Hari ini langit terlihat indah dari langit
yang biasanya aku lihat.
Tempat ini sunyi akan keramaian. Hanya
jangkrik yang tengah berpesta.
Aku hanya duduk ditingginya bukit yang
menyediakan pemandangan menakjubkan di sore hari. Keadaan kota dan juga
pemandangan laut dari ketinggian seperti ini.
Tapi, konyolnya aku malah hening dalam
kesunyian yang tercipta.
“Kamu bisa dapetin yang lebih nanti.”ujarnya,
seorang yang sedari tadi duduk dalam diam disampingku. Aku mendengus sambil
mengedikkan bahuku.
“Siapa yang tahu, bukan? Sesuatu selalu
membawaku kembali padamu.”jawabku tanpa menoleh ke arahnya langsung.
“Tapi, kamu tahu kan –“
“Ya, aku tahu. Itu sudah menjadi alarm
bahaya bagiku kok. Tidak perlu khawatir.”potongku, biarlah ia tidak usah tahu,
aku hanya bisa tersenyum miris.
Ya, miris memang. Mencintai seorang yang
sudah bertuan. Apa enaknya? Seperti menikmati gula yang tidak manis.
Kadang cinta datang memang tidak memandang
pada siapa ia akan jatuh; tidak memandang status; tidak memandang umur. Tapi
kali ini, ia jatuh dengan keterlaluan yang membuatku seperti orang bodoh dan
jahat. Sepertinya, aku membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dan melepaskan
diri. Atau malah tidak bisa sama sekali. Aku sendiri tidak tahu.
Setidaknya, aku beruntung ia tidak
menyingkir menjauh dariku. Tapi, sekarang, sementara. Ia tengah membangun
tembok, mungkin hampir sama dengan Tembok Berlin atau Tembok Cina. Bahkan,
mungkin saat ini pun ia tengah membawa temboknya, lalu diletakkan diantara.
Menyakitkan.
Kamu tidak tahu bagaimana rasanya berada
dekat dengan seorang yang dicintai, namun sebenarnya ia jauh, bukan? Cobalah
sekali-kali bagaimana rasanya.
Hingga aku sendiri tidak memiliki daya
untuk menggapainya. Kamu juga tidak tahu kan seberapa sakitnya mencintai
seorang yang mati-matian menghindarimu? Ya, dan aku pun mati-matian untuk tidak
jatuh, meski langkahku sudah tertatih-tatih.
“Aku juga tahu, aku tidak memiliki hak
untuk mengusikmu dengannya.”bisikku dengan dagu yang ditumpukkan di kedua
lututku yang ku lipat. Tidak apa-apa jika dia memang tidak mendengarnya.
Karena, ia sendiri tidak menjawabnya. Ah, untuk apa aku menunggu jawabannya,
jika aku sendiri sudah memiliki jawabannya. Konyol.
“Lagipula aku tidak ada niatan dan tidak
ingin mengusik hubungan kalian. Maaf, kalau aku masuk ditengah-tengah kalian.
Tidak seharusnya aku berada dilingkaran hidup kalian.” Aku terkekeh dengan
miris,”Bodoh ya? Aku juga minta maaf sudah meminta terlalu banyak waktumu
selama ini–”
“Tidak, aku tidak merasa waktuku diminta
terlalu banyak. Kamu jangan berpikir seperti itu.”potongnya dengan cepat,
tersirat nada lembut di dalam suaranya.
Aku kembali terkekeh, sekadar mencoba
untuk meredakan kecanggungan. “Jangan berbohong. Aku tahu, kamu pasti merasa
aku terlalu banyak meminta waktumu. Karena, aku sadar, aku minta maaf. Meski
dengan begitu pun tidak cukup.”balasku. Aku menarik nafas untuk mengisi rongga
dadaku yang kosong. Hanya mencoba untuk menghalau apa yang sebentar lagi akan
terjadi. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Aku biarkan angin laut yang
berangsur-angsur mendingin melewati kami, lalu membungkus kami dengan
dinginnya, menekan habis kehangatan yang diberikan oleh langit sore yang warna
oranye mulai berangsur-angsur mulai pekat. Jangan sekarang, aku mulai merasakan
diriku terisak dengan pelan. Kugigit bibir bawahku yang mulai bergetar hebat.
Rasanya berat dan menyakitkan harus melepas seseorang yang dicintai. Tapi, aku
tidak boleh menahannya terus.
Lalu, tiba-tiba aku merasakan kehangatan
yang lain. Ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Terima kasih sudah mengisi
tanggal-tanggal hitam dan merah selama satu bulan ini.”kataku dengan suara yang
setengah parau, hampir seperti kehilangan suara. Apakah ia mendengarnya? Lalu,
aku mendengarnya berbisik.
“Terima kasih kembali.” Bahkan, aku
sendiri tidak memiliki kekuatan untuk menjauh.
Ya seperti aku tidak memiliki sampan untuk
mendayung perahu yang sudah aku naiki.
Kali ini biarlah begini, untuk terakhir
kalinya. Aku pasti akan merindukannya.
Biarlah pekatnya oranye dan terangnya
langit yang mulai turun di ujung laut yang menontonnya, lalu menjaganya menjadi
sebuah rahasia.
“Selamat tinggal.”bisikku padanya yang
tidak membalas apapun. Hanya terus mengusap kepalaku dengan lembut.
Perpisahan itu selalu ada. Dimanapun dan
terjadi pada siapapun, tidak pandang bulu. Ada perpisahan yang hanya sebentar,
yang bersifat sementara. Ada. Ada juga perpisahan untuk selamanya. Dan keduanya
memiliki perbandingan yang sama. Seimbang.
Juga ada yang pergi menuju tujuannya, dan
tidak pernah sampai. Ada.
Lalu, inilah akhir dari semuanya.
Pintu rumahnya diketuk dengan pelan
beberapa kali dari luar.
Ia buru-buru membukanya dan mendapati
seorang berdiri di depan pintu sambil memegang sebuah bungkusan berukuran cukup
sedang. Ia terheran-heran memandanginya, seorang laki-laki. “Bisa kita bicara?
Berdua.”ujarnya. lalu mereka berjalan-jalan menghirup udara sore di atas
trotoar, dengan dirinya yang masih belum percaya apa yang telah terjadi tidak
lama ini.
Tiba-tiba laki-laki itu menghentikan
langkahnya. “Ia menitipkan aku bungkusan ini. Aku tidak tahu isinya apa, tapi
sepertinya terlihat penting darinya untukmu. Aku menerimanya dalam keadaan
sudah dibungkus.” laki-laki itu terdiam sejenak, sepertinya kalimat itu
menggantung, seraya memberikan bungkusan yang sedari tadi ia pegang.
Ia berdeham beberapa kali untuk
menetralkan suaranya. Lalu, sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku
celana jeans, laki-laki itu melanjutkan,“Aku ingat dengan jelas, saat ia datang
padaku dengan wajah seperti orang yang terluka tapi masih mencoba untuk
bertahan hidup,” kembali ada jeda. Kali ini laki-laki itu menatapnya, “Bukan
terluka secara fisik. ia berpesan padaku, ‘kalau aku tidak pernah sampai
pada tujuanku, tolong berikan bungkusan ini padanya juga pesanku. Tapi, kalau
aku sampai ditujuanku, aku akan menjemput keduanya untuk menyimpannya.’ Dan.........ya
dia tidak pernah sampai ditujuannya. Itu pesannya, lalu ia memberikan aku surat
ini.”laki-laki itu mengeluarkan surat dari dalam tas ransel yang ia kenakan.
Lawan bicaranya menerimanya dengan
ragu-ragu. Lalu, setelah surat itu berada dalam genggamannya, ia menyimpannya
di saku celana.
“Sepertinya dia memang sudah tahu, kalau
ia tidak akan pernah sampai ditujuannya, maka ia sudah mempersiapkannya dari
jauh-jauh hari. Aku tahu ini terlambat. Tapi, perjalananku kesini tidaklah
dekat. Aku datang dari tujuan yang akan ia datangi.”ujar laki-laki itu. “Aku
hanya mau menyampaikan itu saja. Aku pergi lebih dulu.”ujar laki-laki tersebut
dan berjalan lurus, meninggalkannya, termangu.
Waktu memiliki rahasia, takdir yang
menjalankan apapun rahasia yang dimiliki waktu. Namun, terkadang saat keduanya
bertengkar, tidak akan ada yang menyangka apa yang akan terjadi. Sama seperti
kita, manusia, boleh merencanakan apapun itu, tapi bukan kita yang
melaksanakannya. Waktu memberikan sebagian hidupnya untuk terjadi; takdir
memberikan sebagian hidupnya juga untuk menjalankannya; lalu Tuhan yang mau
atau tidak memberikan restu untuk terjadi.
Ia baru menyadari, bahwa isi bungkusan itu
adalah kotak musik klasik yang memiliki tuas sebagai alat pemutarnya, setelah
ia membuka pembungkusnya begitu ia sampai kembali di kamarnya. Ia mencoba
memutar tuas tersebut, lalu berdendanglah sebuah lagu instrumental. Sebuah
senyum tipis terulas dibibirnya.
Lembaran kertas itu terlipat dengan apik
dan tersimpan dengan baik di dalam laci di nakasnya, setelah ia membacanya. Di
tempat yang mudah ia gapai.
Di denting pertama pun kamu pasti sudah
tahu, instrumental apa yang akan aku mainkan untukmu. Memang bukan salah satu
dari lagu favoritmu, tapi kamu pasti mengenalnya karena kamu pernah
memainkannya, yang kemudian menjadi lagu pengantar tidurku setiap malam. River Flow In You.
Jaga baik-baik tujuanmu, juga kebahagian
yang sudah ia berikan seutuhnya, tanpa putus. Mengapa aku berkata begitu?
Karena, aku sendiri sudah kehilangan separuhnya, tujuanku. Klise memang dan
terasa ngilu saat membacanya tapi bahagiaku ada di kamu. Jika kamu bahagia,
maka itu bahagiaku.
Jangan kamu sia-siakan ia sebelum akhirnya
hanya penyesalan yang tertinggal. Aku tidak mau, kamu kehilangan keduanya
ataupun separuhnya. Aku tahu dan aku bisa mengenal perasaan itu tanpa harus
merasakannya, bahwa kamu sudah bahagia dengannya.
Aku percaya, tanpa kupinta pun kamu pasti
akan selalu bahagia.
Selamat tinggal.
Kemudian, ia meletakkan kotak musik klasik
itu di nakas, di samping tempat tidurnya.
fin
keren le ! terus menulis ya ! hehe
BalasHapusmueheheh makasih dwik! :D
Hapus