A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Selasa, 14 Mei 2013

Tidak Pernah Sampai


Hari ini langit terlihat indah dari langit yang biasanya aku lihat.
Tempat ini sunyi akan keramaian. Hanya jangkrik yang tengah berpesta.
Aku hanya duduk ditingginya bukit yang menyediakan pemandangan menakjubkan di sore hari. Keadaan kota dan juga pemandangan laut dari ketinggian seperti ini.
Tapi, konyolnya aku malah hening dalam kesunyian yang tercipta.
“Kamu bisa dapetin yang lebih nanti.”ujarnya, seorang yang sedari tadi duduk dalam diam disampingku. Aku mendengus sambil mengedikkan bahuku.
“Siapa yang tahu, bukan? Sesuatu selalu membawaku kembali padamu.”jawabku tanpa menoleh ke arahnya langsung.
“Tapi, kamu tahu kan –“
“Ya, aku tahu. Itu sudah menjadi alarm bahaya bagiku kok. Tidak perlu khawatir.”potongku, biarlah ia tidak usah tahu, aku hanya bisa tersenyum miris.
Ya, miris memang. Mencintai seorang yang sudah bertuan. Apa enaknya? Seperti menikmati gula yang tidak manis.
Kadang cinta datang memang tidak memandang pada siapa ia akan jatuh; tidak memandang status; tidak memandang umur. Tapi kali ini, ia jatuh dengan keterlaluan yang membuatku seperti orang bodoh dan jahat. Sepertinya, aku membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dan melepaskan diri. Atau malah tidak bisa sama sekali. Aku sendiri tidak tahu.
Setidaknya, aku beruntung ia tidak menyingkir menjauh dariku. Tapi, sekarang, sementara. Ia tengah membangun tembok, mungkin hampir sama dengan Tembok Berlin atau Tembok Cina. Bahkan, mungkin saat ini pun ia tengah membawa temboknya, lalu diletakkan diantara.
Menyakitkan.
Kamu tidak tahu bagaimana rasanya berada dekat dengan seorang yang dicintai, namun sebenarnya ia jauh, bukan? Cobalah sekali-kali bagaimana rasanya.
Hingga aku sendiri tidak memiliki daya untuk menggapainya.  Kamu juga tidak tahu kan seberapa sakitnya mencintai seorang yang mati-matian menghindarimu? Ya, dan aku pun mati-matian untuk tidak jatuh, meski langkahku sudah tertatih-tatih.
“Aku juga tahu, aku tidak memiliki hak untuk mengusikmu dengannya.”bisikku dengan dagu yang ditumpukkan di kedua lututku yang ku lipat. Tidak apa-apa jika dia memang tidak mendengarnya. Karena, ia sendiri tidak menjawabnya. Ah, untuk apa aku menunggu jawabannya, jika aku sendiri sudah memiliki jawabannya. Konyol.
“Lagipula aku tidak ada niatan dan tidak ingin mengusik hubungan kalian. Maaf, kalau aku masuk ditengah-tengah kalian. Tidak seharusnya aku berada dilingkaran hidup kalian.” Aku terkekeh dengan miris,”Bodoh ya? Aku juga minta maaf sudah meminta terlalu banyak waktumu selama ini–”
“Tidak, aku tidak merasa waktuku diminta terlalu banyak. Kamu jangan berpikir seperti itu.”potongnya dengan cepat, tersirat nada lembut di dalam suaranya.
Aku kembali terkekeh, sekadar mencoba untuk meredakan kecanggungan. “Jangan berbohong. Aku tahu, kamu pasti merasa aku terlalu banyak meminta waktumu. Karena, aku sadar, aku minta maaf. Meski dengan begitu pun tidak cukup.”balasku. Aku menarik nafas untuk mengisi rongga dadaku yang kosong. Hanya mencoba untuk menghalau apa yang sebentar lagi akan terjadi. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Aku biarkan angin laut yang berangsur-angsur mendingin melewati kami, lalu membungkus kami dengan dinginnya, menekan habis kehangatan yang diberikan oleh langit sore yang warna oranye mulai berangsur-angsur mulai pekat. Jangan sekarang, aku mulai merasakan diriku terisak dengan pelan. Kugigit bibir bawahku yang mulai bergetar hebat. Rasanya berat dan menyakitkan harus melepas seseorang yang dicintai. Tapi, aku tidak boleh menahannya terus.
Lalu, tiba-tiba aku merasakan kehangatan yang lain. Ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Terima kasih sudah mengisi tanggal-tanggal hitam dan merah selama satu bulan ini.”kataku dengan suara yang setengah parau, hampir seperti kehilangan suara. Apakah ia mendengarnya? Lalu, aku mendengarnya berbisik.
“Terima kasih kembali.” Bahkan, aku sendiri tidak memiliki kekuatan untuk menjauh.
Ya seperti aku tidak memiliki sampan untuk mendayung perahu yang sudah aku naiki.
Kali ini biarlah begini, untuk terakhir kalinya. Aku pasti akan merindukannya.
Biarlah pekatnya oranye dan terangnya langit yang mulai turun di ujung laut yang menontonnya, lalu menjaganya menjadi sebuah rahasia.
“Selamat tinggal.”bisikku padanya yang tidak membalas apapun. Hanya terus mengusap kepalaku dengan lembut.

Perpisahan itu selalu ada. Dimanapun dan terjadi pada siapapun, tidak pandang bulu. Ada perpisahan yang hanya sebentar, yang bersifat sementara. Ada. Ada juga perpisahan untuk selamanya. Dan keduanya memiliki perbandingan yang sama. Seimbang.
Juga ada yang pergi menuju tujuannya, dan tidak pernah sampai. Ada.
Lalu, inilah akhir dari semuanya.


Pintu rumahnya diketuk dengan pelan beberapa kali dari luar.
Ia buru-buru membukanya dan mendapati seorang berdiri di depan pintu sambil memegang sebuah bungkusan berukuran cukup sedang. Ia terheran-heran memandanginya, seorang laki-laki. “Bisa kita bicara? Berdua.”ujarnya. lalu mereka berjalan-jalan menghirup udara sore di atas trotoar, dengan dirinya yang masih belum percaya apa yang telah terjadi tidak lama ini.
Tiba-tiba laki-laki itu menghentikan langkahnya. “Ia menitipkan aku bungkusan ini. Aku tidak tahu isinya apa, tapi sepertinya terlihat penting darinya untukmu. Aku menerimanya dalam keadaan sudah dibungkus.” laki-laki itu terdiam sejenak, sepertinya kalimat itu menggantung, seraya memberikan bungkusan yang sedari tadi ia pegang.
Ia berdeham beberapa kali untuk menetralkan suaranya. Lalu, sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans, laki-laki itu melanjutkan,“Aku ingat dengan jelas, saat ia datang padaku dengan wajah seperti orang yang terluka tapi masih mencoba untuk bertahan hidup,” kembali ada jeda. Kali ini laki-laki itu menatapnya, “Bukan terluka secara fisik. ia berpesan padaku, ‘kalau aku tidak pernah sampai pada tujuanku, tolong berikan bungkusan ini padanya juga pesanku. Tapi, kalau aku sampai ditujuanku, aku akan menjemput keduanya untuk menyimpannya.’ Dan.........ya dia tidak pernah sampai ditujuannya. Itu pesannya, lalu ia memberikan aku surat ini.”laki-laki itu mengeluarkan surat dari dalam tas ransel yang ia kenakan.
Lawan bicaranya menerimanya dengan ragu-ragu. Lalu, setelah surat itu berada dalam genggamannya, ia menyimpannya di saku celana.
“Sepertinya dia memang sudah tahu, kalau ia tidak akan pernah sampai ditujuannya, maka ia sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Aku tahu ini terlambat. Tapi, perjalananku kesini tidaklah dekat. Aku datang dari tujuan yang akan ia datangi.”ujar laki-laki itu. “Aku hanya mau menyampaikan itu saja. Aku pergi lebih dulu.”ujar laki-laki tersebut dan berjalan lurus, meninggalkannya, termangu.
Waktu memiliki rahasia, takdir yang menjalankan apapun rahasia yang dimiliki waktu. Namun, terkadang saat keduanya bertengkar, tidak akan ada yang menyangka apa yang akan terjadi. Sama seperti kita, manusia, boleh merencanakan apapun itu, tapi bukan kita yang melaksanakannya. Waktu memberikan sebagian hidupnya untuk terjadi; takdir memberikan sebagian hidupnya juga untuk menjalankannya; lalu Tuhan yang mau atau tidak memberikan restu untuk terjadi.
Ia baru menyadari, bahwa isi bungkusan itu adalah kotak musik klasik yang memiliki tuas sebagai alat pemutarnya, setelah ia membuka pembungkusnya begitu ia sampai kembali di kamarnya. Ia mencoba memutar tuas tersebut, lalu berdendanglah sebuah lagu instrumental. Sebuah senyum tipis terulas dibibirnya.
Lembaran kertas itu terlipat dengan apik dan tersimpan dengan baik di dalam laci di nakasnya, setelah ia membacanya. Di tempat yang mudah ia gapai. 

Di denting pertama pun kamu pasti sudah tahu, instrumental apa yang akan aku mainkan untukmu. Memang bukan salah satu dari lagu favoritmu, tapi kamu pasti mengenalnya karena kamu pernah memainkannya, yang kemudian menjadi lagu pengantar tidurku setiap malam. River Flow In You.

Jaga baik-baik tujuanmu, juga kebahagian yang sudah ia berikan seutuhnya, tanpa putus. Mengapa aku berkata begitu? Karena, aku sendiri sudah kehilangan separuhnya, tujuanku. Klise memang dan terasa ngilu saat membacanya tapi bahagiaku ada di kamu. Jika kamu bahagia, maka itu bahagiaku.

Jangan kamu sia-siakan ia sebelum akhirnya hanya penyesalan yang tertinggal. Aku tidak mau, kamu kehilangan keduanya ataupun separuhnya. Aku tahu dan aku bisa mengenal perasaan itu tanpa harus merasakannya, bahwa kamu sudah bahagia dengannya.
Aku percaya, tanpa kupinta pun kamu pasti akan selalu bahagia.
Selamat tinggal.

Kemudian, ia meletakkan kotak musik klasik itu di nakas, di samping tempat tidurnya.

fin 

Minggu, 12 Mei 2013

Perempuan Dalam Mimpi [END]


“Jangan termangu di depan sana. Tidak baik berdiri diam di depan pintu.”celotehnya sambil memutar kepalanya dan menatapku dari balik bahunya yang berlapiskan kain putih lembut. Ya, ia menyukai apapun yang berwarna putih. Baginya warna putih itu lembut, seperti dirinya. Berperangai yang lembut.
Aku langkahkan kakiku masuk. Dari luar hanya terlihat seperti ruangan biasa.
Tapi, entah bagaimana saat kujejakkan kedua kaki ini melewati ambang pintu yang sedari tadi aku diami itu, ruangan itu bertransformasi menjadi sebuah padang bunga. Mengherankan. Tapi, ia, perempuan itu masih duduk di tempat yang sama. Tidak ada perubahan. Ia masih memunggungiku dengan sikap seperti menunggu aku menghampirinya.
Kudekati ia dan duduk disampingnya, ditempat yang masih kosong.
“Sudah berapa lama kita berpisah?”tanya perempuan itu. Kepalaku secara otomatis berputar ke arahnya dan mengkerutkan keningku dengan heran, mungkin jika aku kertas, wajahku sudah penuh dengan tanda tanya.
“Maksudmu? Bukannya kita selama ini selalu bersama?”tanyaku langsung. Dari samping aku bisa melihatnya tersenyum.
“Tidak. Selama ini kita terpisah. Ah, bukankah seharusnya seperti itu? Aku harus melepaskanmu. Ada hal lebih baik diluar sana yang sudah menungguimu. Jangan kau tunggui aku lagi.”jawabnya sambil menoleh dengan perlahan ke arahku dan tersenyum.
Senyum yang setiap pagi mampu membuatku terbangun dan merindukannya.
“Tidak. Kau jangan melantur. Bukannya selama ini baik-baik saja?” Kugenggam jemarinya yang dingin. Mungkin, karena tanganku yang terlalu panas baginya.
“Jangan dipaksakan. Segalanya yang kau paksakan tidak akan berhasil baik. Tenang saja, jika sudah waktunya, kita akan bertemu. Saat itu aku sudah melihatmu bahagia, dan aku sudah bisa untuk mengucapkan salam perpisahan.”katanya sambil mengusap tanganku yang sedang menggenggam tangannya yang lain.
Saat aku hendak menjawabnya, tiba-tiba aku terjatuh dari tempat dudukku dan aku berteriak seperti orang kesetanan dengan dua bola  mataku yang menatapnya berdiri dipinggir jurang tempat aku terjatuh dengan wajah yang tidak bisa aku gambarkan.

Aku terbangun dari tidurku di subuh hari dengan terengah-engah, seperti orang yang baru menyelesaikan marathon. Peluh membanjiri sekujur tubuhku, padahal pendingin ruangan dalam keadaan menyala. Masih mimpi yang sama dari yang kemarin-kemarin. Aku sendiri bingung, padahal kemarin aku sudah dipertemukan dengannya. Lalu, sekarang apa lagi? Perasaan heran itu masih berkecamuk dan menimbulkan akibat yang cukup menyebalkan. Ya, aku tidak bisa tidur kembali.
Kulangkahkan kakiku menuju pantri untuk menyeduh kopi. Biar sekalian saja aku terjaga hingga pagi. Sambil mengaduk kopi dalam cangkir, pikiranku mulai melalang buana. Mengorek apa saja yang bisa dikorek saat ini.
Buru-buru kutinggalkan kopiku di atas meja pantri dan berjalan dengan terburu-buru ke kamar mandi, mencari celana yang aku gunakan tadi. Tanganku merogoh-rogoh saku celana, mencari sesuatu. Seperti sedang merogoh kenangan dalam ingatan yang sudah tertimbun dengan yang lainnya. Harus dicari terus jika ingin menemukan apa yang dicari.
Ujung jariku menyentuh sebuah kertas. Lantas langsung kutarik secarik kertas tersebut. Ya, aku mencari note yang tadi diberikan pelayan kafe dari perempuan yang menjadi pemeran utama dalam cerita mimpiku.
Ia menulis di atas secarik kertas yang dirobek terburu-buru. Terlihat dari pinggiran sobekan yang tidak rapih. Seingatku, ia adalah perempuan yang perfeksionis, menuntut segala hal yang ia lakukan selalu rapih, bersih, dan tertata. Tapi, nyatanya hati dan perasaannya juga hati dan perasaan orang lain tidak bisa ia buat tertata. Mungkin, kali ini semuanya di bawah kontrolnya.
“Dia tinggal disekitar sinikah?”gumamku sambil menelaah kertas sobekan tersebut.
Mataku menangkap sebuah lambang diujung kertas sobekan.
“Rasanya aku pernah melihatnya. Tapi, dimana?”gerutuku dengan sebal.
Akibat kecelakaan waktu itu, banyak hal yang tertidur dan tak kunjung bangun.
Bahkan, perihal kenangan pun, masih banyak yang tertidur lelap. Tidak ada satu pun yang bersedia untuk membangunkan yang lainnya. Rasanya terlalu menyiksa tidak bisa mengingat kenangan, karena semua kenangan yang aku miliki aku sendiri yang ciptakan. Begitupun denganmu. Kenanganmu, kamulah yang ciptakan. Tergantung dengan siapa kamu rangkai.
Ya akibat kecelakaan itu, sebab keteledoranku setelah pulang dari acara adu mulutku dengan ia. Yang aku ingat sebelum kecelakaan yang berakibatkan aku melupakan apa yang sudah terjadi adalah aku masih ingin bertemu dengannya, untuk mengembalikan semuanya ke semula. Meski tidak akan sama nantinya. Tapi, awan pun tidak akan pernah sama bentuknya disetiap menitnya, bukan? Lalu, seketika pandanganku gelap. Ternyata bukan hanya pandanganku yang gelap, tapi kenanganku yang telah aku bangun selama ini dengannya ikut masuk dalam kegelapan yang aku alami itu, menyebabkan mereka hilang ditelan oleh kepekatan.
Kertas tersebut aku jepit di penjepit kertas memo yang berada di atas nakas disamping sofa untuk menonton tv. Aku kembali menemui kopiku yang masih menunggu di pantri. Menunggu untuk dijemput dan dipanaskan kembali, seperti mesin mobil saja.
Ah, kenangan kita juga seperti itu bukan? Jika terlalu lama didiamkan, ia akan dingin. Sehingga kamu butuh untuk memanaskannya, dengan mengingatnya kembali. Bukan, bukan untuk dijadikan alasan untuk bersungut-sungut perihal kenangan itu sendiri. Jadikan ia temanmu, jangan bermusuhan dengannya. Tidak baik. Biar bagaimanapun kenangan itu yang membuatmu tetap hidup sebagai manusia yang hangat dan terlihat memiliki jiwa. Sakit hati itu obat pencuci mulutnya. Terserah kamu mau mengambilnya atau tidak. Tapi, ia tetap akan ada.

Entah angin apa yang membawaku kemari, kembali duduk di dalam kafe ini dengan jemari yang menggenggam pegangan cangkir kopi. Ah, lama-lama aku menjadi pencandu kafein. Setidaknya dampaknya sama jika kamu menjadi canduku. Lama-kelamaan aku akan mendapatkan penyakit.
Mungkin jika aku kembali ke sini, aku bisa bertemu dengannya, sang perempuan dalam mimpi. Mungkin. Aku tidak bisa menyebut namanya karena aku sendiri tidak tahu namanya. Bodoh bukan?
Pelayan kemarin yang memberikan note padaku, lewat disampingku. Sekembalinya dari mengantar pesanan, kupanggil ia. “Wanita kemarin yang memberimu note, apakah kamu melihatnya pergi ke arah mana?”tanyaku. Pelayan itu menggeleng dengan sopan. “Maaf, saya tidak memperhatikannya. Setelah saya menerimanya, ia meminta saya untuk buru-buru menyerahkan pada Anda.”jawabnya.
“Ia menemuimu dimana?”tanyaku lagi. Sungguh, aku penasaran sekali dengan wanita itu.
“Saat saya sedang membuang sampah.”jawabnya lagi. Lalu, aku menganggukkan kepala.
“Terima kasih.”balasku disertai dengan senyuman. Pelayan itu pun berlalu dari mejaku. Ah sungguh menyebalkan bukan mengetahui hal yang tidak jelas bentuknya? Aku seperti berada di area abu-abu.
Kuputuskan untuk menghabiskan kopiku hingga habis dan meninggalkan duit pembayaran beserta billnya diatas meja dan keluar dari kafe. Pulang.

Seseorang mengetuk pintu dengan pelan. Aku mengintip siapa ia dari lubang di pintu, lalu membukanya. “Ada apa?” Wanitaku datang mengunjungiku siang ini sambil membawa bekal. Ia suka sekali memasak. Jika ia menemukan masakan baru, ia akan menyuruhku untuk mencobanya lebih dahulu.
“Kamu menemukan resep baru?”candaku sambil duduk di bangku di ruang makan. Menunggunya sedang membuka bekal yang ia bawa.
Ia terkekeh dengan malu-malu. “Tidak. Kali ini aku memang sengaja memasak makan siang untukmu. Belakangan ini, kafein selalu menemanimu.”ujarnya seraya meletakkan bekal di hadapan dua lengan yang aku lipat dengan rapih di atas meja makan seperti anak TK yang menunggu bekalnya diturunkan.
Aku menerimanya dengan senang hati. Siapa yang tidak senang mendapat makanan enak secara gratis? Semua orang. Tapi, siapa yang senang jika ia harus mendapatkan sakit hati dari orang yang ia sayangi? Tidak ada satu pun. Aku sendiri tidak memiliki kuasa untuk menolak rasa tersebut.
Saat aku sedang mengunyah ayam dengan riang, untungnya bukan mengunyah sakit hati dengan riang, wanitaku berseru dari seberang ruang, menyebutkan sebuah nama tempat. Aku curiga ia melihat note yang aku jepit di penjepit kertas memo. Keberuntungan sedang menyertaiku, karena aku tidak tersedak ayam. Hanya saja aku tersedak oleh kenyataan.
Baiklah, sudah kuputuskan aku akan segera menemuinya. Menemui kenanganku. Manis ataupun pahit, tetap akan aku temui. Biar bagaimanapun itu sudah seperti tanggung jawabku bukan? Didalamnya aku sempat hidup. Aku seorang laki-laki dan aku dilahirkan untuk bertanggung jawab pada apapun yang aku putuskan. Apapun putusan yang aku buat akan selalu mengandung resiko, dan aku harus menerimanya bukan?
Aku pura-pura tidak mendengar seruannya dan melanjutkan acara makanku yang tersendat, hanya saja kali ini pikiranku tidak ikut makan. Ia sedang sibuk berpikir. Ah biarlah.
Aku tahu ia membaca note itu. Tapi, ia tidak mempermasalahkannya. Itulah wanitaku. Ia akan menunggu hingga aku yang menceritakannya, dan untungnya lagi, ia tidak pernah menuduhku macam-macam. Ia memberikan seluruh kepercayaannya padaku. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak merusak ataupun melubangi kepercayaannya yang berbentuk utuh dan tanpa putus layaknya sebuah lingkaran.
Aku terjaga hingga subuh. Posisiku masih sama. Duduk dengan nyaman diatas sofa baca dan menikmati angin malam yang berhembus dari luar dengan pikiran yang meloncat-loncat kesana kemari, menari-nari mencari penggalan-penggalan kenangan yang bersembunyi. Kubiarkan untuk sejenak jiwaku tidak berada di tempat. Ia tahu jalan pulang, ia tidak akan tersesat. Aku percaya.

Matahari masih mengintip malu-malu di balik awan.
Aku berjalan keluar sambil memasukkan tanganku ke dalam saku, menikmati udara pagi yang masih segar dan terasa sejuk. Tapi, pikiran ini tak kunjung segar ataupun sejuk akan kenangan. Rasanya aneh jika pikiran tanpa kenangan. Bukan kenanganku dengan wanitaku. Tapi kenangan tentangku dan perempuan dalam mimpi.
Waktu terus bergerak maju. Terkadang kita tidak bergerak maju bukan?
Terkadang kita bergerak mundur, menemui kenangan masa lalumu. Ada yang sebagian tidak harusnya ditemui, tapi kamu temui. Ada yang sebagian harusnya kamu temui, tidak kamu temui. Kadang kita sering melawan takdir, melawan apa yang seharusnya memang kita lakukan. Kadang aku menghindar dari kenangan, hanya supaya aku tidak bertemu dengan pahitnya sakit hati, layaknya pecundang. Tapi, ternyata hidupnya seperti penguntit juga karma. Ia selalu hidup dalam lingkaranku. Ia tidak akan kemana-mana. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk bertandang.
Ada saatnya kita akan bertemu dengan masa lalu, untuk menyelesaikan apa yang seharusnya sudah selesai. Aku mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu mahoni, yang berdiri menjulang diatas kepalaku. Entah diketukan keberapa kali pintu tersebut berderak terbuka dan melahirkan seorang ibu yang sudah renta, namun wajahnya masih cerah, seperti belum termakan usia.
Ia bertanya dari balik kacamatanya yang merosot hingga ke pangkal hidungnya,”Ada apa, anak muda? Pagi-pagi seperti ini sudah berkunjung, sepertinya ada hal penting.”ujarnya dengan ramah seraya mempersilahkanku masuk ke dalam rumahnya dengan lantai yang terbuat dari kayu pula. Terasa nyaman dan hangat berada di dalam sini .
Ia menyeduhkanku secangkir teh melati hangat.
“Minum dulu teh hangatnya. Sekaligus hangatkan hatimu, anak muda.”ujarnya lagi lalu duduk di sofa diseberang tempatku duduk, sambil memangku kedua lengannya yang sudah lemah di kedua lengan sofa, lalu kembali menatapku yang sedang menyesap teh melati buatannya.
“Kau mau kue kering?”tanyanya, setelah aku meletakkan gelasku.
Aku mengangguk heran. Kenapa ia selalu berbicara lebih dahulu sebelum aku? Bahkan aku belum mengucapkan salam padanya sedari tadi,pikirku dengan heran. Tak lama setelah aku mengangguk, ia meletakkan sekeranjang kue kering yang tertata rapih di dalam toples kaca yang transparan.
Sebelum menyesap teh miliknya, ia berkata,“Kalau sudah selesai, mari ikut aku, anak muda. Aku punya sesuatu yang mau aku tunjukan padamu.”ajaknya. kembali aku dibuat heran olehnya. Aku tidak salah mengetuk pintu rumah kan? Beliau sukses membuatku keheranan sepanjang pagi berembun ini.
Teh melatiku yang sisa setengah cangkir sudah kutinggalkan untuk mengikuti langkah Beliau yang sudah bangkit lebih dahulu dari sofanya dan berjalan dengan tertatih-tatih. Jiwa laki-lakiku pun terdorong untuk membantunya berjalan. Kuraih tangannya yang ringkih dan lemah dimakan zaman itu dan membantunya berjalan, meski ditangannya yang satu lagi, ada yang tongkat yang menemaninya. Tapi, tongkat itu tidak bisa membantunya saat terjatuh bukan? Aku menuntunnya yang sedang menuntunku juga.
Ia mengajakku melewati taman. Taman? Taman ini sama dengan yang ada di mimpiku! Bahkan tempat duduk yang perempuan itu duduki di dalam mimpiku juga sama. Tempat duduk yang hanya terbuat dari batang pohon yang mulai lapuk dimakan usia. Tapi, saat dimimpi, batang pohon terlihat segar. Tapi, sayangnya tidak sesegar ingatanku ini.
Saat pikiranku setengah melayang, setengah mengambang, wanita renta yang aku tuntun, berhenti berjalan. Aku pun ikut berhenti berjalan. “Sudah sampai.”gumamnya sambil membenarkan letak topi rajutnya. Sejak kapan ia mengenakan topi itu? aku sendiri tidak sadar. Mataku menatap sekeliling.
“Pemakaman?”tanyaku bingung. Lalu, aku seperti dihantam oleh berjuta-juta bom kenyataan. Pikiranku mulai melantur tidak baik, segala macam pikiran tidak baik itu pun mulai menertawaiku dengan sinis. Wanita renta itu mengangguk dengan pelan. Lalu membuka pagar kayu pendek yang hanya sebatas pinggang orang dewasa.
Beliau mempersilahkanku untuk masuk lebih dahulu, tentu saja, aku laki-laki yang dididik keras tentang tata krama, menolaknya dan mempersilahkannya untuk masuk lebih dahulu. Ia terkekeh pelan, lalu berjalan masuk ke dalam area pemakaman itu. Mungkin, ia tengah mengajakku untuk mengunjungi sebentar suaminya yang sudah lebih dahulu tidur nyenyak disini. Ya, sepertinya begitu.
Hanya beberapa meter dari pagar tersebut berdiri sebuah pemakaman klasik. Pemakaman yang kulihat tidak seperti pemakaman pada umumnya. Makam itu dibuat dari tumpukan-tumpukan jerami yang tinggi, bahkan hampir melewati kepalaku, dengan nisan yang berbentuk seperti kepala tempat tidur. Dan ya, memang bentuk makam ini seperti tempat tidur. Di kedua sisinya, terdapat tangga dari semen juga di hadapanku saat ini yang menyatu dengan meja persembahan yang diatasnya ada buah-buah segar dan dupa yang masih mengeluarkan asap. Aku bisa melihat diatas tumpukan jerami itu ada beberapa karangan bunga.
Tiba-tiba beliau yang tadinya berdiri disampingku kini berdiri tidak jauh dibelakangku. Ia mempersilahkanku untuk naik. Kutapaki 4 anak tangga batu itu. begitu sampai, kudongakkan kepalaku dan menatap wajah yang berada di batu nisan itu.
Mendadak aku merasa tangga batu ini hancur.
Dan ternyata bukan tangga batu itu. Tapi, aku.
Aku yang dihantam oleh kenyataan yang memilukan yang sedang dalam perjalanan menjadi pecahan kaca.
Aku terlambat. Ya, aku terlambat.
Kutumpukan kedua telapak tanganku di atas tumpukkan jerami itu.
Berusaha untuk menghisap seluruh udara yang bisa aku aku hisap untuk memenuhi rongga paru-paruku yang tiba-tiba berubah menjadi ruang hampa udara.
Seluruh kosakata yang aku punya tiba-tiba menguap, ditiup oleh udara. Lidahku sudah mati kelu karena kenyataan yang tengah sibuk menertawaiku dengan bahagia.
 “Anak muda, sakura mulai rontok.” Mataku melihat sekeliling. Sakura? Aku tidak sedang di Jepang kan? Keningku berkerut dengan heran melihat sekelilingku yang penuh dengan bunga-bunga sakura yang mulai merontokkan diri dari tubuhnya sendiri.
Aku akan kembali mengunjungimu.
“Kau sudah cukup lama di Jepang, anak muda. Dan kau tidak menyadarinya sama sekali?” Aku memang berada di Jepang?
“Sudah waktunya pulang.”ujarnya sambil berjalan mendekatiku yang masih berada di puncak tangga batu.
“Istirahatlah.”gumamku pada perempuan dalam mimpiku yang kini sudah tertidur lelap, ditemani sakura.

Aku diajak oleh beliau untuk duduk di bangku taman, tidak jauh dari makamnya. Dan bangku taman itu memang sengaja diletakkan menghadap ke arah makam.
“Sebelum ia benar-benar pergi setelah sekian lama aku hidup untuk menjaganya, aku dititipkan ini untukmu. Tenang saja, sakura yang akan menemaninya. Anak muda, tidak ada yang bersifat abadi di dunia ini. Lanjutkanlah hidupmu. Selamat jalan dan berhati-hatilah, kau tidak akan tahu apa yang akan menghampirimu dipersimpangan jalan.”ujar ibu bertopi rajut itu sambil menyerahkan sebuah amplop surat seraya bangkit berdiri dan berjalan dengan tertatih-tatih meski punggungnya belum terlalu merunduk, menuju pagar.
Ia berjalan perlahan-lahan menjauh dariku.
Aku menatap amplop ditanganku.
Terima kasih sudah datang berkunjung untuk terakhir kalinya.
Aku mohon, lanjutkan hidupmu diluar bayang-bayangku. Jalanmu masih panjang. Jalanku sudah selesai. Aku sudah bertemu dengan ujung jalanku. Maaf, aku tidak sempat mengucapkan apa yang seharusnya aku ucapkan. Aku tidak akan datang lagi.
Aku titipkan sesuatu dariku yang bersifat selamanya. Aku tahu kamu bisa menjaganya, aku percaya padamu.
Kau tahu bukan aku mencintai sakura? Sakura itu ciri kehidupan kita yang tidak abadi. Aku sudah berjuang sejauh ini, dan ini akhir dari perjuanganku. Aku datang bersamanya, aku pun pulang bersamanya, meski sudah keberapa kali sakura hidup dan mati.
Terima kasih dan selamat jalan.
Tanganku gemetaran saat memegang lembaran tersebut.
Aku kembali teringat dibagian perutku terdapat bekas jahit. “Kau harusnya merasa beruntung, kau mendapat satu ginjal yang pas dan dengan cepat dari seorang pendonor. Ya, kau beruntung mendapatkan kesempatan hidup yang kedua.” Aku teringat kalimat dokter saat aku datang untuk check-up kesehatanku setelah kecelakaan. Ya Tuhan.
“Ya, aku akan menjaganya.”bisikku. biarlah hanya sakura yang tengah rontok yang mendengarnya.
Aku pun mulai meninggalkan masa laluku.
Ya sekarang aku tahu sisa dari puzzle yang hilang, ia perempuan yang dulu hidup denganku. Lalu, ia merelakan aku untuk pergi untuk mengejar karierku, meski sudah berakhir namun aku masih memaksakan kehendakku untuk kembali, lalu akhirnya harus berakhir dengan acara adu mulut dan diakhiri dengan kecelakaan yang membuatku seperti orang bodoh tanpa kenangan, setelah sekian lama yang aku sendiri tidak bisa hitung.
Aku diberikan penggantimu.
“Terima kasih dan selamat jalan.”lanjutku seraya bangkit dari tempat dudukku.
Memandang kejauhan, ke arah makam yang mulai disinari oleh matahari yang berpendar dengan sulur-sulur bercahaya oranye miliknya. Lalu, setelah aku cukup lama membungkukkan tubuhku, memberikan penghormatan terakhir padanya, aku pun berjalan pulang ke masa depan yang sudah menungguku.

Fin. 

Kamis, 09 Mei 2013

Perempuan Dalam Mimpi [Ep. 2]

Pesan pembuka: tidak diikut sertakan dalam lomba oleh Bernard Batubara . hanya iseng2 coba dibuat episode keduanya :)
sebelumnya baca dulu ep.1
Ep. 1 by: Bernard Batubara
http://www.bisikanbusuk.com/2013/05/perempuan-dalam-mimpi-episode-1.html



Ia sudah keluar dari kafe ini. Aku tahu dari suara bel yang berdering di pintu masuk kafe itu saat dibuka dan ditutup kembali. Mungkin ia pulang dengan perasaan heran yang berkecamuk dalam pikirannya. Mungkin ia tengah berpikir dengan sebal, siapa laki-laki itu? kutolehkan kepalaku ke arah cangkir kopinya, “Masih penuh.gumamku bingung.
Aku kembali ke mejaku dan melipat satu lenganku di atas meja kopi dengan satu tangan yang lainnya memegang cangkir kopi. Sudah terlalu lamakah aku berdiri disana hingga kopiku sudah tidak beruap lagi? Sudah terlalu lamakah ia berada dimimpiku hingga aku lupa bagaimana rasanya memimpikan yang lainnya? Pikiranku mulai melantur.
Kembali kusesap kopi yang sudah setengah dingin. Pikiranku masih berpetualang, entah kemana. Kamu pernah mengalami de ja vu? Aku rasa hari ini aku mengalaminya. Keadaan dimana kamu merasa pernah mengalami suatu kejadian di masa lampau, tapi kamu sendiri tidak tahu kapan tepatnya, padahal itu belum pernah terjadi. Banyak yang bilang itu hanyalah mimpi yang menjadi realita.
Ya, sekarang mimpiku menjadi realita.
Ah, mungkin takdir sedang bermain-main denganku, aku dipertemukan dengan tokoh dalam mimpiku setelah sekian lama ia berperan di dalam sana. Antara menyenangkan dan membingungkan. Aku yakin, aku tidak pernah bertemu dengannya sebelum ini, sebelum mimpi-mimpi itu menemani tidur malamku.
Masih dengan cangkir kopi digenggamanku, seorang pelayan menghampiriku.
“Permisi.”ujarnya dengan sopan.
“Ya?”balasku dengan bingung.
“Ada pesan dari perempuan yang Anda sebut-sebut sebagai perempuan dalam mimpi Anda.”ujarnya dan meletakkan sebuah note dekat cangkirku.
Dengan kening yang berkerut heran, aku meraih note tersebut dan membaca pesan dengan tulisan tangan yang rapih.
Senang bisa bertemu denganmu, setelah sekian lama. Maaf, tapi kita tidak seharusnya bertemu, bukan? Aku saja yang tidak sopan yang menembus waktu dan jarak hanya untuk bertemu denganmu.
Nikmati kopimu di kehidupanmu yang baru. Aku benar-benar pergi kali ini.
Berbahagialah dan aku pun akan berbahagia untukmu.
Sekarang aku yang dibuatnya terheran-heran. Apa maksudnya?
Masih dengan keheranan, seorang wanita duduk manis di hadapanku dengan dua tangan terlipat sopan di atas meja kopi. “Jangan mengkerutkan keningmu seperti itu. Kau terlihat semakin tua saja.”ujarnya sambil tersenyum hangat. Ah, aku bahkan sampai lupa kalau aku ada janji dengannya.
“Ah, kau sudah sampai. Mau pesan kopi?”tanyaku sambil diam-diam menyimpan note tersebut di saku celana. Ia menggeleng dengan pelan.
“Maaf aku terlambat. Hari ini kita jadi melihat gedung untuk resepsi kan?”ujarnya sambil menggenggam tanganku dengan hangat. Aku mengangguk. “Tidak apa-apa. Ah, tentu jadi. Aku sudah membuat janji. Kita berangkat sekarang?”tanyaku lalu menenggak hingga tandas isi cangkirku dan meletakkannya kembali ke piringannya.
Kuraih tangan wanitaku dengan hangat, lalu menuntunnya keluar dari kafe tersebut.
Aku tersenyum pada pelayan yang memberikan note dari perempuan dalam mimpiku tadi.
Saat keluar dari pintu, sebuah gambaran dari ingatanku berhamburan.
Ingatan-ingatan tentang masa laluku yang sempat tertidur karena amnesia ini mulai hidup kembali.
Ah ya dia, perempuan dalam mimpiku adalah dia yang dari masa laluku yang sudah aku tinggalkan entah dari kapan.

Rabu, 08 Mei 2013

Kopi berisi Kenangan


Diluar masih hujan deras.
Air hujan memancar kemana-mana dan membasahi apapun yang ia pijaki.
Aku masih dengan setia menikmati kopi panas dengan uap panas yang mengepul dari dalam cangkir kopi, duduk bersila di atas sofa yang hanya diperuntukkan untuk satu orang saja, lalu menikmati lagu yang mengalir keluar dari earphone dengan novel Milana yang sedang setengah terbuka. “Hmm...”desahku dengan nikmat saat kopi menyentuh lidahku saat kusesap. Rasa kopi ini tidak pernah berubah. Tapi, kopi tidak sama dengan perasaan. Perasaan bisa berubah seiring waktu, sadar atau tidak sadar. Kamu tidak akan pernah tahu tentang hidupmu jika tidak kamu sesap. Kamu tidak akan tahu tentang kopi itu jika tidak kamu rasakan.
Cinta itu semanis coklat manis, dan sepahit kopi pahit. Tapi, keseluruhannya selembut permen kapas, jika kamu rasakan akan langsung meresap.
“Jangan melamun di tempat umum, bahaya.”gumamnya. kutolehkan mataku dai cangir kopi yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari bibirku dan tersenyum padamu.
Aku terkekeh. “Tidak, aku tidak sedang melamun. Aku hanya sedang meresapi kopi ini.”elakku.
Ia mendengus geli mendengar alibiku. “Karin, sudah berapa tahun kamu merasakan kopi itu hingga sekarang harus kamu resapi?”ledeknya dari balik novel yang sedang ia baca. Aku berikan cengiran sebalku padanya. Sudah hampir 4 tahun kopi menemaniku, dan sudah selama itulah persahabatan aku dengannya bertumbuh dan berkembang.
Hanya diperkenalkan oleh sahabatku. Lalu kami mulai menghabiskan waktu dengan secangkir kopi, novel ditangan, dan earphone di telinga, serta di kafe yang sama dengan pojok ruangan yang sama. Ya, disinilah kami. Kami sama-sama menikmati waktu diam kami yang diisi dengan dendangan lagu jazz dari pengiring.
Jika salah satu dari kami tidak membawa earphone, kami akan saling berbagi. Keduanya tidak membawa? Maka lagu itu bisa di dengar oleh pengunjung yang lain, tapi berhubung kafe ini jarang disinggahi oleh orang – termasuk muda-mudi – maka kami dengan senang hati memutar lagu walau didengar pengunjung lainnya.
Salah satu tidak membawa novel, kami akan berbagi juga. Keduanya tidak membawa juga? Seluruh cerita yang aku dan ia punya akan mengalir dengan deras tanpa bisa dihentikan. Tapi, aku dan ia bercerita pun masih memilah-milahnya.
“Hey, hidupmu juga harus kamu resapi meskipun sudah bertahun-tahun kamu hidup di dalamnya.”kilahku padanya yang kembali mendengus sebal. Ia kembali terbenam di novel yang tengah ia baca dan aku terkekeh geli dalam diam melihatnya pasrah karena kalah beradu denganku. Kembali cangkir kopi itu mampir di bibirku.

“Masuklah. Jangan diam diluar. Kenangan itu harus kamu hadapi, karena di dalam kenangan itu ada kamu juga. Kenangan itu tidak memiliki kadaluarsa, dia hanya sering tertimbun oleh yang lainnya. Tapi, jika kamu mengoreknya semakin dalam, kamu akan menemukan yang lama dan tidak expired.” Aku tersentak dari lamunanku. Saat berada tidak jauh dari kafe itu, tiba-tiba kenangan kebersamaanku dengannya berkelebat di otakku. Dan nyawaku seperti datang kembali setelah melalang buana ke kenangan yang sudah lama berlalu, setelah bahuku ditepuk oleh seseorang.
Aku mengenalnya karena merupakan bartista di kafe itu. Bartista itu mengenal aku dan ia sebaik aku mengenalnya. Bahkan saat aku dan dia masuk pintu pun, bartista itu sudah tahu apa yang akan kami pesan, dan apa yang akan kami makan. Terdengar seperti di novel, bukan?
Aku tersenyum lemah pada bartista itu. “Nanti. Mungkin, saat aku sudah siap.”jawabku.
“Kamu tidak akan pernah siap, karena kamu akan selalu mencoba untuk menghindar. Singgahlah. Aku punya sesuatu untukmu, dan ini baru kamu yang aku berikan.”ucap bartista itu sambil mengajakku untuk masuk. Aku menghela nafas panjang dan lalu mulai membangun benteng.
Aku langkahkan kakiku menuju pintu yang di bagian dalamnya ditempeli bel, sehingga jika ada yang membukanya, bel itu akan bergemerincing. Aku tidak akan duduk disana. Maka, kupilih bangku bar yang tinggi yang tersedia di meja bar, tempat bartista melayani pelanggan kafe. Kafe terlihat lengang. Hanya beberapa orang yang duduk berpencar dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Setelah cukup lama aku terdiam, secangkir kopi muncul di depan kedua lengan yang aku lipat di atas meja bar itu.
“Minumlah. Aku tahu kamu sedang dalam fase merindukan.”ujarnya dengan suara yang sudah lemah karena dimakan waktu, dengan dua tangan yang sudah mengkerut sedang dibersihkan oleh kain. Entah sudah berapa lama aku tidak kembali. Karena aku tidak ingin kembali ke kenangan itu.  
Lama aku menatap cangkir kopi itu. Kupejamkan kedua mataku. Menghirup aroma kopi yang terbit dari uap panas, berusaha menghalau kenangan dalam bentuk apapun itu untuk kembali. Semakin kubangun tinggi benteng itu. Kubuka kembali mataku yang terpejam lalu lima jemariku melingkar dipegangan cangkir tersebut, menariknya menuju bibirku.
“Hmm...”desahku nikmat saat kopi itu menyentuh lidahku, dengan mata yang kembali terpejam. Rindu itu pun mulai berdatangan. Semakin kuperkuat bentengku.
Aku menenggaknya hampir setengah dari cangkir kopi. Saat kuturunkan, sang bartista duduk di hadapanku dengan cangkir kopinya sendiri.
“Bagaimana?”tanya bartista sambil tersenyum.
“Sepertinya kopi ini bernama Rindu.”candaku. Bartista itu terkekeh mendengar candaanku.
“Apa yang kamu miliki suatu saat akan pergi. Suka atau tidak suka, kamu harus belajar merelakan dan melepaskan. Kita diciptakan dari tanah, maka kita juga akan kembali ke asalnya. Hanya saja, kamu tidak pernah tahu kapan akan datangnya waktu bagimu untuk pergi. Waktu dan takdir itu senang bermain rahasia-rahasia-an.”ujarnya sambil mengedikkan bahu lalu menyesap kopinya sendiri. Memberikan waktu bagiku untuk meresapi.
“Belajarlah dari pengalamanmu saat kehilangan. Jangan bersungut-sungut karena kehilangan, anak muda. Masih akan banyak kehilangan lainnya yang tidak akan kamu duga nantinya.”tambahnya lagi sambil meletakkan cangkirnya yang sudah kosong. “Jangan lupa untuk dihabiskan, aku tahu kamu dan ia tidak pernah suka kopi yang berampas, meski itu tidak sehat.”tandasnya sambil mengedikkan bahunya lalu turun dari bangkunya sambil membawa cangkir kosongnya.
Kembali kutenggak kopi tersebut. Aku kembali kesini. Menikmati kopimu. Aku tahu dari rasa dan wanginya. Kamu pernah menyuruhku untuk menghirup aroma biji kopinya, tapi aku bahkan tidak pernah tahu namanya hingga saat ini. Ini kopi yang selalu kamu idam-idamkan untuk bisa dirasakan oleh orang lain, tapi kamu tidak.
Kuletakkan kembali cangkir kopi yang sudah kosong.
Sempat aku menangkap mata bartista yang tersenyum padaku dan menatap cangkir kopi itu, sebelum aku turun dari bangku bar.
Tiba-tiba aku tersadar. Kembali kutolehkan kepalaku ke dalam cangkir kosong.
I’ll miss you and I’ll still loving you.
In silently.
Tulisan itu dicetak dengan huruf kapital berwarna hitam di dasar cangkir kopi.
Seketika bentengku runtuh. Ternyata aku kehilangan satu batu yang lepas yang dari posisinya, sehingga membuat kenangan-kenangan itu mengalir masuk dengan deras dan mulai menghancurkan benteng yang sudah aku bangun dengan rindu sebagai perekatnya.
Kutatap bartista yang tersenyum kembali padaku dan mulai melayani pemesanan kopi pelanggan yang menungguinya. Simpankan ia untukku, tulisku pada selembar note dan kutempel di cangkir. Setelahnya aku turun dari bangku bar dan berjalan keluar kafe.

Bonjour. Hari ini aku sudah menikmati kopimu. Ah, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Sepertinya aku harus sering-sering minum kopimu. Aku juga akan selalu merindukanmu."kataku, lalu terdiam. Sejenak, angin sepoi-sepoi hilir mudik disekitarku. 
"Ich liebe dich. Auf wiedersehen.”tandasku sambil mengusap nisannya yang terbuat dari batu dan terasa dingin di telapak tanganku. Tak lama aku bangkit berdiri dan berjalan menjauh darinya.

Sekarang aku tahu biji kopi itu kamu beri nama apa. Kenangan.
Dan saat aku sesap, rasa rindu yang aku rasakan dan kenangan-kenangan yang ditebarkan melalui uapnya.
Terima kasih sudah pernah singgah.
Lain kali, saatnya bagiku untuk kembali singgah.

~ f i n ~

Selasa, 07 Mei 2013

Bertemu Senja


Bagaimana rasanya jika suatu hari kamu kehilangan senjamu sendiri?
Bukan itu maksudku. Bagaimana jika suatu saat kamu kehilangan seorang yang kamu cintai? Apakah kamu siap? Siapapun tidak akan suka dengan perpisahan, dalam bentuk apapun itu. Sesiap apapun kita, saat perpisahan itu tiba, akan ada rasa sesak. Apalagi jika kita berpisah dengan orang yang kita cintai.
Aku menatap senja di depan mataku dengan dua jemari yang aku tarikan di atas pasir untuk membentuk pola-pola yang tidak menentu bentuknya.
Entah sudah berapa lama terpisah oleh jarak dan waktu, tapi yang aku tahu sudah cukup lama rindu ini bersemayam, menunggu untuk segera dilepaskan. Tampaknya, ia akan semakin lama bersemayam disana.
Bukankah aku sudah memutuskan untuk mundur dengan sendiri? Seharusnya aku tidak merindukanmu lagi, bukan? Tapi, di setiap tidurku, aktor dalam filmku selalu kamu. Bahkan di dalam film itu tidak ada seorang figuran. Keseluruhan peran ada padamu. Kamu peran utamanya; kamu peran pembantunya; kamu figurannya; dan kamu pula yang menentukan akhirnya.
Bagaimana rindu ini tidak pernah berhenti untuk bertumbuh layaknya seorang anak kecil dalam masa pertumbuhannya jika setiap tidurku hanya kamu yang muncul? Ia bertumbuh seiring dengan betapa seringnya kamu mampir dalam filmku.
Lalu, keesokan paginya aku akan terbangun berbalutkan dinginnya rindu.
Kamu senja yang hilang di hari yang berkabut penuh dengan tetesan-tetesan air yang berjatuhan. Ya, hujan. Kamu menyukai keduanya, tapi mereka tidak akan pernah muncul bersamaan di hari yang sama, sayangnya. Jadi, kamu harus memilih salah satunya. Dan yang kamu pilih  ialah senja.

Ah, betapa bodohnya setiap kali aku datang kesini dan mengharapkan bisa menemukan apa yang aku cari. Yang aku temukan hanya seorang senja yang sendirian, hanya bertemankan oleh deburan riak-riak kecil yang dilahirkan dari ombak yang beradu ketangkasan untuk sampai di bibir pantai lebih dahulu, dan yang terlambat kembali ke tengah lautan.
Kita berada di bawah langit yang sama, dan berpijak di atas tanah yang sama.
Yang tidak sama hanyalah keberadaan kita. Kamu disana dengannya, aku disini dengan senjamu.
Kutekuk kedua lututku, memeluknya dengan harapan dapat memberikan kehangatan pada dinginnya rindu dan lalu menyenderkan daguku di sela-sela kedua lutut yang kupeluk, dengan mata yang menatap pasir basah.
Angin pantai menyerbu mendekatiku dan mengibarkan rambut yang tidak kuikat.
Kutengadahkan kepalaku. “Mendung.”gumamku. kutolehkan mataku ke arah matahari. Ia sudah setengah tenggelam. “Langitnya masih oranye loh, Niel.”gumamku sekali lagi seraya tersenyum. Bukan tersenyum, seperti hanya mengangkat sudut-sudut bibirku saja, kupikir.
Rasanya seperti sudah bukan umur lagi mengungkapkan secara gamblang kalau aku merindukannya, terasa cheesy untuk diucapkan. Tapi, kalau tidak dikatakan pun rindu ini tidak akan pernah sampai. Kukeluarkan ponsel dari sakuku dan menekan tombol angka 9. Namun, kembali kuurungkan niatku.
“Aku tidak boleh mengganggunya lagi.” Kembali aku masukkan ponselku ke saku dan memeluk lututku kembali sambil menghembuskan nafas panjang dan berat.
Bisa aku rasakan, perlahan-lahan sekitarku mulai kosong akan orang. Sudah banyak yang pulang, tapi setengah dari rasa ini ini belum berpulang juga. Aku masih nyaman duduk diatas pasir basah yang kini sudah kering, mungkin, karena sudah terlalu lama aku duduki. Mungkin satu-satunya orang yang masih bertahan disini hanya aku. Mungkin juga, saat aku pulang kantong-kantongku penuh dengan pemberat. Pasir.
“Masih sering kok. Iya, masih sering kangen.”gumamku sambil terkekeh geli dengan jemari yang menelusuri pasir basah di depan mataku.
Kamu seperti pasir. Meski aku genggam dengan erat, namun kamu masih bisa pergi melalui celah-celah kecil yang aku sendiri tak sanggup untuk menutupnya. Dan walau tidak aku genggam erat pun, kamu tetap akan pergi. Kalau seperti saat ini keadaannya, bukan kamu yang pergi. Aku yang melepaskan diriku sendiri.
Warna oranye masih melekat diatas kepalaku.
Sepertinya, selamanya kamu akan hidup dalam senja.
Dan aku akan hidup untuk terus memperhatikan senja, bukan untuk memilikinya.
Aku masih saja duduk disini seperti orang bodoh. Saat kuletakkan daguku di sela-sela dua lutut yang bertemu, aku termangu begitu mendengar seseorang memanggil namaku. Bukan takut, bukan. Bukan heran, bukan. Tapi, aku termangu pada suara itu. “Niel...... Ah pasti bukan. Aku hanya sedang halusinasi. Hanya halusinasi.”gerutuku dengan cepat dan menutup telingaku.
Tapi namaku semakin sering disebut.
Dengan sebal aku menolehkan kepalaku ke kiri dan kanan. Akhirnya aku mendengus sebal. “Hanya angin. Ya, hanya angin.”gerutuku sambil merutuki diriku sendiri yang dengan mudahnya mencari-cari keberadaan seseorang.
“Lebih baik aku pulang sebelum aku menjadi gila disini hanya karena perkara merindu, membuat telingaku menjadi lebih sensitif.”ucapku seraya bangun dari posisi dudukku dan mengibaskan pasir-pasir yang menempel di celana bagian belakangku lalu menenteng sepatu sendal taliku. “Untung nggak ada pemberat.”desahku saat aku melihat isi kantong celana trainingku yang kosong.
Aku seperti tertanam ke dalam pasir basah saat aku balik badan. Badanku kaku. Tidak bisa aku gerakkan. Bahkan tanpa sadar aku menahan nafas.
Long time no see. Have you been happy while I’m gone? Aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati.
Long time no see. Are you oke so far?
I’m not good so far.
Have you been happy so far?”
So far, as long as you happy, then I do. Chessy, but it’s the fact, despite what people say it is a lie, but to me its honest.
“Ich vermisse dich.”
Aku terdiam. Mataku masih terpaku padanya.
“Kamu tidak seharusnya ada disini, Niel.”bisikku.
“Kupikir, tempatku seharusnya ada disini, Kanaya.” Mungkin bisikanku ditiup oleh angin hingga terdengar olehnya.
“Pulanglah, Niel.”ucapku. Aku tidak boleh tergoda. Ia lebih baik dengannya. Terasa berat memang, tapi bukankah memang harus aku lakukan? Ini perkara kebahagian orang. Bukan saatnya bagiku untuk egois,
“Jangan memaksakan dirimu, Naya.” Panggilan itu termasuk dalam daftar rinduku yang entah sudah sepanjang apa jika dituliskan.
“Tidak. Aku tidak memaksakan diriku, Niel.”
Ia bergerak dari tempatnya berdiri dan mendekatiku.
Menutup jarak antara kami yang terbentang; menghalau angin pantai yang mulai terasa menusuk tulang, sepertinya memang bukan karena angin penyebabnya, tapi karena rasa sakit dan rindu yang bertemu dalam satu keadaan yang berubah menjadi penyakit tanpa penawarnya.
Ia memberikanku kehangatan tanpa pernah aku minta, lalu tanpa sadar aku sudah masuk dalam pelukannya, tanpa bisa aku cegah. Kupikir rasanya sudah berubah, ternyata masih sama seperti terakhir kali aku tinggalkan.
I’ve been here, Naya.”bisiknya dengan sangat lembut dengan suara khasnya yang berat, hasil dari akil balik yang sempurna. Bisa aku rasakan ia menghirup aroma tubuhku yang bercampur dengan wanginya air laut yang menguar. Aku masih belum bisa bergerak. Aku seperti terjebak dalam keadaan terkejut yang parah.
Ich vermisse dich.”gumamku dengan lirih.
“Aku tahu. Tanpa perlu kamu katakan, aku selalu bisa baca semuanya, Naya.”ujarnya sambil terkekeh. Beratus-ratus senja yang aku lewatkan sendiri kini terbayarkan oleh satu hari dengan senja yang perlahan-lahan mulai turun.
“Sudah, jangan pikirkan yang lain lagi.”
Aku anggukkan kepalaku pelan-pelan. Ia mengusap puncak kepalaku dengan lembut dan sebuah senyum terulas di bibirku. Sudahlah, ia tidak perlu tahu ataupun melihatnya.
Aku sudah bertemu kembali.
Keseluruhannya ini memang hanya sebuah cerita klasik nan klise tentang rasa rinduku ini yang tercatat dalam lembaran cerita waktu yang tertulis dengan tinta takdir.

~ f i n ~



terj: ich vermisse dich = aku merindukanmu.