Diluar
masih hujan deras.
Air hujan
memancar kemana-mana dan membasahi apapun yang ia pijaki.
Aku masih dengan
setia menikmati kopi panas dengan uap panas yang mengepul dari dalam cangkir
kopi, duduk bersila di atas sofa yang hanya diperuntukkan untuk satu orang
saja, lalu menikmati lagu yang mengalir keluar dari earphone dengan novel Milana yang sedang setengah terbuka. “Hmm...”desahku
dengan nikmat saat kopi menyentuh lidahku saat kusesap. Rasa kopi ini tidak
pernah berubah. Tapi, kopi tidak sama dengan perasaan. Perasaan bisa berubah
seiring waktu, sadar atau tidak sadar. Kamu tidak akan pernah tahu tentang
hidupmu jika tidak kamu sesap. Kamu tidak akan tahu tentang kopi itu jika tidak
kamu rasakan.
Cinta itu
semanis coklat manis, dan sepahit kopi pahit. Tapi, keseluruhannya selembut
permen kapas, jika kamu rasakan akan langsung meresap.
“Jangan
melamun di tempat umum, bahaya.”gumamnya. kutolehkan mataku dai cangir kopi
yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari bibirku dan tersenyum padamu.
Aku terkekeh.
“Tidak, aku tidak sedang melamun. Aku hanya sedang meresapi kopi ini.”elakku.
Ia mendengus
geli mendengar alibiku. “Karin, sudah berapa tahun kamu merasakan kopi itu hingga
sekarang harus kamu resapi?”ledeknya dari balik novel yang sedang ia baca. Aku berikan
cengiran sebalku padanya. Sudah hampir 4 tahun kopi menemaniku, dan sudah
selama itulah persahabatan aku dengannya bertumbuh dan berkembang.
Hanya diperkenalkan
oleh sahabatku. Lalu kami mulai menghabiskan waktu dengan secangkir kopi, novel
ditangan, dan earphone di telinga,
serta di kafe yang sama dengan pojok ruangan yang sama. Ya, disinilah kami. Kami
sama-sama menikmati waktu diam kami yang diisi dengan dendangan lagu jazz dari
pengiring.
Jika salah
satu dari kami tidak membawa earphone,
kami akan saling berbagi. Keduanya tidak membawa? Maka lagu itu bisa di dengar
oleh pengunjung yang lain, tapi berhubung kafe ini jarang disinggahi oleh orang
– termasuk muda-mudi – maka kami dengan senang hati memutar lagu walau didengar
pengunjung lainnya.
Salah satu
tidak membawa novel, kami akan berbagi juga. Keduanya tidak membawa juga? Seluruh
cerita yang aku dan ia punya akan mengalir dengan deras tanpa bisa dihentikan. Tapi,
aku dan ia bercerita pun masih memilah-milahnya.
“Hey,
hidupmu juga harus kamu resapi meskipun sudah bertahun-tahun kamu hidup di
dalamnya.”kilahku padanya yang kembali mendengus sebal. Ia kembali terbenam di
novel yang tengah ia baca dan aku terkekeh geli dalam diam melihatnya pasrah
karena kalah beradu denganku. Kembali cangkir kopi itu mampir di bibirku.
“Masuklah. Jangan
diam diluar. Kenangan itu harus kamu hadapi, karena di dalam kenangan itu ada
kamu juga. Kenangan itu tidak memiliki kadaluarsa, dia hanya sering tertimbun oleh yang lainnya. Tapi, jika kamu mengoreknya semakin dalam, kamu akan menemukan yang lama dan tidak expired.” Aku tersentak
dari lamunanku. Saat berada tidak jauh dari kafe itu, tiba-tiba kenangan
kebersamaanku dengannya berkelebat di otakku. Dan nyawaku seperti datang
kembali setelah melalang buana ke kenangan yang sudah lama berlalu, setelah bahuku ditepuk
oleh seseorang.
Aku mengenalnya
karena merupakan bartista di kafe itu. Bartista itu mengenal aku dan ia sebaik
aku mengenalnya. Bahkan saat aku dan dia masuk pintu pun, bartista itu sudah
tahu apa yang akan kami pesan, dan apa yang akan kami makan. Terdengar seperti
di novel, bukan?
Aku tersenyum
lemah pada bartista itu. “Nanti. Mungkin, saat aku sudah siap.”jawabku.
“Kamu tidak
akan pernah siap, karena kamu akan selalu mencoba untuk menghindar. Singgahlah.
Aku punya sesuatu untukmu, dan ini baru kamu yang aku berikan.”ucap bartista
itu sambil mengajakku untuk masuk. Aku menghela nafas panjang dan lalu mulai
membangun benteng.
Aku langkahkan
kakiku menuju pintu yang di bagian dalamnya ditempeli bel, sehingga jika ada
yang membukanya, bel itu akan bergemerincing. Aku tidak akan duduk disana. Maka,
kupilih bangku bar yang tinggi yang tersedia di meja bar, tempat bartista
melayani pelanggan kafe. Kafe terlihat lengang. Hanya beberapa orang yang duduk
berpencar dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Setelah cukup
lama aku terdiam, secangkir kopi muncul di depan kedua lengan yang aku lipat di
atas meja bar itu.
“Minumlah. Aku
tahu kamu sedang dalam fase merindukan.”ujarnya dengan suara yang sudah lemah
karena dimakan waktu, dengan dua tangan yang sudah mengkerut sedang dibersihkan
oleh kain. Entah sudah berapa lama aku tidak kembali. Karena aku tidak ingin
kembali ke kenangan itu.
Lama aku
menatap cangkir kopi itu. Kupejamkan kedua mataku. Menghirup aroma kopi yang
terbit dari uap panas, berusaha menghalau kenangan dalam bentuk apapun itu
untuk kembali. Semakin kubangun tinggi benteng itu. Kubuka kembali mataku yang
terpejam lalu lima jemariku melingkar dipegangan cangkir tersebut, menariknya
menuju bibirku.
“Hmm...”desahku
nikmat saat kopi itu menyentuh lidahku, dengan mata yang kembali terpejam. Rindu
itu pun mulai berdatangan. Semakin kuperkuat bentengku.
Aku menenggaknya
hampir setengah dari cangkir kopi. Saat kuturunkan, sang bartista duduk di
hadapanku dengan cangkir kopinya sendiri.
“Bagaimana?”tanya
bartista sambil tersenyum.
“Sepertinya
kopi ini bernama Rindu.”candaku. Bartista itu terkekeh mendengar candaanku.
“Apa yang kamu
miliki suatu saat akan pergi. Suka atau tidak suka, kamu harus belajar
merelakan dan melepaskan. Kita diciptakan dari tanah, maka kita juga akan
kembali ke asalnya. Hanya saja, kamu tidak pernah tahu kapan akan datangnya
waktu bagimu untuk pergi. Waktu dan takdir itu senang bermain
rahasia-rahasia-an.”ujarnya sambil mengedikkan bahu lalu menyesap kopinya
sendiri. Memberikan waktu bagiku untuk meresapi.
“Belajarlah
dari pengalamanmu saat kehilangan. Jangan bersungut-sungut karena kehilangan,
anak muda. Masih akan banyak kehilangan lainnya yang tidak akan kamu duga
nantinya.”tambahnya lagi sambil meletakkan cangkirnya yang sudah kosong. “Jangan
lupa untuk dihabiskan, aku tahu kamu dan ia tidak pernah suka kopi yang
berampas, meski itu tidak sehat.”tandasnya sambil mengedikkan bahunya lalu
turun dari bangkunya sambil membawa cangkir kosongnya.
Kembali
kutenggak kopi tersebut. Aku kembali
kesini. Menikmati kopimu. Aku tahu dari rasa dan wanginya. Kamu pernah
menyuruhku untuk menghirup aroma biji kopinya, tapi aku bahkan tidak pernah
tahu namanya hingga saat ini. Ini kopi yang selalu kamu idam-idamkan untuk bisa
dirasakan oleh orang lain, tapi kamu tidak.
Kuletakkan
kembali cangkir kopi yang sudah kosong.
Sempat aku
menangkap mata bartista yang tersenyum padaku dan menatap cangkir kopi itu,
sebelum aku turun dari bangku bar.
Tiba-tiba
aku tersadar. Kembali kutolehkan kepalaku ke dalam cangkir kosong.
I’ll miss you and I’ll still loving you.
In silently.
Tulisan itu
dicetak dengan huruf kapital berwarna hitam di dasar cangkir kopi.
Seketika bentengku
runtuh. Ternyata aku kehilangan satu batu yang lepas yang dari posisinya,
sehingga membuat kenangan-kenangan itu mengalir masuk dengan deras dan mulai
menghancurkan benteng yang sudah aku bangun dengan rindu sebagai perekatnya.
Kutatap
bartista yang tersenyum kembali padaku dan mulai melayani pemesanan kopi
pelanggan yang menungguinya. Simpankan ia
untukku, tulisku pada selembar note dan kutempel di cangkir. Setelahnya aku
turun dari bangku bar dan berjalan keluar kafe.
“Bonjour. Hari ini aku sudah menikmati
kopimu. Ah, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, aku sudah lebih baik dari
sebelumnya. Sepertinya aku harus sering-sering minum kopimu. Aku juga akan selalu merindukanmu."kataku, lalu terdiam. Sejenak, angin sepoi-sepoi hilir mudik disekitarku.
"Ich liebe dich. Auf wiedersehen.”tandasku sambil mengusap nisannya yang terbuat dari batu dan terasa dingin di telapak tanganku. Tak lama aku bangkit berdiri dan berjalan menjauh darinya.
"Ich liebe dich. Auf wiedersehen.”tandasku sambil mengusap nisannya yang terbuat dari batu dan terasa dingin di telapak tanganku. Tak lama aku bangkit berdiri dan berjalan menjauh darinya.
Sekarang aku
tahu biji kopi itu kamu beri nama apa. Kenangan.
Dan saat
aku sesap, rasa rindu yang aku rasakan dan kenangan-kenangan yang ditebarkan melalui
uapnya.
Terima
kasih sudah pernah singgah.
Lain kali,
saatnya bagiku untuk kembali singgah.
~ f i n ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar