalu terasa hangat, meskipun dengan kantung mata yang tebal menghiasi kedua matanya.
Ada hal yang tercipta namun memang tidak bisa kita gapai untuk kita miliki. Itu berarti tidak tercipta untuk kita. Jadi, cobalah untuk tidak memaksakan keadaan. Karena, aku tengah beradaptasi dengan keadaan tersebut.

Aku duduk menunggu keretaku datang di peron yang tidak seramai saat jam berangkat sekolah dan kantor, atau juga saat pulang sekolah hingga jam pulang kantor. Orang banyak yang berlalu lalang. Tapi, tidak semua duduk atau berdiri menunggu dengan sabar. Ada yang berdiri dengan gelisah, mungkin ia tengah mengejar waktu. Ada yang duduk dengan malas-malasan di bangku peron, ada pula yang berjalan bergerombol sambil cekikikan. Di peron, aku mendapatkan suasana baru dan orang-orang dengan segala macam bentuk kepribadian yang terlihat.
Di jalan raya memang banyak orang yang aku temui dengan berbagai kepribadian, hanya saja, aku bosan dengan satu kepribadian mereka yang selalu sama antara marah dan kesal karena kemacetan yang sudah turun temurun.
Di jemariku tergantung satu gantungan. Tugu. Aku tidak terlalu kenal kota itu. Tapi, ia senang kesana. Ia senang melihat Tugu. Kemanapun aku pergi aku selalu membawa gantungan ini. Aku tidak menggantungnya di gantungan tas, mengapa? Jika ia ada di tanganku, aku selalu merasa dekat dengannya. Terasa terlalu ngilu dan klise memang, tapi saat kau yang berada diposisiku, mungkin kau akan mengerti bagaimana rasanya.
Saat aku tengah duduk dengan nyaman, seseorang menghampiriku dengan ramah, dan bertanya sambil menunjuk bangku yang kosong disebelahku, “Boleh duduk disini?” Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Laki-laki itu duduk di sebelahku dan tidak terlihat terburu-buru, ia hanya terlihat sepertiku. Duduk dengan tenang dan terlihat nyaman.
Bisa kudengar suara yang memberitahukan bahwa akan ada kereta yang masuk di jalur melalui pengeras suara. Itu bukan keretaku saat kereta yang dimaksud melewatiku dengan kecepatan sedang, dan perlahan-lahan berhenti. Belum sampai 5 menit, pintu-pintu kereta yang tadinya terbuka sudah mulai tertutup otomatis dan ia mulai bergerak pelan.
Aku mengulum senyum saat melihat segerombolan remaja yang masih mengenakan seragam berlari-larian di anak-anak tangga berusaha mengejar kereta yang saat itu tengah menutup pintunya, lalu menatap kereta itu dengan tatapan sebal campur capai.
Seperti kataku. Berada diperon, kita bisa melihat berbagai macam ekspresi yang berubah-ubah. Ada orang yang memang hanya duduk diperon, dalam artian ia memang hanya duduk disini, tidak berencana untuk menaiki kereta menuju sebuah tujuan. Karena bisa saja disinilah tujuan mereka yang sebenarnya, seperti pedagang asongan yang mondar-mandir di atas peron; petugas-petugas kebersihan yang dengan setia membersihkan dan merawat peron; dan sebagainya.
“Sudah lama duduk disini?”tanya laki-laki disampingku dengan ramah. Aku tidak menoleh hanya untuk menjawab.
“Ya.”jawabku singkat. Ia tidak bertanya lagi. Akupun bingung harus membuka pembicaraan dengan topik apa, karena sesungguhnya aku tengah malas untuk bertukar kata. Jadi, biarlah hanya hiruk pikuk suasana peron yang terdengar.
Aku sempat bingung, mengapa laki-laki disampingku ini belum juga beranjak dari duduknya padahal sejak ia duduk, sudah beberapa kereta yang yang lewat. Aku hanya bingung, dan aku tidak ada niatan untuk bertanya. ‘Toh itu urusannya bukan urusanku. Lagipula stasiun ini tidak memiliki peraturan bahwa semua orang yang datang dan membeli tiket harus naik kereta.
“Mengapa tidak naik kereta? Dari tadi sudah banyak kereta yang lalu lalang.” Ternyata laki-laki disampingku memiliki pertanyaan yang sama denganku. Hanya saja,ia memiliki tingkat keingintahuan yang besar dibandingkan aku, maka akhirnya ia memutuskan untuk bertanya sedangkan aku memutuskan untuk tidak memedulikannya.
“Aku menunggu yang lain.”jawabku seadanya dan tidak balas bertanya.
Kembali terdengar olehku suara di pengeras suara yang memberitahukan akan ada kereta yang masuk di jalur lagi. “Kalau sudah tahu, tidak akan ada yang datang dari usahamu menunggu, jangan menunggu lagi. Kehilangan itu memang menyakitkan, tapi jangan buat rasa sakit itu menggerogoti hatimu.”ucapnya tiba-tiba, terselip nada ramah dan bersahaja.
Aku menoleh pada laki-laki itu, tersembunyi rasa terkejut dalam mataku, lalu sebelum aku sempat menjawab, laki-laki itu sudah menyelaku, “Aku pergi lebih dulu.”ujarnya sambil tersenyum dan masuk ke kereta melalui pintu yang terbuka di hadapan kami. Sebelum pintu itu menutup, laki-laki itu memberikan satu senyum tipisnya, lalu kereta itu pun berlalu dengan perlahan dan kemudian kecepatannya bertambah.
Aku masih termenung.
Aku berada di dalam peron; membeli karcis; duduk layaknya orang yang menunggu keretanya datang, tapi sebenarnya aku tidak ada niat untuk pergi kemana-mana. Aku hanya menunggu. Ya, aku tahu aku menunggu sesuatu yang tidak mungkin untuk kembali. Aku disini menunggunya yang telah pergi, padahal telah meninggalkan kata akan kembali, tapi ternyata waktu membodohiku. Ia tidak pernah kembali.
Lalu, aku yang dibodohi oleh waktu ini, sering datang ke peron ini. Peron yang menjadi saksi bisu perpisahan kami; tempat yang mendengar kalimat terakhirnya bahwa ia akan kembali, tapi ternyata kenyataannya berbalik pahit. Datang dengan membawa harapan bahwa aku hanya bermimpi saat itu. Bahwa sebenarnya ia akan kembali sambil tersenyum padaku saat turun dari kereta dengan pintu yang terbuka di depan bangku yang saat itu aku dan ia duduki yang juga saat ini tengah aku tempati, lalu ia akan merangkul bahuku dengan hangat dan mengajakku untuk pulang. Setiap kali datang, aku akan duduk disini dengan harapan tersebut.
Laki-laki itu mungkin sama denganku, namun ia tidak mudah dibodohi oleh waktu.
Aku masih duduk di bangku ini dengan segala pikiran yang seperti benang wol yang kusut. Perasaanku masih tidak mau percaya hingga saat ini, bahwa ia telah pergi bersama dengan kereta yang juga tidak pernah kembali. Pikiranku tengah berusaha keras untuk menggerakkan tubuhku untuk bergerak pulang dan tidak pernah kembali kesini. Tapi, saat ini perasaan dan pikiranku sedang tidak sinkron.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu memutuskan untuk pulang. Pikiranku bernafas lega karena ia tidak perlu berjuang keras; perasaanku merasa tersakiti.
Aku pun menuruni tangga peron tersebut dan bergerak meninggalkan stasiun seraya meninggalkan tiket kecil yang aku beli beberapa jam yang lalu di tempat sampah. Sekaligus meninggalkan harapan kosong tersebut disini. Saat aku kembali nanti, mungkin sudah dengan harapan yang baru.
Aku harus mulai belajar menerima kenyataan bahwa ia tidak akan pernah kembali hingga kapan pun meski aku bersikeras menunggunya disini.

Fin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar