Titik-titik
air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan, terkadang dalam
jumlah banyak, kadang pula dalam jumlah yang sedikit. Namanya, hujan. Banyak
orang yang membenci hujan; tapi banyak pula yang mencintai hujan. Orang-orang
terkadang sudah mulai malas jika turun hujan apalagi ia datang bukan untuk
waktu yang sebentar dan tidak dalam jumlah yang sedikit. Mungkin, orang-orang
akan baik-baik saja dengan suasana hatinya jika datang untuk waktu yang cukup
lama, namun dalam jumlah yang sedikit. Tapi, jika sudah datang untuk waktu yang
cukup lama tapi datang dalam jumlah yang besar? Aku yakin, mereka yang tidak
menyukai hujan, akan semakin membencinya.
Hampir
sama persis dengan hujan, cintapun terkadang datang bukan untuk waktu yang
lama, namun sekalinya ia berdiam, ketika ia pergi ia meninggalkan bekas yang
membekas. Sakit hati, tergantung bagaimana jalan ceritannya. Namun, disaat ia
datang hanya untuk waktu yang sebentar, ia sanggup membuat orang menjadi buta
dan berani membayar dengan apapun asal ia tidak lekas pergi. Tapi, tidak ada
yang abadi di dunia ini. Percaya padaku. Bahkan, vampir pun yang dipercaya,
bisa hidup abadi, saat terkena sinar matahari saja ia bisa hancur. Keabadian
itu tidak bisa diperjualbelikan, karena sifatnya semu, tidak bersenyawa. Hanya
sebuah kalimat yang mengandung arti.
Kenapa
jadi membicarakan perihal ini? Otakku memang mudah untuk melompat-lompat dari
satu topik ke topik yang lain, jadi terkadang orang yang berbicara denganku,
jika tidak terbiasa, mereka akan kebingungan mengikuti alurku. Aku termasuk
dalam bagian yang menyukai hujan. Ia selalu memiliki ciri yang khas melalui
bau. Apalagi jika ia turun di kota yang kering kerontang, lalu membasahi
jalanan. Mungkin, orang akan mengernyit jijik jika mencium bau abu di jalan
yang terangkat ke udara dan bercampur dengan hujan, tapi aku menyukainya,
itulah ciri khas dari sebuah hujan yang selalu aku tangkap melalui indera
penciumanku.
Terkadang,
orang-orang terlalu suka menikmati hidupnya yang penuh dengan kesibukan dalam kebisingan,
hingga lupa bagaimana caranya menikmati hidupnya sendiri yang sesungguhnya. Mereka
mungkin menarik nafas pun bisa dihitung dengan sepuluh jari. Mereka seperti
sedang memikul beban ibu kota di pundak mereka yang ringkih dan mudah terkulai
lemas itu.
Aku
masih berdiri menatap ke kejauhan, menembus kaca transparan dengan gelas kopi take away dari salah satu kedai di
dekat sini di tangan kananku yang hampir dingin, sedangkan tangan kiriku berada
di dalam saku jas dokterku. Sejak aku bangun pagi, tidak ada semenit pun cuaca
diluar terlihat terang. Dari semalam memang hujan terus menerus mengguyur kota
dan baru berhenti menjelang subuh. Sehingga dampaknya hingga jam segini, cuaca
diluar masih mendung.
Seorang
perawat mengetuk pintu ruang kerjaku, lalu melongokkan kepalanya ke dalam
dengan sopan. Hanya kepalaku yang menoleh ke belakang, melewati bahuku. “Ia
sudah bangun, Dok.”ujarnya dengan sopan. Aku mengangguk sekilas, lalu kembali
menatap kejauhan, “Jangan lupa berikan ia sarapan dulu.”kataku tanpa menatap
perawat tersebut.
“Baik,
Dok.” Perawat itu segera keluar dari ruanganku setelahnya. Aku menyibakkan
pergelangan jas dokterku untuk melihat jam. Oh pantas saja ia sudah bangun,
ternyata sudah jam 8 pagi, gumamku dalam hati. Orang yang sakit lalu sembuh dan
keluar dari tempat ini, banyak. Yang jalan ceritanya berhenti di tempat ini,
banyak. Orang yang bertahan hidup di tempat ini pun banyak. Tempat ini menjadi
saksi bisu, dan aku beserta yang lain yang hidup disini menjadi saksi hidup.
Apalagi aku dan dokter yang lain yang memiliki riwayat hidup mereka selama
disini, yang memantau jalan hidup mereka disini, hingga akhirnya mereka keluar
dari tempat ini atau mungkin tidak pernah keluar dari tempat ini.
Banyak
orang yang datang dan pergi, banyak orang yang hanya singgah sebentar lalu
pergi, banyak orang yang datang bukan untuk menetap. Seperti itu isi hidup
kita. Hanya kita yang menetap, karena itu jalan cerita kita. Orang lain
hanyalah pemeran pembantu, pemeran figuran, dan atau pemeran yang jahat dalam
jalan cerita kita.
Aku
menenggak habis isi gelas kopiku dan membuangnya di tempat sampah dekat meja
kerjaku. Sebelum aku sempat pergi dari jendela, aku sempat menangkap
rintik-rintik cantik diluar sana. Sepertinya, akan turun hujan sepanjang hari,
melihat cuaca diluar tidak ada tanda-tanda akan berubah menjadi cerah. Perawat
yang tadi datang, kembali masuk ke ruang kerjaku setelah mengetuk pintu. “Ia
sedang sarapan di kamarnya.”lapornya. Aku mengangguk sekilas lalu berjalan
melewati perawat tersebut untuk keluar dari ruanganku menuju kamar rawatnya.
Aku
menggeser pintu kamar rawatnya yang berada di kelas VVIP. Ia sama sekali tidak
menoleh padaku. Ia tengah duduk dengan nyaman di bangkunya sambil menatap
keluar jendela yang di dekat kusennya ada sebuah tanaman yang dibawanya saat
masuk, dengan nampan berisi sarapan pagi diatas pangkuannya.
Kutarik
sebuah kursi yang lain, lalu duduk disampingnya. “Selamat pagi,
Sunshine.”sapaku padanya yang menatap keluar jendela dengan tatapan yang kosong.
Aku sudah terbiasa tidak mendapatkan jawaban darinya, meski terkadang ia
menjawab dengan sebuah anggukan. Dan hari ini aku mendapatkan sebuah anggukan
kecil darinya. Aku tersenyum di sampingnya. “Jangan didiamkan sarapanmu. Cepat
dihabiskan sebelum hujan turun lebih deras.”ujarku sambil mengusap kepalanya
ketika tangan kanannya yang memegang sendok mengangkat dan mampir di bibirnya.
Ia
mengunyah dengan lincah namun dengan perlahan-lahan, seakan-akan jika ia
mengunyah terlalu cepat, rahang bawahnya akan lepas dengan mudah. “Tidurmu
nyenyak semalam?”tanyaku. Ia mengangguk lagi ditengah-tengah kunyahannya. Aku
pun ikut mengangguk. Mungkin, orang tidak akan terbiasa atau mungkin tidak akan
suka jika ia bertanya tapi hanya dijawab dengan sebuah anggukan, tapi aku
tidak. Awalnya memang terasa aneh dan canggung, tapi lama kelamaan aku tidak
merasakannya lagi.
Aku
menyandarkan punggungku ke sandaran bangku, lalu ikut terhanyut dalam diam
memandang keluar jendela. Ia akan memandang rintik-rintik cantik yang berjatuhan
diatas genting, sedangkan aku jika duduk di dalam sini, yang aku pandangi
adalah kota. Ya, kamar rawat ini menyuguhkan pemandangan kota. Akan lebih indah
lagi disaat malam hari. Disaat lampu-lampu kota dan di setiap rumah menyala
terang benderang. “Sepanjang malam, hujan turun terus. Untung saja kau tidak
terbangun, jika kau terbangun, aku pastikan kau tidak akan mau tidur
lagi.”ujarku diikuti dengan senyuman kecil, ia pun ikut tersenyum tipis dari
bibirnya yang terlihat pucat, tanpa menoleh ke arahku.
Umurnya
hanya 2 tahun di bawahku. Dia seorang perempuan. Cantik, tentu. Aku selalu suka
disaat ia tersenyum. Dikala ia tersenyum, dua lesung pipit akan muncul di kedua
pipinya yang tembam. Terlihat menggemaskan. Hari pertama dan beberapa hari
selanjutnya ia berada di tempat ini, ia tidak pernah mengeluarkan sepatah
katapun. Bahkan lebih parahnya lagi, wajahnya seperti tidak memiliki nyawa saat
pertama kali datang. Wajahnya terlihat pias dan tanpa emosi. Satu-satunya tanda
ia masih bernyawa adalah rona merah di kedua pipinya. Jika tidak ada, sudah aku
pastikan hari itu ia bukan masuk ke kamar rawat ini, tapi kembali turun menuju
kamar lainnya. Kau pasti tahu maksudku. Aku enggan menyebut nama kamar
tersebut, entah mengapa. Meski aku lelaki, tapi perihal kamar tersebut, aku
paling anti.
“Sebentar
lagi musim gugur. Udara akan mulai dingin.” Beritahuku padanya yang hanya
mengangguk. Butuh perjuangan dan waktu yang cukup lama bagiku untuk membuatnya
seperti seorang yang benar-benar hidup. Dan dalam rentang waktu itulah aku
belajar untuk mulai terbiasa dengan sikapnya yang seperti anti-sosial. Aku tahu
namanya, tapi aku tidak memanggil namanya seperti seharusnya. Aku menyebutnya,
Sunshine. Terdengar lucu memang, tapi aku merasa kalau ia memang seperti sunshine. Hanya saja, kali ini sunshine tersebut tertutup oleh awan
yang pekat dan gelap.
Telingaku
bisa mendengar suara pintu kamar rawat yang digeser terbuka. “Apakah sudah
selesai sarapannya?”tanya seorang perawat dengan ramah. Ia tidak menyawab
ataupun mengangguk. Selalu. Hanya padaku ia memberikan anggukan. Akhirnya, aku
yang mengangguk pada perawat tersebut. “Biar aku yang ambilkan.”cegahku saat
perawat tersebut hendak mengambil nampan berisi sarapannya dengan hati-hati.
“Sarapanmu mau dibersihkan.”jelasku padanya. Lalu, pelan-pelan ia mengangkat
kedua tangannya lalu saling mengaitkan kedua tangannya, membiarkanku mengambil
nampan berisi sarapannya yang aku berikan pada perawat tersebut.
Perawat
keluar dari kamar ini sambil menggeser pintu kamar rawat tersebut dengan
pelan-pelan. Aku tahu, banyak perawat yang bingung dengannya. Aku diam, bukan
berarti aku tidak mendengar kalimat-kalimat mereka. Meski terkadang mereka
langsung terdiam setiap kali aku lewat. Aku bisa mendengar nada keheranan dan
bingung dalam suara mereka. Mereka hanya tidak mau mencoba untuk mengerti
tentang situasi yang mereka hadapi.
Kadang
orang akan memilih untuk lari dari situasi yang seharusnya mereka hadapi. Lari,
lalu sembunyi. Sama bukan? Tapi, dengan lari pun tidak akan menyelesaikan masalah.
Jika hanya diomongkan pun, mereka tidak akan mengerti pada situasinya. Sepintar
apapun orang dalam perihal lari dan sembunyi, tapi mereka akan selalu bisa
ditemukan kembali. Atau mungkin, akhirnya mereka yang keluar dari tempat
persembunyian untuk pulang karena lelah, dan atau berhenti berlari lalu mulai
dengan berjalan pelan-pelan.
Bisa
aku rasakan, pelan-pelan ia menggerakan tubuhnya untuk menyandarkan punggungnya
ke sandaran sofa. Kepalanya masih menatap lurus ke depan meski rintik-rintik
sudah mulai mereda. Kamarnya dipenuhi wangi vanilla yang menguar dari pengharum
ruangan. Orang tuanya jarang sekali datang kesini, barang sebentar pun tidak.
Saat datang pun, mereka akan datang dengan terburu-buru, begitupun dengan
pulang. Seakan-akan mereka datang kesini karena kewajiban, karena keharusan.
Bukan karena memang tulus.
Lalu,
saat suatu hari mereka seperti itu, aku yang tidak bisa menahan mulutku lagi,
berkata, “Datanglah kembali saat kalian tidak terburu-buru.” Saat mereka berada
diluar. Maksudku bukan untuk melarang, aku hanya ingin mereka datang kesini
untuk menjaga putri mereka bukan karena sebuah keharusan. Meski datang hanya
untuk menjenguk setidaknya jangan seperti seorang yang dikejar oleh waktu.
Hanya datang menoleh sebentar lalu keluar lagi, seakan-akan sedang berada di
sebuah pameran lukisan. Dan ia bukan lukisan yang sedap dipandang. Bukan aku
yang mengatakan begitu, tapi mereka sendiri yang mengatakannya dari gelagatnya.
Aku
bahkan baru sadar, aku tidak pernah melihatnya menguap. Garis bawahi bagian
kalimatku yang tidak pernah. Ia hidup seperti robot. Dan dirinya seperti
benar-benar sudah terprogram dari sananya. “Kau tidak pegal hanya duduk
terus?”tanyaku. Ia menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala yang pelan. Aku
diam. Tiba-tiba terbersit olehku satu ide. “Tunggu disini ya. Aku akan kembali
secepat yang aku bisa.”ujarku. Bodohnya aku, seharusnya aku sudah tahu ia tidak
akan kemana-mana. Dan ia memang akan tetap disini. Ah, biarlah. Aku pun
langsung keluar dari kamar rawatnya dengan tergesa-gesa.
Bukannya
aku tidak memiliki tugas lain, tapi aku memang meminta pada kepala rumah sakit,
biarlah aku yang merawatnya selama ia disini. Aku hanya ingin fokus padanya.
Jika memang sudah selesai, maka aku akan kembali ke rutinitasku seperti sedia
kala. Dan aku memang benar-benar menjalani tugasku, fokus merawatnya.
Aku
tahu ia bisa berjalan. Tapi, aku hanya tidak mau ia tiba-tiba jatuh karena
kakinya tiba-tiba lemas saat di jalan keluar dari gedung rumah sakit. Awalnya
saat aku membantunya berdiri untuk pindah duduknya ke kursi roda, aku bisa
melihat raut bingung di wajahnya. Aku hanya tersenyum sekilas padanya dan mulai
mendorong kursi rodanya. Ya, saat aku keluar dari kamar rawatnya tadi, aku
pergi mencari kursi roda untuk kupinjam sebentar. Sebentar yang dalam hitungan
jam, maksudku.
Beberapa
perawat yang berpapasan denganku menyapaku, namun aku tahu mereka bingung.
Karena, ini pertama kalinya aku membawa pasienku keluar dari kamar rawatnya.
Selama ini, aku tidak pernah fokus pada satu orang dalam merawat. Baru kali ini
saja. Dan mungkin akan menjadi yang terakhir aku fokus pada satu orang saja.
Aku mendorong kursi rodanya memasuki lift khusus dan menekan tombol G, menuju
lobi utama. Ia tetap diam dalam keheranannya.
Diluar,
hujan masih setia dengan rintik-rintik cantik, menimbulkan riak-riak air dalam
genangan karena ditimpa. Aku membantunya pindah tempat duduk dari kursi roda ke
kursi taman. Ya, aku membawanya ke taman belakang rumah sakit. Angin sejuk
mulai berhembus pelan pelan-pelan, meniup tiap helai rambutnya yang panjang dan
lurus, namun yang mulai menipis seiring waktu. Aku duduk disampingnya dan
memandang kejauhan, seperti yang ia lakukan.
“Kalau
kau memang sudah tidak sanggup untuk bertahan, jangan memaksa. Terkadang, ada
hal yang memang tidak bisa untuk dipaksakan untuk bertahan apalagi untuk
terjadi.”ucapku disela-sela keheningan. Ia masih memandang kejauhan. Aku memang
tidak mengharapkan untuk mendapatkan tanggapan darinya.
Kami
kembali terjebak dalam keheningan yang panjang. Perlahan, hujan yang tadinya
hanya rintik-rintik saja mulai berubah menjadi deras seiring waktu. Ada kalanya
orang akan lelah untuk terus mencoba untuk bertahan, namun mereka terus
memaksakan keadaan. Seperti, kau memaksa untuk memundurkan waktu. Hanya di
dalam jam, tapi keadaan tidak pernah mundur, ia selalu berjalan maju. Ia tidak
mengenal kata mundur. Ketika, akan kembali maju, yang ada hanya keterlambatan
saja.
Diam-diam
ia tersenyum, entah untukku, entah untuk hujan, entah untuk apa yang tengah ia
perhatikan. Ia satu-satunya orang yang sulit terbaca olehku. Kalian jangan berpikir
ia memiliki kelainan kejiwaan. Tidak seperti itu. Akan ada saatnya kalian akan
mengerti mengapa seperti ini.
“Sudah
mau kembali ke kamar?”tanyaku, tapi gelagatku tidak menunjukkan akan membawanya
kembali ke kamar rawatnya. Ia menggeleng, kali ini tersirat rasa antusias di
dalam gelengannya. Aku tersenyum lalu menjawab, “Baiklah. Sebentar lagi saja.
Aku hanya tidak mau dicari oleh para perawat karena kursi rodanya aku pinjam
terlalu lama.”candaku. Ia mengulum senyumnya. Aku tahu ia menyukai hujan.
Aku
ingat pertama kali hari yang hujan cukup deras, setelah beberapa hari ia berada
di kamar rawatnya. Yang sebelumnya aku periksa ia berada di atas tempat tidur
dengan tenang dan nyaman, setelahnya aku melihat ia tengah berdiri mematung di
dekat jendela yang ada tanaman yang ia bawa, dengan dua tangan yang saling
mengait lalu bertumpu di nakas yang tingginya sepinggangnya. Sejak saat itu aku
tahu ia menyukai hujan, dan sejak hari itu pula, di kamarnya tersedia sofa. Aku
memang sengaja meminta untuk diletakkan sofa, supaya ia bisa duduk memandang
hujan dengan nyaman, tanpa perlu merasa pegal-pegal dipunggungnya.
Ketika
hujan, ia akan membuka sedikit jendela tersebut. Menurutku, mungkin agar ia
bisa mendengar suara hujan yang berjatuhan diatas genting dan atau juga supaya
tercium bau khas dari hujan tersebut. Karena, setiap kali hujan, ia akan
mematikan pendingin ruangan, sehingga udara sejuk di kamar rawatnya berganti
dengan udara sejuk dari hujan yang masuk melalui jendela yang ia buka. Aku
ingat wajah tidak terimanya saat seorang perawat menceramahinya bahwa tidak
bagus membuka jendela saat hujan apalagi saat sakit, karena nantinya bisa
memperparah sakitnya sambil menutup kembali jendela yang terbuka. Akhirnya aku
yang membuka suara dan mengatakan pada perawat tersebut bahwa itu tidak
apa-apa, perawat itu keluar dengan kepala tertunduk karena tertangkap basah
olehku tengah menceramahi pasien. Aku tidak marah. Apa yang ia lakukan sudah
benar, hanya saja untuk perempuan ini berbeda.
Saat
kami merasa nyaman dengan keheningan dan hanya suara hujan yang gemerisik yang
terdengar, seorang perawat menghampiriku. “Orangtuanya datang.”ujar perawat
tersebut, setengah berbisik. Mataku menoleh ke arahnya, berharap ia tidak
mendengarnya. Meskipun ia tidak mendengarnya, toh sebentar lagi ia akan bertemu
pula. “Terima kasih . Sebentar lagi kami akan kembali ke kamar rawat.”jawabku
pada perawat tersebut yang langsung mohon diri.
Aku
menghela nafas, memilih kata yang pas. Baru saja aku membuka mulutku, ia sudah
bangkit berdiri dan pindah ke kursi rodanya. Aku menghembuskan nafas dan
berjalan ke belakangnya, mulai mendorong kursi rodanya untuk kembali ke kamar
rawatnya. Dan yap, ia memang mendengarnya, tapi ia tidak menunjukkan reaksi
apapun. Biasanya, raut wajahnya akan mulai menegang saat mendengar kedua
orangtuanya datang untuk menjenguk. Mungkin, sudah saatnya.
Ketika
kursi rodanya masuk ke dalam kamar rawatnya, kedua orangtuanya bangkit berdiri
dari duduk dan menghampirinya, membantunya berdiri dari kursi roda untuk pindah
ke tempat tidurnya. “Aku mau mengembalikan kursi roda dulu.”kataku pada mereka,
sengaja untuk memberikan waktu bagi mereka. Mungkin, kali ini mereka datang
bukan untuk pulang dengan tergesa-gesa.
Aku
memutuskan untuk kembali ke ruanganku setelah mengembalikan kursi roda pada
perawat. Hujan masih deras diluar sana. Aku mulai menyeduh kopiku sendiri.
Biasanya kalau aku tidak sempat membeli kopi di kedai di dekat sini, aku akan
menyeduh kopiku sendiri. Tapi, sebenarnya aku lebih menyukai kopi di kedai
dekat sini.
Kembali
aku berdiri di jendela ruang kerjaku, menatap hujan dengan secangkir kopi
hangat di tanganku. Sempat terbersit olehku rasa penasaran pada cerita
hidupnya. Ia baru pertama kalinya datang ke rumah sakit ini. Selama ini, ia
selalu berpindah-pindah dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain di berbagai
negara. Dan orang tuanya selalu mengaku tidak puas terhadap rumah sakit-rumah
sakit tersebut. Sudah hampir 6 bulan, ia berada disini dan aku tidak
mendapatkan keluhan apapun dari mereka. Jujur, aku bernafas lega.
Entah
sudah berapa lama aku berdiri mematung di jendela, pintu ruangku diketuk dengan
terburu-buru dari luar. “Dok –“ Perawat itu tidak perlu melanjutkan
kata-katanya, raut wajahnya sudah
melanjutkan kata-katanya. Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung meletakkan
cangkir kopiku di atas meja kerja dan berjalan dengan cepat menuju kamar
rawatnya yang masih berada satu lantai dengan ruanganku.
Ketika
masuk ke dalam kamar rawatnya, aku mendapati darah yang yang masih basah.
Ibunya berteriak histeris dengan ia yang tidak sadarkan diri. Aku tidak tahu
apa yang sebenarnya terjadi disini, terakhir kali aku meninggalkannya masih
dalam keadaan yang terlihat baik-baik saja. “Siapkan ruang operasi!”perintahku
pada beberapa perawat yang mengikutiku. Beberapa yang lain langsung menuju
ruang operasi. Sungguh, saat aku terbangun tadi pagi aku tidak berharap harus
bertemu dengan hari ini secepat ini.
Seharusnya
operasi transplantasi sumsum tulang belakang aku lakukan dari jauh-jauh hari
karena sudah mendapatkan tanda tangan diatas surat yang meminta persetujuan
orang tuanya untuk melakukan transplantasi secepat mungkin. Tapi, aku belum
mendapatkan persetujuan darinya, saat itu. Saat ini, aku benar-benar
mengharapkan ia bisa membuka matanya kembali setelah operasi.
Banyak
hal yang tidak terduga terjadi dalam hidup ini. Banyak keajaiban yang tidak
terduga pula. Namun, yang namanya hal yang tidak terduga memang selalu datang
secara tiba-tiba. Mereka tidak mengenal kata, “Halo.” Dan “Selamat tinggal.”
Mereka datang dan pergi sesuka mereka, seperti merekalah tuan tanahnya.
Banyak
yang berhenti diatas meja operasi, banyak yang bisa turun kembali dari meja
operasi dengan sehat juga. Dan keduanya memiliki perbandingan yang seimbang.
Yang aku harapkan, ia termasuk dalam yang bisa turun dari meja operasi dengan
sehat.
Setelah
hampir 6 bulan ia berada disini, baru kali ini aku melihatnya benar-benar
jatuh. Aku memang sudah menyimpan beberapa sumsum tulang belakang untuknya,
hanya untuk berjaga-jaga jika keadaan seperti ini terjadi tiba-tiba di hari
yang sebelum-sebelumnya. Diam-diam aku bersyukur bahwa aku dan yang lain tidak
perlu kelimpungan mencari sumsum tulang belakang untuk operasi hari ini.
Yang
berdiri disekelilingnya bukan hanya aku seorang yang bergelar dokter, ada
beberapa dokter spesialis lainnya yang berdiri untuk membantuku
menyelamatkannya. Mereka sepenuhnya mendukung niatku untuk fokus merawatnya.
Waktu
tidak pernah berhenti menghitung, ia akan selalu menghitung. Entah menghitung
mundur, entah menghitung dengan cepat seperti stopwatch. Ketika ia mulai menghitung mundur, maka hitungannya berubah
menjadi bom waktu yang bisa meledak suatu waktu yang tidak terduga.
Lampu
tanda operasi tengah berlangsung sudah padam. Aku keluar dari ruang operasi
paling pertama. Ibunya yang tengah duduk dengan bahu terkulai juga Ayahnya yang
mondar-mandir, menghampiriku. “Sejauh ini, respon tubuhnya positif. Tapi,”
Kalimatku menggantung diudara. Bukannya aku tidak mau mengatakannya, aku hanya
menjaga emosi mereka. “Kritis.”sambungku dengan pelan. Terlihat olehku harapan
sekecil apapun yang hidup dalam mata Ibunya tiba-tiba sirna. “Maaf, aku dan
yang lainnya sudah berusaha semampu kami.”kataku dan mohon diri dari mereka.
Aku
tidak bisa berada terlalu lama disini. Ya, seharusnya aku sudah terbiasa dengan
keadaan seperti ini. Tapi, kali ini berbeda. Karena aku yang merawatnya selama
hampir 6 bulan ini.
Kembali
kafein masuk dalam tubuhku. Memang hanya kafein yang sanggup membuatku relaks.
“Hari yang berat bukan?” Terdengar suara lembut milik seorang dokter perempuan
tadi membantuku. Aku hanya mengangguk sekilas, malas untuk membahasnya.
“Berharaplah
yang terbaik.”ujarnya sambil menyesap kopinya.
Aku
tersenyum tipis. “Aku tidak berani untuk berharap. Firasatku sudah berbicara.”
“Keadaan
mudah berubah-ubah seperti cuaca. Aku tidak mengatakan untuk berharap pada
keadaan yang terbaik. Yang aku katakan, berharaplah yang terbaik
untuknya.”jawabnya. Otakku mengolah setiap kalimatnya. Ya, seharusnya aku tidak
berharap pada keadaan yang terbaik. “Jangan menyalahkan dirimu sendiri jika
memang gagal. Semua orang pernah gagal.”sambungnya.
“Tapi
ini menyangkut hidup orang lain.”balasku dengan tajam.
“Lebih
baik lewat seperti ini bukan? Lebih terhormat. Setidaknya, kita sudah
membantunya untuk tetap bertahan hidup, meski akhirnya ia harus menyerah. Setidaknya
kita sudah membantunya untuk tidak mudah menyerah. Bukan kita yang membuat
mereka gagal di meja operasi, tapi memang sudah waktunya. Tenggat waktunya
sudah habis, seperti deadline. Kau pikir kita hidup tanpa batas waktu?”ujarnya
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aroma
kopi kami menguar dan masuk ke indera penciumanku melalui udara yang berhembus.
Lagipula, bukankah tadi aku sudah mengatakan padanya untuk tidak memaksa?
“Setiap
orang memiliki jalan terbaiknya sendiri. Dan sebaiknya kau jangan terlalu lama
lari. Cobalah untuk berjalan pelan-pelan lalu rasakan udara disekitarmu. Aku
kembali lebih dulu. Sampai jumpa.”ujarnya seraya tersenyum dan bangkit dari
duduknya. Aku menyandarkan bahuku ke sandaran bangku kedai, menarik nafas
dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan-pelan. Tidak ada yang bisa lari
dari kenyataan.
“Anda dicari olehnya.”seru seorang perawat yang menghampiriku dengan buru-buru
ketika aku baru saja menjejakkan kedua kakiku keluar dari dalam lift yang
mengantarku menuju lantai tempat dimana ia dirawat diruang intensif. Jendela
yang menghadap keluar, ke lorong, tertutup oleh gorden berwarna hijau. Beberapa
perawat yang tengah mengecek keadaannya keluar dari dalam ruangan ketika aku
yang sudah memakai baju steril berada di dalam.
Aku
duduk di bangku di dekatnya. Banyak selang-selang penunjang hidup yang
berseliweran disekitarnya. “Aku disini.” Matanya yang masih lemah untuk
terbuka, perlahan mulai terbuka. Kedua bola matanya yang berwarna kecokelatan,
menatapku dengan lemah. Aku sudah siap dengan hasil yang terburuk sekalipun.
Harus. Tangan kanannya yang ringkih, terangkat diudara dan menyapu pipi kananku
dengan lembut, namun lemah. Dari balik masker oksigen, aku bisa melihatnya
tersenyum tipis. Bulu matanya yang lentik bergetar-tengah berusaha untuk tetap
terbuka. Aku menjawabnya dengan sebuah senyuman pula. Nafasnya mulai terdengar
pendek-pendek. Jantungku semakin berdegup tidak keruan lagi.
Tangan
kanannya menghilang dari pipiku, lalu digantikan dengan dua tangan yang
terangkat di udara dengan lemah. Di depan wajahku, ia menggerak-gerakkan kedua
tangannya. Aku mengerti maksud dari gerakan-gerakan tangannya, ia
mengucapkan, “Terima kasih banyak.” Aku menarik nafas dalam-dalam lalu
tersenyum. “Terima kasih kembali.” Lalu, kedua tangan itu bergerak-gerak lagi, bulu kudukku meremang. Sekuat tenaga aku
berusaha untuk tersenyum dan mengucapkan tiga patah kata. “Ya, selamat tinggal.”
Ia tersenyum, lalu tangan kanannya menggenggam kedua tanganku. Getaran di bulu
mata lentiknya perlahan-lahan mulai berhenti seiring dengan tertutupnya kedua
kelopak matanya. Mesin pendetektor jantung mulai berdengung kencang.
Aku
menumpukkan dahiku diatas tangannya yang masih berada di dalam tanganku, masih
terasa hangat. Tenggat waktunya sudah habis. Mungkin, ini yang terbaik baginya.
Selama ini ia selalu mencoba untuk bertahan. Tapi, perlahan-lahan kanker darah
akutnya yang memang sudah parah mulai menggerogoti tubuhnya dengan tidak sopan.
Seharusnya sudah dari jauh-jauh hari aku menyuruhnya untuk berhenti, ini semua
untuknya juga supaya ia tidak perlu terlalu lama menderita.
Ketika
aku mengusulkan untuk ikut kemoterapi, ia menggeleng. Karena, ia tahu, akan
sia-sia saja jika ia ikut kemoterapi. Ia tidak pernah berbicara, karena memang
tidak bisa. Maka ia berbicara menggunakan bahasa tangan. Aku pun belajar dari
Ibunya. Hari ini keduanya datang untuk membawanya pulang dan merawatnya dirumah
saja, karena mereka sudah tidak sanggup melihat putri mereka seperti ini
terlalu lama. Mereka sudah pasrah.
Saat
itu, saat mereka datang dan pulang dengan terburu-buru, mereka tengah mencoba mencari jalur pengobatan alternatif. Padahal, aku sudah mengatakan pada
mereka bahwa kami memiliki sumsum tulang belakang, sehingga mereka tidak perlu
mencari jalur pengobatan alternatif yang takutnya malah semakin memperparahnya.
Ya, namanya juga orang tua yang ingin yang terbaik untuknya, apalagi ia hanya
satu-satunya milik mereka, mereka masih saja mencarinya hingga lupa untuk
menyisihkan waktu untuk dihabiskan dengannya.
Aku
masih mendengar suara histeris Ibunya dilorong. Suara isakan tangis yang
memekakkan telinga. Suara isakan tangis yang sumbang karena kehilangan. Tidak
ada yang tahu hal ini akan datang pada hari ini, di hari yang tengah hujan
deras. Tidak, tidak ada suara petir yang menyambar dan atau angin yang lebat.
Hanya hujan yang berjatuhan dalam hening.
Ketika
aku kembali ke kamar rawatnya, aku mendapati bunga yang selama ini bersamanya
mulai merunduk, mulai kering dan layu. Aku membawa tanaman tersebut dan
mengembalikan pada orangtuanya, seperti mengembalikan ia untuk kembali ke
Pencipta.
Fin.
kalo menurut gua awal dari cerpennya kayak cerpennya siti,tapi gua lupa judulnya :p tapi keseluruhan bagus kok :D
BalasHapuswah iya ri ? gue belum pernah baca cerpen siti loh serius._.
Hapus