A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Rabu, 08 Mei 2013

Kopi berisi Kenangan


Diluar masih hujan deras.
Air hujan memancar kemana-mana dan membasahi apapun yang ia pijaki.
Aku masih dengan setia menikmati kopi panas dengan uap panas yang mengepul dari dalam cangkir kopi, duduk bersila di atas sofa yang hanya diperuntukkan untuk satu orang saja, lalu menikmati lagu yang mengalir keluar dari earphone dengan novel Milana yang sedang setengah terbuka. “Hmm...”desahku dengan nikmat saat kopi menyentuh lidahku saat kusesap. Rasa kopi ini tidak pernah berubah. Tapi, kopi tidak sama dengan perasaan. Perasaan bisa berubah seiring waktu, sadar atau tidak sadar. Kamu tidak akan pernah tahu tentang hidupmu jika tidak kamu sesap. Kamu tidak akan tahu tentang kopi itu jika tidak kamu rasakan.
Cinta itu semanis coklat manis, dan sepahit kopi pahit. Tapi, keseluruhannya selembut permen kapas, jika kamu rasakan akan langsung meresap.
“Jangan melamun di tempat umum, bahaya.”gumamnya. kutolehkan mataku dai cangir kopi yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari bibirku dan tersenyum padamu.
Aku terkekeh. “Tidak, aku tidak sedang melamun. Aku hanya sedang meresapi kopi ini.”elakku.
Ia mendengus geli mendengar alibiku. “Karin, sudah berapa tahun kamu merasakan kopi itu hingga sekarang harus kamu resapi?”ledeknya dari balik novel yang sedang ia baca. Aku berikan cengiran sebalku padanya. Sudah hampir 4 tahun kopi menemaniku, dan sudah selama itulah persahabatan aku dengannya bertumbuh dan berkembang.
Hanya diperkenalkan oleh sahabatku. Lalu kami mulai menghabiskan waktu dengan secangkir kopi, novel ditangan, dan earphone di telinga, serta di kafe yang sama dengan pojok ruangan yang sama. Ya, disinilah kami. Kami sama-sama menikmati waktu diam kami yang diisi dengan dendangan lagu jazz dari pengiring.
Jika salah satu dari kami tidak membawa earphone, kami akan saling berbagi. Keduanya tidak membawa? Maka lagu itu bisa di dengar oleh pengunjung yang lain, tapi berhubung kafe ini jarang disinggahi oleh orang – termasuk muda-mudi – maka kami dengan senang hati memutar lagu walau didengar pengunjung lainnya.
Salah satu tidak membawa novel, kami akan berbagi juga. Keduanya tidak membawa juga? Seluruh cerita yang aku dan ia punya akan mengalir dengan deras tanpa bisa dihentikan. Tapi, aku dan ia bercerita pun masih memilah-milahnya.
“Hey, hidupmu juga harus kamu resapi meskipun sudah bertahun-tahun kamu hidup di dalamnya.”kilahku padanya yang kembali mendengus sebal. Ia kembali terbenam di novel yang tengah ia baca dan aku terkekeh geli dalam diam melihatnya pasrah karena kalah beradu denganku. Kembali cangkir kopi itu mampir di bibirku.

“Masuklah. Jangan diam diluar. Kenangan itu harus kamu hadapi, karena di dalam kenangan itu ada kamu juga. Kenangan itu tidak memiliki kadaluarsa, dia hanya sering tertimbun oleh yang lainnya. Tapi, jika kamu mengoreknya semakin dalam, kamu akan menemukan yang lama dan tidak expired.” Aku tersentak dari lamunanku. Saat berada tidak jauh dari kafe itu, tiba-tiba kenangan kebersamaanku dengannya berkelebat di otakku. Dan nyawaku seperti datang kembali setelah melalang buana ke kenangan yang sudah lama berlalu, setelah bahuku ditepuk oleh seseorang.
Aku mengenalnya karena merupakan bartista di kafe itu. Bartista itu mengenal aku dan ia sebaik aku mengenalnya. Bahkan saat aku dan dia masuk pintu pun, bartista itu sudah tahu apa yang akan kami pesan, dan apa yang akan kami makan. Terdengar seperti di novel, bukan?
Aku tersenyum lemah pada bartista itu. “Nanti. Mungkin, saat aku sudah siap.”jawabku.
“Kamu tidak akan pernah siap, karena kamu akan selalu mencoba untuk menghindar. Singgahlah. Aku punya sesuatu untukmu, dan ini baru kamu yang aku berikan.”ucap bartista itu sambil mengajakku untuk masuk. Aku menghela nafas panjang dan lalu mulai membangun benteng.
Aku langkahkan kakiku menuju pintu yang di bagian dalamnya ditempeli bel, sehingga jika ada yang membukanya, bel itu akan bergemerincing. Aku tidak akan duduk disana. Maka, kupilih bangku bar yang tinggi yang tersedia di meja bar, tempat bartista melayani pelanggan kafe. Kafe terlihat lengang. Hanya beberapa orang yang duduk berpencar dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Setelah cukup lama aku terdiam, secangkir kopi muncul di depan kedua lengan yang aku lipat di atas meja bar itu.
“Minumlah. Aku tahu kamu sedang dalam fase merindukan.”ujarnya dengan suara yang sudah lemah karena dimakan waktu, dengan dua tangan yang sudah mengkerut sedang dibersihkan oleh kain. Entah sudah berapa lama aku tidak kembali. Karena aku tidak ingin kembali ke kenangan itu.  
Lama aku menatap cangkir kopi itu. Kupejamkan kedua mataku. Menghirup aroma kopi yang terbit dari uap panas, berusaha menghalau kenangan dalam bentuk apapun itu untuk kembali. Semakin kubangun tinggi benteng itu. Kubuka kembali mataku yang terpejam lalu lima jemariku melingkar dipegangan cangkir tersebut, menariknya menuju bibirku.
“Hmm...”desahku nikmat saat kopi itu menyentuh lidahku, dengan mata yang kembali terpejam. Rindu itu pun mulai berdatangan. Semakin kuperkuat bentengku.
Aku menenggaknya hampir setengah dari cangkir kopi. Saat kuturunkan, sang bartista duduk di hadapanku dengan cangkir kopinya sendiri.
“Bagaimana?”tanya bartista sambil tersenyum.
“Sepertinya kopi ini bernama Rindu.”candaku. Bartista itu terkekeh mendengar candaanku.
“Apa yang kamu miliki suatu saat akan pergi. Suka atau tidak suka, kamu harus belajar merelakan dan melepaskan. Kita diciptakan dari tanah, maka kita juga akan kembali ke asalnya. Hanya saja, kamu tidak pernah tahu kapan akan datangnya waktu bagimu untuk pergi. Waktu dan takdir itu senang bermain rahasia-rahasia-an.”ujarnya sambil mengedikkan bahu lalu menyesap kopinya sendiri. Memberikan waktu bagiku untuk meresapi.
“Belajarlah dari pengalamanmu saat kehilangan. Jangan bersungut-sungut karena kehilangan, anak muda. Masih akan banyak kehilangan lainnya yang tidak akan kamu duga nantinya.”tambahnya lagi sambil meletakkan cangkirnya yang sudah kosong. “Jangan lupa untuk dihabiskan, aku tahu kamu dan ia tidak pernah suka kopi yang berampas, meski itu tidak sehat.”tandasnya sambil mengedikkan bahunya lalu turun dari bangkunya sambil membawa cangkir kosongnya.
Kembali kutenggak kopi tersebut. Aku kembali kesini. Menikmati kopimu. Aku tahu dari rasa dan wanginya. Kamu pernah menyuruhku untuk menghirup aroma biji kopinya, tapi aku bahkan tidak pernah tahu namanya hingga saat ini. Ini kopi yang selalu kamu idam-idamkan untuk bisa dirasakan oleh orang lain, tapi kamu tidak.
Kuletakkan kembali cangkir kopi yang sudah kosong.
Sempat aku menangkap mata bartista yang tersenyum padaku dan menatap cangkir kopi itu, sebelum aku turun dari bangku bar.
Tiba-tiba aku tersadar. Kembali kutolehkan kepalaku ke dalam cangkir kosong.
I’ll miss you and I’ll still loving you.
In silently.
Tulisan itu dicetak dengan huruf kapital berwarna hitam di dasar cangkir kopi.
Seketika bentengku runtuh. Ternyata aku kehilangan satu batu yang lepas yang dari posisinya, sehingga membuat kenangan-kenangan itu mengalir masuk dengan deras dan mulai menghancurkan benteng yang sudah aku bangun dengan rindu sebagai perekatnya.
Kutatap bartista yang tersenyum kembali padaku dan mulai melayani pemesanan kopi pelanggan yang menungguinya. Simpankan ia untukku, tulisku pada selembar note dan kutempel di cangkir. Setelahnya aku turun dari bangku bar dan berjalan keluar kafe.

Bonjour. Hari ini aku sudah menikmati kopimu. Ah, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Sepertinya aku harus sering-sering minum kopimu. Aku juga akan selalu merindukanmu."kataku, lalu terdiam. Sejenak, angin sepoi-sepoi hilir mudik disekitarku. 
"Ich liebe dich. Auf wiedersehen.”tandasku sambil mengusap nisannya yang terbuat dari batu dan terasa dingin di telapak tanganku. Tak lama aku bangkit berdiri dan berjalan menjauh darinya.

Sekarang aku tahu biji kopi itu kamu beri nama apa. Kenangan.
Dan saat aku sesap, rasa rindu yang aku rasakan dan kenangan-kenangan yang ditebarkan melalui uapnya.
Terima kasih sudah pernah singgah.
Lain kali, saatnya bagiku untuk kembali singgah.

~ f i n ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar