A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Kamis, 16 Mei 2013

Masa Lalu

Ada sebagian orang yang tidak mempercayai bahwa karma itu hidup.
Aku? Ah ya, aku percaya pada karma.
Mengapa? Karena aku sedang merasakannya hingga saat ini.
Karma. Namanya sudah tidak asing lagi bukan ditelinga kita?
Hanya saja perasaannya yang masih cukup asing bagi siapapun yang belum pernah merasakannya.
Saranku, lebih baik jangan pernah bermain api dengan karma, jika nantinya kamu menyesal karena sudah dilalap oleh api yang kamu nyalakan sendiri.
Saat kamu sudah merasakannya, barulah kamu sadar bahwa ia hidup dan ada, hanya saja sifatnya semu.
Kuayunkan kedua kakiku yang menggantung di atas beton beranda. Duduk sambil menikmati angin semilir. Pernah merindukan seorang yang pertama kali mengenalkanmu pada dunia tentang bagaimana rasanya dicintai dan mencintai? Saat ini aku sedang merindukannya. Masih ada satu hal yang belum selesai, maka dari itu, karma itu masih mengekangku dan memintaku untuk segera menyelesaikannya. Mungkin, ia sudah bosan denganku.
Aku tidak akan bisa kemana-mana sebelum menyelesaikan masalahku ini.
Masalah yang menyangkut tentang masa lalu.
Meski sudah terbilang masa lalu, tapi ia masih memiliki peran. Jika bukan karena masa lalu, mungkin kamu tidak akan pernah belajar untuk masa depanmu nanti.
Aku bukan bermaksud mau mengganggunya, aku hanya mau menyelesaikan masa lalu kami; bukan, masa laluku yang masih terasa mennggantung. Jika tidak selesai, mungkin aku akan semakin lama bersahabat dengan karma.
“Jangan bengong terus. Kerjaan yang bagusan dikit dong.”canda temanku. Ia mengambil posisi duduk disampingku dan ikut mengayunkan kedua kaki kami yang menggantung di udara. Aku terkekeh sebal.
“Enggak usah terlalu dipikirin tentang karma.”ujarnya dengan santai, tapi tersirat nada serius didalamnya.
“Kau seperti sedang menyuruhku untuk berhenti bernafas padahal tubuh ini masih ada jiwa yang hangat, belum mendingin.”gerutuku. Ia menoleh ke arahku, ya bisa kurasakan, lalu ia menertawakan kalimatku sedetik kemudian.
“Itu tidak lucu, kau tahu?” aku mendelik ke arahnya.
“Aku tahu, aku tahu. Tapi kau terlalu serius tentang karma itu. Kau seperti menganggap setan itu sebenarnya ada.”balasnya.
“Kau belum merasakannya, makanya kau berani mengatakan seperti itu. Becareful with your words, girl. Setan itu sebenarnya memang ada, jika kau tidak mengganggunya ia tidak akan mengunjungimu. It same with carma, by the way.”jawabku lagi.
Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Setahuku, ia sudah tidak bersama dengan wanitanya yang sekarang. Kalau aku mengajak kau untuk bertemu –“
He won’t. Mau berapa kalipun aku berusaha untuk bertemu dengannya, hasilnya zonk. Berapa kalipun aku mencoba untuk mengajaknya berbicara lewat pesan, hasilnya? Nol besar. Kau tahu tentang itu semua, cantik. Dan, ya aku sudah tahu perihal ia sudah tidak dengan pacarnya yang sekarang.”potongku langsung dengan gerutuan bernada pasrah. Aku tahu kalimat selanjutnya, dia akan mengajakku untuk bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang pernah hidup di masa laluku. Laki-laki yang pernah aku sakiti.
Kata orang, jika ingin lepas dari karma, pergi dan selesaikan masalahmu itu hingga tuntas dan tidak lupa untuk meminta maaf padanya.
“Ya terus mau bagaimana? Hah? Kau tahu darimana?”tanyanya, setengah mendesak. “Kau tidak usah tanya bagaimana. Karena aku sendiri bingung. Aku tahu darimana? Kau pikir aku tidak suka menjadi stalker? Sepertinya mereka bertengkar hebat, tapi aku tidak tahu topik apa yang mereka ributkan. Mereka hanya saling menyindir. Lagipula mantan wanitanya itu tidak lama kemudian mendapatkan yang baru.”jawabku sambil memandang kejauhan, setengah menerawang.
“’Tuh kan bengong lagi.”tegurnya. Aku langsung menoleh dengan sinis padanya.
Ia langsung bersiul dengan mata yang jelalatan kemana-mana, pura-pura tidak terjadi sesuatu. Aku mendesis sebal melihat tingkahnya. Biar bagaimanapun, ia tetap sahabat sejak kecilku yang menjadi saksi hidup tentang aku dan laki-laki itu.
“Liburan dulu sana. Jangan diam disini terus.”ujarnya sambil menepuk bahuku. “Aku pulang dulu.”ujarnya seraya turun dari tempat duduknya dan pulang. Padahal rumahnya persis di depan rumahku.
Sepertinya aku memang membutuhkan liburan.

Setiap orang membutuhkan waktu untuk menarik nafas panjang untuk melanjutkan hidupnya yang terkadang membosankan. So, here I am. Berjalan-jalan santai di bawah langit musim gugur dengan syal yang melingkar di leherku dan kedua tanganku yang terselip di kedua kantung celana pendek yang aku kenakan dan juga dengan earphone yang menggantung di telingaku.
Betapa aku merindukan tempat ini. Seharusnya aku memang tidak kembali ke sini. Seharusnya. Aku tertawa sendiri saat tahu betapa bodohnya aku malah mengunjungi tempat pertemuan pertamaku dengannya. Kalian tahu pulau dijadikan tempat syuting Winter Sonata, bukan? Nama pulau yang diambil dari penemunya, yaitu Jenderal Nami yang sudah menjadi Jenderal di umur 25 tahun. Ya, disinilah kami bertemu.
Sayangnya awal pertemuannya tidak baik, akhirnya pun ternyata tidak baik juga. Hhmm. Orang-orang berlalu lalang disekitarku dengan pasangannya atau dengan keluarganya. Namun, pada umumnya dan kebanyakan yang datang mengunjungi pulau yang identik dengan romantismenya adalah pasangan.  Sepertinya hanya aku sendiri yang datang kesini sendirian. Terlihat indah pohon-pohon yang menyerupai cemara menjulang tinggi di kedua sisiku dan menaungiku dengan daun-daunnya yang menguning, dan mulai menggugurkan dirinya.
Jalanan kini diselimuti oleh daun-daun yang menguning dan sudah terinjak-injak oleh orang yang lalu-lalang.
Saat sampai di pintu masuk yang bertuliskan ‘Welcome To Naminara Republic’, dan melihat lautan manusia yang berjalan berbondong-bondong, aku berdecak sebal karena salah waktu kedatangan. Tapi, biar bagaimanapun aku tetap menikmati keindahan pulau ini, pulau yang berbentuk setengah lingkaran atau seperti mangkuk.
Kebanyakan orang senang datang kesini saat salju. Mereka akan beramai-ramai membuat orang-orangan salju. Dulu, aku pun begitu. Namun, berakhir dengan saling lempar bola-bola salju. Ya, dulu. Mungkin, jika aku kembali kesini dengannya akan terasa lain.
Banyak orang yang melewatiku, yang berbeda arus.
Lalu, tiba-tiba ada yang membuatku berhenti melangkah. Aku masih ragu. Tapi, entah mengapa aku ingin berbalik badan. Orang-orang yang tadinya berjalan di belakangku, kini melewatiku karena aku berhenti berjalan. Aku tolehkan kepalaku melewati batas bahuku.
Dia berdiri disana. Laki-laki-masa-lalu-ku. Ia menatapku dari balik kacamata beningnya.
Udara sejuk hilir mudik di sekelilingku. Kali ini kubalikkan tubuhku dengan sempurna.
Kali ini aku tidak bisa berbohong, rindu yang diam-diam menyusup masuk ke relung yang kosong dan hampa akan udara, kini muncul dipermukaan. Aku pikir ia akan berbalik badan dan pergi menjauh seperti sering kali ia lakukan jika berpapasan denganku dimanapun saat kami bertemu. Tapi, kali ini tidak. Ia seperti di dorong oleh angin musim gugur, melangkah dengan perlahan ke tempatku yang diam mematung.
“Sedang apa kau disini?”tanyanya saat sudah berdiri tepat di depanku. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun.
Aku tergagap menjawab pertanyaannya. “A....aku? Disini? Hanya mau menikmati Pulau Nami. Memang ada yang salah? Aku mau melanjutkan jalan-jalan santaiku. Selamat tinggal dan semoga harimu menyenangkan.”kataku sambil membalikkan badanku. Lebih baik aku yang pergi lebih dahulu sebelum ia yang melakukannya, seperti layaknya ia baru saja bertemu dengan binatang yang kotor.
Tapi ternyata, kelima jarinya yang pernah menyelimuti lima jariku yang lain dan menyalurkan kehangatan, mencengkeram lengan atasku dan tidak mengizinkanku untuk pergi lebih dahulu dengan kencang. “Ada apa?”tanyaku, pura-pura bertanya dengan santai padahal aku ingin sekali meringis karena sakitnya cengkraman lima jarinya. “Kau masih mau bertemu denganku, Valen?”tanyaku, tanpa nada.
Ia terdiam. Kami terdiam. Perlahan-lahan lima jarinya lepas dari lenganku.
“Jangan berdiam disini. Berjalanlah. Terserah jika kau mau kembali ke arahmu atau berputar arah.”ajakku dengan perlahan. Biarlah ia mau mencengkeram lenganku lagi atau tidak, atau dia tidak akan ikut juga ya sudahlah. ‘Toh aku sudah mencoba untuk mengajaknya. Kali ini tidak ada cengkeraman tangan yang perih.
Tapi, bekasnya masih berasa. Masih berdenyut. Aku memegang lengan atasku dengan pura-pura melipat kedua lenganku di depan dada. Sungguh, rasanya sangat menyakitkan dan meninggalkan perih. Mungkin seperti inilah sakitnya dulu saat aku menyakitinya.
“Maaf.”bisiknya. Aku terkejut karena ia tahu aku tengah memegang lenganku, tapi aku pura-pura tidak mendengarnya, untungnya earphone yang masih menggantung di telingaku ini membantu alibiku. Bahkan berdenyutnya belum juga menghilang.
Sial. Kalau begini aku tidak bisa menikmati Pulau Nami.
Tapi, sepertinya inilah jalannya.
Aku berjalan menuju tempat duduk ada di sebuah jembatan dari kayu. Aku pikir ia tidak akan mengikutku, ternyata ia masih berjalan disampingku dan ikut duduk denganku di atas tempat duduk.
“Kau masih ingat pertama kalinya kita bertemu?” Aku membuka suara. Ia hanya diam.
“Pertama kali bertemu di musim gugur Pulau Nami, saat kau membuatku terjatuh dari sepedaku dan membuatku tercebur ke sungai kecil di depan kita ini. Bukannya kau membantuku kau malah menyalahkanku yang tidak bisa bersepeda dengan benar dan meninggalkanku yang diperhatikan oleh pengunjung, untung saja aku kesini dengan temanku. Ah, dan kau memarahiku dengan Bahasa Indonesia. Tapi, yang jelas saat itu kau yang tengah menelpon lalu olenglah yang salah,”
Laki-laki disampingku hanya diam juga. Memandang kejauhan.
“Terlalu banyak kebetulan yang tidak bisa disebut kebetulan. Dimanapun aku ada, aku selalu berpapasan denganmu. Bahkan saat perjalanan pulang ke Indonesia, kau berada di bangku ketiga di deret yang sama denganku dan temanku. Dan ternyata, rumahmu hanya berbeda beberapa rumah dariku di kompleks. Terasa lucu dan klise sebenarnya itu semua,”
Aku sendiri tidak tahu, apakah jiwa dan pikirannya masih menyatu dengan tubuhnya atau tidak.
“Lalu kita memulainya dengan sangat sederhana. Denganmu yang lebih dahulu menghampiriku, lalu memulainya. Ternyata, malah aku yang mengakhirinya dengan tidak halus. Kau dan aku sama-sama percaya dengan hubungan jarak jauh. Tapi, bodohnya aku, aku lebih percaya pada ketakutanku, bahwa kau disana tidak sanggup berlama-lama, itulah alasanku yang seharusnya aku beritahu padamu, tapi malah aku simpan sendiri karena aku takut kau tidak akan percaya jadi yang aku katakan aku bertemu dengan yang lain saat itu, dan aku malah menyuruhmu mencari yang bisa berada di dekatmu saat kau butuhkan dan malah berbohong kalau bonekamu sudah hilang.” Aku menggigit bibir bawahku supaya tidak bergetar.
Yang aku tahu, bahunya masih naik-turun layaknya orang yang masih bernafas. Tapi, aku tidak tahu apakah ia menyimak ceritaku atau tidak.
“Entahlah itu semua sudah lewat berapa tahun. Yang tersisa dari semuanya hanya penyesalan. Setiap kali aku mencoba menyelesaikannya, kau pergi menghindar. Aku pikir saat itu, mungkin selamanya aku akan terjebak dalam kesalahan masa lalu. Entah sudah berapa lama aku berada di dalamnya hingga aku sendiri tidak sanggup untuk menghitungnya. Tapi, ternyata sekarang aku diberikan jalan.” Aku menarik nafas panjang.
“Aku minta maaf, Len. Maaf untuk semuanya. Untuk apapun kesalahan yang aku tahu dan tidak aku ketahui. Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya sebelum aku tidak bisa menyelesaikannya sama sekali. Jika tidak aku selesaikan saat ini, tidak ada kemungkinan aku akan mendapatkan kesempatan kedua. Dan....terima kasih untuk 4 tahun kita.”paparku, menutupnya dengan sebuah senyuman. Lalu, melemparkan pandanganku jauh di depanku.
Bisa kurasakan ia menarik nafas panjang dari bahunya yang terangkat dan menghembuskannya dengan pelan. “Bahkan sebelum kau meminta maaf, aku sudah memaafkannya. Selama ini aku hanya berusaha menutupi satu rasa yang belum terhapus mungkin kau menulisnya dengan spidol permanent saat itu hingga susah sekali bagiku untuk menghapusnya. Kau bahkan tidak tahu bahwa aku sering kembali ke sini. Kembali ke jembatan ini, lalu perlahan-lahan seperti tayangan slide show, kenangan pertemuan aku dan kau yang terjatuh dari sepeda berputar ulang di kepalaku. Saat itu memang terasa menyebalkan, namun jika aku mereka ulang, terasa lucu.”ujarnya. kali ini aku yang diam, menyimak.
“Kau tidak tahu bukan setelah perpisahan itu berapa lama aku beradaptasi? Cukup lama hingga kau kembali ke tanah yang sama denganku. Hanya saja saat kau kembali, aku tengah mencoba beradaptasi dengan rasa dari orang yang berbeda. Aku mencobanya dan ya, cukup berhasil. Lalu, kau datang kembali untuk menyelesaikan semuanya. Entah mengapa, saat itu aku benar-benar belum ingin menyelesaikannya. Aku sendiri tidak tidak memiliki alasannya. Membingungkan bukan? Jangankan kau, aku sendiri bingung. Lalu, tiba-tiba, aku ingin kembali ke sini beberapa hari yang lalu. 2 hari lalu aku putuskan untuk kembali ke sini. Dan ya, disinilah aku berada. Kembali ke sini. Duduk disini kembali, kali ini dengan wanita yang ada di slide showku.”tandasnya.
Kami terjebak dalam keheningan. Padahal sekitar kami terasa ramai sekali. Kami sama-sama diam. “Ternyata, pertemuan ini sudah direncanakan untuk terjadi. Mungkin, itulah alasannya kenapa aku belum ingin menyelesaikannya saat itu.”katanya.
Ternyata memang waktu sudah membuat rencana, lalu menggiring kami untuk kembali kesini dan mempertemukan kami untuk sama-sama menyelesaikannya.
Rindu itu belum juga lepas. Padahal aku menunggu-nunggu ia melepaskan diri.
“Terima kasih sudah memaafkanku. Baiklah, kalau begitu aku pergi lebih dulu. Lanjutkan hidupmu, Len.”kataku seraya tersenyum hambar padanya, sambil bangkit berdiri dan mulai mengambil langkah menjauh.
“Bagaimana jika aku ingin memulainya dari awal lagi?”ujarnya tiba-tiba. Langkahku berhenti tiba-tiba. Aku membalikkan tubuhku dengan kening yang berkerut bingung. “Dan ya, aku memang ingin memulainya dari awal lagi. Jika kau memang tidak ingin, kau sudah boleh pulang. Hanya itu yang mau aku katakan.”lanjutnya, lalu terulas senyum miring khasnya.
Aku mematung di tempatku. Aku tidak bisa kemana-mana.
“Kau...tidak mau pulang?”tanyanya sambil menaikkan kacamatanya yang merosot.
Aku menggeleng pelan.
Tiba-tiba ia mengulurkan kedua tangannya, membukanya dengan lebar. Itu s’lalu menjadi tanda darinya jika memintaku untuk masuk dalam pelukannya. Dan aku langsung menghamburkan diriku ke dalam pelukannya. “Ah! Kau sepertinya tambah gemuk.”ledeknya. “Ya!”teriakku di telinganya dengan sebal. “Besok kau harus mengantarku ke dokter THT, gadis!”gerutunya, lalu kembali memelukku dengan erat. “Maaf soal lenganmu.”bisiknya.
Aku mengangguk. “Tidak apa-apa.”jawabku sambil nyengir.
Tidak ada kata rindu yang terucap. Tapi, dengan begini rindu itu sudah tersampaikan.
Kali ini aku berjanji untuk tidak meninggalkannya untuk yang kedua kalinya.
Kembali Pulau Nami menjadi saksi bisu pertemuan kedua kami di bawah musim gugur. Masa lalu yang kemudian menjadi masa depan.

fin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar