Ada
sebagian orang yang tidak mempercayai bahwa karma itu hidup.
Aku? Ah ya,
aku percaya pada karma.
Mengapa?
Karena aku sedang merasakannya hingga saat ini.
Karma.
Namanya sudah tidak asing lagi bukan ditelinga kita?
Hanya saja
perasaannya yang masih cukup asing bagi siapapun yang belum pernah
merasakannya.
Saranku,
lebih baik jangan pernah bermain api dengan karma, jika nantinya kamu menyesal
karena sudah dilalap oleh api yang kamu nyalakan sendiri.
Saat kamu
sudah merasakannya, barulah kamu sadar bahwa ia hidup dan ada, hanya saja
sifatnya semu.
Kuayunkan
kedua kakiku yang menggantung di atas beton beranda. Duduk sambil menikmati
angin semilir. Pernah merindukan seorang yang pertama kali mengenalkanmu pada
dunia tentang bagaimana rasanya dicintai dan mencintai? Saat ini aku sedang
merindukannya. Masih ada satu hal yang belum selesai, maka dari itu, karma itu
masih mengekangku dan memintaku untuk segera menyelesaikannya. Mungkin, ia
sudah bosan denganku.
Aku tidak
akan bisa kemana-mana sebelum menyelesaikan masalahku ini.
Masalah
yang menyangkut tentang masa lalu.
Meski sudah
terbilang masa lalu, tapi ia masih memiliki peran. Jika bukan karena masa lalu,
mungkin kamu tidak akan pernah belajar untuk masa depanmu nanti.
Aku bukan bermaksud mau mengganggunya, aku hanya mau
menyelesaikan masa lalu kami; bukan, masa laluku yang masih terasa
mennggantung. Jika tidak selesai, mungkin aku akan semakin lama bersahabat
dengan karma.
“Jangan
bengong terus. Kerjaan yang bagusan dikit dong.”canda temanku. Ia mengambil
posisi duduk disampingku dan ikut mengayunkan kedua kaki kami yang menggantung
di udara. Aku terkekeh sebal.
“Enggak
usah terlalu dipikirin tentang karma.”ujarnya dengan santai, tapi tersirat nada
serius didalamnya.
“Kau
seperti sedang menyuruhku untuk berhenti bernafas padahal tubuh ini masih ada
jiwa yang hangat, belum mendingin.”gerutuku. Ia menoleh ke arahku, ya bisa
kurasakan, lalu ia menertawakan kalimatku sedetik kemudian.
“Itu tidak
lucu, kau tahu?” aku mendelik ke arahnya.
“Aku tahu,
aku tahu. Tapi kau terlalu serius tentang karma itu. Kau seperti menganggap
setan itu sebenarnya ada.”balasnya.
“Kau belum
merasakannya, makanya kau berani mengatakan seperti itu. Becareful with your words, girl. Setan itu sebenarnya memang ada,
jika kau tidak mengganggunya ia tidak akan mengunjungimu. It same with carma, by the way.”jawabku lagi.
Ia hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Setahuku,
ia sudah tidak bersama dengan wanitanya yang sekarang. Kalau aku mengajak kau
untuk bertemu –“
“He won’t. Mau berapa kalipun aku
berusaha untuk bertemu dengannya, hasilnya zonk. Berapa kalipun aku mencoba
untuk mengajaknya berbicara lewat pesan, hasilnya? Nol besar. Kau tahu tentang
itu semua, cantik. Dan, ya aku sudah tahu perihal ia sudah tidak dengan
pacarnya yang sekarang.”potongku langsung dengan gerutuan bernada pasrah. Aku
tahu kalimat selanjutnya, dia akan mengajakku untuk bertemu dengan laki-laki
itu. Laki-laki yang pernah hidup di masa laluku. Laki-laki yang pernah aku
sakiti.
Kata orang,
jika ingin lepas dari karma, pergi dan selesaikan masalahmu itu hingga tuntas
dan tidak lupa untuk meminta maaf padanya.
“Ya terus
mau bagaimana? Hah? Kau tahu darimana?”tanyanya, setengah mendesak. “Kau tidak
usah tanya bagaimana. Karena aku sendiri bingung. Aku tahu darimana? Kau pikir
aku tidak suka menjadi stalker?
Sepertinya mereka bertengkar hebat, tapi aku tidak tahu topik apa yang mereka
ributkan. Mereka hanya saling menyindir. Lagipula mantan wanitanya itu tidak
lama kemudian mendapatkan yang baru.”jawabku sambil memandang kejauhan,
setengah menerawang.
“’Tuh kan
bengong lagi.”tegurnya. Aku langsung menoleh dengan sinis padanya.
