Pergi dengan kecepatan tinggi; sedang; normal.
Sanggup memuat banyak orang.
Lalu, berhenti di satu tempat, kemudian berangkat
kembali untuk menuju tempat lain yang sudah menunggu. Tidak menetap di satu
tempat. Bahkan, cinta itu sendiri bisa berpindah-pindah tempat. Perasaannya
masih sama, hanya saja rasa dan orang yang menciptakannya yang suka
berganti-ganti seperti musim.
Ia memiliki kapasitasnya sendiri. Hati juga memiliki
kapasitas dan itu hanya muat untuk satu orang saja. Jika, memang dimuati oleh
dua atau lebih, pada akhirnya ia harus memilih satu diantara sekian. Itu
merupakan hal terberat. Lebih baik memutuskan pergi sendiri daripada diusir.
Wajahnya masih setia menghiasi halaman depan
ponselku. Setiap kali aku membuka halaman depan ponselku, aku selalu tersenyum melihatnya
juga tersenyum lebar, seperti sedang tersenyum padaku. Aku sering menyebutnya
si senyum-selebar-bahu, karena senyumnya terlalu lebar hingga menampilkan
deretan gigi-giginya yang rapih. Senyumnya selalu terasa hangat, meskipun dengan
kantung mata yang tebal menghiasi kedua matanya.
Ada hal yang tercipta namun memang tidak bisa kita
gapai untuk kita miliki. Itu berarti tidak tercipta untuk kita. Jadi, cobalah
untuk tidak memaksakan keadaan. Karena, aku tengah beradaptasi dengan keadaan
tersebut.
Aku duduk menunggu keretaku datang di peron yang
tidak seramai saat jam berangkat sekolah dan kantor, atau juga saat pulang
sekolah hingga jam pulang kantor. Orang banyak yang berlalu lalang. Tapi, tidak
semua duduk atau berdiri menunggu dengan sabar. Ada yang berdiri dengan
gelisah, mungkin ia tengah mengejar waktu. Ada yang duduk dengan malas-malasan
di bangku peron, ada pula yang berjalan bergerombol sambil cekikikan. Di peron,
aku mendapatkan suasana baru dan orang-orang dengan segala macam bentuk
kepribadian yang terlihat.
Di jalan raya memang banyak orang yang aku temui
dengan berbagai kepribadian, hanya saja, aku bosan dengan satu kepribadian
mereka yang selalu sama antara marah dan kesal karena kemacetan yang sudah
turun temurun.
Di jemariku tergantung satu gantungan. Tugu. Aku
tidak terlalu kenal kota itu. Tapi, ia senang kesana. Ia senang melihat Tugu.
Kemanapun aku pergi aku selalu membawa gantungan ini. Aku tidak menggantungnya
di gantungan tas, mengapa? Jika ia ada di tanganku, aku selalu merasa dekat
dengannya. Terasa terlalu ngilu dan klise memang, tapi saat kau yang berada
diposisiku, mungkin kau akan mengerti bagaimana rasanya.
Saat aku tengah duduk dengan nyaman, seseorang
menghampiriku dengan ramah, dan bertanya sambil menunjuk bangku yang kosong
disebelahku, “Boleh duduk disini?” Aku hanya tersenyum seraya mengangguk.
Laki-laki itu duduk di sebelahku dan tidak terlihat terburu-buru, ia hanya
terlihat sepertiku. Duduk dengan tenang dan terlihat nyaman.
Bisa kudengar suara yang memberitahukan bahwa akan
ada kereta yang masuk di jalur melalui pengeras suara. Itu bukan keretaku saat
kereta yang dimaksud melewatiku dengan kecepatan sedang, dan perlahan-lahan
berhenti. Belum sampai 5 menit, pintu-pintu kereta yang tadinya terbuka sudah mulai
tertutup otomatis dan ia mulai bergerak pelan.
Aku mengulum senyum saat melihat segerombolan remaja
yang masih mengenakan seragam berlari-larian di anak-anak tangga berusaha
mengejar kereta yang saat itu tengah menutup pintunya, lalu menatap kereta itu
dengan tatapan sebal campur capai.
Seperti kataku. Berada diperon, kita bisa melihat
berbagai macam ekspresi yang berubah-ubah. Ada orang yang memang hanya duduk
diperon, dalam artian ia memang hanya duduk disini, tidak berencana untuk
menaiki kereta menuju sebuah tujuan. Karena bisa saja disinilah tujuan mereka
yang sebenarnya, seperti pedagang asongan yang mondar-mandir di atas peron;
petugas-petugas kebersihan yang dengan setia membersihkan dan merawat peron;
dan sebagainya.
“Sudah lama duduk disini?”tanya laki-laki
disampingku dengan ramah. Aku tidak menoleh hanya untuk menjawab.
“Ya.”jawabku singkat. Ia tidak bertanya lagi. Akupun
bingung harus membuka pembicaraan dengan topik apa, karena sesungguhnya aku
tengah malas untuk bertukar kata. Jadi, biarlah hanya hiruk pikuk suasana peron
yang terdengar.
Aku sempat bingung, mengapa laki-laki disampingku
ini belum juga beranjak dari duduknya padahal sejak ia duduk, sudah beberapa
kereta yang yang lewat. Aku hanya bingung, dan aku tidak ada niatan untuk
bertanya. ‘Toh itu urusannya bukan urusanku. Lagipula stasiun ini tidak
memiliki peraturan bahwa semua orang yang datang dan membeli tiket harus naik
kereta.
“Mengapa tidak naik kereta? Dari tadi sudah banyak
kereta yang lalu lalang.” Ternyata laki-laki disampingku memiliki pertanyaan
yang sama denganku. Hanya saja,ia memiliki tingkat keingintahuan yang besar
dibandingkan aku, maka akhirnya ia memutuskan untuk bertanya sedangkan aku
memutuskan untuk tidak memedulikannya.
“Aku menunggu yang lain.”jawabku seadanya dan tidak
balas bertanya.
Kembali terdengar olehku suara di pengeras suara
yang memberitahukan akan ada kereta yang masuk di jalur lagi. “Kalau sudah
tahu, tidak akan ada yang datang dari usahamu menunggu, jangan menunggu lagi.
Kehilangan itu memang menyakitkan, tapi jangan buat rasa sakit itu menggerogoti
hatimu.”ucapnya tiba-tiba, terselip nada ramah dan bersahaja.
Aku menoleh pada laki-laki itu, tersembunyi rasa
terkejut dalam mataku, lalu sebelum aku sempat menjawab, laki-laki itu sudah
menyelaku, “Aku pergi lebih dulu.”ujarnya sambil tersenyum dan masuk ke kereta
melalui pintu yang terbuka di hadapan kami. Sebelum pintu itu menutup,
laki-laki itu memberikan satu senyum tipisnya, lalu kereta itu pun berlalu
dengan perlahan dan kemudian kecepatannya bertambah.
Aku masih termenung.
Aku berada di dalam peron; membeli karcis; duduk
layaknya orang yang menunggu keretanya datang, tapi sebenarnya aku tidak ada
niat untuk pergi kemana-mana. Aku hanya menunggu. Ya, aku tahu aku menunggu
sesuatu yang tidak mungkin untuk kembali. Aku disini menunggunya yang telah
pergi, padahal telah meninggalkan kata akan kembali, tapi ternyata waktu
membodohiku. Ia tidak pernah kembali.
Lalu, aku yang dibodohi oleh waktu ini, sering
datang ke peron ini. Peron yang menjadi saksi bisu perpisahan kami; tempat yang
mendengar kalimat terakhirnya bahwa ia akan kembali, tapi ternyata kenyataannya
berbalik pahit. Datang dengan membawa harapan bahwa aku hanya bermimpi saat
itu. Bahwa sebenarnya ia akan kembali sambil tersenyum padaku saat turun dari
kereta dengan pintu yang terbuka di depan bangku yang saat itu aku dan ia
duduki yang juga saat ini tengah aku tempati, lalu ia akan merangkul bahuku
dengan hangat dan mengajakku untuk pulang. Setiap kali datang, aku akan duduk
disini dengan harapan tersebut.
Laki-laki itu mungkin sama denganku, namun ia tidak
mudah dibodohi oleh waktu.
Aku masih duduk di bangku ini dengan segala pikiran
yang seperti benang wol yang kusut. Perasaanku masih tidak mau percaya hingga
saat ini, bahwa ia telah pergi bersama dengan kereta yang juga tidak pernah
kembali. Pikiranku tengah berusaha keras untuk menggerakkan tubuhku untuk
bergerak pulang dan tidak pernah kembali kesini. Tapi, saat ini perasaan dan
pikiranku sedang tidak sinkron.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu memutuskan untuk
pulang. Pikiranku bernafas lega karena ia tidak perlu berjuang keras;
perasaanku merasa tersakiti.
Aku pun menuruni tangga peron tersebut dan bergerak
meninggalkan stasiun seraya meninggalkan tiket kecil yang aku beli beberapa jam
yang lalu di tempat sampah. Sekaligus meninggalkan harapan kosong tersebut
disini. Saat aku kembali nanti, mungkin sudah dengan harapan yang baru.
Aku harus mulai belajar menerima kenyataan bahwa ia
tidak akan pernah kembali hingga kapan pun meski aku bersikeras menunggunya
disini.
Fin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar