A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Rabu, 29 Mei 2013

Bus [1]

Setiap hari orang berlalu-lalang. Datang dan pergi. Duduk dan berdiri.
Setiap harinya berputar seperti itu terus menerus dalam porosnya yang sudah terbentuk secara alami. Banyak orang dengan berbagai perasaan yang datang dan tinggal dalam hati ini. Namun, tidak ada yang abadi bukan? Yap. Tidak ada yang abadi.
Aku duduk di bangku halte bus tersebut sambil mengayun-ayunkan kakiku karena bangku itu cukup tinggi dan melebar lalu memanjang agar muat banyak orang untuk digunakan. Menyenangkan mengayun-ayunkan kedua kaki yang menggantung di udara saat duduk.
Setiap hari seperti inilah aku. Duduk menunggu di halte bus yang sama setiap harinya untuk pulang, entah darimanapun itu aku berasal. Saat aku tengah membaca sebuah novel, seorang laki-laki duduk tak jauh dariku dengan jaket yang cukup tebal dan gelas kopi take away di tangannya. Udara di malam hari memang selalu terasa dingin. Aku hanya menatapnya sekilas dan melanjutkan bacaku.
Aku selalu menunggu bus yang bernomor sama setiap harinya, 11. Aku sampai hafal jamnya muncul di halte ini. Maka dariitu aku selalu menunggu bus tersebut disini. Untungnya, ia melewati halte bus di kompleks rumahku. Sehingga aku tidak perlu memutar arah. Dan aku tidak akan dengan sukarela memutar arah. Entah sudah berapa bus yang lewat tapi bus bernomor 11 tak kunjung datang.
Aku menoleh ke sampingku, sekadar untuk memperhatikan sekitar.
Dan aku dapati laki-laki tersebut pun masih duduk di tempatnya semula. Kali ini ia tengah menggoyang-goyangkan gelas kopinya. Mungkin, kopinya sudah hampir habis. “Mungkin ia sedang menunggu di jemput oleh temannya.”gumamku. Kembali aku menenggelamkan pikiranku dalam novel yang tengah kubaca, dan menyembunyikan dagu hingga hidungku ke dalam jaket berleher tinggi. Menghalau udara dingin.
Jalanan masih ramai dengan mobil-mobil yang berlalu-lalang.
Jam-jam seperti ini, halte-halte bus terkadang jarang penghuni, hanya segelintir orang saja. Dan sejauh ini, keamanan kota ini sangat dijaga. Tidak dengan hati ini. Mudah sekali dirusak oleh orang lain, bahkan terlalu mudah untuk dicuri dan tidak dikembalikan. Maka aku pun merasa nyaman berada di halte ini cukup lama. Siapa tahu dengan angin dingin, bisa membekukan rasa rindu ini dan membekukan perasaan yang sudah hidup cukup lama hingga aku sendiri tidak sanggup untuk membuangnya.
Di halte ini, biasanya akan ramai dengan segelintir orang. Entah mengapa malam ini hanya ada kami berdua. Aku bahkan sudah mulai hafal siapa saja yang sering menunggu bus di halte ini. Apakah aku pernah melihatnya? Otakku berputar seperti mesin pencari orang. Tapi, hasil yang muncul adalah: tidak ditemukan. Apa mungkin ia baru kali ini menunggu disini?
Bulu kudukku berdiri saat angin dingin menyapaku dengan sangat tidak sopan.
Semoga saja ia bukan orang yang bertangan gatal.
Aku masih menikmati novel di hadapanku saat bus yang kutunggu datang.
Aku berdiri. Ia pun berdiri. Ya, dapat kurasakan dari ekor mataku.
Pintu bus tersebut terbuka secara otomatis. Aku menempelkan kartuku yang berada di dompet untuk diverifikasi barcode yang tertera. Isi bus tersebut tidak terlalu ramai; tidak penuh juga.
Aku mengambil tempat duduk di pintu yang tadi aku lewati. Perjalanan untuk sampai di rumah masih jauh, maka kuputuskan untuk melanjutkan membaca setelah memperhatikan jalanan. Aku bisa menangkap bayangan laki-laki yang tadi duduk tidak jauh dariku di halte, berada hanya berjarak 2 bangku dari bangkuku, melalui jendela.
“Dijemput bus.”gumamku, memperbaiki kalimatku sebelumnya yang ternyata keliru, lalu memfokuskan kembali ke bacaanku. Setidaknya berada di dalam bus, terasa lebih hangat daripada diluar.
Mungkin, ia akan turun lebih dahulu dariku, pikirku saat itu.
Dan, yap. Ia turun lebih dahulu di setengah perjalananku. Aku pura-pura membaca novel di tanganku, saat ia melewatiku. Dan, ya, aku harus mengakui kebodohanku yang sangat ceroboh. Aku membaca novel itu terbalik. Aku sangat berharap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Memalukan. Sangat.

Aku kembali mengunjungi kedai kafe yang dibuka 24 jam, namun tidak terbilang ramai atau sepi juga. Sambil menyesap kopiku, aku mulai membuka novelku kembali. Yap, kemanapun aku pergi aku akan membawa novel entah sudah keberapa kali aku membacanya. Lagu instrumental mengiring siangku melalui speaker. Kedai ini membuat orang yang berada di dalamnnya merasa nyaman. Hanya saja, kedai ini tidak berada di pinggir jalan sehingga hanya beberapa orang yang mengetahui letak kedai ini.
Aku bisa menghabiskan hariku disini bersama buku dan kopi. Jika, kopimu sudah habis, kamu boleh mengisinya dengan teh manis atau teh tawar yang disediakan secara cuma-cuma, kamu boleh menambahnya sesering mungkin. Aku mengambil posisi duduk ternyamanku. Duduk bersila diatas sofa untuk satu orang berwarna coklat pohon.
Tidak ada kebetulan yang lebih dari sekali. “Sekarang harus aku akui, ternyata memang sempit dunia ini.”gerutuku dengan suara rendah, supaya hanya aku yang mendengarnya. Ada apa? Mataku baru saja menangkap sosok barista yang tengah menyeduh kopi, barista yang bahkan belum masuk hitungan 24 jam, duduk berseberangan denganku di bus dan di halte. Dan yap, yang membuatku bertingkah konyol bin bodoh. Aku berharap ia sudah melupakan wajahku beserta tingkah bodohku beberapa bulan lalu.
Aku bahkan sampai mengambil jam pulang lebih cepat dari biasanya, berharap dengan begitu saat siang aku tidak akan bertemu dengannya di halte. Namun, baru kali ini aku melihatnya berada dibalik mesin kopi tersebut. Atau mungkin aku yang memang sering tidak memperhatikan barista, dan hari ini mataku telah dibukakan.
Aku memutuskan untuk pindah tempat duduk ke sofa di hadapanku yang membelakangi barista tersebut. Seandainya semudah itu membelakangi masa lalu. Terkadang masa lalu itu bisa satu langkah lebih maju. Ia pandai mengejar.

Novel sudah kututup, namun masih tergeletak di atas meja kopi. Kopi pun yang tersisa hanya ampasnya. Mataku ‘menelanjangi’ apapun yang aku lihat.
Penghangat ruangan mulai dinyalakan. Sepertinya hari ini udara dingin datang lebih cepat dari perkiraan. Mereka tidak menggunakan penghangat ruangan modern, tapi yang tradisional. Kami menyebutnya, ondol. Alat ini hanya terdapat di Korea. Penghangat ruangan yang terdapat di bagian bawah kayu-kayu ini. Hangatnya terasa seperti hangat alami. Karena penghangatnya menggunakan batu bara, kayu, dsb.
Aku keluarkan jaket super tebalku dari dalam ransel, diikuti dengan kain tebal untuk melingkari leherku. Melindunginya dari udara dingin. Tapi tak cukup sanggup untuk melindungi hati ini dari kerinduan. Hanya sebuah kain tebal, bukan sebuah perasaan yang lain yang bisa menggantikan atau menghapusnya.
“Permisi. Apakah Anda mau mengisi cangkir Anda dengan teh?”ujar seorang pelayan sambil menawarkan dua teko teh.
Aku mendongak untuk menatap pelayan tersebut. Dan yap, aku berusaha untuk tidak membelalakkan mataku karena meskipun aku mencoba, aku tidak akan terlihat seperti sedang membelalakkan mataku. “Teh manis saja. Terima kasih.”ujarku sambil membungkukkan sebagian tubuhku ke arahnya. Setelah ia selesai mengisi cangkirku, ia pergi dan menawarkan pada pengunjung yang lain.
Aku menghembuskan nafas. “Tidak mungkin aku pindah kedai hanya karena masalah sepele.”omelku pada diriku sendiri. Maka kuputuskan untuk tetap di kedai ini. Bukan maksudnya aku akan tinggal disini. Maksudku, aku tetap akan datang ke kedai ini dan menikmati hari-hariku yang kosong. Menunggu hari masuk kuliah.
Aku menyibakkan pergelangan jaketku untuk melihat jam. “Masih lama.”gumamku seraya tersenyum. Jam pulangku masih lama. Aku pikir sudah sebentar lagi karena keadaan diluar sudah cukup gelap untuk disebut malam. Karena sebenarnya, baru menjelang malam.
Aku tersenyum saat sadar musim dingin hampir sampai. Menyenangkan bermain lempar-lemparan bola salju dan membuat orang-orangan dari salju atau sekadar memperhatikan butiran-butiran salju itu turun dari balik jendela rumah dengan secangkir teh hangat dan beberapa kue kering, dilanjutkan dengan duduk-duduk di depan perapian sambil membaca novel. Itulah mengapa aku sangat menunggu musim dingin.
Aku bahkan sudah menyiapkan beberapa novel untuk kubaca. Dari yang terbaru hingga yang sudah berulang-ulang, berada di samping sofa bacaku dekat perapian. Ah ya, Natal sebentar lagi. Tempat belanja pasti akan penuh dengan orang-orang yang mencari perlengkapan Natal atau mungkin baru akan mencari pohon Natal beserta isinya.
Kembali kutarikan mataku di novel dan membuat pikiranku fokus dengan imajinasi. Melupakan waktu, melupakan sekitar, melupakan perut yang sudah meronta-ronta minta diisi.

Hari ini satu novel selesai. Tebalnya masuk dalam kategori sedang.
Aku duduk tegak dan mulai meregangkan tubuhku kesana kemari. Kembali kusibakkan pergelangan jaketku untuk memeriksa jam. Hampir jam pulangku. Aku putuskan untuk mulai membereskan barang-barangku yang berserakan diatas meja kopi. Earphone yang masih tersambung dengan iPod berserakan diatas meja; piring kue yang sudah ‘bersih’ olehku; tisu-tisu bersih dan kotor; juga bungkusan-bungkusan kosong bekas camilanku. Aku masukan semua sampah itu kedalam satu kantong kertas bekas aku pakai mengisi camilan-camilanku yang akan aku buang nanti dalam perjalanan menuju halte.
Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, aku masukkan iPod ke saku baju lengan panjang yang aku gunakan sebelum memakai jaket dengan earphone yang menggantung di leherku. Aku tidak berani menggunakan earphone saat berjalan sendirian di malam hari, demi keamanan sendiri.
Dari kejauhan, halte tersebut cukup ramai oleh beberapa orang; ibu-ibu yang mungkin baru pulang kantor; beberapa anak remaja yang baru pulang entah darimana mereka berasal. Aku duduk diujung bangku halte tersebut. Berusaha mengacuhkan beberapa anak remaja yang mengganggu, setelah ibu-ibu yang baru pulang kantor itu naik bus pertama sejak aku duduk di halte bus.
“Kak, kau bisa berikan kami beberapa uangmu?”seru seorang anak yang tingginya sedang dan cukup kurus.
“Untuk apa?”kataku dengan judes.
“Untuk membeli makanan, permen, rokok, minuman.....pokoknya berikan saja kami beberapa lembar uangmu.”paksanya lagi. Antara takut dan sebal. “Tidak akan aku berikan jika tidak akan kalian gunakan dengan baik.”jawabku masih dengan memasang wajah galak.
“Kami tahu, kau memiliki uang banyak di dompetmu. Jangan pura-pura tidak memiliki duit!”bentak anak tersebut. Diam-diam aku terkejut. Dimana tata krama mereka? Seperti anak gelandangan saja.
“Atau mungkin, jika memang kau tidak memiliki duit, kau bisa menemani kami secara cuma-cuma.” Seorang anak laki-laki bertubuh gempal maju dan berdiri disamping anak bertubuh kurus yang memaksaku tadi.
Bahkan aku belum sempat melawan, anak bertubuh gempal itu mulai melancarkan tangannya ke arahku. “Belum waktunya bagimu untuk mengencani perempuan yang lebih tua darimu. Apalagi menggodanya. Kau disekolahkan bukan? Seharusnya kau tahu tata krama.” Tangan anak bertubuh gempal itu ditahan oleh cengkraman barista tersebut seraya menggeleng-gelengkan kepalanya pada anak laki-laki yang tangannya ditahan yang tengah memandang dengan wajah sebal. Sejujurnya aku terkejut. Aku pikir, jam kerjanya belum selesai. Dan ia berbicara dengan bahasa juga logat Korea yang terdengar lucu.
Sambil melepaskan tangan anak kecil yang tenggelam dibalik cengkraman barista tersebut, ia berkata, “Minta maaf sekarang juga.” Ia menatap ke arah anak remaja lainnya yang berdiri disitu. “Kalian semua.”tambahnya. Mereka semua meminta maaf padaku yang berwajah bingung. Bukan bingung pada anak-anak remaja ini, tapi pada barista yang seperti jin. Muncul tiba-tiba.
Setelah anak-anak remaja itu berlalu, ia duduk tak jauh dariku. Seperti pertama kali kami berjumpa.
Kembali kuayun-ayunkan kedua kakiku yang menggantung. Aku bingung bagaimana cara yang tepat untuk mengucapkan terima kasih pada barista yang sudah menyelamatkanku dari gangguan segerombolan anak remaja yang sepertinya belum akil balik itu, karena tidak bisa berpikir dewasa.
Bus bernomor 11 pun menepi ke halte, aku merasakan ia pun ikut berdiri dan berjalan menuju bus ini. Konyolnya, kami duduk di tempat yang sama seperti pertama kali. Tapi, kali ini aku tidak akan memperhatikannya, supaya tidak mengulangi kebodohanku sebelumnya dengan kebodohan lainnya. Jadi, kuputuskan untuk mendengarkan lagu dan memandang jalan raya. Pelan-pelan hujan mulai mengguyur kota dan aku tenggelam dalam lagu instrumental yang mengalir.

Entah sudah lewat berapa pekan sejak ia menolongku dari segerombolan anak-anak kecil kurang moral. Aku selalu memikirkan caraku untuk mengucapkan terima kasih padanya. Tapi, hingga aku duduk menyesap kopi hangat pun aku belum menemukan kalimat dan timing yang pas. Akh sepertinya aku belum diberikan waktu yang pas. Tapi, jika tidak mengucapkan terima kasih juga, rasanya seperti ada beban yang mengekor di belakang dan meminta untuk diselesaikan. Dan rasanya akan berat.
Tidak terasa waktu sudah berputar cepat, dan sebentar lagi Natal akan tiba. Udara yang tadinya sejuk perlahan-lahan mulai dingin beku. Diawal-awal musim dingin memang udara akan terasa beku. Aku mungkin tidak akan sanggup jika disuruh mandi dengan air yang seperti air di Kutub Utara.
Hari ini aku tidak mampir ke kedai kopi. Aku memutuskan untuk naik bus 11 dari halte yang terletak di depan bookstore yang hari ini aku singgahi. Aku sudah terlalu bersemangat untuk menikmati bacaan-bacaan yang akan menemaniku selama waktu kosongku. Aku menggeram kesal dan memasukkan komik beserta bungkusan plastik yang baru beberapa detik yang lalu aku sobek saat bus yang aku tunggu menepi. Menyebalkan.
Keadaan bus terasa lengang. Aku melihat jam. Ah pantas saja. Ini masih jam sekolah dan jam kerja; bukan jam makan siang orang kantor. Lagipula cuaca sedang gelap dan rintik-rintik mulai mengguyur. Belakangan ini sering hujan deras. Aku melompat masuk ke dalam bus 11 yang pintunya langsung menutup secara otomatis. Aku menoleh ke kiri dan kanan mencari tempat duduk yang nyaman, supaya aku bisa menikmati perjalanan pulangku sambil membaca komik.
Saat aku berjalan ke bangku belakang bus, aku tersadar ada seorang laki-laki yang tengah memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar ke jendela bus. Wajahnya penuh babak belur. Aku mengernyit ngeri. Tapi, saat aku semakin dekat, aku terperanjat kaget ternyata dia barista yang menolongku saat aku ditodong segerombolan anak kecil kekurangan zat moral! Aku langsung buru-buru duduk disampingnya dan mengeluarkan kotak P3K kecil yang selalu aku bawa kemana-mana.
Ia mengernyit kesakitan saat aku coba bersihkan kulitnya yang sobek.
“Ah aku bahkan tidak tahu rumahnya dimana.”gerutuku dengan gelisah. “Permisi, apakah kamu bisa memberikan aku alamatmu?”tanyaku dengan ragu-ragu. Ia hanya mengeluarkan erangan kesakitan. Berusaha bicara tapi tidak bisa. Aku semakin gelisah karena ia tidak kunjung memberikan alamat atau apapun yang bisa menunjukkan lokasi tempat tinggalnya.
Akhirnya aku putuskan untuk membawanya ke tempat tinggalku dan merawatnya disana hingga ia bisa memberitahuku lokasi tempat tinggalnya. Karena aku curiga ia bukan orang asli Korea, terlihat dari wajahnya yang bukan wajah Asia dan potongan rambutnya. Karena, laki-laki Korea cenderung mengikuti potongan rambut penyanyi asal negaranya.
Dalam perjalanan ke rumah, aku merasakan ia mulai menggigil. Padahal ia mengenakan baju berlengan panjang. Aku melepaskan salah satu syalku dan melingkarkan syal tebal itu di lehernya. Setidaknya sudah mengurangi gigilannya. Karena, setelahnya ia mulai tidak menggigil lagi.
Aku putuskan untuk mulai membaca komikku yang seakan-akan terus-menerus memanggilku untuk membacanya. Aku sudah tidak tahan untuk tidak menyentuh komik itu. Perjalanan untuk sampai di halte yang tidak jauh dari rumahku masih ada sekitar setengah jam lagi. Diam-diam aku khawatir dengan luka laki-laki itu.
Membaca komik itu seru jika tidak ada yang mengganggu.
Saat aku tengah membaca, tiba-tiba aku merasakan pundakku kananku berat. Saat aku menoleh, kepala laki-laki itu sudah jatuh ke pundakku. “Sepertinya ia tertidur.”gumamku. Sungguh, ini konyol. Seharusnya kan yang seperti ini aku yang notabene perempuan, kenapa malah dia yang laki-laki yang jatuh tertidur di pundak perempuan? Ya setidaknya seperti itu yang aku baca di novel dan aku tonton di drama-drama Korea.
Aku biarkan ia tertidur di pundakku. Paling-paling saat ia bangun, ia harus pergi ke dokter supaya lehernya di gips akibat tulang leher yang salah tempat.

Aku setengah menyeret langkahku menuju rumah sambil membopong barista ini.
Beberapa orang yang lewat memperhatikanku. Aku hanya bisa memberikan senyum tolong-dimaklumi dan bergegas masuk ke rumah sambil menidurkannya di sofa panjang. Buru-buru aku menyalakan api di perapian, supaya dia merasa hangat. “Sepertinya ia demam.”gumamku dan buru-buru mengambil sebaskom air dan beberapa lembar handuk kecil dan mulai mengompresnya sembari membersihkan dan mengobati luka-lukanya dan juga babak belurnya.
“Heran, dia habis adu jotos dimana? Kau beruntung tidak ditangkap oleh polisi.”kataku padanya yang tengah tertidur, atau sedang pingsan? Entahlah. Kalau pun pingsan, dia akan bangun juga nantinya.
Setelah selesai mengobati, aku tinggalkan handuk basah karena air dingin itu diletakkan di keningnya, dan aku duduk di kursi goyang sembari membaca komik lainnya, karena komik sebelumnya sudah habis aku lahap selama perjalanan, dengan secangkir coklat hangat.

Lama kelamaan, mataku sudah mulai berat terbuka dan kepalaku mulai terjatuh.
Akhirnya aku putuskan untuk tidur di depan perapian, diatas permadani cukup tebal yang menghiasi lantai kayuku, yang berarti di depan sofa tempat barista itu aku baringkan. Aku menghembuskan nafas karena mendapatkan posisi nyaman.
Seringkali aku terbangun secara otomatis untuk membalikkan atau mengganti handuk lainnya dan mengembalikkannya ke kening barista itu. Saat tengah malam, entah keberapa kalinya aku mengganti handuk yang hampir kering itu, demamnya sudah mulai turun dan aku menghembuskan nafas lega. Karena, aku tidak perlu terbangun kaget hingga subuh untuk mengganti handuk. Jadi, aku ganti dengan selimut tebal untuk menyelimutinya dan aku bisa kembali tidur nyenyak.

“Arrrgghhh!”pekikku frustasi seraya mengacak-acak rambutku dengan kesal karena bekerku sudah berdering, padahal aku merasa aku baru tidur beberapa jam saja. Aku langsung mematikan jam bekerku dan kembali bergelung di dalam selimutku ketika telingaku menangkap suara erangan seseorang yang baru bangun.
Oh, dear Lord!” Aku mulai menyumpah dengan sebal. Aku paksakan tubuhku untuk duduk tegak. Mataku menangkap gerakan dari barista itu yang menatapku dengan bingung. Bahuku terkulai lemas karena harus menjelaskan panjang lebar kenapa dia berada dirumahku. Alhasil, aku hanya menjawab kebingungan dimatanya dengan erangan sebal.
“Nanti saja aku jelaskan. Di meja makan ada roti dan selai. Di kulkas ada susu dalam kotaknya. Tolong jangan ditenggak dari kotak kemasannya. Itu juga kalau kau mau sarapan lebih dahulu baru ke kerja atau mungkin pulang.”ujarku sambil kembali bergelung diselimut.
Hening.
Aku tidak merasakan ada yang bergerak. Kali ini mataku terbuka lebar. Takut terjadi sesuatu padanya. Aku langsung keluar dari dalam selimut dan memelototinya. Ia sedang menguap. Aku kembali menyumpah dengan sebal. Akibat kurang tidur pikiranku sudah mulai melantur memikirkan hal-hal buruk.