Ia langsung
bersiul dengan mata yang jelalatan kemana-mana, pura-pura tidak terjadi
sesuatu. Aku mendesis sebal melihat tingkahnya. Biar bagaimanapun, ia tetap
sahabat sejak kecilku yang menjadi saksi hidup tentang aku dan laki-laki itu.
“Liburan
dulu sana. Jangan diam disini terus.”ujarnya sambil menepuk bahuku. “Aku pulang
dulu.”ujarnya seraya turun dari tempat duduknya dan pulang. Padahal rumahnya persis
di depan rumahku.
Sepertinya
aku memang membutuhkan liburan.
Setiap
orang membutuhkan waktu untuk menarik nafas panjang untuk melanjutkan hidupnya
yang terkadang membosankan. So, here I am.
Berjalan-jalan santai di bawah langit musim gugur dengan syal yang melingkar di
leherku dan kedua tanganku yang terselip di kedua kantung celana pendek yang
aku kenakan dan juga dengan earphone
yang menggantung di telingaku.
Betapa aku
merindukan tempat ini. Seharusnya aku memang tidak kembali ke sini. Seharusnya.
Aku tertawa sendiri saat tahu betapa bodohnya aku malah mengunjungi tempat
pertemuan pertamaku dengannya. Kalian tahu pulau dijadikan tempat syuting
Winter Sonata, bukan? Nama pulau yang diambil dari penemunya, yaitu Jenderal
Nami yang sudah menjadi Jenderal di umur 25 tahun. Ya, disinilah kami bertemu.
Sayangnya
awal pertemuannya tidak baik, akhirnya pun ternyata tidak baik juga. Hhmm. Orang-orang
berlalu lalang disekitarku dengan pasangannya atau dengan keluarganya. Namun,
pada umumnya dan kebanyakan yang datang mengunjungi pulau yang identik dengan romantismenya
adalah pasangan. Sepertinya hanya aku
sendiri yang datang kesini sendirian. Terlihat indah pohon-pohon yang
menyerupai cemara menjulang tinggi di kedua sisiku dan menaungiku dengan
daun-daunnya yang menguning, dan mulai menggugurkan dirinya.
Jalanan kini
diselimuti oleh daun-daun yang menguning dan sudah terinjak-injak oleh orang
yang lalu-lalang.
Saat sampai
di pintu masuk yang bertuliskan ‘Welcome To Naminara Republic’, dan melihat lautan
manusia yang berjalan berbondong-bondong, aku berdecak sebal karena salah waktu
kedatangan. Tapi, biar bagaimanapun aku tetap menikmati keindahan pulau ini,
pulau yang berbentuk setengah lingkaran atau seperti mangkuk.
Kebanyakan orang senang datang kesini saat salju. Mereka
akan beramai-ramai membuat orang-orangan salju. Dulu, aku pun begitu. Namun,
berakhir dengan saling lempar bola-bola salju. Ya, dulu. Mungkin, jika aku
kembali kesini dengannya akan terasa lain.
Banyak orang yang melewatiku, yang berbeda arus.
Lalu, tiba-tiba ada yang membuatku berhenti melangkah. Aku
masih ragu. Tapi, entah mengapa aku ingin berbalik badan. Orang-orang yang
tadinya berjalan di belakangku, kini melewatiku karena aku berhenti berjalan. Aku
tolehkan kepalaku melewati batas bahuku.
Dia berdiri disana. Laki-laki-masa-lalu-ku. Ia
menatapku dari balik kacamata beningnya.
Udara sejuk hilir mudik di sekelilingku. Kali ini
kubalikkan tubuhku dengan sempurna.
Kali ini aku tidak bisa berbohong, rindu yang diam-diam
menyusup masuk ke relung yang kosong dan hampa akan udara, kini muncul
dipermukaan. Aku pikir ia akan berbalik badan dan pergi menjauh seperti sering
kali ia lakukan jika berpapasan denganku dimanapun saat kami bertemu. Tapi,
kali ini tidak. Ia seperti di dorong oleh angin musim gugur, melangkah dengan
perlahan ke tempatku yang diam mematung.
“Sedang apa kau disini?”tanyanya saat sudah berdiri
tepat di depanku. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun.
Aku tergagap menjawab pertanyaannya. “A....aku? Disini?
Hanya mau menikmati Pulau Nami. Memang ada yang salah? Aku mau melanjutkan
jalan-jalan santaiku. Selamat tinggal dan semoga harimu menyenangkan.”kataku
sambil membalikkan badanku. Lebih baik aku yang pergi lebih dahulu sebelum ia
yang melakukannya, seperti layaknya ia baru saja bertemu dengan binatang yang
kotor.
Tapi ternyata, kelima jarinya yang pernah menyelimuti
lima jariku yang lain dan menyalurkan kehangatan, mencengkeram lengan atasku
dan tidak mengizinkanku untuk pergi lebih dahulu dengan kencang. “Ada apa?”tanyaku,
pura-pura bertanya dengan santai padahal aku ingin sekali meringis karena
sakitnya cengkraman lima jarinya. “Kau masih mau bertemu denganku, Valen?”tanyaku,
tanpa nada.
Ia terdiam. Kami terdiam. Perlahan-lahan lima jarinya lepas
dari lenganku.
“Jangan berdiam disini. Berjalanlah. Terserah jika kau
mau kembali ke arahmu atau berputar arah.”ajakku dengan perlahan. Biarlah ia
mau mencengkeram lenganku lagi atau tidak, atau dia tidak akan ikut juga ya
sudahlah. ‘Toh aku sudah mencoba untuk mengajaknya. Kali ini tidak ada
cengkeraman tangan yang perih.
Tapi, bekasnya masih berasa. Masih berdenyut. Aku memegang
lengan atasku dengan pura-pura melipat kedua lenganku di depan dada. Sungguh,
rasanya sangat menyakitkan dan meninggalkan perih. Mungkin seperti inilah
sakitnya dulu saat aku menyakitinya.
“Maaf.”bisiknya. Aku terkejut karena ia tahu aku tengah
memegang lenganku, tapi aku pura-pura tidak mendengarnya, untungnya earphone yang masih menggantung di
telingaku ini membantu alibiku. Bahkan berdenyutnya belum juga menghilang.
Sial. Kalau begini aku tidak bisa menikmati Pulau Nami.
Tapi, sepertinya inilah jalannya.
Aku berjalan menuju tempat duduk ada di sebuah jembatan
dari kayu. Aku pikir ia tidak akan mengikutku, ternyata ia masih berjalan
disampingku dan ikut duduk denganku di atas tempat duduk.
“Kau masih ingat pertama kalinya kita bertemu?” Aku
membuka suara. Ia hanya diam.
“Pertama kali bertemu di musim gugur Pulau Nami, saat
kau membuatku terjatuh dari sepedaku dan membuatku tercebur ke sungai kecil di
depan kita ini. Bukannya kau membantuku kau malah menyalahkanku yang tidak bisa
bersepeda dengan benar dan meninggalkanku yang diperhatikan oleh pengunjung,
untung saja aku kesini dengan temanku. Ah, dan kau memarahiku dengan Bahasa
Indonesia. Tapi, yang jelas saat itu kau yang tengah menelpon lalu olenglah
yang salah,”
Laki-laki disampingku hanya diam juga. Memandang kejauhan.
“Terlalu banyak kebetulan yang tidak bisa disebut
kebetulan. Dimanapun aku ada, aku selalu berpapasan denganmu. Bahkan saat
perjalanan pulang ke Indonesia, kau berada di bangku ketiga di deret yang sama
denganku dan temanku. Dan ternyata, rumahmu hanya berbeda beberapa rumah dariku
di kompleks. Terasa lucu dan klise sebenarnya itu semua,”
Aku sendiri tidak tahu, apakah jiwa dan pikirannya
masih menyatu dengan tubuhnya atau tidak.
“Lalu kita memulainya dengan sangat sederhana. Denganmu
yang lebih dahulu menghampiriku, lalu memulainya. Ternyata, malah aku yang
mengakhirinya dengan tidak halus. Kau dan aku sama-sama percaya dengan hubungan
jarak jauh. Tapi, bodohnya aku, aku lebih percaya pada ketakutanku, bahwa kau
disana tidak sanggup berlama-lama, itulah alasanku yang seharusnya aku beritahu
padamu, tapi malah aku simpan sendiri karena aku takut kau tidak akan percaya jadi
yang aku katakan aku bertemu dengan yang lain saat itu, dan aku malah
menyuruhmu mencari yang bisa berada di dekatmu saat kau butuhkan dan malah
berbohong kalau bonekamu sudah hilang.” Aku menggigit bibir bawahku supaya
tidak bergetar.
Yang aku tahu, bahunya masih naik-turun layaknya orang
yang masih bernafas. Tapi, aku tidak tahu apakah ia menyimak ceritaku atau
tidak.
“Entahlah itu semua sudah lewat berapa tahun. Yang
tersisa dari semuanya hanya penyesalan. Setiap kali aku mencoba
menyelesaikannya, kau pergi menghindar. Aku pikir saat itu, mungkin selamanya
aku akan terjebak dalam kesalahan masa lalu. Entah sudah berapa lama aku berada
di dalamnya hingga aku sendiri tidak sanggup untuk menghitungnya. Tapi, ternyata
sekarang aku diberikan jalan.” Aku menarik nafas panjang.
“Aku minta maaf, Len. Maaf untuk semuanya. Untuk apapun
kesalahan yang aku tahu dan tidak aku ketahui. Aku hanya ingin menyelesaikan
semuanya sebelum aku tidak bisa menyelesaikannya sama sekali. Jika tidak aku
selesaikan saat ini, tidak ada kemungkinan aku akan mendapatkan kesempatan
kedua. Dan....terima kasih untuk 4 tahun kita.”paparku, menutupnya dengan
sebuah senyuman. Lalu, melemparkan pandanganku jauh di depanku.
Bisa kurasakan ia menarik nafas panjang dari bahunya
yang terangkat dan menghembuskannya dengan pelan. “Bahkan sebelum kau meminta
maaf, aku sudah memaafkannya. Selama ini aku hanya berusaha menutupi satu rasa
yang belum terhapus mungkin kau menulisnya dengan spidol permanent saat itu
hingga susah sekali bagiku untuk menghapusnya. Kau bahkan tidak tahu bahwa aku sering
kembali ke sini. Kembali ke jembatan ini, lalu perlahan-lahan seperti tayangan slide show, kenangan pertemuan aku dan
kau yang terjatuh dari sepeda berputar ulang di kepalaku. Saat itu memang
terasa menyebalkan, namun jika aku mereka ulang, terasa lucu.”ujarnya. kali ini
aku yang diam, menyimak.
“Kau tidak tahu bukan setelah perpisahan itu berapa lama
aku beradaptasi? Cukup lama hingga kau kembali ke tanah yang sama denganku.
Hanya saja saat kau kembali, aku tengah mencoba beradaptasi dengan rasa dari
orang yang berbeda. Aku mencobanya dan ya, cukup berhasil. Lalu, kau datang
kembali untuk menyelesaikan semuanya. Entah mengapa, saat itu aku benar-benar
belum ingin menyelesaikannya. Aku sendiri tidak tidak memiliki alasannya.
Membingungkan bukan? Jangankan kau, aku sendiri bingung. Lalu, tiba-tiba, aku
ingin kembali ke sini beberapa hari yang lalu. 2 hari lalu aku putuskan untuk
kembali ke sini. Dan ya, disinilah aku berada. Kembali ke sini. Duduk disini
kembali, kali ini dengan wanita yang ada di slide
showku.”tandasnya.
Kami terjebak dalam keheningan. Padahal sekitar kami
terasa ramai sekali. Kami sama-sama diam. “Ternyata, pertemuan ini sudah
direncanakan untuk terjadi. Mungkin, itulah alasannya kenapa aku belum ingin
menyelesaikannya saat itu.”katanya.
Ternyata memang waktu sudah membuat rencana, lalu
menggiring kami untuk kembali kesini dan mempertemukan kami untuk sama-sama
menyelesaikannya.
Rindu itu belum juga lepas. Padahal aku menunggu-nunggu
ia melepaskan diri.
“Terima kasih sudah memaafkanku. Baiklah, kalau begitu
aku pergi lebih dulu. Lanjutkan hidupmu, Len.”kataku seraya tersenyum hambar
padanya, sambil bangkit berdiri dan mulai mengambil langkah menjauh.
“Bagaimana jika aku ingin memulainya dari awal lagi?”ujarnya
tiba-tiba. Langkahku berhenti tiba-tiba. Aku membalikkan tubuhku dengan kening
yang berkerut bingung. “Dan ya, aku memang ingin memulainya dari awal lagi. Jika
kau memang tidak ingin, kau sudah boleh pulang. Hanya itu yang mau aku katakan.”lanjutnya,
lalu terulas senyum miring khasnya.
Aku mematung di tempatku. Aku tidak bisa kemana-mana.
“Kau...tidak mau pulang?”tanyanya sambil menaikkan
kacamatanya yang merosot.
Aku menggeleng pelan.
Tiba-tiba ia mengulurkan kedua tangannya, membukanya
dengan lebar. Itu s’lalu menjadi tanda darinya jika memintaku untuk masuk dalam
pelukannya. Dan aku langsung menghamburkan diriku ke dalam pelukannya. “Ah! Kau
sepertinya tambah gemuk.”ledeknya. “Ya!”teriakku di telinganya dengan sebal. “Besok
kau harus mengantarku ke dokter THT, gadis!”gerutunya, lalu kembali memelukku
dengan erat. “Maaf soal lenganmu.”bisiknya.
Aku mengangguk. “Tidak apa-apa.”jawabku sambil nyengir.
Tidak ada kata rindu yang terucap. Tapi, dengan begini
rindu itu sudah tersampaikan.
Kali ini aku berjanji untuk tidak meninggalkannya untuk
yang kedua kalinya.
Kembali Pulau Nami menjadi saksi bisu pertemuan kedua
kami di bawah musim gugur. Masa lalu yang kemudian menjadi masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar