Setiap hari
orang berlalu-lalang. Datang dan pergi. Duduk dan berdiri.
Setiap
harinya berputar seperti itu terus menerus dalam porosnya yang sudah terbentuk
secara alami. Banyak orang dengan berbagai perasaan yang datang dan tinggal
dalam hati ini. Namun, tidak ada yang abadi bukan? Yap. Tidak ada yang abadi.
Aku duduk
di bangku halte bus tersebut sambil mengayun-ayunkan kakiku karena bangku itu
cukup tinggi dan melebar lalu memanjang agar muat banyak orang untuk digunakan.
Menyenangkan mengayun-ayunkan kedua kaki yang menggantung di udara saat duduk.
Setiap hari
seperti inilah aku. Duduk menunggu di halte bus yang sama setiap harinya untuk
pulang, entah darimanapun itu aku berasal. Saat aku tengah membaca sebuah
novel, seorang laki-laki duduk tak jauh dariku dengan jaket yang cukup tebal
dan gelas kopi take away di
tangannya. Udara di malam hari memang selalu terasa dingin. Aku hanya
menatapnya sekilas dan melanjutkan bacaku.
Aku selalu
menunggu bus yang bernomor sama setiap harinya, 11. Aku sampai hafal jamnya
muncul di halte ini. Maka dariitu aku selalu menunggu bus tersebut disini.
Untungnya, ia melewati halte bus di kompleks rumahku. Sehingga aku tidak perlu
memutar arah. Dan aku tidak akan dengan sukarela memutar arah. Entah sudah
berapa bus yang lewat tapi bus bernomor 11 tak kunjung datang.
Aku menoleh
ke sampingku, sekadar untuk memperhatikan sekitar.
Dan aku
dapati laki-laki tersebut pun masih duduk di tempatnya semula. Kali ini ia
tengah menggoyang-goyangkan gelas kopinya. Mungkin, kopinya sudah hampir habis.
“Mungkin ia sedang menunggu di jemput oleh temannya.”gumamku. Kembali aku
menenggelamkan pikiranku dalam novel yang tengah kubaca, dan menyembunyikan
dagu hingga hidungku ke dalam jaket berleher tinggi. Menghalau udara dingin.
Jalanan masih
ramai dengan mobil-mobil yang berlalu-lalang.
Jam-jam
seperti ini, halte-halte bus terkadang jarang penghuni, hanya segelintir orang
saja. Dan sejauh ini, keamanan kota ini sangat dijaga. Tidak dengan hati ini.
Mudah sekali dirusak oleh orang lain, bahkan terlalu mudah untuk dicuri dan
tidak dikembalikan. Maka aku pun merasa nyaman berada di halte ini cukup lama.
Siapa tahu dengan angin dingin, bisa membekukan rasa rindu ini dan membekukan
perasaan yang sudah hidup cukup lama hingga aku sendiri tidak sanggup untuk
membuangnya.
Di halte
ini, biasanya akan ramai dengan segelintir orang. Entah mengapa malam ini hanya
ada kami berdua. Aku bahkan sudah mulai hafal siapa saja yang sering menunggu
bus di halte ini. Apakah aku pernah melihatnya? Otakku berputar seperti mesin
pencari orang. Tapi, hasil yang muncul adalah: tidak ditemukan. Apa mungkin ia
baru kali ini menunggu disini?
Bulu
kudukku berdiri saat angin dingin menyapaku dengan sangat tidak sopan.
Semoga saja
ia bukan orang yang bertangan gatal.
Aku masih
menikmati novel di hadapanku saat bus yang kutunggu datang.
Aku
berdiri. Ia pun berdiri. Ya, dapat kurasakan dari ekor mataku.
Pintu bus
tersebut terbuka secara otomatis. Aku menempelkan kartuku yang berada di dompet
untuk diverifikasi barcode yang tertera. Isi bus tersebut tidak terlalu ramai;
tidak penuh juga.
Aku
mengambil tempat duduk di pintu yang tadi aku lewati. Perjalanan untuk sampai
di rumah masih jauh, maka kuputuskan untuk melanjutkan membaca setelah
memperhatikan jalanan. Aku bisa menangkap bayangan laki-laki yang tadi duduk
tidak jauh dariku di halte, berada hanya berjarak 2 bangku dari bangkuku,
melalui jendela.
“Dijemput
bus.”gumamku, memperbaiki kalimatku sebelumnya yang ternyata keliru, lalu
memfokuskan kembali ke bacaanku. Setidaknya berada di dalam bus, terasa lebih
hangat daripada diluar.
Mungkin, ia
akan turun lebih dahulu dariku, pikirku saat itu.
Dan, yap.
Ia turun lebih dahulu di setengah perjalananku. Aku pura-pura membaca novel di
tanganku, saat ia melewatiku. Dan, ya, aku harus mengakui kebodohanku yang
sangat ceroboh. Aku membaca novel itu terbalik. Aku sangat berharap tidak akan
pernah bertemu dengannya lagi. Memalukan. Sangat.
Aku kembali
mengunjungi kedai kafe yang dibuka 24 jam, namun tidak terbilang ramai atau sepi
juga. Sambil menyesap kopiku, aku mulai membuka novelku kembali. Yap, kemanapun
aku pergi aku akan membawa novel entah sudah keberapa kali aku membacanya. Lagu
instrumental mengiring siangku melalui speaker. Kedai ini membuat orang yang
berada di dalamnnya merasa nyaman. Hanya saja, kedai ini tidak berada di
pinggir jalan sehingga hanya beberapa orang yang mengetahui letak kedai ini.
Aku bisa
menghabiskan hariku disini bersama buku dan kopi. Jika, kopimu sudah habis,
kamu boleh mengisinya dengan teh manis atau teh tawar yang disediakan secara
cuma-cuma, kamu boleh menambahnya sesering mungkin. Aku mengambil posisi duduk
ternyamanku. Duduk bersila diatas sofa untuk satu orang berwarna coklat pohon.
Tidak ada
kebetulan yang lebih dari sekali. “Sekarang harus aku akui, ternyata memang
sempit dunia ini.”gerutuku dengan suara rendah, supaya hanya aku yang
mendengarnya. Ada apa? Mataku baru saja menangkap sosok barista yang tengah
menyeduh kopi, barista yang bahkan belum masuk hitungan 24 jam, duduk berseberangan
denganku di bus dan di halte. Dan yap, yang membuatku bertingkah konyol bin
bodoh. Aku berharap ia sudah melupakan wajahku beserta tingkah bodohku beberapa
bulan lalu.
Aku bahkan
sampai mengambil jam pulang lebih cepat dari biasanya, berharap dengan begitu
saat siang aku tidak akan bertemu dengannya di halte. Namun, baru kali ini aku
melihatnya berada dibalik mesin kopi tersebut. Atau mungkin aku yang memang
sering tidak memperhatikan barista, dan hari ini mataku telah dibukakan.
Aku
memutuskan untuk pindah tempat duduk ke sofa di hadapanku yang membelakangi
barista tersebut. Seandainya semudah itu membelakangi masa lalu. Terkadang masa
lalu itu bisa satu langkah lebih maju. Ia pandai mengejar.
Novel sudah
kututup, namun masih tergeletak di atas meja kopi. Kopi pun yang tersisa hanya
ampasnya. Mataku ‘menelanjangi’ apapun yang aku lihat.
Penghangat
ruangan mulai dinyalakan. Sepertinya hari ini udara dingin datang lebih cepat
dari perkiraan. Mereka tidak menggunakan penghangat ruangan modern, tapi yang
tradisional. Kami menyebutnya, ondol.
Alat ini hanya terdapat di Korea. Penghangat ruangan yang terdapat di bagian
bawah kayu-kayu ini. Hangatnya terasa seperti hangat alami. Karena
penghangatnya menggunakan batu bara, kayu, dsb.
Aku
keluarkan jaket super tebalku dari dalam ransel, diikuti dengan kain tebal
untuk melingkari leherku. Melindunginya dari udara dingin. Tapi tak cukup
sanggup untuk melindungi hati ini dari kerinduan. Hanya sebuah kain tebal,
bukan sebuah perasaan yang lain yang bisa menggantikan atau menghapusnya.
“Permisi.
Apakah Anda mau mengisi cangkir Anda dengan teh?”ujar seorang pelayan sambil
menawarkan dua teko teh.
Aku
mendongak untuk menatap pelayan tersebut. Dan yap, aku berusaha untuk tidak
membelalakkan mataku karena meskipun aku mencoba, aku tidak akan terlihat
seperti sedang membelalakkan mataku. “Teh manis saja. Terima kasih.”ujarku
sambil membungkukkan sebagian tubuhku ke arahnya. Setelah ia selesai mengisi
cangkirku, ia pergi dan menawarkan pada pengunjung yang lain.
Aku
menghembuskan nafas. “Tidak mungkin aku pindah kedai hanya karena masalah sepele.”omelku pada diriku sendiri. Maka kuputuskan untuk tetap di kedai ini.
Bukan maksudnya aku akan tinggal disini. Maksudku, aku tetap akan datang ke
kedai ini dan menikmati hari-hariku yang kosong. Menunggu hari masuk kuliah.
Aku
menyibakkan pergelangan jaketku untuk melihat jam. “Masih lama.”gumamku seraya
tersenyum. Jam pulangku masih lama. Aku pikir sudah sebentar lagi karena keadaan
diluar sudah cukup gelap untuk disebut malam. Karena sebenarnya, baru menjelang
malam.
Aku
tersenyum saat sadar musim dingin hampir sampai. Menyenangkan bermain
lempar-lemparan bola salju dan membuat orang-orangan dari salju atau sekadar
memperhatikan butiran-butiran salju itu turun dari balik jendela rumah dengan
secangkir teh hangat dan beberapa kue kering, dilanjutkan dengan duduk-duduk di
depan perapian sambil membaca novel. Itulah mengapa aku sangat menunggu musim
dingin.
Aku bahkan
sudah menyiapkan beberapa novel untuk kubaca. Dari yang terbaru hingga yang
sudah berulang-ulang, berada di samping sofa bacaku dekat perapian. Ah ya,
Natal sebentar lagi. Tempat belanja pasti akan penuh dengan orang-orang yang
mencari perlengkapan Natal atau mungkin baru akan mencari pohon Natal beserta
isinya.
Kembali
kutarikan mataku di novel dan membuat pikiranku fokus dengan imajinasi.
Melupakan waktu, melupakan sekitar, melupakan perut yang sudah meronta-ronta
minta diisi.
Hari ini
satu novel selesai. Tebalnya masuk dalam kategori sedang.
Aku duduk
tegak dan mulai meregangkan tubuhku kesana kemari. Kembali kusibakkan
pergelangan jaketku untuk memeriksa jam. Hampir jam pulangku. Aku putuskan
untuk mulai membereskan barang-barangku yang berserakan diatas meja kopi. Earphone yang masih tersambung dengan
iPod berserakan diatas meja; piring kue yang sudah ‘bersih’ olehku; tisu-tisu
bersih dan kotor; juga bungkusan-bungkusan kosong bekas camilanku. Aku masukan
semua sampah itu kedalam satu kantong kertas bekas aku pakai mengisi
camilan-camilanku yang akan aku buang nanti dalam perjalanan menuju halte.
Setelah
yakin tidak ada yang tertinggal, aku masukkan iPod ke saku baju lengan panjang
yang aku gunakan sebelum memakai jaket dengan earphone yang menggantung di leherku. Aku tidak berani menggunakan earphone saat berjalan sendirian di
malam hari, demi keamanan sendiri.
Dari
kejauhan, halte tersebut cukup ramai oleh beberapa orang; ibu-ibu yang mungkin
baru pulang kantor; beberapa anak remaja yang baru pulang entah darimana mereka
berasal. Aku duduk diujung bangku halte tersebut. Berusaha mengacuhkan beberapa
anak remaja yang mengganggu, setelah ibu-ibu yang baru pulang kantor itu naik
bus pertama sejak aku duduk di halte bus.
“Kak, kau
bisa berikan kami beberapa uangmu?”seru seorang anak yang tingginya sedang dan
cukup kurus.
“Untuk
apa?”kataku dengan judes.
“Untuk
membeli makanan, permen, rokok, minuman.....pokoknya berikan saja kami beberapa
lembar uangmu.”paksanya lagi. Antara takut dan sebal. “Tidak akan aku berikan
jika tidak akan kalian gunakan dengan baik.”jawabku masih dengan memasang wajah
galak.
“Kami tahu,
kau memiliki uang banyak di dompetmu. Jangan pura-pura tidak memiliki
duit!”bentak anak tersebut. Diam-diam aku terkejut. Dimana tata krama mereka?
Seperti anak gelandangan saja.
“Atau
mungkin, jika memang kau tidak memiliki duit, kau bisa menemani kami secara
cuma-cuma.” Seorang anak laki-laki bertubuh gempal maju dan berdiri disamping
anak bertubuh kurus yang memaksaku tadi.
Bahkan aku
belum sempat melawan, anak bertubuh gempal itu mulai melancarkan tangannya ke
arahku. “Belum waktunya bagimu untuk mengencani perempuan yang lebih tua
darimu. Apalagi menggodanya. Kau disekolahkan bukan? Seharusnya kau tahu tata
krama.” Tangan anak bertubuh gempal itu ditahan oleh cengkraman barista
tersebut seraya menggeleng-gelengkan kepalanya pada anak laki-laki yang
tangannya ditahan yang tengah memandang dengan wajah sebal. Sejujurnya aku
terkejut. Aku pikir, jam kerjanya belum selesai. Dan ia berbicara dengan bahasa
juga logat Korea yang terdengar lucu.
Sambil
melepaskan tangan anak kecil yang tenggelam dibalik cengkraman barista
tersebut, ia berkata, “Minta maaf sekarang juga.” Ia menatap ke arah anak
remaja lainnya yang berdiri disitu. “Kalian semua.”tambahnya. Mereka semua
meminta maaf padaku yang berwajah bingung. Bukan bingung pada anak-anak remaja
ini, tapi pada barista yang seperti jin. Muncul tiba-tiba.
Setelah
anak-anak remaja itu berlalu, ia duduk tak jauh dariku. Seperti pertama kali
kami berjumpa.
Kembali
kuayun-ayunkan kedua kakiku yang menggantung. Aku bingung bagaimana cara yang
tepat untuk mengucapkan terima kasih pada barista yang sudah menyelamatkanku
dari gangguan segerombolan anak remaja yang sepertinya belum akil balik itu,
karena tidak bisa berpikir dewasa.
Bus
bernomor 11 pun menepi ke halte, aku merasakan ia pun ikut berdiri dan berjalan
menuju bus ini. Konyolnya, kami duduk di tempat yang sama seperti pertama kali.
Tapi, kali ini aku tidak akan memperhatikannya, supaya tidak mengulangi
kebodohanku sebelumnya dengan kebodohan lainnya. Jadi, kuputuskan untuk
mendengarkan lagu dan memandang jalan raya. Pelan-pelan hujan mulai mengguyur
kota dan aku tenggelam dalam lagu instrumental yang mengalir.
Entah sudah
lewat berapa pekan sejak ia menolongku dari segerombolan anak-anak kecil kurang
moral. Aku selalu memikirkan caraku untuk mengucapkan terima kasih padanya.
Tapi, hingga aku duduk menyesap kopi hangat pun aku belum menemukan kalimat dan
timing yang pas. Akh sepertinya aku
belum diberikan waktu yang pas. Tapi, jika tidak mengucapkan terima kasih juga,
rasanya seperti ada beban yang mengekor di belakang dan meminta untuk
diselesaikan. Dan rasanya akan berat.
Tidak
terasa waktu sudah berputar cepat, dan sebentar lagi Natal akan tiba. Udara
yang tadinya sejuk perlahan-lahan mulai dingin beku. Diawal-awal musim dingin
memang udara akan terasa beku. Aku mungkin tidak akan sanggup jika disuruh mandi
dengan air yang seperti air di Kutub Utara.
Hari ini
aku tidak mampir ke kedai kopi. Aku memutuskan untuk naik bus 11 dari halte
yang terletak di depan bookstore yang
hari ini aku singgahi. Aku sudah terlalu bersemangat untuk menikmati
bacaan-bacaan yang akan menemaniku selama waktu kosongku. Aku menggeram kesal
dan memasukkan komik beserta bungkusan plastik yang baru beberapa detik yang
lalu aku sobek saat bus yang aku tunggu menepi. Menyebalkan.
Keadaan bus
terasa lengang. Aku melihat jam. Ah pantas saja. Ini masih jam sekolah dan jam
kerja; bukan jam makan siang orang kantor. Lagipula cuaca sedang gelap dan
rintik-rintik mulai mengguyur. Belakangan ini sering hujan deras. Aku melompat
masuk ke dalam bus 11 yang pintunya langsung menutup secara otomatis. Aku
menoleh ke kiri dan kanan mencari tempat duduk yang nyaman, supaya aku bisa
menikmati perjalanan pulangku sambil membaca komik.
Saat aku
berjalan ke bangku belakang bus, aku tersadar ada seorang laki-laki yang tengah
memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar ke jendela bus. Wajahnya penuh
babak belur. Aku mengernyit ngeri. Tapi, saat aku semakin dekat, aku
terperanjat kaget ternyata dia barista yang menolongku saat aku ditodong
segerombolan anak kecil kekurangan zat moral! Aku langsung buru-buru duduk
disampingnya dan mengeluarkan kotak P3K kecil yang selalu aku bawa kemana-mana.
Ia
mengernyit kesakitan saat aku coba bersihkan kulitnya yang sobek.
“Ah aku
bahkan tidak tahu rumahnya dimana.”gerutuku dengan gelisah. “Permisi, apakah
kamu bisa memberikan aku alamatmu?”tanyaku dengan ragu-ragu. Ia hanya
mengeluarkan erangan kesakitan. Berusaha bicara tapi tidak bisa. Aku semakin
gelisah karena ia tidak kunjung memberikan alamat atau apapun yang bisa
menunjukkan lokasi tempat tinggalnya.
Akhirnya
aku putuskan untuk membawanya ke tempat tinggalku dan merawatnya disana hingga
ia bisa memberitahuku lokasi tempat tinggalnya. Karena aku curiga ia bukan
orang asli Korea, terlihat dari wajahnya yang bukan wajah Asia dan potongan
rambutnya. Karena, laki-laki Korea cenderung mengikuti potongan rambut penyanyi
asal negaranya.
Dalam
perjalanan ke rumah, aku merasakan ia mulai menggigil. Padahal ia mengenakan
baju berlengan panjang. Aku melepaskan salah satu syalku dan melingkarkan syal
tebal itu di lehernya. Setidaknya sudah mengurangi gigilannya. Karena,
setelahnya ia mulai tidak menggigil lagi.
Aku
putuskan untuk mulai membaca komikku yang seakan-akan terus-menerus memanggilku
untuk membacanya. Aku sudah tidak tahan untuk tidak menyentuh komik itu. Perjalanan
untuk sampai di halte yang tidak jauh dari rumahku masih ada sekitar setengah
jam lagi. Diam-diam aku khawatir dengan luka laki-laki itu.
Membaca
komik itu seru jika tidak ada yang mengganggu.
Saat aku
tengah membaca, tiba-tiba aku merasakan pundakku kananku berat. Saat aku
menoleh, kepala laki-laki itu sudah jatuh ke pundakku. “Sepertinya ia
tertidur.”gumamku. Sungguh, ini konyol. Seharusnya kan yang seperti ini aku
yang notabene perempuan, kenapa malah dia yang laki-laki yang jatuh tertidur di
pundak perempuan? Ya setidaknya seperti itu yang aku baca di novel dan aku
tonton di drama-drama Korea.
Aku biarkan
ia tertidur di pundakku. Paling-paling saat ia bangun, ia harus pergi ke dokter
supaya lehernya di gips akibat tulang leher yang salah tempat.
Aku
setengah menyeret langkahku menuju rumah sambil membopong barista ini.
Beberapa
orang yang lewat memperhatikanku. Aku hanya bisa memberikan senyum
tolong-dimaklumi dan bergegas masuk ke rumah sambil menidurkannya di sofa
panjang. Buru-buru aku menyalakan api di perapian, supaya dia merasa hangat.
“Sepertinya ia demam.”gumamku dan buru-buru mengambil sebaskom air dan beberapa
lembar handuk kecil dan mulai mengompresnya sembari membersihkan dan mengobati
luka-lukanya dan juga babak belurnya.
“Heran, dia
habis adu jotos dimana? Kau beruntung tidak ditangkap oleh polisi.”kataku
padanya yang tengah tertidur, atau sedang pingsan? Entahlah. Kalau pun pingsan,
dia akan bangun juga nantinya.
Setelah
selesai mengobati, aku tinggalkan handuk basah karena air dingin itu diletakkan
di keningnya, dan aku duduk di kursi goyang sembari membaca komik lainnya,
karena komik sebelumnya sudah habis aku lahap selama perjalanan, dengan
secangkir coklat hangat.
Lama
kelamaan, mataku sudah mulai berat terbuka dan kepalaku mulai terjatuh.
Akhirnya
aku putuskan untuk tidur di depan perapian, diatas permadani cukup tebal yang
menghiasi lantai kayuku, yang berarti di depan sofa tempat barista itu aku
baringkan. Aku menghembuskan nafas karena mendapatkan posisi nyaman.
Seringkali
aku terbangun secara otomatis untuk membalikkan atau mengganti handuk lainnya
dan mengembalikkannya ke kening barista itu. Saat tengah malam, entah keberapa
kalinya aku mengganti handuk yang hampir kering itu, demamnya sudah mulai turun
dan aku menghembuskan nafas lega. Karena, aku tidak perlu terbangun kaget
hingga subuh untuk mengganti handuk. Jadi, aku ganti dengan selimut tebal untuk
menyelimutinya dan aku bisa kembali tidur nyenyak.
“Arrrgghhh!”pekikku
frustasi seraya mengacak-acak rambutku dengan kesal karena bekerku sudah
berdering, padahal aku merasa aku baru tidur beberapa jam saja. Aku langsung
mematikan jam bekerku dan kembali bergelung di dalam selimutku ketika telingaku
menangkap suara erangan seseorang yang baru bangun.
“Oh, dear Lord!” Aku mulai menyumpah
dengan sebal. Aku paksakan tubuhku untuk duduk tegak. Mataku menangkap gerakan
dari barista itu yang menatapku dengan bingung. Bahuku terkulai lemas karena
harus menjelaskan panjang lebar kenapa dia berada dirumahku. Alhasil, aku hanya
menjawab kebingungan dimatanya dengan erangan sebal.
“Nanti saja
aku jelaskan. Di meja makan ada roti dan selai. Di kulkas ada susu dalam
kotaknya. Tolong jangan ditenggak dari kotak kemasannya. Itu juga kalau kau mau
sarapan lebih dahulu baru ke kerja atau mungkin pulang.”ujarku sambil kembali
bergelung diselimut.
Hening.
Aku tidak
merasakan ada yang bergerak. Kali ini mataku terbuka lebar. Takut terjadi
sesuatu padanya. Aku langsung keluar dari dalam selimut dan memelototinya. Ia
sedang menguap. Aku kembali menyumpah dengan sebal. Akibat kurang tidur
pikiranku sudah mulai melantur memikirkan hal-hal buruk.
Aku
merasakan ia bergerak di sofa. “AAAKKKHHH!! MY
HAND!!”pekikku saat tanganku terinjak olehnya, aku tahu ia tidak sengaja.
Ia tidak melihat tanganku yang tengah telentang di balik selimut.
Ia langsung
mundur dengan gerakan cepat dan jatuh terduduk di atas sofa dengan wajah kaget,
apalagi setelah mendengar suara teriakanku. “Maaf. Aku tidak
melihatnya.”katanya. Dugaanku benar, ia memang bukan orang asli Korea. Karena
ia berbicara bahasa Inggris dengan fasih, seakan-akan bahasa Inggris adalah
bahasa ibunya.
Kalau
begini ceritanya, aku memang tidak diberkati untuk tidur kembali. Aku putuskan
untuk benar-benar bangun dan menatap barista itu dengan sebal, lalu berlalu
menuju ruang makan untuk menyiapkan sarapan masih dengan wajah yang moodnya
turun drastis hingga di titik nol. Barista itu menyusulku ke ruang makan. Aku
mengajaknya duduk untuk menyantap roti dengan selai coklat dan segelas susu
putih.
“Ah, aku
mau berterima kasih karena tempo hari kau sudah menolongku dari anak-anak
berandalan di halte.”kataku. menghapus udara kecanggungan disekitar kami.
“Ya, terima
kasih kembali. Aku juga berterima kasih karena sudah merawatku. Aku tidak tahu
bagaimana nasibku kalau aku tidak ditemukan olehmu di bus.”ujarnya sambil
tersenyum miring.
Aku jadi
penasaran. “Sebenarnya, apa yang terjadi?”tanyaku akhirnya. Ia mendongak dari
roti yang tengah ia gigit. Aku menunggu keputusannya, akan menceritakan atau
tidak.
Ia menarik
nafas, “Aku hanya sedang menolong anak kecil yang dicegat segerombolan
anak-anak remaja tanggung. Ya alhasil begini jadinya.”ujarnya dengan tidak
acuh. Aku tertawa mendengar ceritanya. “Konyol. Kau kalah dengan remaja-remaja
tanggung itu?”kataku seraya tertawa lagi.
“Mereka
bergerombol. Dan aku sedang kurang fit.”jawabnya dengan tenang. Aku sedang
berusaha meredakan tawaku. Karena sepertinya hanya aku yang menganggap itu
konyol. Sekarang aku yang merasa diriku ini konyol. “Apakah akhir minggu nanti
kau kosong?”tanyanya tiba-tiba. Aku mengerutkan kening. “Kosong,
kenapa?”balasku dengan pertanyaan.
“Bolehkah
kau menemaniku mencari pohon Natal?”tanyanya dengan ragu-ragu.
“Oh.
Boleh-boleh saja. Kapan?”tanyaku.
“Kita
janjian di kedai kopi jam 9, hari Sabut nanti. Aku tahu tempat yang menjual
pohon-pohon Natal serta pernak perniknya dekat kedai kopi. Bagaimana?”tanyanya.
Aku
mengangguk. “Baiklah. Hari Sabtu jam 9 di kedai kopi.”ujarku ulang.
Setelah
acara sarapan singkat itu, aku mempersilahkannya untuk mandi saja lebih dahulu
disini jika ia mau langsung ke kedai kopi tanpa pulang lebih dahulu, tapi
ternyata ia memilih untuk pulang saja. Aku mengantarnya hingga trotoar rumahku.
Ia menatap sekelilingnya dengan bingung.
“Tempat
tinggalku dekat sini. Aku tinggal di apartemen.”ujarnya sambil mengedikkan bahu
dengan cuek. Aku hanya mengangguk-angguk mengerti dan melambaikan tangan saat
ia mulai berjalan menjauh.
Beberapa
hari aku tidak keluar rumah karena keasyikan menikmati bacaan-bacaan yang
tersedia hingga tidak sadar, salju mulai turun.
to be continue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar