A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Selasa, 14 Mei 2013

Tidak Pernah Sampai


Hari ini langit terlihat indah dari langit yang biasanya aku lihat.
Tempat ini sunyi akan keramaian. Hanya jangkrik yang tengah berpesta.
Aku hanya duduk ditingginya bukit yang menyediakan pemandangan menakjubkan di sore hari. Keadaan kota dan juga pemandangan laut dari ketinggian seperti ini.
Tapi, konyolnya aku malah hening dalam kesunyian yang tercipta.
“Kamu bisa dapetin yang lebih nanti.”ujarnya, seorang yang sedari tadi duduk dalam diam disampingku. Aku mendengus sambil mengedikkan bahuku.
“Siapa yang tahu, bukan? Sesuatu selalu membawaku kembali padamu.”jawabku tanpa menoleh ke arahnya langsung.
“Tapi, kamu tahu kan –“
“Ya, aku tahu. Itu sudah menjadi alarm bahaya bagiku kok. Tidak perlu khawatir.”potongku, biarlah ia tidak usah tahu, aku hanya bisa tersenyum miris.
Ya, miris memang. Mencintai seorang yang sudah bertuan. Apa enaknya? Seperti menikmati gula yang tidak manis.
Kadang cinta datang memang tidak memandang pada siapa ia akan jatuh; tidak memandang status; tidak memandang umur. Tapi kali ini, ia jatuh dengan keterlaluan yang membuatku seperti orang bodoh dan jahat. Sepertinya, aku membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dan melepaskan diri. Atau malah tidak bisa sama sekali. Aku sendiri tidak tahu.
Setidaknya, aku beruntung ia tidak menyingkir menjauh dariku. Tapi, sekarang, sementara. Ia tengah membangun tembok, mungkin hampir sama dengan Tembok Berlin atau Tembok Cina. Bahkan, mungkin saat ini pun ia tengah membawa temboknya, lalu diletakkan diantara.
Menyakitkan.
Kamu tidak tahu bagaimana rasanya berada dekat dengan seorang yang dicintai, namun sebenarnya ia jauh, bukan? Cobalah sekali-kali bagaimana rasanya.
Hingga aku sendiri tidak memiliki daya untuk menggapainya.  Kamu juga tidak tahu kan seberapa sakitnya mencintai seorang yang mati-matian menghindarimu? Ya, dan aku pun mati-matian untuk tidak jatuh, meski langkahku sudah tertatih-tatih.
“Aku juga tahu, aku tidak memiliki hak untuk mengusikmu dengannya.”bisikku dengan dagu yang ditumpukkan di kedua lututku yang ku lipat. Tidak apa-apa jika dia memang tidak mendengarnya. Karena, ia sendiri tidak menjawabnya. Ah, untuk apa aku menunggu jawabannya, jika aku sendiri sudah memiliki jawabannya. Konyol.
“Lagipula aku tidak ada niatan dan tidak ingin mengusik hubungan kalian. Maaf, kalau aku masuk ditengah-tengah kalian. Tidak seharusnya aku berada dilingkaran hidup kalian.” Aku terkekeh dengan miris,”Bodoh ya? Aku juga minta maaf sudah meminta terlalu banyak waktumu selama ini–”
“Tidak, aku tidak merasa waktuku diminta terlalu banyak. Kamu jangan berpikir seperti itu.”potongnya dengan cepat, tersirat nada lembut di dalam suaranya.
Aku kembali terkekeh, sekadar mencoba untuk meredakan kecanggungan. “Jangan berbohong. Aku tahu, kamu pasti merasa aku terlalu banyak meminta waktumu. Karena, aku sadar, aku minta maaf. Meski dengan begitu pun tidak cukup.”balasku. Aku menarik nafas untuk mengisi rongga dadaku yang kosong. Hanya mencoba untuk menghalau apa yang sebentar lagi akan terjadi. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Aku biarkan angin laut yang berangsur-angsur mendingin melewati kami, lalu membungkus kami dengan dinginnya, menekan habis kehangatan yang diberikan oleh langit sore yang warna oranye mulai berangsur-angsur mulai pekat. Jangan sekarang, aku mulai merasakan diriku terisak dengan pelan. Kugigit bibir bawahku yang mulai bergetar hebat. Rasanya berat dan menyakitkan harus melepas seseorang yang dicintai. Tapi, aku tidak boleh menahannya terus.
Lalu, tiba-tiba aku merasakan kehangatan yang lain. Ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Terima kasih sudah mengisi tanggal-tanggal hitam dan merah selama satu bulan ini.”kataku dengan suara yang setengah parau, hampir seperti kehilangan suara. Apakah ia mendengarnya? Lalu, aku mendengarnya berbisik.
“Terima kasih kembali.” Bahkan, aku sendiri tidak memiliki kekuatan untuk menjauh.
Ya seperti aku tidak memiliki sampan untuk mendayung perahu yang sudah aku naiki.
Kali ini biarlah begini, untuk terakhir kalinya. Aku pasti akan merindukannya.
Biarlah pekatnya oranye dan terangnya langit yang mulai turun di ujung laut yang menontonnya, lalu menjaganya menjadi sebuah rahasia.
“Selamat tinggal.”bisikku padanya yang tidak membalas apapun. Hanya terus mengusap kepalaku dengan lembut.

Perpisahan itu selalu ada. Dimanapun dan terjadi pada siapapun, tidak pandang bulu. Ada perpisahan yang hanya sebentar, yang bersifat sementara. Ada. Ada juga perpisahan untuk selamanya. Dan keduanya memiliki perbandingan yang sama. Seimbang.
Juga ada yang pergi menuju tujuannya, dan tidak pernah sampai. Ada.
Lalu, inilah akhir dari semuanya.


Pintu rumahnya diketuk dengan pelan beberapa kali dari luar.
Ia buru-buru membukanya dan mendapati seorang berdiri di depan pintu sambil memegang sebuah bungkusan berukuran cukup sedang. Ia terheran-heran memandanginya, seorang laki-laki. “Bisa kita bicara? Berdua.”ujarnya. lalu mereka berjalan-jalan menghirup udara sore di atas trotoar, dengan dirinya yang masih belum percaya apa yang telah terjadi tidak lama ini.
Tiba-tiba laki-laki itu menghentikan langkahnya. “Ia menitipkan aku bungkusan ini. Aku tidak tahu isinya apa, tapi sepertinya terlihat penting darinya untukmu. Aku menerimanya dalam keadaan sudah dibungkus.” laki-laki itu terdiam sejenak, sepertinya kalimat itu menggantung, seraya memberikan bungkusan yang sedari tadi ia pegang.
Ia berdeham beberapa kali untuk menetralkan suaranya. Lalu, sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans, laki-laki itu melanjutkan,“Aku ingat dengan jelas, saat ia datang padaku dengan wajah seperti orang yang terluka tapi masih mencoba untuk bertahan hidup,” kembali ada jeda. Kali ini laki-laki itu menatapnya, “Bukan terluka secara fisik. ia berpesan padaku, ‘kalau aku tidak pernah sampai pada tujuanku, tolong berikan bungkusan ini padanya juga pesanku. Tapi, kalau aku sampai ditujuanku, aku akan menjemput keduanya untuk menyimpannya.’ Dan.........ya dia tidak pernah sampai ditujuannya. Itu pesannya, lalu ia memberikan aku surat ini.”laki-laki itu mengeluarkan surat dari dalam tas ransel yang ia kenakan.
Lawan bicaranya menerimanya dengan ragu-ragu. Lalu, setelah surat itu berada dalam genggamannya, ia menyimpannya di saku celana.
“Sepertinya dia memang sudah tahu, kalau ia tidak akan pernah sampai ditujuannya, maka ia sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Aku tahu ini terlambat. Tapi, perjalananku kesini tidaklah dekat. Aku datang dari tujuan yang akan ia datangi.”ujar laki-laki itu. “Aku hanya mau menyampaikan itu saja. Aku pergi lebih dulu.”ujar laki-laki tersebut dan berjalan lurus, meninggalkannya, termangu.
Waktu memiliki rahasia, takdir yang menjalankan apapun rahasia yang dimiliki waktu. Namun, terkadang saat keduanya bertengkar, tidak akan ada yang menyangka apa yang akan terjadi. Sama seperti kita, manusia, boleh merencanakan apapun itu, tapi bukan kita yang melaksanakannya. Waktu memberikan sebagian hidupnya untuk terjadi; takdir memberikan sebagian hidupnya juga untuk menjalankannya; lalu Tuhan yang mau atau tidak memberikan restu untuk terjadi.
Ia baru menyadari, bahwa isi bungkusan itu adalah kotak musik klasik yang memiliki tuas sebagai alat pemutarnya, setelah ia membuka pembungkusnya begitu ia sampai kembali di kamarnya. Ia mencoba memutar tuas tersebut, lalu berdendanglah sebuah lagu instrumental. Sebuah senyum tipis terulas dibibirnya.
Lembaran kertas itu terlipat dengan apik dan tersimpan dengan baik di dalam laci di nakasnya, setelah ia membacanya. Di tempat yang mudah ia gapai. 

Di denting pertama pun kamu pasti sudah tahu, instrumental apa yang akan aku mainkan untukmu. Memang bukan salah satu dari lagu favoritmu, tapi kamu pasti mengenalnya karena kamu pernah memainkannya, yang kemudian menjadi lagu pengantar tidurku setiap malam. River Flow In You.

Jaga baik-baik tujuanmu, juga kebahagian yang sudah ia berikan seutuhnya, tanpa putus. Mengapa aku berkata begitu? Karena, aku sendiri sudah kehilangan separuhnya, tujuanku. Klise memang dan terasa ngilu saat membacanya tapi bahagiaku ada di kamu. Jika kamu bahagia, maka itu bahagiaku.

Jangan kamu sia-siakan ia sebelum akhirnya hanya penyesalan yang tertinggal. Aku tidak mau, kamu kehilangan keduanya ataupun separuhnya. Aku tahu dan aku bisa mengenal perasaan itu tanpa harus merasakannya, bahwa kamu sudah bahagia dengannya.
Aku percaya, tanpa kupinta pun kamu pasti akan selalu bahagia.
Selamat tinggal.

Kemudian, ia meletakkan kotak musik klasik itu di nakas, di samping tempat tidurnya.

fin 

2 komentar: