A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 22 Juni 2013

Pendiam dan Hujan.

Titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan, terkadang dalam jumlah banyak, kadang pula dalam jumlah yang sedikit. Namanya, hujan. Banyak orang yang membenci hujan; tapi banyak pula yang mencintai hujan. Orang-orang terkadang sudah mulai malas jika turun hujan apalagi ia datang bukan untuk waktu yang sebentar dan tidak dalam jumlah yang sedikit. Mungkin, orang-orang akan baik-baik saja dengan suasana hatinya jika datang untuk waktu yang cukup lama, namun dalam jumlah yang sedikit. Tapi, jika sudah datang untuk waktu yang cukup lama tapi datang dalam jumlah yang besar? Aku yakin, mereka yang tidak menyukai hujan, akan semakin membencinya.
Hampir sama persis dengan hujan, cintapun terkadang datang bukan untuk waktu yang lama, namun sekalinya ia berdiam, ketika ia pergi ia meninggalkan bekas yang membekas. Sakit hati, tergantung bagaimana jalan ceritannya. Namun, disaat ia datang hanya untuk waktu yang sebentar, ia sanggup membuat orang menjadi buta dan berani membayar dengan apapun asal ia tidak lekas pergi. Tapi, tidak ada yang abadi di dunia ini. Percaya padaku. Bahkan, vampir pun yang dipercaya, bisa hidup abadi, saat terkena sinar matahari saja ia bisa hancur. Keabadian itu tidak bisa diperjualbelikan, karena sifatnya semu, tidak bersenyawa. Hanya sebuah kalimat yang mengandung arti.
Kenapa jadi membicarakan perihal ini? Otakku memang mudah untuk melompat-lompat dari satu topik ke topik yang lain, jadi terkadang orang yang berbicara denganku, jika tidak terbiasa, mereka akan kebingungan mengikuti alurku. Aku termasuk dalam bagian yang menyukai hujan. Ia selalu memiliki ciri yang khas melalui bau. Apalagi jika ia turun di kota yang kering kerontang, lalu membasahi jalanan. Mungkin, orang akan mengernyit jijik jika mencium bau abu di jalan yang terangkat ke udara dan bercampur dengan hujan, tapi aku menyukainya, itulah ciri khas dari sebuah hujan yang selalu aku tangkap melalui indera penciumanku.
Terkadang, orang-orang terlalu suka menikmati hidupnya yang penuh dengan kesibukan dalam kebisingan, hingga lupa bagaimana caranya menikmati hidupnya sendiri yang sesungguhnya. Mereka mungkin menarik nafas pun bisa dihitung dengan sepuluh jari. Mereka seperti sedang memikul beban ibu kota di pundak mereka yang ringkih dan mudah terkulai lemas itu.
Aku masih berdiri menatap ke kejauhan, menembus kaca transparan dengan gelas kopi take away dari salah satu kedai di dekat sini di tangan kananku yang hampir dingin, sedangkan tangan kiriku berada di dalam saku jas dokterku. Sejak aku bangun pagi, tidak ada semenit pun cuaca diluar terlihat terang. Dari semalam memang hujan terus menerus mengguyur kota dan baru berhenti menjelang subuh. Sehingga dampaknya hingga jam segini, cuaca diluar masih mendung.
Seorang perawat mengetuk pintu ruang kerjaku, lalu melongokkan kepalanya ke dalam dengan sopan. Hanya kepalaku yang menoleh ke belakang, melewati bahuku. “Ia sudah bangun, Dok.”ujarnya dengan sopan. Aku mengangguk sekilas, lalu kembali menatap kejauhan, “Jangan lupa berikan ia sarapan dulu.”kataku tanpa menatap perawat tersebut.
“Baik, Dok.” Perawat itu segera keluar dari ruanganku setelahnya. Aku menyibakkan pergelangan jas dokterku untuk melihat jam. Oh pantas saja ia sudah bangun, ternyata sudah jam 8 pagi, gumamku dalam hati. Orang yang sakit lalu sembuh dan keluar dari tempat ini, banyak. Yang jalan ceritanya berhenti di tempat ini, banyak. Orang yang bertahan hidup di tempat ini pun banyak. Tempat ini menjadi saksi bisu, dan aku beserta yang lain yang hidup disini menjadi saksi hidup. Apalagi aku dan dokter yang lain yang memiliki riwayat hidup mereka selama disini, yang memantau jalan hidup mereka disini, hingga akhirnya mereka keluar dari tempat ini atau mungkin tidak pernah keluar dari tempat ini.
Banyak orang yang datang dan pergi, banyak orang yang hanya singgah sebentar lalu pergi, banyak orang yang datang bukan untuk menetap. Seperti itu isi hidup kita. Hanya kita yang menetap, karena itu jalan cerita kita. Orang lain hanyalah pemeran pembantu, pemeran figuran, dan atau pemeran yang jahat dalam jalan cerita kita.
Aku menenggak habis isi gelas kopiku dan membuangnya di tempat sampah dekat meja kerjaku. Sebelum aku sempat pergi dari jendela, aku sempat menangkap rintik-rintik cantik diluar sana. Sepertinya, akan turun hujan sepanjang hari, melihat cuaca diluar tidak ada tanda-tanda akan berubah menjadi cerah. Perawat yang tadi datang, kembali masuk ke ruang kerjaku setelah mengetuk pintu. “Ia sedang sarapan di kamarnya.”lapornya. Aku mengangguk sekilas lalu berjalan melewati perawat tersebut untuk keluar dari ruanganku menuju kamar rawatnya.
Aku menggeser pintu kamar rawatnya yang berada di kelas VVIP. Ia sama sekali tidak menoleh padaku. Ia tengah duduk dengan nyaman di bangkunya sambil menatap keluar jendela yang di dekat kusennya ada sebuah tanaman yang dibawanya saat masuk, dengan nampan berisi sarapan pagi diatas pangkuannya.
Kutarik sebuah kursi yang lain, lalu duduk disampingnya. “Selamat pagi, Sunshine.”sapaku padanya yang menatap keluar jendela dengan tatapan yang kosong. Aku sudah terbiasa tidak mendapatkan jawaban darinya, meski terkadang ia menjawab dengan sebuah anggukan. Dan hari ini aku mendapatkan sebuah anggukan kecil darinya. Aku tersenyum di sampingnya. “Jangan didiamkan sarapanmu. Cepat dihabiskan sebelum hujan turun lebih deras.”ujarku sambil mengusap kepalanya ketika tangan kanannya yang memegang sendok mengangkat dan mampir di bibirnya.
Ia mengunyah dengan lincah namun dengan perlahan-lahan, seakan-akan jika ia mengunyah terlalu cepat, rahang bawahnya akan lepas dengan mudah. “Tidurmu nyenyak semalam?”tanyaku. Ia mengangguk lagi ditengah-tengah kunyahannya. Aku pun ikut mengangguk. Mungkin, orang tidak akan terbiasa atau mungkin tidak akan suka jika ia bertanya tapi hanya dijawab dengan sebuah anggukan, tapi aku tidak. Awalnya memang terasa aneh dan canggung, tapi lama kelamaan aku tidak merasakannya lagi.
Aku menyandarkan punggungku ke sandaran bangku, lalu ikut terhanyut dalam diam memandang keluar jendela. Ia akan memandang rintik-rintik cantik yang berjatuhan diatas genting, sedangkan aku jika duduk di dalam sini, yang aku pandangi adalah kota. Ya, kamar rawat ini menyuguhkan pemandangan kota. Akan lebih indah lagi disaat malam hari. Disaat lampu-lampu kota dan di setiap rumah menyala terang benderang. “Sepanjang malam, hujan turun terus. Untung saja kau tidak terbangun, jika kau terbangun, aku pastikan kau tidak akan mau tidur lagi.”ujarku diikuti dengan senyuman kecil, ia pun ikut tersenyum tipis dari bibirnya yang terlihat pucat, tanpa menoleh ke arahku.
Umurnya hanya 2 tahun di bawahku. Dia seorang perempuan. Cantik, tentu. Aku selalu suka disaat ia tersenyum. Dikala ia tersenyum, dua lesung pipit akan muncul di kedua pipinya yang tembam. Terlihat menggemaskan. Hari pertama dan beberapa hari selanjutnya ia berada di tempat ini, ia tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun. Bahkan lebih parahnya lagi, wajahnya seperti tidak memiliki nyawa saat pertama kali datang. Wajahnya terlihat pias dan tanpa emosi. Satu-satunya tanda ia masih bernyawa adalah rona merah di kedua pipinya. Jika tidak ada, sudah aku pastikan hari itu ia bukan masuk ke kamar rawat ini, tapi kembali turun menuju kamar lainnya. Kau pasti tahu maksudku. Aku enggan menyebut nama kamar tersebut, entah mengapa. Meski aku lelaki, tapi perihal kamar tersebut, aku paling anti.
“Sebentar lagi musim gugur. Udara akan mulai dingin.” Beritahuku padanya yang hanya mengangguk. Butuh perjuangan dan waktu yang cukup lama bagiku untuk membuatnya seperti seorang yang benar-benar hidup. Dan dalam rentang waktu itulah aku belajar untuk mulai terbiasa dengan sikapnya yang seperti anti-sosial. Aku tahu namanya, tapi aku tidak memanggil namanya seperti seharusnya. Aku menyebutnya, Sunshine. Terdengar lucu memang, tapi aku merasa kalau ia memang seperti sunshine. Hanya saja, kali ini sunshine tersebut tertutup oleh awan yang pekat dan gelap.
Telingaku bisa mendengar suara pintu kamar rawat yang digeser terbuka. “Apakah sudah selesai sarapannya?”tanya seorang perawat dengan ramah. Ia tidak menyawab ataupun mengangguk. Selalu. Hanya padaku ia memberikan anggukan. Akhirnya, aku yang mengangguk pada perawat tersebut. “Biar aku yang ambilkan.”cegahku saat perawat tersebut hendak mengambil nampan berisi sarapannya dengan hati-hati. “Sarapanmu mau dibersihkan.”jelasku padanya. Lalu, pelan-pelan ia mengangkat kedua tangannya lalu saling mengaitkan kedua tangannya, membiarkanku mengambil nampan berisi sarapannya yang aku berikan pada perawat tersebut.
Perawat keluar dari kamar ini sambil menggeser pintu kamar rawat tersebut dengan pelan-pelan. Aku tahu, banyak perawat yang bingung dengannya. Aku diam, bukan berarti aku tidak mendengar kalimat-kalimat mereka. Meski terkadang mereka langsung terdiam setiap kali aku lewat. Aku bisa mendengar nada keheranan dan bingung dalam suara mereka. Mereka hanya tidak mau mencoba untuk mengerti tentang situasi yang mereka hadapi.
Kadang orang akan memilih untuk lari dari situasi yang seharusnya mereka hadapi. Lari, lalu sembunyi. Sama bukan? Tapi, dengan lari pun tidak akan menyelesaikan masalah. Jika hanya diomongkan pun, mereka tidak akan mengerti pada situasinya. Sepintar apapun orang dalam perihal lari dan sembunyi, tapi mereka akan selalu bisa ditemukan kembali. Atau mungkin, akhirnya mereka yang keluar dari tempat persembunyian untuk pulang karena lelah, dan atau berhenti berlari lalu mulai dengan berjalan pelan-pelan.
Bisa aku rasakan, pelan-pelan ia menggerakan tubuhnya untuk menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Kepalanya masih menatap lurus ke depan meski rintik-rintik sudah mulai mereda. Kamarnya dipenuhi wangi vanilla yang menguar dari pengharum ruangan. Orang tuanya jarang sekali datang kesini, barang sebentar pun tidak. Saat datang pun, mereka akan datang dengan terburu-buru, begitupun dengan pulang. Seakan-akan mereka datang kesini karena kewajiban, karena keharusan. Bukan karena memang tulus.
Lalu, saat suatu hari mereka seperti itu, aku yang tidak bisa menahan mulutku lagi, berkata, “Datanglah kembali saat kalian tidak terburu-buru.” Saat mereka berada diluar. Maksudku bukan untuk melarang, aku hanya ingin mereka datang kesini untuk menjaga putri mereka bukan karena sebuah keharusan. Meski datang hanya untuk menjenguk setidaknya jangan seperti seorang yang dikejar oleh waktu. Hanya datang menoleh sebentar lalu keluar lagi, seakan-akan sedang berada di sebuah pameran lukisan. Dan ia bukan lukisan yang sedap dipandang. Bukan aku yang mengatakan begitu, tapi mereka sendiri yang mengatakannya dari gelagatnya.
Aku bahkan baru sadar, aku tidak pernah melihatnya menguap. Garis bawahi bagian kalimatku yang tidak pernah. Ia hidup seperti robot. Dan dirinya seperti benar-benar sudah terprogram dari sananya. “Kau tidak pegal hanya duduk terus?”tanyaku. Ia menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala yang pelan. Aku diam. Tiba-tiba terbersit olehku satu ide. “Tunggu disini ya. Aku akan kembali secepat yang aku bisa.”ujarku. Bodohnya aku, seharusnya aku sudah tahu ia tidak akan kemana-mana. Dan ia memang akan tetap disini. Ah, biarlah. Aku pun langsung keluar dari kamar rawatnya dengan tergesa-gesa.
Bukannya aku tidak memiliki tugas lain, tapi aku memang meminta pada kepala rumah sakit, biarlah aku yang merawatnya selama ia disini. Aku hanya ingin fokus padanya. Jika memang sudah selesai, maka aku akan kembali ke rutinitasku seperti sedia kala. Dan aku memang benar-benar menjalani tugasku, fokus merawatnya.


Aku tahu ia bisa berjalan. Tapi, aku hanya tidak mau ia tiba-tiba jatuh karena kakinya tiba-tiba lemas saat di jalan keluar dari gedung rumah sakit. Awalnya saat aku membantunya berdiri untuk pindah duduknya ke kursi roda, aku bisa melihat raut bingung di wajahnya. Aku hanya tersenyum sekilas padanya dan mulai mendorong kursi rodanya. Ya, saat aku keluar dari kamar rawatnya tadi, aku pergi mencari kursi roda untuk kupinjam sebentar. Sebentar yang dalam hitungan jam, maksudku.
Beberapa perawat yang berpapasan denganku menyapaku, namun aku tahu mereka bingung. Karena, ini pertama kalinya aku membawa pasienku keluar dari kamar rawatnya. Selama ini, aku tidak pernah fokus pada satu orang dalam merawat. Baru kali ini saja. Dan mungkin akan menjadi yang terakhir aku fokus pada satu orang saja. Aku mendorong kursi rodanya memasuki lift khusus dan menekan tombol G, menuju lobi utama. Ia tetap diam dalam keheranannya.
Diluar, hujan masih setia dengan rintik-rintik cantik, menimbulkan riak-riak air dalam genangan karena ditimpa. Aku membantunya pindah tempat duduk dari kursi roda ke kursi taman. Ya, aku membawanya ke taman belakang rumah sakit. Angin sejuk mulai berhembus pelan pelan-pelan, meniup tiap helai rambutnya yang panjang dan lurus, namun yang mulai menipis seiring waktu. Aku duduk disampingnya dan memandang kejauhan, seperti yang ia lakukan.
“Kalau kau memang sudah tidak sanggup untuk bertahan, jangan memaksa. Terkadang, ada hal yang memang tidak bisa untuk dipaksakan untuk bertahan apalagi untuk terjadi.”ucapku disela-sela keheningan. Ia masih memandang kejauhan. Aku memang tidak mengharapkan untuk mendapatkan tanggapan darinya.
Kami kembali terjebak dalam keheningan yang panjang. Perlahan, hujan yang tadinya hanya rintik-rintik saja mulai berubah menjadi deras seiring waktu. Ada kalanya orang akan lelah untuk terus mencoba untuk bertahan, namun mereka terus memaksakan keadaan. Seperti, kau memaksa untuk memundurkan waktu. Hanya di dalam jam, tapi keadaan tidak pernah mundur, ia selalu berjalan maju. Ia tidak mengenal kata mundur. Ketika, akan kembali maju, yang ada hanya keterlambatan saja.
Diam-diam ia tersenyum, entah untukku, entah untuk hujan, entah untuk apa yang tengah ia perhatikan. Ia satu-satunya orang yang sulit terbaca olehku. Kalian jangan berpikir ia memiliki kelainan kejiwaan. Tidak seperti itu. Akan ada saatnya kalian akan mengerti mengapa seperti ini.
“Sudah mau kembali ke kamar?”tanyaku, tapi gelagatku tidak menunjukkan akan membawanya kembali ke kamar rawatnya. Ia menggeleng, kali ini tersirat rasa antusias di dalam gelengannya. Aku tersenyum lalu menjawab, “Baiklah. Sebentar lagi saja. Aku hanya tidak mau dicari oleh para perawat karena kursi rodanya aku pinjam terlalu lama.”candaku. Ia mengulum senyumnya. Aku tahu ia menyukai hujan.
Aku ingat pertama kali hari yang hujan cukup deras, setelah beberapa hari ia berada di kamar rawatnya. Yang sebelumnya aku periksa ia berada di atas tempat tidur dengan tenang dan nyaman, setelahnya aku melihat ia tengah berdiri mematung di dekat jendela yang ada tanaman yang ia bawa, dengan dua tangan yang saling mengait lalu bertumpu di nakas yang tingginya sepinggangnya. Sejak saat itu aku tahu ia menyukai hujan, dan sejak hari itu pula, di kamarnya tersedia sofa. Aku memang sengaja meminta untuk diletakkan sofa, supaya ia bisa duduk memandang hujan dengan nyaman, tanpa perlu merasa pegal-pegal dipunggungnya.
Ketika hujan, ia akan membuka sedikit jendela tersebut. Menurutku, mungkin agar ia bisa mendengar suara hujan yang berjatuhan diatas genting dan atau juga supaya tercium bau khas dari hujan tersebut. Karena, setiap kali hujan, ia akan mematikan pendingin ruangan, sehingga udara sejuk di kamar rawatnya berganti dengan udara sejuk dari hujan yang masuk melalui jendela yang ia buka. Aku ingat wajah tidak terimanya saat seorang perawat menceramahinya bahwa tidak bagus membuka jendela saat hujan apalagi saat sakit, karena nantinya bisa memperparah sakitnya sambil menutup kembali jendela yang terbuka. Akhirnya aku yang membuka suara dan mengatakan pada perawat tersebut bahwa itu tidak apa-apa, perawat itu keluar dengan kepala tertunduk karena tertangkap basah olehku tengah menceramahi pasien. Aku tidak marah. Apa yang ia lakukan sudah benar, hanya saja untuk perempuan ini berbeda.
Saat kami merasa nyaman dengan keheningan dan hanya suara hujan yang gemerisik yang terdengar, seorang perawat menghampiriku. “Orangtuanya datang.”ujar perawat tersebut, setengah berbisik. Mataku menoleh ke arahnya, berharap ia tidak mendengarnya. Meskipun ia tidak mendengarnya, toh sebentar lagi ia akan bertemu pula. “Terima kasih . Sebentar lagi kami akan kembali ke kamar rawat.”jawabku pada perawat tersebut yang langsung mohon diri.
Aku menghela nafas, memilih kata yang pas. Baru saja aku membuka mulutku, ia sudah bangkit berdiri dan pindah ke kursi rodanya. Aku menghembuskan nafas dan berjalan ke belakangnya, mulai mendorong kursi rodanya untuk kembali ke kamar rawatnya. Dan yap, ia memang mendengarnya, tapi ia tidak menunjukkan reaksi apapun. Biasanya, raut wajahnya akan mulai menegang saat mendengar kedua orangtuanya datang untuk menjenguk. Mungkin, sudah saatnya.
Ketika kursi rodanya masuk ke dalam kamar rawatnya, kedua orangtuanya bangkit berdiri dari duduk dan menghampirinya, membantunya berdiri dari kursi roda untuk pindah ke tempat tidurnya. “Aku mau mengembalikan kursi roda dulu.”kataku pada mereka, sengaja untuk memberikan waktu bagi mereka. Mungkin, kali ini mereka datang bukan untuk pulang dengan tergesa-gesa.
Aku memutuskan untuk kembali ke ruanganku setelah mengembalikan kursi roda pada perawat. Hujan masih deras diluar sana. Aku mulai menyeduh kopiku sendiri. Biasanya kalau aku tidak sempat membeli kopi di kedai di dekat sini, aku akan menyeduh kopiku sendiri. Tapi, sebenarnya aku lebih menyukai kopi di kedai dekat sini.
Kembali aku berdiri di jendela ruang kerjaku, menatap hujan dengan secangkir kopi hangat di tanganku. Sempat terbersit olehku rasa penasaran pada cerita hidupnya. Ia baru pertama kalinya datang ke rumah sakit ini. Selama ini, ia selalu berpindah-pindah dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain di berbagai negara. Dan orang tuanya selalu mengaku tidak puas terhadap rumah sakit-rumah sakit tersebut. Sudah hampir 6 bulan, ia berada disini dan aku tidak mendapatkan keluhan apapun dari mereka. Jujur, aku bernafas lega. 
Entah sudah berapa lama aku berdiri mematung di jendela, pintu ruangku diketuk dengan terburu-buru dari luar. “Dok –“ Perawat itu tidak perlu melanjutkan kata-katanya,  raut wajahnya sudah melanjutkan kata-katanya. Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung meletakkan cangkir kopiku di atas meja kerja dan berjalan dengan cepat menuju kamar rawatnya yang masih berada satu lantai dengan ruanganku.
Ketika masuk ke dalam kamar rawatnya, aku mendapati darah yang yang masih basah. Ibunya berteriak histeris dengan ia yang tidak sadarkan diri. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi disini, terakhir kali aku meninggalkannya masih dalam keadaan yang terlihat baik-baik saja. “Siapkan ruang operasi!”perintahku pada beberapa perawat yang mengikutiku. Beberapa yang lain langsung menuju ruang operasi. Sungguh, saat aku terbangun tadi pagi aku tidak berharap harus bertemu dengan hari ini secepat ini.
Seharusnya operasi transplantasi sumsum tulang belakang aku lakukan dari jauh-jauh hari karena sudah mendapatkan tanda tangan diatas surat yang meminta persetujuan orang tuanya untuk melakukan transplantasi secepat mungkin. Tapi, aku belum mendapatkan persetujuan darinya, saat itu. Saat ini, aku benar-benar mengharapkan ia bisa membuka matanya kembali setelah operasi.

Banyak hal yang tidak terduga terjadi dalam hidup ini. Banyak keajaiban yang tidak terduga pula. Namun, yang namanya hal yang tidak terduga memang selalu datang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengenal kata, “Halo.” Dan “Selamat tinggal.” Mereka datang dan pergi sesuka mereka, seperti merekalah tuan tanahnya.
Banyak yang berhenti diatas meja operasi, banyak yang bisa turun kembali dari meja operasi dengan sehat juga. Dan keduanya memiliki perbandingan yang seimbang. Yang aku harapkan, ia termasuk dalam yang bisa turun dari meja operasi dengan sehat.
Setelah hampir 6 bulan ia berada disini, baru kali ini aku melihatnya benar-benar jatuh. Aku memang sudah menyimpan beberapa sumsum tulang belakang untuknya, hanya untuk berjaga-jaga jika keadaan seperti ini terjadi tiba-tiba di hari yang sebelum-sebelumnya. Diam-diam aku bersyukur bahwa aku dan yang lain tidak perlu kelimpungan mencari sumsum tulang belakang untuk operasi hari ini.
Yang berdiri disekelilingnya bukan hanya aku seorang yang bergelar dokter, ada beberapa dokter spesialis lainnya yang berdiri untuk membantuku menyelamatkannya. Mereka sepenuhnya mendukung niatku untuk fokus merawatnya.
Waktu tidak pernah berhenti menghitung, ia akan selalu menghitung. Entah menghitung mundur, entah menghitung dengan cepat seperti stopwatch. Ketika ia mulai menghitung mundur, maka hitungannya berubah menjadi bom waktu yang bisa meledak suatu waktu yang tidak terduga.


Lampu tanda operasi tengah berlangsung sudah padam. Aku keluar dari ruang operasi paling pertama. Ibunya yang tengah duduk dengan bahu terkulai juga Ayahnya yang mondar-mandir, menghampiriku. “Sejauh ini, respon tubuhnya positif. Tapi,” Kalimatku menggantung diudara. Bukannya aku tidak mau mengatakannya, aku hanya menjaga emosi mereka. “Kritis.”sambungku dengan pelan. Terlihat olehku harapan sekecil apapun yang hidup dalam mata Ibunya tiba-tiba sirna. “Maaf, aku dan yang lainnya sudah berusaha semampu kami.”kataku dan mohon diri dari mereka.
Aku tidak bisa berada terlalu lama disini. Ya, seharusnya aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tapi, kali ini berbeda. Karena aku yang merawatnya selama hampir 6 bulan ini.
Kembali kafein masuk dalam tubuhku. Memang hanya kafein yang sanggup membuatku relaks. “Hari yang berat bukan?” Terdengar suara lembut milik seorang dokter perempuan tadi membantuku. Aku hanya mengangguk sekilas, malas untuk membahasnya.
“Berharaplah yang terbaik.”ujarnya sambil menyesap kopinya.
Aku tersenyum tipis. “Aku tidak berani untuk berharap. Firasatku sudah berbicara.”
“Keadaan mudah berubah-ubah seperti cuaca. Aku tidak mengatakan untuk berharap pada keadaan yang terbaik. Yang aku katakan, berharaplah yang terbaik untuknya.”jawabnya. Otakku mengolah setiap kalimatnya. Ya, seharusnya aku tidak berharap pada keadaan yang terbaik. “Jangan menyalahkan dirimu sendiri jika memang gagal. Semua orang pernah gagal.”sambungnya.
“Tapi ini menyangkut hidup orang lain.”balasku dengan tajam.
“Lebih baik lewat seperti ini bukan? Lebih terhormat. Setidaknya, kita sudah membantunya untuk tetap bertahan hidup, meski akhirnya ia harus menyerah. Setidaknya kita sudah membantunya untuk tidak mudah menyerah. Bukan kita yang membuat mereka gagal di meja operasi, tapi memang sudah waktunya. Tenggat waktunya sudah habis, seperti deadline. Kau pikir kita hidup tanpa batas waktu?”ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aroma kopi kami menguar dan masuk ke indera penciumanku melalui udara yang berhembus. Lagipula, bukankah tadi aku sudah mengatakan padanya untuk tidak memaksa?
“Setiap orang memiliki jalan terbaiknya sendiri. Dan sebaiknya kau jangan terlalu lama lari. Cobalah untuk berjalan pelan-pelan lalu rasakan udara disekitarmu. Aku kembali lebih dulu. Sampai jumpa.”ujarnya seraya tersenyum dan bangkit dari duduknya. Aku menyandarkan bahuku ke sandaran bangku kedai, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan-pelan. Tidak ada yang bisa lari dari kenyataan.


“Anda dicari olehnya.”seru seorang perawat yang menghampiriku dengan buru-buru ketika aku baru saja menjejakkan kedua kakiku keluar dari dalam lift yang mengantarku menuju lantai tempat dimana ia dirawat diruang intensif. Jendela yang menghadap keluar, ke lorong, tertutup oleh gorden berwarna hijau. Beberapa perawat yang tengah mengecek keadaannya keluar dari dalam ruangan ketika aku yang sudah memakai baju steril berada di dalam.
Aku duduk di bangku di dekatnya. Banyak selang-selang penunjang hidup yang berseliweran disekitarnya. “Aku disini.” Matanya yang masih lemah untuk terbuka, perlahan mulai terbuka. Kedua bola matanya yang berwarna kecokelatan, menatapku dengan lemah. Aku sudah siap dengan hasil yang terburuk sekalipun. Harus. Tangan kanannya yang ringkih, terangkat diudara dan menyapu pipi kananku dengan lembut, namun lemah. Dari balik masker oksigen, aku bisa melihatnya tersenyum tipis. Bulu matanya yang lentik bergetar-tengah berusaha untuk tetap terbuka. Aku menjawabnya dengan sebuah senyuman pula. Nafasnya mulai terdengar pendek-pendek. Jantungku semakin berdegup tidak keruan lagi.
Tangan kanannya menghilang dari pipiku, lalu digantikan dengan dua tangan yang terangkat di udara dengan lemah. Di depan wajahku, ia menggerak-gerakkan kedua tangannya. Aku mengerti maksud dari gerakan-gerakan tangannya, ia mengucapkan, “Terima kasih banyak.” Aku menarik nafas dalam-dalam lalu tersenyum. “Terima kasih kembali.” Lalu, kedua tangan itu bergerak-gerak lagi, bulu kudukku meremang. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tersenyum dan mengucapkan tiga patah kata. “Ya, selamat tinggal.” Ia tersenyum, lalu tangan kanannya menggenggam kedua tanganku. Getaran di bulu mata lentiknya perlahan-lahan mulai berhenti seiring dengan tertutupnya kedua kelopak matanya. Mesin pendetektor jantung mulai berdengung kencang.
Aku menumpukkan dahiku diatas tangannya yang masih berada di dalam tanganku, masih terasa hangat. Tenggat waktunya sudah habis. Mungkin, ini yang terbaik baginya. Selama ini ia selalu mencoba untuk bertahan. Tapi, perlahan-lahan kanker darah akutnya yang memang sudah parah mulai menggerogoti tubuhnya dengan tidak sopan. Seharusnya sudah dari jauh-jauh hari aku menyuruhnya untuk berhenti, ini semua untuknya juga supaya ia tidak perlu terlalu lama menderita.
Ketika aku mengusulkan untuk ikut kemoterapi, ia menggeleng. Karena, ia tahu, akan sia-sia saja jika ia ikut kemoterapi. Ia tidak pernah berbicara, karena memang tidak bisa. Maka ia berbicara menggunakan bahasa tangan. Aku pun belajar dari Ibunya. Hari ini keduanya datang untuk membawanya pulang dan merawatnya dirumah saja, karena mereka sudah tidak sanggup melihat putri mereka seperti ini terlalu lama. Mereka sudah pasrah.
Saat itu, saat mereka datang dan pulang dengan terburu-buru, mereka tengah mencoba mencari jalur pengobatan alternatif. Padahal, aku sudah mengatakan pada mereka bahwa kami memiliki sumsum tulang belakang, sehingga mereka tidak perlu mencari jalur pengobatan alternatif yang takutnya malah semakin memperparahnya. Ya, namanya juga orang tua yang ingin yang terbaik untuknya, apalagi ia hanya satu-satunya milik mereka, mereka masih saja mencarinya hingga lupa untuk menyisihkan waktu untuk dihabiskan dengannya.
Aku masih mendengar suara histeris Ibunya dilorong. Suara isakan tangis yang memekakkan telinga. Suara isakan tangis yang sumbang karena kehilangan. Tidak ada yang tahu hal ini akan datang pada hari ini, di hari yang tengah hujan deras. Tidak, tidak ada suara petir yang menyambar dan atau angin yang lebat. Hanya hujan yang berjatuhan dalam hening.

Ketika aku kembali ke kamar rawatnya, aku mendapati bunga yang selama ini bersamanya mulai merunduk, mulai kering dan layu. Aku membawa tanaman tersebut dan mengembalikan pada orangtuanya, seperti mengembalikan ia untuk kembali ke Pencipta. 

Fin.  

2 komentar:

  1. kalo menurut gua awal dari cerpennya kayak cerpennya siti,tapi gua lupa judulnya :p tapi keseluruhan bagus kok :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah iya ri ? gue belum pernah baca cerpen siti loh serius._.

      Hapus