Aku merasakan ia bergerak di sofa. “AAAKKKHHH!! MY HAND!!”pekikku saat tanganku terinjak olehnya, aku tahu ia tidak sengaja. Ia tidak melihat tanganku yang tengah telentang di balik selimut.
Ia langsung mundur dengan gerakan cepat dan jatuh terduduk di atas sofa dengan wajah kaget, apalagi setelah mendengar suara teriakanku. “Maaf. Aku tidak melihatnya.”katanya. Dugaanku benar, ia memang bukan orang asli Korea. Karena ia berbicara bahasa Inggris dengan fasih, seakan-akan bahasa Inggris adalah bahasa ibunya.
Kalau begini ceritanya, aku memang tidak diberkati untuk tidur kembali. Aku putuskan untuk benar-benar bangun dan menatap barista itu dengan sebal, lalu berlalu menuju ruang makan untuk menyiapkan sarapan masih dengan wajah yang moodnya turun drastis hingga di titik nol. Barista itu menyusulku ke ruang makan. Aku mengajaknya duduk untuk menyantap roti dengan selai coklat dan segelas susu putih.
“Ah, aku mau berterima kasih karena tempo hari kau sudah menolongku dari anak-anak berandalan di halte.”kataku. menghapus udara kecanggungan disekitar kami.
“Ya, terima kasih kembali. Aku juga berterima kasih karena sudah merawatku. Aku tidak tahu bagaimana nasibku kalau aku tidak ditemukan olehmu di bus.”ujarnya sambil tersenyum miring.
Aku jadi penasaran. “Sebenarnya, apa yang terjadi?”tanyaku akhirnya. Ia mendongak dari roti yang tengah ia gigit. Aku menunggu keputusannya, akan menceritakan atau tidak.
Ia menarik nafas, “Aku hanya sedang menolong anak kecil yang dicegat segerombolan anak-anak remaja tanggung. Ya alhasil begini jadinya.”ujarnya dengan tidak acuh. Aku tertawa mendengar ceritanya. “Konyol. Kau kalah dengan remaja-remaja tanggung itu?”kataku seraya tertawa lagi.
“Mereka bergerombol. Dan aku sedang kurang fit.”jawabnya dengan tenang. Aku sedang berusaha meredakan tawaku. Karena sepertinya hanya aku yang menganggap itu konyol. Sekarang aku yang merasa diriku ini konyol. “Apakah akhir minggu nanti kau kosong?”tanyanya tiba-tiba. Aku mengerutkan kening. “Kosong, kenapa?”balasku dengan pertanyaan.
“Bolehkah kau menemaniku mencari pohon Natal?”tanyanya dengan ragu-ragu.
“Oh. Boleh-boleh saja. Kapan?”tanyaku.
“Kita janjian di kedai kopi jam 9, hari Sabut nanti. Aku tahu tempat yang menjual pohon-pohon Natal serta pernak perniknya dekat kedai kopi. Bagaimana?”tanyanya.
Aku mengangguk. “Baiklah. Hari Sabtu jam 9 di kedai kopi.”ujarku ulang.
Setelah acara sarapan singkat itu, aku mempersilahkannya untuk mandi saja lebih dahulu disini jika ia mau langsung ke kedai kopi tanpa pulang lebih dahulu, tapi ternyata ia memilih untuk pulang saja. Aku mengantarnya hingga trotoar rumahku. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung.
“Tempat tinggalku dekat sini. Aku tinggal di apartemen.”ujarnya sambil mengedikkan bahu dengan cuek. Aku hanya mengangguk-angguk mengerti dan melambaikan tangan saat ia mulai berjalan menjauh.
Beberapa hari aku tidak keluar rumah karena keasyikan menikmati bacaan-bacaan yang tersedia hingga tidak sadar, salju mulai turun.

to be continue. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar