A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Selasa, 17 Juni 2014

Randezvous.


Sudah pernah dengar kalau ada orang yang kehilangan itu berbahagia? Ah, mungkin ada. Tapi, percayalah padaku itu hanya kepura-puraan belaka saja. Sejauh ini tidak ada yang benar-benar bahagia meskipun ia baru saja kehilangan. Jangan percaya ketika ia tersenyum. Jika kau bisa benar-benar melihat kau akan tahu perbedaannya seperti apa antara senyuman yang benar-benar senyuman dan senyuman yang menyembunyikan rasa sakit.
“Bengong aja. Diculik setan loh.” Aku menoleh sekilas sambil mencibir.
“Iya, kalau aku sampai diculik ya itu pasti kau satu-satunya orang yang bakal melakukan itu.”jawabku sambil mendelik.
Ia tertawa. Tawa renyah yang selalu, ah yang sering aku rindukan maksudku. “Berarti aku setan dong?”katanya disela-sela tawa.
I’m not say that, dude.”ledekku, sambil mengedipkan satu mataku kearahnya.
“Lagipula kalau aku menculikmu yang ada aku rugi.” Kata-katanya menggantung diudara.
“Kok gitu?”gerutuku dengan kening yang berkerut.
“Iyalah, mending kalau kau benar-benar makan tiga kali sehari, lah kalau kau itu  udah makan lebih dari tiga kali sehari porsinya kayak kuli pula. Mungkin, orang yang menculikmu yang nggak tahu apa-apa bakal langsung ninggalin kau ditempat.”candanya.
Aku meninju pelan lengannya sambil tertawa. “Sialan.”cemoohku padanya. Ia terkekeh.
“Ngelamunin apa sih? Awas aja kalau ngelamunin aku.”
Aku bergidik ngeri. “Kau ini akibat baru pertama kali jomblo atau emang lagi stres akibat diputusin? Aku sudah bilang, wanita yang itu nggak ada benarnya. Udah benar kau kembali dengan yang lama, malah ngeyel.”kataku. Ia menatapku dengan tatapan datar, lalu sedetik kemudian hanya mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
“Lebih baik kau habiskan segera jus alpukat itu sebelum sebagai gantinya kau mandi jus alpukat. Belum pernah kan?”ancamnya dengan sangat santai, namun tajam. Selanjutnya, aku hanya tertawa terbahak-bahak. Ia tidak akan pernah tega untuk menyiramku. Percaya padaku, hanya aku yang berani menyiramnya didepan umum. Selanjutnya? Ia terkekeh panjang yang bagiku menyeramkan dan dengan gerakan tiba-tiba langsung memelukku erat, maksudnya adalah supaya aku ikut basah. Kurang ajar kan? Sebenarnya aku yang kurang ajar. Hahaha.
“Baiklah. Aku habiskan sekarang, lalu gantinya kau belikan aku Starbucks botol yang harganya selangit itu, ya? Oke? Deal!” Aku langsung menenggak jus alpukat itu hingga tandas. Dan ia hanya melongo melihatku.
“Ayo, sekarang beli kopinya!”seruku sambil menggeretnya keluar dari kafe shop itu.
“Eh, apa-apaan?! Nggak deal dong! Itu kan hanya sepihak.”gerutunya sambil melepaskan lengannya yang aku tarik.
“Ya nggak bisa, kau harus beli itu atau kau pulang jalan kaki?” Aku tersenyum menang karena aku memegang kartu as-nya. Sepertinya ia lupa kalau tadi aku yang mengendarai mobilnya kesini. Ia mendesah sebal, dan langsung masuk ke mobil disisi supir. Sebelum masuk ke balik kemudi, aku tertawa bahagia atas kemenanganku mendebatnya.
Dia orang yang pernah dan masih aku cintai saat ini. Namun, yang tidak pernah aku ucapkan. Ia tidak tampan, tapi dimataku aku senang melihat wajahnya. Aku menakar wajah seseorang dari enak-dilihat-atau-tidak, ya simplenya, wajahnya bosenin atau tidak. Hanya itu. Aku tidak suka menakar seseorang dari dia-tampan-atau-tidak. Kesannya mendiskriminasikan yang lainnya, dan aku tidak suka. Dan aku suka rambutnya yang tidak pernah menyentuh kerah baju, namun memiliki jambul. Aku sering sekali menertawakan jambul itu.
“Udah dong, nggak usah masang wajah cemberut gitu. Kita bentar lagi sampai, kok.”ujarku sambil menepuk-nepuk kepalanya yang malah semakin cemberut. Ia paling tidak suka ditepuk-tepuk, tapi ia tidak pernah menepisnya. Paling ia hanya memberikan wajah yang siap menelan orang hidup-hidup. Aku terbahak-bahak melihat wajahnya yang semakin kusam.
“Kau ini benar-benar berniat membuat kantongku kering? Kau nggak tahu apa tadi kau makan sebanyak apa? Terus, sekarang minta dibeliin Starbucks?! Kau pikir aku ini Ayahmu?! Untung aku bukan pacarmu. Kalau aku pacarmu, sekarang dipikiranku adalah bagaimana caranya aku bisa  mutusin kau yang mulutnya berbisa kayak ular.”celotehnya panjang lebar dari bangku disamping supir. Aku hanya menjawabnya dengan tertawa saja.
Dia tidak akan benar-benar marah padaku, percayalah.
Aku melompat turun dari mobilnya yang tinggi itu, diikuti oleh pemilik mobil dengan wajah yang cemberut. Ia berjalan mendahuluiku dan mendorong pintu untukku. “Terima kasih.”ucapku dengan tulus. See? Bahkan dengan wajah masamnya itu ia tetap masih bisa berlaku sopan pada wanita yang sudah membuat wajahnya masam ini. Tapi, coba kalau aku perhatikan. Ia tidak akan seperti itu pada perempuan-perempuannya yang lain. Ya kalau dia kesal pada wanita itu, jangan harap ia akan memanjakan wanitanya, yang ada malah ditinggal dibelakangnya, apalagi langkahnya dia dua langkahnya orang normal. Kejam.
“Tidak yang mahal-mahal!”perintahnya sambil menyerahkan dompet coklat tuanya. Aku menerimanya dengan senang hati. Perutku ini paling anti kalau belum kena kopi. Parah ya? Aku memesan cappucino, seperti biasa. Dan untuk mengembalikkan moodnya si bos itu, aku memesankan latte hangat untuknya.
“Kan aku tidak pesan kopi!”serunya, masih dengan nada yang sebal.
“Yaudah, aku yang habisin aja semua kalau kau nggak mau.”kataku sambil menarik gelas kopi yang aku letakkan dihadapannya. Tapi, sedetik kemudian ia menahannya.
“Biar aku yang bantu habiskan.”jawabnya dengan lemah. Aku tertawa dalam hati. Lihatkan? Dia itu hanya malu-malu kucing saja.
Aku membiarkan udara sejuk melewati jarak diantara kami ini. Aku selalu menikmati waktuku seperti ini. Dan ia tidak pernah mengusikku, ia terlalu tahu bagaimana caranya memberikan aku quality time untuk diriku sendiri meskipun saat itu aku sedang bersamanya. Satu tanganku memegang cangkir cappucino hangat itu, dan sementara yang satu lagi membalik halaman novel yang aku letakkan terbuka diatas meja.
“Liv...” Aku merasa familiar dengan nama itu. Aku mendongak dan mendapatinya tengah menatap seseorang yang berdiri di kejauhan, sedang mengantri kopi. Aku menyipitkan mataku hingga tinggal segaris, dan aku membeku ditempat. Aku merutuki diriku sendiri. Sepertinya hari ini bukan hari keberuntunganku. Aku menyandarkan punggungku kesandaran sofa dengan tidak mood.
“Samperin aja.”kataku dengan tidak bersemangat. Ia menatapku setengah berharap.
“Kalau kau yakin itu dia, ya samperin. Kalau nggak, ya tetep coba. Daripada gigit jari.”gumamku tak acuh, melarikan tatapanku ke buku. Supaya ia tidak perlu melihat emosi yang tiba-tiba muncul antara sedih, cemburu, iri, dan senang yang ada di mataku. Mamaku selalu berkata kalau setiap emosi yang tidak aku sampaikan dan hanya aku simpan itu selalu bisa terlihat dimataku, meski hanya melihat sekilas saja.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dari kursinya. Ia berjalan dengan ragu-ragu ke arah antrian, perlahan ia menoleh ke arahku. Aku mengangguk sambil tersenyum, memberinya kepercayaan kalau ia tidak salah lihat, karena aku sendiri yakin kalau kita tidak salah lihat soalnya. Ia membalikkan badannya dan berjalan dengan mantap ke barisan antrian.
Sedetik kemudian aku mendengar suara pekikkan tertahan. Aku menghembuskan nafas lega. Ternyata kami memang tidak salah lihat. Diam-diam aku tersenyum. Setelah hampir sekian lama ia tidak bertemu dengan wanita yang benar-benar ia anggap wanita dimatanya, kini mereka bertemu kembali. Ternyata waktu memiliki skenarionya sendiri. Secara tidak langsung waktu mengatur pertemuan mereka. Aku memang memiliki kepercayaan kalau waktu memang memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan dua orang yang sudah berpisah untuk bertemu kembali. Meskipun sudah terpisahkan berkali-kali namun, jika memang mereka ditakdirkan bertemu kembali maka akan terjadi. Tidak ada yang bisa menentang alam, kalau memang sudah jodoh. Seorang dukun sekali pun.
Aku meletakkan sepasang earphone ditelingaku. Menghalau suara-suara bising disekitarku dan lanjut membaca. Kopi yang tinggal setengah itu tidak aku hiraukan. Aku sudah tidak terlalu mood untuk menghabiskan kopi itu saat ini. Mungkin nanti.
Belum lama aku membaca, ia kembali ke sofanya. Aku menatap dengan heran. Aku pikir ia akan mengajak wanita itu duduk disini. berhubung ada satu sofa kosong disamping kami ini. “Loh, kok nggak diajak gabung?”tanyaku bingung.
Ia terkekeh. “Dia tadi lagi nemenin temannya makan siang. Terus pas dia mau ke wc dan lewat sini, dia lihat disini antriannya lagi nggak panjang, jadi dia mampir. Tadi abis pesan kopi, dia langsung balik ke tempat makan. Dan kau tahu, kita tukeran nomor handphone!”pekiknya dengan bahagia. Jujur, aku tidak pernah melihatnya sebahagia ini. Bahkan, hanya dengan saling bertukar nomor handphone saja sudah sanggup membuat laki-laki dihadapanku ini berbuat apa saja. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Seperti bocah yang mendapatkan permen dalam sekali minta.
“Yaudah, bagus kan moodnya balik lagi? Sekarang aku bisa pesan kopi lagi kan?”kataku dengan datar.
Wajahnya tidak kalah datar dariku saat menjawab, “Tidak.” dengan tegas dan mulai sibuk dengan handphonenya. Aku rasa kalau aku menghilang sekarang juga ia tidak akan tahu atau bahkan tidak peduli. Aku memberengut di sofa dan melanjutkan acara membacaku dan menyesap sedikit-sedikit kopiku yang sudah menipis.
Lebih baik aku pulang dan tidur, daripada aku harus merasakan aura-aura yang sanggup membuatku gila karena cemburu dan iri. “Ayo pulang. Tapi, aku mau beli satu kopi dulu buat dibawa pulang. Tenang saja kau nggak usah protes kali ini aku beli pakai duitku.”jawabku dengan datar, aku langsung menambahkan kalimat terakhir dibelakang sebelum ia sempat protes karena hari ini aku sudah cukup jadi cewek matre.
Ia menunggu dengan sabar disampingku yang sedang menunggu namaku dipanggil. Kali ini jemarinya tidak sibuk mengetikkan pesan di ponsel. Begitu aku mendapatkan kopiku, aku langsung berjalan lebih dulu menuju pintu, namun ia selalu bisa mendahuluiku. Aku biarkan ia membukakan pintu untukku dan mengucapkan terima kasih dalam gumaman.
“Kali ini kau saja yang nyetir. Aku capai. Mau tidur.”kataku setengah malas, sambil melempar kunci mobil kearahnya yang dengan kening berkerut menerima kunci mobil itu dan langsung mengambil jalan ke pintu supir. Begitu aku duduk dibangku yang nyaman itu, aku langsung memejamkan mata, sementara ia memutarkan lagu jazz instrumental di music player.
Ketika aku membuka mata sebentar aku mendapati ia tengah mengetik sesuatu diponselnya. “Kau ini berniat untuk membunuhku dengan main ponsel saat nyetir?!”pekikku kaget. Ia pun terkejut mendengar aku yang memekik tiba-tiba. Setahuku, dan semoga belum berubah, dia adalah laki-laki yang paling anti untuk bermain ponsel saat sedang nyetir. Dan aku tidak tahu, hari ini ia sedang kesambet setan apa sehingga tiba-tiba dia seperti ini.
“Kau bisa tunggu sampai dirumahku dulu kan untuk membalas pesannya?”gerutuku dengan sinis. Ia menghembuskan nafas dan meletakkan ponselnya di dashboard. Tidak lama kemudian, aku bisa merasakan ada getaran dari ponsel itu. Aku langsung mengambil ponsel itu sebelum tangannya lebih dulu. Dan ada satu pesan yang muncul di layar. Oh, ternyata benar. Mereka langsung smsan. Aku membalas pesan wanita itu tanpa permisi dengan mengatakan untuk tidak menghubunginya yang saat ini sedang menyetir. Memang dari nada balasanku seperti sinis, tapi masa bodolah. Aku tidak mau hanya karena sms, dan dia tega untuk membahayakan dua nyawa.
Ia hanya diam saja saat aku mengomel tadi. Aku pun diam. Karena, aku merasa tidak bersalah. Jadi, aku merasa tidak memiliki kewajiban untuk meminta maaf padanya. Wajahku masih cemberut saja. Lalu tangannya itu menyentuh puncak kepalaku dan mengusapnya pelan-pelan, hal yang biasanya ia lakukan untuk menenangkanku.
“Maaf, ya.”ujarnya dengan lembut masih dengan mengusap-usap rambutku.
Sepertinya aku lupa memberitahu kalau dia itu juga tahu cara mengembalikkan moodku. Tapi, hanya dia yang sanggup mengembalikkan moodku hanya dengan seperti ini.
“Ayo dong, jangan cemberut terus. Aku kan udah minta maaf. Aku tahu kau khawatir, aku tahu. Aku minta maaf.” Ia masih berusaha membujukku dengan suaranya yang lembut dan dalam itu.
“Iya.”jawabku pendek. Pelan-pelan wajah cemberutku menghilang, seiring dan menghilangnya usapan dirambutku.
“Gitu dong. Jadinya kan aku bisa pulang dengan selamat.”candanya.
“Kok gitu?”
“Kan bisa aja, pas kau turun dari mobil kau menyumpah-nyumpahi aku saking masih sebalnya sama aku. Hayo? Iya kan?”ledeknya. Aku mencibir, namun tidak kembali kesal. Ia tertawa pelan karenanya.
Begitu sampai di depan pintu rumah, oops maksudnya apartemen yang sederhana yang menjadi tempat aku indekos, aku mencium pipinya sebagai tanda perpisahan untuk hari ini. “Hati-hati dijalan ya. Thank you for the coffee.”ujarku setelah ia balas mencium puncak kepalaku. Aku tidak tahu mengapa ia senang mencium puncak kepalaku.
Saat aku turun dari mobil itu dan menunggu mobil itu menghilang dari pandangan, aku kembali merasakan satu perasaan yang selalu sama. Kehilangan. Rasanya, aku hanya tidak ingin berpisah dengannya meskipun besok dan seterusnya kami akan bertemu. Dari hal barusan, kalian jangan berpikiran aku dan dia berpacaran ya. Asal kalian tahu aja, dia itu masih stuck di mantannya yang tadi ketemu di Starbucks. Hahaha. Aku menertawakan diriku sendiri yang mencintai seorang yang masih terjebak di masa lalu. Aku tidak pernah berniat untuk merebut perhatiannya. Karena, bagiku seperti ini saja sudah cukup. Naif ya? biarlah. Aku mencoba untuk bersyukur. Meskipun aku sendiri harus menekan rasa iri yang lebih besar daripada cemburu ini.
Aku melangkah dengan gontai menuju elevator yang membawaku ke lantai tiga tempat indekosku berada beberapa meter dari elevator. Kotak besi itu mengeluarkan suara ‘ting’ sesaat sebelum pintu terbuka. Begitu aku masuk ke dalam, aku meletakkan sepatuku di dekat anak tangga pertama. Dan begitu aku naik keatas, aku menyibakkan gorden di jendela besarku. Membiarkan matahari sore merangkak masuk kedalam ruanganku ini, sembari berjalan menuju pantry untuk membuat teh hangat yang aku bawa ke ruang tv.
Biasanya kalau dia sedang malas pulang cepat ke rumahnya, ia akan mampir disini sampai malam hanya untuk bermalas-malasan disofa denganku. Tapi, sepertinya hari ini ia terlalu bersemangat untuk mendekam dikamarnya dengan ponsel yang ia bawa kemana-mana. Berani bertaruh denganku, mulai besok ia tidak akan pernah jauh dari ponselnya barang sesenti pun. Mungkin, kalau sekarang aku iseng meneleponnya, aku akan dibanjiri dengan segala makian dari paling halus sampai paling kasar yang ia punya dan aku hanya akan menjawabnya dengan tertawa terbahak-bahak. Pasti ia mengharapkan kalau wanita itu yang meneleponnya atau membalas smsnya.
Aku terkikik geli saat membayangkan wajahnya yang kesal karena merasa di php-in oleh ponsel sendiri.
Aku menghembuskan nafas panjang. Ketika tidak ada wanita lain dihidupnya selain aku, aku sanggup untuk tertawa lega dan benar-benar bahagia. Tapi, ketika ada satu yang melangkah masuk kedalam hidupnya selain aku, rasanya aku ingin memilih untuk pergi saja saat itu dan meninggalkannya berdua dengan dunianya. Karena, aku tahu aku tidak akan bisa seperti mereka. Itu hanya harapan kosong yang tidak akan terealisasikan. Hanya mimpi seorang gadis kecil yang ingin dijemput oleh pangeran berkuda.
Aku duduk termangu seperti orang yang kehilangan ruhnya dengan dua tangan yang menangkup gelas teh dan dengan tv yang menyala tanpa ada niatan untuk aku tonton. Aku menyalakan tv itu dengan niatan supaya terdengar ramai saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk merinngkuk di sofa itu sampai tertidur. Dan tidak menyentuh teh yang aku buat itu.
Kira-kira bisa semudah itu kah meninggalkan perasaan seperti meninggalkan teh yang sudah dibuat begitu saja? Andai saja bisa. Tapi, pasti tidak semudah itu. Aku lebih menghargai teh yang dibuat dari beberapa proses. Itu mengajarkanku bahwa semuanya tidak instan, pasti membutuhkan proses. Memang bukan hanya teh, kopi juga. Tapi, ya suka-suka aku dong mau pake yang mana.


Aku terbangun oleh deringan bel di pintu apartemenku. Aku menoleh ke kanan dan kiri. “Gila! Udah gelap lagi aja. Jam berapa coba ini?”gerutuku.
“HEI GADIS PEMALAS! CEPAT BUKA PINTUNYA!” Teriak sebuah suara dari balik luar pintu dengan gemas. Aku menepuk jidatku. Lupa! Kalau aku telat membukakan pintu dalam hitungan detik, mungkin pintu itu sudah terpental entah kemana dan membuat tetangga yang lain siap menelepon polisi.
Aku membuka pintu dengan lebar-lebar. “Ngapain disini?”tanyaku sambil bersandar di kusen pintu.
“Mau ngebakar! Ya aku mau bikin makanan!”jawabnya dengan gusar dan menenteng barang belanjaannya ke dalam, meninggalkan aku yang masih bengong. Tumben ini anak orang belanja sendirian. Biasanya dia udah merongrong aku di telepon untuk menemaninya belanja bahan masakan.
“Kau itu ya aku teleponin nggak ada jawabannya mulu. Itu mbak-mbak operator mungkin udah bete kali ngasih tau aku buat nelpon nanti lagi. Sekali lagi aku nelpon kau, mungkin mbak operator itu bakal langsung teriak ‘BISA TELEPON NANTI AJA NGGAK?!’ Hiiiiiy, ngeri!” Aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak di sofa mendengar ia bercerita. Aku sendiri bingung, dia itu sebenarnya lagi ngomelin aku atau mbak-mbak operator?
“Heh! Nggak usah ngejogrog disitu! Bantuin aku bikin makan malam nih! Emang aku kesini buat jadi pembokat gratis semalam?! Buru!”serunya sambil mengacung-acungkan pisau. Aku langsung melompati dua anak tangga yang menuju dapur.
“Siap pak bos!”seruku.
Waktu aku buka handphoneku, ternyata ada sekitar 20 missed call. Ya, cuma dia doang the one and only yang sampai menelepon segitu banyaknya. Dan sms yang aku nggak bisa hitung sama sekali. dari yang paling halus sampai yang isinya capslock semua. Aku tertawa terbahak-bahak setiap membaca semua pesannya. Ia memberengut ditempat duduknya.
Kami memutuskan untuk makan malam di beranda luar yang menghadap langsung ke keramaian kota dan lampu-lampu rumah dan jalanan. Duduk di bangku selonjoran yang bisa ditemukan di pinggir kolam renang atau pantai itu. Sorry, aku nggak tahu namanya. Hahaha.
“Hah! Ini enak banget!”ujarnya sambil menumpukkan kedua tangannya dibelakang kepala dan memejamkan matanya. Aku masih sibuk mencicipi masakannya. Jadi, selama satu jam berkutat di dapur itu aku hanya menjadi kelinci percobaan, enak atau tidak. Karena, aku berhasil menghancurkan gorengannya diatas panggangan.
“Ini apalagi!”gumamku dengan mulut penuh.
“Hah! Kau itu makan mulu, tapi nggak ada gendutnya.”jawabnya. Aku terkekeh dan masih asik mencomot sana-sini.
“Menurutmu, aku udah bisa ngajakin dia jalan belum ya?” Tiba-tiba ia berkata melenceng jauh dari topik. Alhasil, makanan yang aku telan salah masuk jalur dan membuatku tersedak dan megap-megap seperti kehabisan napas. “Uhuk...huk...uhuk...” Ia langsung panik dan mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil memberikanku minum.
“Makannya pelan-pelan dong. Nggak bakal langsung habis kok ini semua makanannya. Tenang aja.”katanya dengan santai sambil kembali ke posisinya semula setelah aku berhasil mengontrol nafasku lagi.
Aku cemberut dan mengabaikan kata-katanya. Selera makanku jadi menghilang karenanya.
“Jadi, gimana menurutmu?”
“Menurutku apaan?!”sergahku dengan nada tinggi. Ia langsung menoleh. Aku buru-buru berdeham-deham dan menenggak minumanku. Oops, reaksiku kelewatan.
“Lagi PMS, ya?”katanya dengan polos.
“Enak aja. Udah lewat kali!”jawabku.
“Maksudku, perasaan marah selalu, kok.”balasnya, lalu tertawa melihat wajahku yang langsung ditekuk 7 lipatan.
“JAYUS!”teriakku. meskipun ada jarak cukup jauh, tapi teriakanku sepertinya sukses menusuk gendang telinganya.
“Tolong, Re, kalau mau teriak-teriak liat situasi dan jam.”gerutunya, masih memegangi telinganya. Berharap masih berfungsi dengan baik.
“Mana bisa!”jawabku dengan santai selonjoran di kursi malas itu dan menikmati udara malam. Memang kata orang udara malam itu tidak baik untuk kesehatan. Tapi, untuk saat ini...masa bodoh lah dengan hal itu. Udaranya terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Udara itu sama ya kayak perasaan. Bisa merasakannya itu menyenangkan, tapi ketika sudah merasakannya lagi rasanya seperti kehilangan dan rasanya akan mati mungkin. Udara dan perasaan itu memiliki satu persamaan, sama-sama membuat orang ketergantungan.
“Udah malem, udah duduk diluar, malah bengong lagi ini gadis. Eh apa udah nggak?”celetuknya sambil menggigit sepotong sosis yang mulai dingin.
Aku langsung menatapnya dengan tajam, “Kau belum pernah dilemparin panci ya?!”
Ia mengangkat kedua tangannya seperti menyerah sambil tertawa-tawa dan dengan mulut yang sibuk mengunyah potongan sosis.
“Aku kira malam ini kau akan mendekam di dalam kamar dan dengan tangan yang sibuk sms-an.”
“Aku tidak akan sejahat itu padamu, Re. Aku tahu kalau kau akan merindukanku.”
“TIDUR DISINI KAU!”ancamku dan langsung masuk ke dalam dan mengunci rolling door yang terhubung ke beranda luar.
Meskipun rolling door itu sudah aku tutup, tapi suara tawanya masih menggema. Aku mendengus sebal. Dasar laki-laki itu, tingkat kepedeannya sudah di level menakutkan. Biarkan saja dia tidur dalam dingin begitu.
Sudah jam segini, ia tidak akan pulang. Dan aku memang akan melarangnya pulang. Jalanan sudah terlalu sepi untuk membiarkannya menyetir sendirian.
“Ayolah, Re. Kau tega mengunci aku diluar sini? Bukannya aku sumber isi perutmu?”bujuknya sambil bersandar di besi beranda dekat pintu, dengan dua tangan yang bersedekap di dadanya, dan dengan seringai yang menghiasi wajahnya.
Hah! Dasar lemah! Dibujuk gitu aja aku langsung membukakannya pintu.
Tapi, hal selanjutnya yang membuatku terkejut adalah tubuhku ditarik ke pelukannya. Wangi tubuhnya langsung menyerang indra penciumanku. Begitu kedua lengannya memerangkap tubuhku, ia mendesah lega.
“Udah lama nggak kayak gini.” Ia menumpukkan kepalanya di puncak kepalaku.
Hening. Aku tidak berani menjawab, apalagi mengeluarkan suara. Yang ada nanti malah aku menjawabnya dengan gemetaran.
Memang sudah cukup lama tidak seperti ini. Sering aku merindukan kami yang seperti saat ini. Tapi, tidak mungkin bagiku untuk meminta padanya atau tiba-tiba langsung memeluknya. Karena, biasanya dialah yang lebih dulu melakukan hal tersebut. Ya contohnya seperti ini.
“Udah berapa lama ya?”
Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
Diam. Ia berkata apa-apa. Tapi, tangannya mengusap kepalaku dengan lembut.
Kedua tanganku memeluk punggungnya. Punggung yang sering kali menjadi objek tinjuku, tapi yang dibalas dengan tawa terbahaknya seakan-akan itu hanya sebuah cubitan anak kecil yang tidak sakit.
Nyaman. Rasanya, aku tidak ingin keluar dari lingkup pelukannya yang seperti ini.


Harap dimaklumi jam tidurku, ya. Udah kayak kelelawar aja jam tidurku ini. teman-temanku selain ia saja sampai frustasi kalau mau menghubungiku harus setelah jam 12 siang. Kadang, malah lebih. Heheheh.
“Hei, anak gadis. Lekas bangun! Aku sudah siapkan cappucino hangat buatmu dan roti bakar coklat. Cepat bangun kalau tidak mau kehabisan.”bisiknya. Hidungku samar-samar mencium wangi aftershave darinya. Hmm, sepertinya dia baru beres mandi.
Aku menyibakkan selimutku entah kemana, dan berjalan dengan lunglai ke ruang makan dengan rambut yang menjulur ke segala arah mata angin. Masa bodoh dengan pakaian tidurku yang hanya mengenakan baju kedodoran dan celana pendek yang tersembunyi dibaliknya. Aku duduk di bar stool dan memutar-mutarnya.
“Ayo cepatlah mana kopiku?! Lama kali kau ini!”gerutuku dengan wajah cemberut.
“Udah tinggal minum aja banyak protes. Nih. Kalau mau lagi masih ada di teko.” Selang sedetik, beli indekosku berdering. Aku mengantar laki-laki itu yang sudah mandi, sudah wangi, sudah pakai kaus ganti, dan sudah pakai celana sedengkul itu berjalan ke arah pintu indekos dengan kening berkerut dan dengan mulut sibuk menyeruput kopi.
Dalam hati, aku heran. Memangnya aku sempat mengundang seseorang kesini sesiang ini untuk menikmati kopi dan roti bakar yang menurutku sudah terlalu siang untuk disebut sarapan? Emang iya ya? Semalam kan aku nggak mabuk. Semalam habis dari beranda itu, kami nonton film sampai ketiduran. Terus, bangun pagi tadi aku udah diatas kasur. Jadi? Ah, kalian tidak perlu khawatir. Laki-laki itu sudah tahu dimana ia akan tidur. Di sofa bed. Bahkan di sofa itu sudah ada bantal dan selimut yang ia bawa sendiri.
Wait. Jadi, siapa gerangan yang siang-siang begini bertamu? Jarang sekali ada yang bertamu sesiang ini ke indekosku kecuali laki-laki ini.
Aku yang hendak memutar tubuhku kembali ke posisi semula, malah  menyemprotkan isi mulutku begitu melihat siapa yang muncul di puncak tangga. Perempuan itu! Hanya mengenakan dress selulut bermotif floral berwarna krem dan dengan rambut coklat tuanya yang digerai. Laki-laki itu menatapku dengan heran yang menyemprotkan kopiku. Dia nggak tau aja perasaan gue. Shock, man!
“Siang, Re. Baru bangun ya?”tanyanya dengan ramah. Aku hanya terkekeh miris.
“Iya, biasalah semalam abis begadang ngelonin itu laki.”kataku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali. Perempuan itu menoleh ke lain arah dan tertawa pelan.
“Rain, aku...aku ya pokoknya kesana lah.”kataku dengan kikuk mengambil cangkir kopi dan piring roti bakarku dan memilih untuk keluar ke beranda. Sebelum ia sempat menahanku, rolling door itu sudah aku tutup duluan. Karena, kalau aku sudah disini, ia tidak akan kesini, dan memilih untuk duduk di sofa ruang tamu saja.
Aku duduk selonjoran dan memejamkan mataku. Aku biarkan kopi dan roti itu mendingin. Berharap supaya perasaan ini buru-buru membeku saja. Seandainya semudah itu. melihatnya dengan wanita yang lainnya aku sudah biasa. Tapi, dengan wanita yang ini. Rasanya terlalu menyesakkan. Mengapa? Karena, hanya wanita ini satu-satunya yang benar-benar ia cintai; yang benar-benar ia anggap wanita di matanya. Aku? Baginya aku memang wanita, tapi setengah laki-laki. Ia bahkan sempat menyarankan padaku untuk periksa ke dokter, barangkali hormon laki-laki di tubuhku lebih banyak. Dan dia mendapat hadiah sebuah jitakan kencang dariku, membuatnya mengaduh kesakitan. Aku sih bodo amat. Dia bakal sembuh cepat ini kok.
“Demen banget bengong sih.” Sikutku ditepuk pelan.
“Siapa yang bengong sih?! Nggak lihat ini mata merem?!”gerutuku dengan sebal dan memunggunginya.
“Kalau mau tidur ya di kasur lah. Pegal tau kalau aku harus mengangkutmu ke kasur. Udah bagus nggak aku seret.”katanya.
“Nggak usah, aku udah enjoy disini. Kau balik lagi ke dalam aja. Temenin tuh.”kataku, setengah mengusirnya.
“Dia lagi ke kamar mandi.”katanya dengan singkat, dan datar.
“Berantem?”tanyaku.
Ia terkekeh. “Ya nggak lah. Cuma....”
“Rain?” Aku menoleh ke arah pintu. Laki-laki itu menoleh sambil tersenyum dan kembali masuk ke dalam.
Rain. Hujan. Laki-laki yang kukenal ini memang seperti hujan. Menyejukkan, namun dimiliki oleh semua orang. Aku sempat tertawa begitu tahu namanya. Saat aku tertawa, ia menatapku dengan heran. Mungkin, ia berpikir aku ini perempuan gila yang baru kenal dengannya namun sudah menertawakan namanya. Aku bukan menertawakan namanya, aku menertawakan pada kegilaan otakku. Aku pernah berpikir, kalau ada laki-laki yang seperti hujan dan bernama seperti hujan, mungkin akan terdengar unik, tapi aku menyukai pikiran sesaatku itu.
Aku kenal dengannya di salah satu tempat les bahasa, laki-laki ini sekelas denganku. Setelah aku kenal, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Aku tidak pernah menyangka dia memiliki sisi gila dan sisi percaya diri yang kelewat batas. Saat ia kenal dengan wanita yang ia puja-puja yang kini ada di dalam itu, ia terlihat seperti seseorang yang sudah menemukan jodohnya dan sudah siap menikah besok. Dan saat mereka berpisah, ia terlihat seperti orang yang siap mati saat itu juga. Aku hanya memberikannya pelukan menenangkan dan secangkir kopi. Terkadang, aku membiarkan ia tertidur diatas pangkuanku. Dan suatu hari, entah di hari keberapa ia kehilangan, ia terbangun disisiku sambil tersenyum dan mencium puncak kepalaku. Dan bergumam, “Terima kasih.” Aku hanya menatapnya terheran-heran.
Selanjutnya ya seperti saat ini. Ia seperti baru bangun dari tidur panjang dan mimpi buruknya, lalu merasa bahagia kalau apa yang ia impikan tidak terjadi di dunia nyata.
Seorang wanita berdiri di dekat rolling door, “Re, aku pulang dulu ya.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Re, aku antar dia ke pintu dulu ya.”
“Sekalian aja kau pulang sana!”ledekku padanya yang hanya terkekeh. Tahu bahwa aku tidak benar-benar menyuruhnya pulang.
“Teh sama kopinya keburu dihabisin sama lalar.”
“Biarin aja.” Jawabku dengan tak acuh, masih dengan memejamkan mata.
“Re...,”panggilnya pelan. Aku menggumam, “Apa sih? Ganggu amat orang lagi santai.” Tiba-tiba ia meraih tanganku yang aku tumpukkan dibelakang kepala, ke dalam genggaman tangannya yang terasa...pas. Mau berapa kali aku dibuat shock hari ini olehnya? Satu kali lagi mungkin aku bisa dapat jodoh ganteng! Ngarep banget nggak sih? Biarin. Namanya juga ngarep, nggak bakal ngira-ngira.
Aku membuka mataku dan menatapnya dengan kening berkerut. Ia yang membelakangi sinar matahari, membuat rambut coklatnya terlihat kemerah-merahan, dan membiaskan semburat cahaya oranye. Samar-samar aku melihat ia tersenyum lembut padaku dengan mata teduhnya, “Orang tuaku semalam baru saja touchdown disini dan mereka menginap di hotel dekat bandara, nanti malam mereka baru move ke rumahku –“
Aku mendengus sebal dibikin penasaran gini, aku langsung memotong kalimatnya, “Rain, langsung ke poin utamanya. Kau tahu kan kalau aku tidak suka yang bertele-tele.  I will appreciate you, if you to the point. How I hate –“
Ia pun membalas memotong kalimatku dengan santai, “Re, aku mau ajak kau ketemu orang tuaku.” WAIT! Give me a second, no, a minuteee~~! What he said?!! Did he serious with that?! Jantung aku rasanya mau copot sampai ke ujung jempol.
Aku yang hampir melongo itu berdeham pelan, “Aku kan udah biasa ketemu sama orang tuamu. Trus? Something wrong?”tanyaku, berlagak polos.
Ia tertawa. “Kali ini dalam konteks yang berbeda, Re.  I want to announce to them, that I want you to be part of my life, to be my partner for the rest of my time, Re. Because, at the first time we met, I know, one day I will realized this feeling. And I know, I should to admit it. I don’t want to become a liar to myself. That’s the reason I want you to meet my parents soon even though they already know you.” Ia menarik nafas pelan, lalu ia menatap langsung ke mataku, dan berkata, “So, ich liebe dich, Re.” Ia menutup serangkaian kalimatnya itu dengan menarik kepalaku dan mengecup puncak kepalaku.
HAHAHAHA! Dia belum liat aja mukaku saat ini! Udah kayak kepiting rebus, man! Kalau dia lihat, paling dia akan tertawa sampai jatuh ke lantai segala. Kali ini mungkin jantungku benar-benar merosot sampai ke ujung jempol kaki.
Aku masih melongo. Tapi, lagi-lagi aku mencoba untuk stay cool, “Emang aku bakal bilang iya? Emang aku bakal bilang mau?”kataku dengan wajah tengil.
Lagi, ia tertawa. “Kapan kau bisa menolakku? Aku minta ditemani ke tempat gym, kau mau. Aku minta tolong kau menjemput dua orang tuaku, kau mau. Aku minta tolong kau untuk menemaniku gunting rambut, kau mau. Bahkan, kau rela-rela saja jadi obat nyamuk saat aku dengan pacar-pacarku yang sebelumnya ini.”
“Memang itu bisa jadi tolok ukur? Nggak tuh. Semua sahabat kan bakal melakukan itu semua. Kau juga tidak bisa menolakku, Rain. Kau yang paling tidak menolakku. Kalau aku sebutkan semuanya satu-satu, keburu malam.” Kataku dengan tawa.
“Tapi, ada satu yang belum aku minta darimu.”katanya, ia bahkan tidak menjawab kalimatku. Aku mengerutkan kening. “Apa?”tanyaku dengan bingung.
“Jadi, ibu untuk anak kita nantinya.”Hah! Lemah banget, baru dibilang gitu aja aku udah tersipu-sipu.
“Aku selalu suka bagian kau yang seperti ini! Hahaha~!!” Dan ia memelukku sambil tertawa.
“Emang udah aku jawab iya atau tidak?! Lalu, aku ini orang kedua dari wanita itu?!”gerutuku, menahan malu.
“Dengan ekspresimu seperti itu, aku sudah tahu jawaban yang akan kau berikan untukku. Tidak usah khawatir, aku selalu tahu apa yang ada di pikiranmu. Kepalamu terlalu transparan dimataku. Dan, soal mantanku itu, ia sebentar lagi akan menikah. Aku mengundangnya kesini juga sekalian ia mengantarkan surat undangan. Untuk kita.”jawabnya dengan lembut. “Jadi, anggap saja, yang kemarin-kemarin itu aku hanya mengujimu, Re.” Ia berbisik sambil tertawa puas.
Aku mencubit pinggangnya, membuatnya mengaduh dalam tawanya.
“Ich liebe dich, Rain.” Bisikku.
“Aku tahu, Re, aku tahu. Aku tidak pernah meminta apalagi berharap kau akan menjawab kalimat itu. Karena, aku selalu tahu kau.”katanya. Ia mencium puncak kepalaku lama sekali.
Senja kota Wina hari ini menjadi saksi biksu serangkaian kalimat yang ia ucapkan padaku dengan lembut, namun tegas dan penuh keyakinan. 

Senin, 09 Juni 2014

Random.

Kau tahu rasanya diabaikan? Padahal disekitarmu itu ramai sekali atau padahal kau berteman kan banyak orang, tapi seperti tidak ada yang menganggapmu ada. Kalau kau belum tau, mari aku beri tahu rasanya. Rasanya lebih menyesakkan daripada saat kau harus kehilangan salah satu sepatumu; rasanya bahkan lebih menyakitkan daripada saat kau putus dengan pacarmu atau mungkin sebanding sakitnya dengan rasa orang yang gagal menikah di saat-saat terakhir; rasanya lebih kecut dari menenggak jus jeruk yang belum manis. 
Mungkin kau akan baik-baik saja, ketika ada seorang laki-laki yang berasa disampingmu, yang menemanimu, yang menghiburmu. Lalu, bagaimana dengan yang tidak memiliki satu? Bahkan saat sedih dan mengharapkan ada satu dari teman  — orang yang baginya sudah dianggap teman, entah bagaimana dengan orang itu menganggapnya —, yang secara sadar bahwa ada temennya yang sedang sedih dan menghiburnya, dan pada kenyataannya tidak ada satu pun? Bagaimana? Mungkin harus merasakannya dulu sebelum bisa berpendapat. Aku sendiri sudah lupa bagaimana rasanya dikhawatirkan oleh seseorang (selain dua orang tua), bagaimana rasanya ada seseorang yang rindu dan kepikiran buat ketemu, bagaimana rasanya benar-benar dicintai dengan serius. Aku sudah lupa keseluruhannya itu. Hahah konyol ya? Padahal belum lama ini aku menjalani hubungan. Yang ternyata baru aku sadari hanya hubungan yang isinya kosong beratasnamakan 'pacaran', tidak lebih, hanya kurang. Tidak ada rasa iri kalau melihat pasangan yang lain, hanya selalu muncul dipikiran ini, "kapan?" Namun, lagi-lagi hanya tenggelam begitu saja pertanyaan itu, aku tidak pernah menunggu jawabannya karena yang ada hanya akan membuat frustasi, karena menunggu jawaban itu sama saja seperti mencari ujung cakrawala yang sebenarnya susah ditemukan, atau mungkin memang tidak memiliki ujung?
Kata orang, kalau ingin menangis ya menangis saja. Gampang memang. Tapi terkadang siapa yang tahu pikiran orang? Kebanyakan orang saat ini selalu beranggapan: nangis mulu, gak capek? Lemah banget cuma gitu doang nangis. See? Maka dari itu sekarang banyak wanita yang terlihat kuat diluarnya, seperti gelas bening yang terlihat anggun, mewah, dan terlihat kuat, tapi coba saja untuk dijatuhkan sekali kalau tidak langsung pecah berkeping-keping. 
Bahkan ada yang membangun benteng pertahanannya sendiri, tapi yang menjadi pondasi benteng itu apa? Rasa sakit hati yang pernah dirasain dan rasa takut, takut terulang kembali. Ketika kau menganggap orang yang benar-benar ada untukmu, ternyata tidak itu....menyesakkan. Seperti sesak menahan tangis. Aku termasuk lemah, saat menahan tangis dan lalu dipeluk, jangan salah kan aku kalau kau akan kebanjiran. Aku berkata ini bukan bermaksud ingin terlihat lemah atau minta dikasihani. Dan aku percaya, diluar sana  juga ada wanita yang begitu. Pertahanan diri wanita itu tidak kuat sebenarnya, tidak seperti yang laki-laki pikirkan. Satu titik lemah wanita adalah ada di titik persahabatan, sebelum percintaan. Ketika mereka menemukan orang yang mereka rasa bisa disebut sebagai sahabat, seterusnya maka akan seperti itu. Tapi, justru itu point lemahnya. Ketika salah satu merasa terkhianati atau ditinggal kan atau tidak dipedulikan, rasanya luar biasa sakit. Tidak mudah menemukan sahabat yang benar-benar bisa disebut sebagai sahabat yang benar-benar tahu kapan kau sedang sedih tanpa harus memberitahukannya, sahabat yang tetap ada meskipun kalian habis melewati pertengkaran dan bukannya meninggalkan. Susah. Dan sudah jarang. Seperti menemukan pasangan. Susah untuk menemukan yang benar-benar bisa disebut sebagai pasangan yang mengerti luar dalam, baik buruknya. 
Jadi, ketika kau sudah memiliki itu dijaga. Jangan disia-siakan. Semua itu bisa menghilang dalam satu kali kedipan mata. Jangan sampai menyesal, ya. Terjebak dalam penyesalan layaknya terjebak dalam kotak besi yang tidak memiliki pintu keluar. 



Sincerely, 
V. 

Jumat, 11 April 2014

Payung


Sepertinya kali ini iklim dan cuaca sedang senang mengajak bercanda.
Sebentar-sebentar hujan, sebentarnya lagi panas terik.
“Maunya apa sih?!”gerutuku dengan sebal sambil melihat keluar jendela. Baru beberapa menit yang lalu, aku bersemangat untuk keluar dari rumah karena tadi, tolong ditekankan bagian kata ‘tadi’, cuacanya sangat mendukung untuk keluar rumah. Padahal aku hanya ke toilet tidak sampai 10 menit, tiba-tiba awannya merajuk dan mulai menggelap. Ya, bahkan awan saja sanggup membuat wajah setiap orang menggelap juga. Mungkin, ia tidak suka hanya ia seorang yang wajahnya menggelap akibat merajuk.
Tidak enak sudah membuat janji lalu membatalkannya tiba-tiba hanya karena sebentar lagi akan hujan. Maka, aku pun bergegas untuk mengejar bus sebelum tertinggal dan malah dikejar oleh hujan. Aku tidak apa-apa jika dikejar hujan, aku hanya tidak mau dikejar saat aku tengah janjian, tidak lucu datang dalam keadaan basah kuyup seperti kucing yang kecebur di selokan. Aku buru-buru mengenakan keds dan keluar dari rumah seraya mengunci pintu dan berjalan dengan cepat menuju halte bus terdekat.
Aku tidak pernah membawa payung. Lebih menyenangkan hujan-hujanan daripada memakai payung, maka dari itu aku jarang memakai tas, sekalipun memakai tas, aku memilih untuk memakai yang memiliki anti-air. Memakai payung seperti sedang menghindari sesuatu. Sayangnya, aku tidak pernah memakai payung untuk menghindar dari masa lalu. Aku selalu mencoba untuk menghadapi masa laluku sendiri, apapun isinya. Mungkin lucu rasanya jika kita memakai pelindung anti-masa-lalu. Seperti anak kecil yang menghindar dari badut, bahkan mungkin anak kecil yang lebih berani menghadapi badut, dibandingkan aku.
Aku menunggu bus yang kedatangannya bahkan mengalahkan buffering YouTube dengan kecepatan rendah, seraya mengetuk-ketukkan kakiku ke lantai halte dengan tidak sabaran. Aku hendak berdiri saat melihat bus yang aku tunggu tengah melaju dengan kecepatan sedang, lalu kembali duduk saat melihat isi bus tersebut sudah seperti isi kaleng ikan sarden. Mengerikan.
Aku memasang sepasang earphone di kedua telingaku untuk menghilangkan rasa jenuhku menunggu bus yang lama sekali datangnya. Semoga bus kali ini sesepi halte ini, yang isinya hanya aku seorang.
Aku malah sempat lupa bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Konyol.
Aku tidak menghitung sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya. Untuk apa lagipula. Mungkin, aku terlalu menikmati masa-masa sendiriku. Tapi, terkadang ada waktunya saat aku iri melihat yang lainnya. Namun, dalam sekejap, rasa itu akan hilang begitu saja. Hanya rasa iri yang seliwat. Mungkin, karena seiring waktu, aku mulai memiliki sistem kekebalan sendiri.
Sudahlah, tidak ada untungnya memikirkan yang lama. Tidak akan merubah keadaan sekalipun. Seperti kau membuka satu folder, kau akan menemukan folder lain di dalamnya dan seterusnya seperti itu. Kapan selesainya? Tidak akan selesai, jika bukan kau sendiri yang menyelesaikan dan memilih menu exit. Tapi, terkadang tidak semudah itu keluar dari masa lalu.
Akhirnya, bus yang sesuai aku mau, muncul di belokan dengan kecepatan normal dan memang terlihat seperti bus pada umumnya, tidak ramai, tidak juga sepi. Bus tersebut belum menepi pun, aku sudah berdiri menunggu di pinggir halte. Aku langsung mengambil tempat duduk dekat pintu keluar. Siapa tahu, tiba-tiba saja bus dalam keadaan ramai dan aku susah turun dan akibatnya aku tidak bisa turun di halte yang seharusnya. Ribet.
Lebih baik salah halte, daripada salah hati. Setidaknya salah halte tidak terlalu menyakitkan, tapi kalau salah hati itu baru menyakitkan dan hanya sia-sia saja jadinya. Sudah membuang waktu dengan percuma hanya untuk mencintai hal yang salah. Tapi, kita seringkali membodohi diri sendiri. Berpura-pura segalanya baik-baik saja, padahal sebenarnya tahu kalau ada yang tidak baik-baik saja.  Berusaha menutupi bau dari masalah tersebut. Lalu, saat sadar untuk mulai memperbaikinya, yang ada malah bertemu dengan keterlambatan. Kemudian apa? Penyesalan.
Banyak yang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan kehilangan; banyak yang membutuhkan waktu untuk tenggelam dalam kehilangan tersebut dan menjadi gila hanya perihal kehilangan yang sebenarnya masih bisa tergantikan; banyak pula yang membutuhkan waktu untuk mulai memindahkan rasa, kembali pada tempat semulanya. Tergantung bagaimana orang tersebut meladeni kehilangan itu.
Aku? Aku memilih belajar untuk merasakannya, namun tidak tenggelam, dan perlahan-lahan mulai memindahkan satu per satu dari kepingan perasaan sendiri kembali ke tempatnya. Ya, aku menggabungkan ketiga pilihan tersebut, siapa tahu berjalan dengan baik. Sejauh ini aku belum menemukan masalah dengan tiga pilihan yang aku gabungkan tersebut.
Aku melompat turun saat bus tersebut menepi di halte yang aku tuju dan langsung berjalan menuju tempat janjianku dengan teman-teman yang lainnya. Sebentar lagi, aku akan meninggalkan kota ini; sebentar lagi aku meninggalkan kenanganku disini. Biarlah kota ini yang menyimpan keseluruhan kenanganku dalam bentuk arsip-arsip.
Aku menatap teman-temanku dari kejauhan. Betapa aku akan merindukan kebersamaanku dengan mereka saat aku sudah tidak disini lagi. Ya, aku pasti akan merindukan mereka semua. Mereka melambai padaku yang aku balas dengan anggukan samar dan langsung bergabung dengan mereka. Melupakan sejenak segala kekusutan pikiran dan perasaan dan fokus pada mereka yang sebentar lagi akan berpisah.
Sebenarnya, waktuku masih cukup lama. Hanya saja, aku tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk bersantai. Banyak hal yang harus aku urus disana-sini. Belum lagi aku harus membereskan ruang hati yang masih berantakan, layaknya orang yang baru saja pindahan. Beberapa diantara mereka pun sudah ada yang memulai aktifitas dan meninggalkan masa hiatus mereka. Bahkan, sudah ada yang sebentar lagi akan meninggalkan kota ini lebih dahulu. Sehingga, masa untuk bertemu sesering saat ini dan kemarin-kemarin akan terasa langka nantinya. Jadi, kami memutuskan untuk memanfaatkan waktu kami. 

Perputaran waktu dalam rotasinya mulai susah untuk dikontrol. Ia berputar terlalu cepat di porosnya, hingga tiba-tiba sudah sampai pada tahap, “Keep in touch, darl.”ujar yang lainnya padaku dan pada teman-temanku yang lain yang akan lebih dahulu pindah dari kota ini. Aku bisa melihat, beberapa dari mereka menahan air matanya dengan tertawa miris dan suara yang parau. Aku hanya bisa tersenyum tipis saat kami satu per satu saling berpelukan, lalu mengucapkan selamat jalan dan sampai jumpa. Padahal aku baru satu tahun bersama mereka yang sudah hampir 3 tahun bersama, tapi aku merasa sudah seperti tinggal dengan sebuah keluarga.
Segalanya tidak ada yang mudah untuk dilalui, namun waktu akan memberikan pelajarannya sendiri, dia akan mengajarkannya dengan caranya sendiri, dengan atau tanpa kita sadari. Aku berdiri di depan kaca kedai tempat kami biasa berkumpul, dan tempat kami berpisah untuk terakhir kalinya pula. Rintik-rintik sudah mulai turun. Aku bukannya tidak mau menerobos rintik-rintik, aku hanya belum mau pulang.
Hidupku hanya berputar dalam satu rotasi, sejauh yang aku sadari. Jatuh cinta, mencintai, dicintai, melepaskan, melupakan, dan mengenang. Aku tidak tahu, aku masih di kota yang sama atau tidak dengannya. Jika, aku memang masih satu kota dengannya, aku ingin bertemu dengannya untuk terakhir kali. Untuk mengucapkan selamat tinggal.
Tapi, aku biarkan waktu yang berikan jawaban. Aku tidak akan menunggu. Jika memang ada jawabannya, maka aku akan siap dengan jawaban yang diberikan. Jika tidak pun, aku tidak apa-apa. Aku menengadahkan telapak tanganku ke atas. Menadah rintik-rintik yang jatuh dan menggenang di telapak tanganku.
Aku menghela nafas dan masuk ke dalam rintik-rintik hujan. Ponselku dan uangku sudah aku bungkus dalam satu tempat yang terbuat dari plastik. Jadi aku santai-santai saja. Aku tahu, orang-orang yang aku lewati dan melewatiku pasti heran, tapi aku sudah terbiasa dengan pandangan heran mereka. Setiap kali bersitatap denganku, aku akan melontarkan senyum lebar, menyerupai cengiran pada mereka yang akan langsung buang muka.
Banyak anak-anak kecil yang menawarkan ojeg payung, tapi aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala singkat dan melanjutkan langkahku. Dulu, jika ia tahu aku akan keluar saat cuaca yang akan hujan, ia pasti akan menanyakan aku dimana dan tanpa aku minta, ia akan menjemputku. Beserta payung juga. Saat berada dibawah payung yang sama dengannya, tangannya yang satu lagi akan menggenggam tanganku, supaya aku tidak bandel dan keluar dari dalam lindungan payungnya. Jika aku memaksa, ia akan menggeram padaku dari sela-sela giginya dan aku tahu, aku tidak bisa mengelak. Rasanya saat itu, seperti aku benar-benar dijaga dalam lingkupannya dan tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Karena, bagiku selama aku bersamanya semuanya akan terasa baik-baik saja.
Ah, dulu. Kata ‘dulu’ itu selalu mengandung banyak cerita. Seperti kata ‘dulu’-lah yang menyimpan kenangan setiap orang.
Aku berjalan santai dalam rintik-rintik hujan yang mulai membasahi tanah yang kering. Aku selalu menanti saat-saat ketika hujan salju mulai berjatuhan dan menyentuh tanah dengan perlahan-lahan dan disertai hembusan angin yang sanggup untuk membekukan tangan dan membuat lidah menjadi kelu karena dinginnya, yang terjadi hanya di akhir tahun saja.
Aku berdiri bersama dengan penyebrang lainnya di dekat lampu merah. Menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Berdiam di antara lautan orang-orang berpayung dengan berbagai warna dan mulai mengikuti arus ketika arus tersebut mulai bergerak perlahan saat lampu merah itu berubah menjadi hijau.
Aku berjalan sambil meresapi rintik-rintik hujan yang perlahan-lahan menyentuh kulitku yang meskipun tertutupi oleh jaket, tapi air tersebut masih bisa meresap dan menembusnya dengan sempurna, dan kering dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hebat ya? Rasa ini dengan mudah meresap, tapi sayangnya, untuk bisa kembali seperti sedia kala, membutuhkan waktu yang cukup lama. Rasanya melelahkan.
Masih bisa aku rasakan titik-titik air yang meresap ke kulitku hingga tiba-tiba aku merasa titik-titik air tersebut berhenti meresap melewati jaketku. “Kalau sedang jalan, perhatikan jalan di depanmu. Jangan menunduk terus. Kalau menabrak orang lain bagaimana?” Aku langsung mendongak dengan postur tubuh yang menegang.
Aku menoleh ke kiriku dan kedua mataku dengan suksesnya, terbelalak dengan lebar dan tanpa tahu sopan santun, mulutku langsung menganga saking terkejutnya. Aku langsung menyadarkan diriku sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalaku berusaha supaya bayangannya lenyap dari pandanganku. Sudah beberapa kali aku menggelengkan kepalaku, tapi bayangannya masih saja menghantui pupil mataku.
Ketika tersadar bahwa aku tidak sedang bermimpi, aku sudah berada diseberang jalan dengannya yang mengkerutkan keningnya dengan heran. “Kau ini kenapa? Seperti melihat hantu saja.”serunya.
Aku masih diam.
Tunggu, aku diam bukan karena tidak ingin menjawabnya, tapi diriku masih diliputi oleh keterkejutan. Memang benar ya kata orang, hal yang sebenarnya terlihat tidak mungkin terjadi, bisa saja suatu saat bisa terjadi. Sebelumnya aku tidak percaya, tapi setelah aku mengalaminya saat ini, aku percaya.
Tiba-tiba aku menjadi orang gagu. Aku menatapnya dengan dua kelopak mata yang melebar saking terkejutnya. Tapi, aku buru-buru menutupinya dengan mendengus. “Kenapa kau senang sekali seperti ini?”tegurnya, diselipi decakan bingung. Aku memilih diam. “Ayolah, ucapkan beberapa kalimat saja. Jangan diam seperti ini. Seperti berjalan dengan patung.”
Aku menghela nafas dengan kasar. “Sedang apa kau disini?” Pada akhirnya, aku bertanya juga.
Ia terkekeh pelan. Aku bisa merasakannya lewat lengannya yang bergetar. “Ya, aku pikir sudah saatnya aku kembali.”jawabnya dengan santai. Aku kembali tidak bersuara. Aku tertawa dalam hati. Tawa miris. Kembali disaat aku akan pergi. Pilihan waktu yang sangat-teramat tepat. Pintar sekali.
“Aku pulang lebih dahulu.”ujarku sambil keluar dari jangkauan payung dan lengannya. Yep, jalan cepat. Di belakang punggungku tidak terdengar suara yang memanggil namaku, aku semakin memacu langkahku. Baguslah. Jadi, selama dia pergi ke dunia antah berantahnya itu, sepertinya dia semedi untuk melupakanku, melupakan namaku, dan mungkin lebih mirisnya lagi, melupakan kenangan kami. Rasanya aneh menyebutkan kata terakhir itu.
Omonganku ini sudah seperti orang yang cukup lama tidak mengingat-ngingatnya lagi. Padahal diam-diam masih sering mengenangnya lagi. Sstt, ini rahasia kita saja. Dia tidak perlu tahu. Kalau dia sampai tahu, aku tidak tahu akan sebesar apa kepalanya itu. Dia itu mudah sekali untuk besar kepala dan rasa percaya dirinya itu sudah sangat overload. Heran.
Aku sendiri bingung dia itu semedi dimana. Tiba-tiba menghilang dan tiba-tiba muncul. Aku memang sengaja tidak mencari tahu keberadaannya. Padahal sebenarnya aku mati-matian menahan rasa ingin tahu ini. ‘Toh dia juga tidak akan peduli lagi. Tapi, kenapa dia harus muncul disaat-saat seperti ini saat aku sudah akan beranjak keluar dari sini? Sudah direncanakan dari jauh-jauh hari kah? Konyol sekali orang itu.
Tapi, tetap saja. Biar bagaimanapun, dia orang yang sempat bersamaku disaat susah dan senang juga. Memang tidak seharusnya aku membencinya. Ah, aku bukan membencinya, aku hanya masih.....mencintainya. Mungkin? Sepertinya. Aku tidak berani untuk memperkirakannya. Ah, sejak kapan cinta bisa di kira-kira? Ngawur.
Aku mulai memperlambat jalanku ketika merasa sudah tidak akan diganggu olehnya lagi. Perlahan-lahan hujan juga mulai menyisakan rintik-rintik kecil. Rintik-rintik yang bisa membuat orang pusing, katanya. Tapi, tidak se-memusingkan perihalnya di otakku. Bahkan rintik-rintik tipis nan kecil ini tidak sanggup untuk menghapus bayang-bayangnya.
Aku memperlambat jalanku dan beberapa kali menghindari kubangan dengan riak-riak kecil akibat rintik-rintik hujan yang jatuh perlahan-lahan diatas kubangan tersebut. menghindari kubangan lebih mudah bukan daripada menghindari kenangan lama yang tiba-tiba menghantuimu? Aku mendesah dengan sebal. “Kenapa dia harus tiba-tiba muncul disaat seperti ini?”gerutuku sambil mengerutkan kening.
“Maksudmu, aku?”tanyanya dengan wajah yang bingung saat aku tolehkan kepalaku. Rahangku hampir jatuh melihatnya yang tiba-tiba berada disampingku, oke ini terlalu berlebihan. Tapi, sungguh. Tidak mungkin aku tidak terkejut melihat dia yang sudah aku tinggalkan cukup jauh di belakang sana, dan tiba-tiba berada disini, di-sam-ping-ku.
“Kau bertapa untuk mencari ilmu hitam?”tuduhku.
Ia terdiam sejenak, kaget. Itu yang aku lihat dari ekspresi di wajahnya. Lalu, detik berikutnya ia tertawa. Terbahak-bahak. “Kau ini gila? Kata siapa aku bertapa? Mencari ilmu hitam? Aduh, ada apa dengan otakmu ini.”gerutunya disela-sela tawanya yang tidak kunjung berhenti. Aku cemberut dengan sebal dikatain seperti itu olehnya yang sudah menghilang dan muncul tiba-tiba, persis seperti hantu jika begini terus.
“Tidak ada apa-apa dengan otakku. Kau ini berlebihan.”gerutuku sambil melangkah dengan cepat, berusaha meninggalkannya saat itu juga. Dan, ternyata ia bisa menyamai langkahku! Aku langsung berhenti mendadak. “Kau ini sedang apa?!”tanyaku tiba-tiba. Ia terkejut karena aku berhenti mendadak.
“Aku sedang berjalan disampingmu dan tiba-tiba kau berhenti mendadak.”jawabnya dengan polos. Hah, tepatnya sok naif. Aku mengerutkan keningku dengan sebal karena masih tidak bisa mengerti jalan pikirannya saat ini.
“Bukan itu maksudku. Maksudku, untuk apa kau mengikutiku? Aku mau pulang.”gerutuku.
“Ya aku mau mengantarmu pulang. Apakah itu salah? Bukankah dulu –“
Aku mengangkat tanganku ke depan wajahnya, menghentikan kalimat selanjutnya yang sudah bisa aku tebak kelanjutannya. “Tolong ya, itu dulu. Bukan saat ini. Jadi, tolong dibedakan.”gerutuku dengan sebal. Ia menghela nafas sebentar dan tersenyum. “Baiklah, maaf kalau begitu. Ayo lanjutkan lagi perjalanan pulangnya. Sebelum hujannya tambah deras.”ujarnya.
“Tidak. Aku  pulang sendiri. Kau pulanglah.”ujarku dengan tegas.
“Tidak baik seorang gadis pulang sendirian.”
For God’s sake, ini masih terang. Lampu jalan saja belum menyala. Aku masih bisa pulang sendiri.”ujarku dengan gusar.
“Ayolah, berhenti untuk keras kepala.”ujarnya sambil tersenyum dan mulai mengambil langkah lebih dahulu. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dengan kesal. Sebenarnya saat ini yang keras kepala itu siapa, gerutuku dalam hati. Tapi, kakiku tetap saja melangkah dibelakangnya. Terkadang, otak memang susah untuk disinkronkan dengan hal-hal yang lainnya.
“Kalau kau terus berjalan di belakangku, bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak diculik oleh orang?”katanya sambil memutar badan ke belakang, membuatku terkejut.
“Aku masih bisa menjaga diriku sendiri.”jawabku tanpa berhenti dan terus berjalan, melewatinya. “Baiklah terserah kau saja.”jawabnya dengan santai dan mengikuti langkahku di belakang.
Kami berjalan dalam diam. Sebenarnya, aku yang sengaja mendiamkannya. Karena aku tidak ada niat sama sekali untuk membuka obrolan, sedangkan dia, dia berusaha untuk membuka obrolan namun hanya aku jawab seperlunya saja. Ia hanya menghela nafas dan menghembuskan nafas setiap kali ia ingin membuka obrolan namun diurungkan kembali, karena akhirnya ia sadar bahwa aku tidak ada niatan sama sekali untuk mengobrol dengannya. Baguslah kalau akhirnya dia sadar.
Langkahku mulai memasuki area keramaian. Aku menengok jam tangan yang aku pakai di tangan kiriku dan mendesah sebal. Pantas saja sudah mulai ramai, ini kan jam pulang kantor. Ditambah lagi cuacanya masih hujan seperti ini, sudah pasti mereka semua berbondong-bondong itu cepat sampai di tempat tujuan sebelum dihadang hujan.
Di udara yang dingin ini, tiba-tiba aku merasakan kehangatan yang lain yang menjalar masuk ke dalam kulit membuatku sedikit berjengit karena terkejut. Aku menengok ke sampingku dan mendapatinya sedang menggenggam tanganku yang diselipkan di dalam saku raincoatnya yang tebal dan berwarna hitam. Wajahnya terlihat serius menatap khalayak ramai di depan matanya, berbanding terbalik denganku yang menatapnya dengan melongo. Seseorang mungkin bisa membantuku untuk menadahkan kedua bola mataku supaya tidak jatuh sampai ke lantai, karena saat ini kedua bola mataku sudah siap untuk melompat dari rongganya. Oh, pardon my language.
Berani-beraninya dia! Ketika aku membuka mulut untuk memulai pertengkaran dengannya, ia memotong lebih dahulu udara yang tengah aku hirup, “Sstt. Kali ini berkompromilah denganku, sekali saja. Ini di tengah keramaian. Aku tidak mau kau kehilangan arah pulang. Hanya itu saja. Dan udaranya sudah mulai menusuk-nusuk. Aku juga tidak mau kau masuk angin.”katanya sambil berhenti sebentar. “Karena, aku tahu kau tidak suka di dalam payung, jadi baiklah payung ini tidak akan aku pakai. Ayo kita jalan seperti tidak sedang hujan.” Aku semakin melongo. Kapan dia menutup payungnya saja aku tidak tahu. “Seperti dulu.”gumamnya, namun masih tertangkap oleh telingaku.
Aku tidak menjawab semua kalimat yang ia ucapkan, hanya mengikuti langkahnya dengan satu tanganku yang berada di dalam raincoat tebal itu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menggenggam tangan yang selalu hangat ini. Tangan yang kehangatannya tidak pernah terusik oleh cuaca yang dingin menusuk seperti ini. Kehangatan yang pernah tinggal untukku yang kini sudah menguap dan digantikan oleh rasa dingin.
Diam-diam aku menikmati setiap detiknya ketika tanganku berada dalam genggamannya. Kembali aku rasakan bahwa semuanya akan terasa baik-baik saja ketika aku berada dalam genggamannya. Konyol bukan sih? Ah entahlah. Untuk saat ini aku tidak mau peduli dulu. Apalagi, setelah aku sampai di rumah aku sudah harus mengucapkan selamat tinggal padanya. The really goodbye to him.
“Minum kopi dulu gimana? Aku rasa aku butuh kopi.”tawarku dengan nada yang sedikit dibuat cuek. Aku bisa merasakan bahwa ia menghembuskan nafas panjang. Dalam hati, aku tersenyum. So, I lose now. I should admit that I really really miss him. Eventually, I also admit that I missing him for a long time that I can not count it. If I count how long he went, it gives me more pain inside.
“Baiklah. Ayo. Semoga setiap kedai kopi tidak terlalu ramai. Setidaknya, kita tidak perlu untuk standing party dengan gelas kopi di tangan. Itu tidak lucu sebenarnya, meskipun anti mainstream.”celotehnya. Mendadak aku merasa kedua pipiku menghangat ketika mendengar ia mengucapkan kata ‘kita’ untuk menyebutkan aku dan dia. Oh holy mother, it is not good. I am sure. Semoga ia tidak menyadari kalau pipiku mungkin saja sedang bersemu saat ini.
“Ya, semoga saja.”jawabku, masih berusaha mengatur nadaku agar masih terkesan cuek. Padahal aku menahan degup jantungku yang berdebar-debar supaya tidak terdengar olehnya mati-matian, yang sebenarnya tidak mungkin bisa ia dengar.
Kami berhenti di lampu merah penyebrangan. Tanganku masih berada dalam genggamannya, di dalam saku raincoat. Aku tidak ingin kehilangan momen ini, seriusan. Tapi, detik berikutnya setelah aku merasa seperti itu, aku merasa kecewa karena tanganku kehilangan rasa hangatnya, karena kali ini tanganku tergantung dengan bebas disisi tubuhku karena ia melepaskan genggamannya. Ya, kau harus tahu, rasanya seperti kehilangan barang yang benar-benar kau sayangi dan setelah dijaga mati-matian barang itu dengan mudahnya menghilang.
Oh shit. Aku menahan nafas ketika tangan yang tadinya mengenggam tanganku itu berpindah ke pundakku dan ia merapatkan tubuhku dengannya. “Maaf, aku harus seperti ini karena aku tidak mau kau terbawa arus orang yang menyeberang. Kecuali kau lebih ingin terbawa arus yang menyeberang.”bisiknya ditengah keramaian. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala beberapa kali. Semoga ia mengerti maksudku. Oh ternyata, karena ini makanya dilepas gandengannya. Aku menertawakan kebodohanku sendiri, tapi di dalam hati.
Ia benar-benar melindungiku bahkan ketika menyeberang dan harus melawan arus orang yang menyeberang dari arah yang berlawanan. Ternyata kedai kopi yang kami tuju tidak terlalu jauh dari tempat kami menyeberang tadi. Ia mendorong pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk lebih dulu. Aku memilih tempat duduk di luar ruangan dan ia yang pergi memesan kopi. Semoga saja dia masih ingat kopi favoritku.
“Satu cappuccino dengan 3 gula merah, dan satu vanilla latte dengan 3 gula merah. Aku masih ingat dengan baik kopi kesukaanmu.”ujarnya sambil meletakkan gelas kopi cappuccino panas di hadapanku dan beserta bungkus-bungkus gula merah di samping gelasku. Aku tersenyum kecil seraya mengucapkan, “Terima kasih.” Dan menyobek semua bungkusan gula merah dan menuangkannya ke dalam cangkir kopiku.
“Jadi, apakah selama ini kau baik-baik saja?”tanyanya sambil meletakkan gelas kopi yang barusan ia sesap isinya dengan hati-hati.
Aku mendongak dari acara mengaduk-aduk gula. “Hhmm? Oh, iya. Aku baik-baik saja. Buktinya aku ada dihadapanmu saat ini tanpa kurang satu pun kan?”jawabku dengan cueknya dan kembali mengaduk-aduk kopiku. Aku berusaha untuk tidak bertanya balik.
“Maaf kalau selama ini aku menghilang. Aku tahu ini terdengar tidak penting untukmu, ditambah lagi dengan kita yang hanya berstatus sebagai teman, setidaknya aku menganggapnya seperti sampai saat ini, setelah aku memilih untuk udahan. Tapi, selama aku tidak ada sekitarmu, aku pergi menemani Ibu berobat di luar negeri untuk mengobati kanker rahimnya.”katanya menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk kecil masih dengan mengaduk-aduk isi cangkir kopiku dan sesekali meniupnya. Pantas saja waktu itu Ibu pernah kelihatan panik pas terima telepon.
“Kau tidak mau meminta penjelasan apa-apa dariku?”tanyanya, terdengar putus asa.
Aku mendongak dan menatapnya. “Untuk apa? Kau sudah memilih untuk berhenti, meskipun aku masih ingin bersamamu juga tidak akan mengubah keputusanmu kan? Aku terlalu mengenalmu untuk meminta untuk tetap disampingku. Karena, aku paham, sekalinya kau membuat keputusan, hanya kau yang bisa merubahnya. Jadi, lebih baik aku menurut saja.”jawabku dengan tak acuh dan melemparkan pandanganku ke jalanan.
“Baiklah. Aku tahu aku salah, aku tidak memberikanmu penjelasan yang jelas. Sebenarnya ini sepele.” Ia terkekeh sebentar, lalu melanjutkan, “Aku tahu, aku akan menemani Ibuku cukup lama di luar negeri, dan aku tidak bisa untuk berhubungan jarak jauh denganmu. Dan aku juga tahu prinsipmu yang tidak bisa berhubungan jarak jauh. Jadi, karena aku tidak mau mengekangmu dalam hubungan jarak jauh yang kau sendiri tidak setujui itu, aku memilih satu-satunya jalan yang menurutku, ya mau gimana lagi. Aku memberikanmu jalan untuk bisa memulai hubungan yang baru dengan orang lain, dengan begitu kau akan melupakanku, kan?”ceritanya panjang lebar. Aku menopang daguku dengan tanganku diatas meja, mendengarkan ia menjelaskan.
“Aku hanya mencoba peruntungan saja hari ini untuk bertemu denganmu. Aku tahu, jika aku mampir ke rumahmu, detik kedua kau membuka pintu untukku, aku yakin kau akan langsung menutup pintu itu di depan hidungku.”katanya terkekeh. Aku jadi ikutan terkekeh, karena aku yakin kalau aku akan melakukan hal tersebut jika memang benar ia mampir ke rumahku ketika aku sedang dirumah hari ini.
“Aku senang bisa melihatmu tertawa seperti tadi, karena melihatmu tertawa seperti tadi akan jarang aku temui lagi setelah hari ini.”katanya. Tawa kecilku berhenti mendadak dan menatapnya dengan bingung. Dan takut. Takut kalau ia akan pergi meninggalkanku untuk kesekian kalinya. Aku tak apa untuk memulai dari nol lagi hubunganku dengannya, sungguh.
“Kenapa?”tanyaku dengan bingung.
Ia tersenyum. “Aku tahu, sebentar lagi kau akan pindah. Aku tidak tahu bisa menyusulmu atau tidak, aku tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi setelah hari ini, setelah kau pindah.”ujarnya, nadanya terdengar letih. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari seharusnya. Ya Tuhan. Rasanya lebih menyesakkan lagi ketika hal penting yang tadinya hilang sudah kembali, lalu harus kehilangan sekali lagi.
“Aku mohon, ketika kau sudah jauh disana, sudah jauh dari lingkupanku, tetaplah tertawa seperti itu. Aku ingin kau terus bahagia, dengan atau tanpa aku. Hanya itu yang aku mau setelah kita memang sudah tidak sama-sama lagi.”katanya sambil tersenyum lemah.
“Kau memutuskan untuk meninggalkanku sekali lagi?”sergahku dengan tidak percaya.
“Tidak. Aku tidak meninggalkanmu. Aku akan selalu disini. Jika Dewi Fortuna masih menjadi temanku nanti, aku akan menunggumu pulang kesini.”candanya. Tapi, aku tidak menganggap hal itu lucu. Tidak sama sekali.
“Aku tidak akan kembali kesini, hanya orang tuaku yang akan datang main kesana. Ya mungkin, memang ada baiknya kau untuk memulai hubungan yang baru.”ujarku dengan dingin. Ia menatapku dengan lekat-lekat.
“Baiklah, baiklah. Karena, aku tidak mau kehilanganmu sekali lagi, aku mengakui kalau aku berbohong.”katanya sambil mengangkat tangannya, tanda menyerah. Ia berdiri dari bangkunya, mengambil raincoat yang ia sampirkan disandaran kursinya dan berjalan keluar. Aku menatapnya dengan bingung. Aku menenggak setengah kopiku dan mengejarnya keluar kedai. Ia berjalan dengan santai diatas trotoar dengan dua tangan yang berada di dalam saku raincoatnya.
Aku langsung menghadangnya. Menutupi jalannya dengan dua tanganku yang terentang. “Apa maksudmu berbohong?!”tanyaku dengan tajam, keningku berkerut dengan heran. Ia masih menatapku dengan santai dan sesekali tertawa kecil.
Karena, badannya yang cukup tinggi dariku, tingginya melampaui kepalaku sebenarnya, “Aku bohong kalau aku akan menunggumu disini. Mana rela aku menunggumu disini.”ledeknya. Rahang bawahku langsung terbuka dengan bebas.
“Iya, iya, aku akan ikut denganmu kesana. Aku tidak akan pergi lagi untuk kesekian kalinya. Tapi, kau harus fokus dengan kuliahmu juga ya disana. Deal?”katanya.
“SERIUS?!”pekikku sambil menutup mulutku dengan kedua tanganku.
Ia mengangguk dengan santainya.
“Tapi kau juga janji ya tidak akan pergi lagi?!”ancamku. Ia mengangguk dengan patuh, namun dengan senyum yang menyerupai seringaian jahil khasnya.
“Mana tanda materainya?”tanyaku dengan santai. Ia mendekatiku lalu meletakkan kedua tangannya di dua sisi pipiku. Menghadapkan wajahnya dengan wajahku.
“Aku tidak akan –“ Ia mengecup keningku.
“ – pergi meninggalkan –“ Ia mencium pipi kiriku.
“ – dirimu lagi.“ Ia mencium pipi kananku.
“Aku akan –“ Ia mencium daguku.
“ – selalu ada –“ Ia mencium ujung hidungku.
“ – untukmu.” Ia mencium bibirku dengan hangat sebagai perekat dari materainya.
Aku langsung menghamburkan tubuhku ke dalam pelukannya yang langsung dibalas dengan pelukan erat darinya. Aku tidak peduli dengan orang-orang disekitar yang lalu-lalang memperhatikan kami sambil tersenyum. Dan ada beberapa yang bertepuk tangan kecil sambil lewat. Aku masih tersenyum dengan bahagianya. Kesempatan itu akan selalu ada untuk mereka yang benar-benar berhak untuk mendapatkannya lagi, begitu pula dengan kepercayaan.
Aku yakin, aku bisa melewati semua dengannya. Aku percaya itu. Dengannya, semuanya terasa baik-baik saja dan terasa lengkap; kali ini aku menyadari bahwa aku benar-benar membutuhkan payung untuk melindungiku. Ia akan selalu menjadi payung nomor satuku, yang akan selalu ada untuk melindungiku.

Fin. 

Rabu, 02 April 2014

Berbicara dalam Diam


Membuka mata di pagi hari. Menyambut hangatnya mentari yang masih sanggup untuk kulihat terus bersinar. Aku tidak akan pernah tahu kapan ia akan berhenti bersinar, atau kapan aku akan berhenti membuka mata di pagi hari. Waktu punya rahasia. Sama seperti manusia. Setiapnya memiliki satu rahasia diantara rahasia-rahasianya sendiri yang tidak bisa dimiliki bersama dengan orang lain.
Jadi, aku sendiri tidak tahu kapan aku akan mulai berhenti. Setidaknya berhenti perlahan-lahan. Tapi, aku memilih langsung berhenti daripada berhenti perlahan-lahan. Mengapa? Jika perlahan-lahan, akan semakin terasa sakitnya. Lebih baik langsung selesai.
Banyak hal yang tidak terduga dalam hidup.
Aku duduk di depan layar laptopku yang sudah stand by sambil menghirup wangi kopi pagiku yang uapnya masih menguar dari dalam cangkir.
Aku tersenyum kita aku melihatnya berada di hadapanku sambil tersenyum.
“Halo, selamat pagi. Pasti bangunnya terlambat?” Mataku menoleh ke arah jam dindingku dan tersenyum lebar. “Tidak. Kali ini aku tidak bangun terlambat.”jawabku.
“Baguslah kalau tidak bangun terlambat. Selanjutnya jangan bangun terlambat juga ya. Enggak baik kalau bangun kesiangan terus! Ayo jangan lupa sarapan ya.”ujarnya sambil memasang wajah lembut di hadapanku. Senyumanku semakin terangkat dengan lebar di sudut-sudut bibirku.
Aku gerakkan ujung-ujung jemariku untuk menyentuh dan ikut tersenyum karenanya.
“Ini, sarapanku. Kau seperti tidak tahu menu sarapanku saja.”candaku sambil mengangkat cangkir kopiku yang berwarna hitam dengan garis-garis berwarna tosca, hadiah darinya. Hadiah kesayanganku yang menjadi cangkir kopi kesukaanku.
“Jangan kopi terus! Kan aku sudah berapa kali bilang jangan kopi terus. Kau tahu kopi itu tidak baik untuk kesehatan.”celotehnya dengan kesal padaku. Aku terkekeh karenanya. Entah mengapa aku selalu senang setiap kali ia mulai mengoceh seperti ini.
“Baiklah, baiklah. Besok-besok aku ganti dengan green tea. Lebih sehat kan?”ujarku seraya memberikan senyum lembutku, dan ia ikut tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala berbentuk hatinya itu, “Memang lebih baik green tea yang kau minum daripada kopi terus-menerus. Aku khawatir pada kesehatanmu.”ujarnya.
“Terima kasih karena masih mengkhawatirkanku. Aku juga selalu mengkhawatirkanmu.”jawabku, terbit sebuah senyum sendu.
“Jangan khawatirkan aku. Aku tidak pernah memintamu untuk mengkhawatirkanku, Sayang. Akan lebih baik jika kau mengkhawatirkan dirimu sendiri. Ada saatnya kau boleh menjadi manusia egois. Tapi, jangan ketagihan, ya.”balasnya dengan lembut.
Aku mengangguk dengan patuh seperti anak TK yang menuruti perintah dari gurunya untuk tidak nakal dengan wajah yang setengah memelas. Konyol sekali. Mungkin, jika aku masih kecil akan terlihat sangat lucu. Tapi, sekarang? Mungkin aku sendiri akan malas untuk melihat mukaku sendiri.
“Baiklah, aku akan mencoba untuk mengkhawatirkan diriku sendiri, nanti tapi ya.”jawabku sambil memberikan seringai jahil padanya. Wajahnya berubah datar dihadapanku.
“Aku merasa seperti sedang mengurus anak kecil dengan badannya terlalu besar untuk disebut anak kecil.”gerutunya dengan sebal. “Aku harus pergi dulu ya. Jaga kesehatanmu. Aku tidak mau kau sakit.”
Aku mengangguk perlahan, sambil menghembuskan nafas panjangku, aku menutup layar laptop. Aku bangkit berdiri dari posisi dudukku. Mudah ya? Kau tahu maksudku? Mudah saja ya berdiri dari kursi. Tapi, tidak semudah berdiri dari keterpurukan. Saat kau mencoba untuk berdiri, kau pasti akan membutuhkan tongkat untuk membantumu berdiri. Bukan, bukan tongkat yang berbentuk tongkat. Sesuatu yang bisa membantumu berdiri. Contohnya? Tanyakan pada dirimu sendiri.
Ada pertanyaan yang muncul dari dirimu sendiri, tapi sesungguhnya jawabannya pun ada pada dirimu sendiri, jadi bukan untuk dicari diluar dirimu. Jadi, memang benar jika orang bilang, tidak ada pertanyaan tanpa jawaban.
Sayangnya, terkadang perihal hati, hanyalah jawaban rumit yang bermunculan. Jawaban yang muncul pun bukan berupa sebuah rumus-rumus layaknya matematika. Memang sejak kapan perihal perasaan bisa dihitung dengan tingkatan dari sebuah rumus? Malah, terkadang tidak memiliki jawaban barang secuil saja. Jawabannya ya sebenarnya ada hanya saja ia tidak semudah yang dibayangkan. Ah, omonganku mulai melantur.
Matahari masih bersinar terang di batas langit.
Meskipun aku tidak bisa berada di sampingmu secara terus-menerus, dengan hanya berpijak di atas tanah dan berdiri di bawah langit yang sama denganmu saja sudah terasa cukup bagiku.
Ku sesap kopiku yang perlahan-lahan mulai mendingin karena tertiup oleh udara yang membawanya ikut pergi. Bisakah perasaan pergi seperti itu? Pergi hanya dengan tertiup oleh satu hembusan angin? Rasanya mungkin akan lebih mudah jika seperti itu. Tapi, pada kenyataannya tidak. Memang, jatuh cinta itu awalnya mudah. Tapi, ketika rasa itu sendiri tidak memiliki jawaban dari lawan, akan terasa berat perjuanganmu ketika kau sampai pada satu tahap yang memang cukup berat untuk dilewati. Melupakan.
Adakah yang sanggup melupakan layaknya seperti angin yang berhembus yang meniupkan dedaunan kering yang bertebaran di jalan layaknya membentangkan karpet untuk para idola berjalan diatasnya? Aku ragu, apakah sebenarnya ia memang benar-benar mencintainya atau tidak sehingga bisa semudah itu melupakan.
Mau mencoba melupakan seperti apapun, seseorang yang sudah pernah singgah, tidak akan pernah bisa dilupakan secara sepenuhnya. Yang ada hanya meninggalkan jejak. Jadi, lebih baik tidak usah berusaha melupakan jika akan sia-sia. Lebih baik biarkan saja utuh seperti sedia kala. Terkadang, untuk melangkah barang beberapa langkah saja, ada baiknya untuk memikirkan ulang lagi untuk memastikan, bukan untuk membuat ragu.
Akan banyak hal yang tidak terduga yang bermunculan di setiap harinya. Jadi, bersiap-siaplah. Waktu memiliki hal-hal tidak terduga mereka sendiri yang sudah berada dalam bungkusan dengan bertuliskan nama-nama kita sendiri, dan siap diantar ke depan rumahmu.
Bertepatan dengan bel rumahku yang berdering dari luar.
Sebuah paket.                                                                                        


Sambil mengeringkan rambutku yang masih meneteskan air sisa mandi, aku duduk di depan meja tempat laptopku duduk dengan manis, lalu menyalakan laptopku dengan bersemangat.
“Hallo, selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan –“
“Selamat pagi juga. Hariku pasti selalu menyenangkan jika dibuka dengan pertemuan denganmu. Aku harap harimu menyenangkan.”kataku sambil tersenyum.
“ – hariku akan selalu menyenangkan, karena aku memilikimu. Meskipun tidak disampingku. Jangan lupa untuk makan dan istirahat. Kalau kau belum tahu, jadi let me tell you the truth, kau itu terkadang sulit untuk menjaga pola makan dan istirahatmu. Jadi, berhati-hatilah.” Ujarnya yang ada di dalam laptopku dengan wajah yang melembut di kalimat terakhir.
“Enak aja. Aku sekarang sudah mulai menjaga pola makan dan istirahatku kok. Ah, sedang dimana kau?”tanyaku dengan penasaran.
“Aku lagi dibawah pohon sakura loh! Sakuranya lagi mekar-mekarnya nih. Coba bisa dibawa pulang. Aku ingin bawa pulang! Kau pasti suka. Warnanya indah ya? Pas lagi pas mataharinya lagi cerah begini.” Kamera itu bergerak keatas dan menyorot bunga sakura yang sedang mekar. “Kau pasti tahu aku sangat menyukai sakura.” Kameranya masih menyorot ke arah bunga sakura, lalu aku mendengar suara orang yang batuk-batuk, dan berdeham setelahnya. “Kau kenapa?”tanyaku dengan khawatir.
“Maaf ya tadi aku kesedak ludahku sendiri. Hari ini sampai disini dulu ya pertemuannya. Aku sayang kau, dan akan selalu begitu. Daahh~” Sebelum layar menggelap, aku melihatnya melambaikan kedua tangannya dengan ceria. Ia duduk diatas rumput-rumput hijau dan berlatarkan pohon sakura yang sedang mekar.
“Aku sayang kau juga, dan akan selalu begitu.”gumamku sambil tersenyum kecil.
Kali ini pertemuan dengannya terlalu singkat, tidak seperti sebelumnya. Aku menghela nafas dengan pelan. Tidak apa-apalah. Setidaknya aku masih bisa bertemu dengannya. Aku menutup layar laptopku dengan perlahan.
Aku bangkit dari kursiku, meraih buket bunga lili dan kunci mobil disampingnya.
Aku menghirup sebentar wanginya dan berjalan keluar dari rumah.
Tapi, berjalan keluar dari kenangan itu tidak pernah semudah itu, kawan.
Tidak usah bersusah payah untuk membakar kenanganmu. Bagiku, kenangan itu bersifat abadi, meskipun tidak nyata tapi ia ada. Ada dalam ingatan kita. Umurnya selalu sama, tidak bertambah dan berkurang.


Aku membersihkan rumput-rumput liar diatas makam batu, dan meletakkan bunga lili itu diatas nisannya. “Hallo, aku datang lagi. Tidak banyak yang mau aku katakan, aku hanya ingin katakan, aku merindukanmu. Aku akan baik-baik saja disini. Cukup itu yang kau tahu, meskipun kau melihatnya berbeda.”kataku dan berdiri. Aku membungkukkan tubuhnya 90 derajat cukup lama, dan berjalan pergi meninggalkan makam tersebut.


Kenangan itu harganya tidak terhingga. Tidak bisa dibeli oleh siapapun, tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga. Setiap orang memiliki kenangan yang berbeda-beda. Kapasitas untuk kenangan itu tidak terhingga juga. Kenangan itu bagiku seperti barang pecah belah. Jangan asal sentuh jika tidak ingin rusak. Mungkin, kenangan itu berlabelkan ‘fragile’ di kepalaku.
Saat aku terbangun, aku membuka laptopku kembali dan bersiap-siap untuk bertatap muka kembali dengannya. berharap semoga kali ini lebih lama dari sebelumnya. Karena, pertemuan yang sebelumnya masih terasa kurang dan aku merasa seperti ada yang mengganjal.
Aku menyalakan laptopku. Aku menunggu laptopku loading sebentar dengan lima jari yang aku mainkan dengan tidak sabaran diatas meja seperti orang yang sedang menunggu dengan tidak sabaran. “Oh, c’mon!”rutukku sekali lagi karena laptopku lama sekali selesai loadingnya. Tak lama, aku tersenyum ketika sudah masuk di tampilan utama.
“Halo, selamat pagi. Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak? Mimpimu indah kan?” sapanya sambil melambaikan tangannya padaku di layar dengan senyum cerianya. Senyum itu yang selalu sanggup membuatku untuk selalu merindukannya, rindu untuk bertemu meskipun secara tidak langsung.
“Indah dong. Aku yakin, kau juga pasti mimpi indah. Kalau aku mimpi indah pasti aku tidur nyenyak. Tidak usah khawatir.”jawabku sambil menyuapkan sesendok cereal. Tiba-tiba hening. Ia hanya menatapku dengan mata bulatnya itu dan dengan senyum cerianya yang masih mengembang di wajahnya. Aku menatapnya dengan wajah yang kebingungan dan dengan kening yang berkerut.
“Ada apa?”tanyaku sambil meletakkan piring cereal di atas meja.
“Kau lupa hari ini hari apa?”tanyanya dengan wajah yang penuh misteri.
Aku menggeleng lemah, dengan otak yang berusaha untuk mencerna. Memang ini hari apa? Ada apa dengan hari ini memangnya? Aku masih belum menemukan jawabannya.
“Ah, kau pasti lupa. Kau tunggu sebentar ya. Aku akan kembali. Jangan kemana-mana ya!”ancamnya sambil terkekeh.
Aku menunggu dengan sabar. Piring cerealku tidak tersentuh sama sekali.
“Happy birthday to you~~ happy birthday to youu~~” Tiba-tiba ia muncul dilayar sambil membawa sebuah kue ulang tahun berbentuk bundar dan dua tingkat, sudah dipenuhi dengan lilin-lilin yang warna-warni. Aku terhenyak. Aku saja lupa. Tapi, dia yang sudah jauh itu masih mengingatnya.
“Ayo dong ditiup dulu. Nanti lilinnya keburu mencair sama kuenya. Nanti aku gagal bikin surprisenya.”gerutunya sambil menyodorkan kue berbentuk bundar itu ke arahku.
Aku tersenyum sendiri dan pura-pura meniup. Seperti orang bodoh saja. Tapi, tetap aku lakukan anehnya. Konyol.
“Yeeeyy~ kejutanku berarti berhasil!”pekiknya bahagia saat lilin-lilin itu mati, lalu tidak lama kemudian ia terbatuk-batuk, yang aku yakinkan bukan karena asap dari lilin. “I’m fine at all! Ayo dipotong kuenya!”serunya sekali lagi, lalu mengambil sebuah pisau plastik dan mulai memotong kue bundar tersebut dan meletakkan diatas piring plastik.
 Ia memang paling sanggup untuk membuat hariku lebih baik lagi dari sebelumnya.


Entah mengapa hari ini ketika aku terbangun perasaanku mulai merasa tidak enak. Ketika aku menyalakan laptop dan menunggu hingga wajahnya muncul dilayar, aku menyeduh secangkir teh hangat karena diluar mulai rintik-rintik yang cukup deras.
Aku terhenyak saat melihatnya. “Halo, selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa sarapan ya.”ujarnya dengan lembut, namun terdengar lemah. Aku memandangnya yang memakai pakaian rumah sakit dengan khawatir. “Tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Ini tidak akan lama kok. Dan jangan menyalahkan dirimu sendiri karena tidak bisa ada disini. Aku selalu merasa kau selalu disini. Karena, meskipun kau jauh, kau akan selalu terasa dekat bagiku. Karena kau selalu ada di hatiku. Tenang saja.”serunya sambil terkekeh dengan lemah.
Aku mengangguk kecil. “Apakah parah?”tanyaku penasaran.
Perempuan di hadapanku itu menggeleng, “Tidak terlalu parah kok.” Hening. aku menunggu ia melanjutkan, karena ia menatapku dengan kedua bola matanya yang bulat, dan dengan senyum lemah miliknya itu, seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Kau ingat kan kalau aku suka sakura? Sakura itu lambang ketidakabadian. Ia tumbuh begitu lama, melalui berbagai proses yang cukup panjang untuk mekar. Tapi, hanya butuh waktu sebentar untuk mati. Hidup manusia juga seperti itu. Aku mohon, kau jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, sayang. Selama ini aku sudah berjuang. Tapi, waktu memiliki ceritanya sendiri untuk kita ternyata. Tapi, aku yakin ini cerita terbaik yang pernah aku miliki. Satu hal, aku akan selalu mencintaimu. Hari ini –“ tanpa menunggu lebih lama aku memberhentikannya lebih dulu.
Aku mengeluarkan sebuah kepingan disc dari dalam laptopku dan memasukkan ke dalam tempatnya dan menyisipkannya di rak kecil yang berisikan disc yang dikirim darinya untukku. Seperti itu lah caraku memelihara kenanganku. Seperti orang gila ya? Biarlah. Menjawab setiap kalimat seakan-akan berbicara dengannya memang terdengar konyol. Setiap orang memiliki cara mereka masing-masing untuk membuat kenangan itu tetap hidup, meskipun orang di dalam kenangan itu belum tentu masih ada. Kepingan disc terakhir adalah pesan terakhirnya untukku. Sudah hampir setahun aku menyimpan semua disc itu dan memutarnya berulang kali. Saat dikirim pun tidak langsung kesemuanya. Disc terakhir dikirim tepat setahun ia meninggal. Ia seperti memberikan sebuah puzzle untukku, dan disc terakhir itu sebagai pelengkapnya.
Kali ini aku kembali lagi menghadapnya, dengan membawa buket bunga yang lebih besar dari sebelumnya. “Selamat ulang tahun, Lily. Sudah hampir dua tahun dan aku masih belum bisa berhenti menonton ulang semua dvd itu. Satu hal, aku akan selalu mencintaimu juga. Ya, ini memang cerita terbaik yang pernah aku miliki. Aku akan datang lagi nanti. Sampai jumpa.”ujarku dan meletakkan buket bunga itu diatas batu nisannya. Sebelum pergi, aku membungkukkan tubuhku 90 derajat cukup lama, lalu melangkah pergi.
Dia tidak hidup di depan mata lagi dan berada sejauh tangan menggapai, tapi ia selalu hidup dalam pikiran yang kasatmata dan sudah berubah menjadi hal yang memang tidak akan pernah bisa digapai. Bagiku, ia akan selalu hidup.  

Fin.