A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Rabu, 29 Mei 2013

Bus [2]

Hujan salju semakin deras di pagi hari. Meskipun matahari bersinar, tapi tidak ada kehangatan yang terasa. Aku masukan salah satu tangan yang berbalutkan sarung tangan tebal ke dalam saku jaket dengan tangan yang lainnya memegang payung. Aku tidak berencana untuk mengoleksi sallju dalam jumlah cukup banyak untuk kubawa pulang.
Aku mampir ke kedai kopi. Kuputuskan untuk mengambil teh manis saja yang tersedia secara gratis. Aku melihat jam tanganku. “Sebentar lagi jam 9.”gumamku dan menyesap teh manis hangat tersebut.
“Hei. Am I late?”tanyanya sambil mengibaskan salju di rambutnya yang berjambul di bagian depannya. Ya, dia memang bukan orang asli Korea. Asalnya dari New York. Dan ia disini karena mendapatkan kesempatan untuk merasakan pertukaran pelajar di awal tahun ini. Untuk mengisi waktu kosongnya ia bekerja disini. Sehingga ia hanya dibayar dengan hitungan paruh waktu.
“Tidak. Aku belum lama sampai. Mau minum teh dulu untuk menghangatkan tubuh?”tawarku. Ia mengangguk seraya berjalan menuju teko yang tersedia di meja khusus dan tak lama kemudian ia sudah kembali dan duduk di sofa di hadapanku.
“Salju semakin deras?”tanyaku dengan miris, sambil melihat keluar jendela. Dia mengedikkan bahunya. Antara sebagai jawaban ‘ya’ dan ‘tidak peduli’. “Ah, hari ini kau tidak kerja?”tanyaku. Penasaran.
“Kerja. Kalau di akhir pekan aku mengambil jam malam. Tapi, untuk hari ini aku sengaja mengambil cuti.”jawabnya sambil tertawa kecil. Aku dan ia tidak pernah mengobrol dalam bahasa Korea, karena saat pertama kali mendengarnya berbicara dengan bahasa Korea beserta logatnya, terdengar lucu. Sehingga, kami memutuskan untuk mengobrol dengan bahasa Inggris. Sejujurnya aku pun bukan orang Korea asli, hanya separuh dari darahku.
Tidak ada perkenalan secara resmi. Dan tidak ada yang memulai.
Dingin. Seperti hati yang sudah cukup lama tidak dihuni. Tidak ada rasa hangat disana. Mungkin dibutuhkan waktu yang lama untuk melelehkan dingin di dalam sana dan menggantinya dengan kehangatan yang baru. Setengah jam kemudian setelah menghabiskan teh manis entah untuk ke berapa kalinya kami tambah, kami putuskan untuk keluar dan menuju tempat yang dimaksud olehnya untuk mencari pohon Natal.
Untungnya saat keluar dari kedai, hujan salju sudah tidak separah tadi. Tapi, aku tetap memutuskan untuk membuka payungku. “Karena aku jauh lebih tinggi darimu, lebih baik aku yang memegang payungmu. Daripada aku harus merunduk terus-menerus atau kau yang mengangkat tinggi-tinggi tanganmu yang tetap membuatku harus merunduk saat di dalam payung.”candanya seraya mengambil alih payungku.
Aku tertawa mendengarnya. Lucu melihatnya yang tinggi, berbalutkan dengan syal tebal di lehernya dan jaket yang tidak kalah tebal sambil memegang payung dan uap dingin keluar dari mulut dan hidungnya tiap kali ia menghembuskan nafas. Aku mulai menendang-nendang tumpukan salju yang aku lewati di trotoar.
Aku tidak menghitung sudah berapa kali aku hampir jatuh terpeleset karena terus-menerus mengusili tumpukan salju, jika saja lenganku tidak disanggah oleh tangannya yang tidak memegang payung. Aku tertawa lebar melihatnya mendesis. Maka kali ini, aku berpegangan pada lengannya yang memegang payung, dan kembali mengusili salju-salju itu. “Sampai kali ini kau benar-benar jatuh, akan aku biarkan.”desisnya dengan sebal, tapi tersirat nada bercanda didalamnya. Kuberikan senyum lebarku padanya yang lalu mendengus dan tertawa.
Padahal kami hanya sering berbicara lewat pesan dan atau telpon, tapi aku sudah merasa begitu akrab dengannya. Seperti sedang bersama dengan teman lama.
Hari ini aku dan ia berencana untuk mencari seluruh perlengkapan dan pernak-pernik untuk Natal nanti. Sepertinya dua hari ini akan sibuk dengan mengurus pohon Natal dan merangkai ‘perhiasan’ pohon Natal baru miliknya.

Hari Natal sudah besok. Dekat perapianku sudah banyak kayu bakar yang bertumpuk. Kue-kue kering sudah tersedia di meja tamu, juga di ruang bacaku yang merupakan tempat aku bersantai depan perapianku. Aku tertawa sendiri jika mengingat beberapa hari lalu saat aku menyuruhnya untuk membuat kue kering yang menghasilkan dapur yang seperti kapal pecah di kondominium miliknya.
Ia hanya memberikanku cengiran tidak berdosanya seraya menggaruk tengkuknya begitu aku melangkah masuk ke dalam dapurnya dan berhasil membuatku menganga melihatnya. “Jangan lagi kau mencoba untuk memasak atau apapun itu yang berhubungan dengan dapur.”kataku yang masih setengah terkejut. Telur-telur pecah berserakan di mejanya yang tinggi dan besar; tepung-tepung yang ikutan berserakan; adonan yang gagal; dan masih banyak lagi.
Menjelang sore, dapur itu barulah bersih.
Keesokannya aku datang kembali dan membuatkan beberapa jenis kue kering dengan empunya tempat yang duduk dengan manis di meja yang menjadi saksi bisu tingkahnya yang memporak-porandakan dapurnya sendiri. “Sampai satu kue hilang, kau buat 10 toples.”ancamku padanya karena sempat tertangkap basah olehku yang berbalik badan tiba-tiba untuk mengambil sisa adonan, sedang mengambil dua kue kering yang baru keluar dari oven. Ia tertawa seperti anak kecil yang ketahuan mengambil permen dan buru-buru melahap dua kue yang berada di tangannya sebelum aku sempat menyuruhnya untuk mengembalikkan ke tempatnya yang semula.
Ponselku berdering. “Sedang apa?”tanyanya dari seberang.
Aku mengapit ponselku di antara telinga dan bahuku. “Aku sedang memasukkan beberapa potong kayu bakar. Kau?”tanyaku.
 Sedang menghabiskan salah satu dari kue kering di toples yang baru selesai kau buat beberapa hari lalu.”jawabnya dengan suara yang tidak berdosa. Aku mendesis sebal. Ia hanya menjawabnya dengan sebuah tawa renyah.
“Kau tidak berangkat kerja?”tanyaku sambil mengalihkan pembicaraan dari kue, sebelumnya karena aku barusan melihat jam.
Sebentar lagi. Kau tidak ke kedai?”tanyanya.
“Hari ini sudah. Tadi menjelang sore aku pulang, karena aku harus membereskan dapurku.”jawabku. “Sekarang kau siap-siap berangkat saja ke kedai, daripada terlambat. Hujan saljunya sudah tidak parah seperti kemarin-kemarin.”kataku.
“Baiklah. Aku siap-siap sekarang.” Tapi, tidak ada tanda-tanda ia akan memutuskan sambungan telpon. Aku mengulum senyumku.
“Hati-hati di jalan. Bye.” Dengan ragu-ragu aku memutuskan sambungan. Aku memaju mundurkan kursi goyangku yang berada di depan perapian.

Hari Natal tiba! Aku menyibakkan kain gorden di jendela besarku supaya sinar matahari menghangatkan ruangan dirumahku. Diluar, anak-anak kecil sedang berseru girang sambil bermain-main dengan salju. Saling main lempar-lemparan salju; main guling-gulingan di salju juga.
Entah mengapa belakangan ini aku sering menunggu pesan atau telpon darinya.
Sekarang pun begitu, aku menunggu ia mengucapkan Selamat Natal lebih dahulu dariku. Tapi, ponselku tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahuku terkulai lemas. “Mungkin ia belum bangun.”gumamku untuk menghibur diriku sendiri dan bersiap-siap untuk bertandang ke kedai kopi.
Perputaran waktu mulai terasa cepat. Saat aku merasa baru di awal bulan, tiba-tiba saat tersadar aku sudah berada di pertengahan bulan yang tidak lama lagi akan di akhir bulan. Seiring waktu yang mulai berputar cepat ini pun, perlahan-lahan dirimu mulai terhapus olehnya. Apapun itu. Kau tidak tahu sebarapa kuatnya aku berusaha untuk melepaskan diri. Tapi, mari kita lihat akhirnya. Apakah aku berhasil atau tidak. Aku sendiri meragu.
Aku baru sadar, hari ini barista itu tidak masuk.
Aku menghampiri temannya yang lain untu bertanya. “Barista yang paruh waktu itu, tidak masuk?”tanyaku.
Temannya menggeleng. “Tidak. Tapi, tadi pagi sebelum aku sempat masuk untuk ganti shift, ia menitipkanku note ini.”katanya sambil mengulurkan selembar kertas note.
12 o’clock at my compartmen.
I’m waiting for.
B.
Hanya dua baris kalimat tersebut. inisial ‘B’ itu maksudnya adalah barista.
Saat aku melihat jam, sebentar lagi tengah hari. Maka kuputuskan untuk memesan dua kopi yang di take away dan menunggu barang sebentar di halte bus yang biasa aku dan ia menunggu bus yang sama. Sinar matahari mulai terasa hangat tidak seperti beberapa minggu kemarin yang sering kali aku sebut Hari Beku. Karena memang dingin sekali, dinginnya dingin yang membekukan.
Bus bernomor 11 terlihat dari kejauhan. Aku langsung berdiri di pinggir halte dan langsung meloncat masuk begitu pintu bus tersebut terbuka dan menempelkan kartu busku ke detektornya. Hari ini sepertinya ramai. Karena bus bernomor 11 hari ini cukup penuh, serta bus bernomor lainnya yang aku perhatikan saat berhenti di halte tempatku menunggu.
Aku sendiri tidak tahu kapan masa pertukaran pelajarnya selesai. Karena, ia sendiri tidak mau memberitahukan padaku dan tiap kali aku bertanya dia akan mengalihkan topik. Dan ya, aku memang mudah sekali dialihkan. Pikiranku mudah meloncat-loncat dari satu topik ke topik yang lain dan melupakan sejenak topik sebelumnya.
Aku berhenti di halte yang hanya berbeda beberapa halte dengan halte rumahku.
Untungnya aku hafal nomor apartemennya, jadi tidak terlalu susah untuk menemukannya, hanya saja aku perlu bertanya berada di lantai berapa. Karena tidak mungkin aku menggedor satu persatu pintu yang terbilang banyak disini. Bisa-bisa aku sampai saat tengah malam. Dikedua kalinya aku menekan bel, pintu itu terbuka dan melahirkan sosoknya yang berbalutkan pakaian santai. Kaus T-shirt Polo berwarna putih dan sweater berwarna biru dongker yang tidak terkancing.
Ia mengambil jaket juga blazer yang aku gunakan dan menggantungnya di tempat jaket. Saat bertemu di depan pintu, ia memberikanku seulas senyum miring khasnya padaku yang menjawabnya dengan cengiran. Rasanya aneh jika aku langsung menghamburkan diriku padanya. Ia menuntunku ke balkon kompartemennya yang besar dan mulutku menganga. Membuatnya tertawa.
“Jangan hanya dilihat. Ayo, duduk.”ujarnya sambil menarikkan bangkuku dan mempersilahkan aku duduk, lalu ia duduk di depanku. Ia mempersiapkan makan siang sederhana.
“Kau membuat steak sendiri?”tanyaku dengan ragu.
“Ya. Tidak usah khawatirkan dapurnya. Dapurnya masih bersih. Kalau soal membuat steak, aku tahu membuatnya.”jawabnya seraya mengambil piringku berisi steak dan mulai membaginya dengan bentuk kotak-kotak dan mengembalikannya ke hadapanku, lalu giliran steaknya yang ia potong kotak-kotak. Aku mengeluarkan kopi yang masih hangat.
“Aku tidak tahu, kau suka kopi apa. Jadi supaya adil, aku membelikan kopi yang aku sukai saja.”kataku sambil terkekeh dan mengulurkan gelas kopinya.
“Tidak apa-apa.”jawabnya seraya menerima gelas kopinya dan menurunkan gelas wine miliknya, diikuti olehku. Tiba-tiba aku tertawa. Ia menatapku dengan heran, namun tidak menyuarakan keheranannya.
“Rasanya lucu, makan steak di tempat yang terbuka seperti ini tapi minumnya kopi.” Saat aku selesai menjelaskan, barulah ia ikut tertawa. “Bagus, jadinya berbeda dari yang lainnya. Lagipula aku tidak terlalu suka minum wine.”ujarnya.
“Bagus kalau kau tidak suka minum wine.”jawabku sambil mulai menyantap steakku. Tidak gosong, tidak setengah mentah juga, bumbunya tidak kurang tidak juga lebih. Masakannya pas.
Makan siang itu diisi dengan gelak tawa yang tidak tahu diri dan obrolan-obrolan ringan. Dan pada akhirnya kami hanya minum air putih. Karena baginya lebih baik kopi itu dipanaskan kembali dan diminum sambil bersantai di depan perapian. Jadilah kami sekarang duduk di sofa dengan perapian yang menyala berada di depan kami, dan selimut yang menyelimuti dari paha hingga kaki kami dengan kopi dicangkir yang sudah dipanaskan kembali.
Ia berdeham beberapa kali. sepertinya ada yang mau ia katakan.
Firasatku sudah mulai tidak baik. “Masa pertukaran pelajarku disini sudah selesai. Besok aku akan pulang ke New York. Maaf aku baru bisa beritahumu sekarang. Kemarin-kemarin aku sibuk menyelesaikan apa yang belum diselesaikan di universitas.”katanya. Tidak menatapku, melainkan hanya menatap cangkir kopinya. Aku pun terdiam. Kenyataan membuatku tersedak dengan tidak sopan. Seharusnya aku cepat sadar kalau cepat atau lambat ia akan pulang ke New York dan tidak akan ada cerita untuk kembali.
Ia membantuku meletakkan cangkir kopinya dan membawaku masuk ke dalam pelukannya. Mungkin alam sedang memberiku waktu dan menyuruhku untuk memastikan perasaanku. Siapa tahu hanya seliwat saja. Lama-kelamaan mataku mulai mengantuk, tapi telingaku saat itu masih berfungsi untuk mendengar satu kalimatnya, “Selamat Natal.” Dan aku masih sempat membalas, “Selamat Natal juga, barista.” Dan aku jatuh tertidur. Mungkin karena kehangatan dari perapian dan atau mungkin dari pelukannya.
Saat aku terbangun keesokan paginya, aku berada di kamar tidurnya. Aku terkejut. Dan saat kuperiksa sampingku, ternyata hanya tempat tidur yang rapih juga bantal yang tidak terpakai. Aku keluar dari kamarnya terburu-buru hingga menabrak apapun yang menghalangiku. Ia sudah pergi? Pergi tanpa mengatakan sesuatu? Sungguh, bulir-bulir air mataku sudah mulai menggenang di pelupuk mataku.
Dan aku terjatuh lemas dengan bersandar di tembok saat melihatnya tetidur pulas di sofa depan perapian yang apinya hampir mati. Aku mengambilkan selimut yang tadi aku gunakan dan menyelimutinya, menambah kehangatannya. Karena selimut yang ia gunakan terlalu tipis untuk udara yang dingin, ditambah lagi dengan perapian yang hampir mati apinya.
Inikah yang namanya cinta yang baru?
Inikah saatnya aku melupakan yang lama jika yang baru sendiri harus aku lupakan?
Aku mengusap rambutnya yang selembut bayi. Ia tidak mengenakan apapun untuk membuat rambutnya terkesan bagus. “Selamat pagi.”gumamnya sambil mengusap matanya, tanpa berusaha bangkit dari posisi tidur yang membuat orang pegal-pegal.
“Selamat pagi juga.”jawabku sambil menarik tanganku dari rambutnya. “Siap-siaplah. Jangan sampai terlambat naik pesawat.”kataku sambil bangkit dari posisi dudukku dan berjalan menuju dapur untuk mencari bahan yang bisa dijadikan sebagai sarapan pagi. Akhirnya aku menemukan bungkusan roti tawar juga selai coklat, dan susu kental manis. Hanya selai coklat? Sepertinya ia memang hanya suka coklat. Maka kubuatkan dua tangkup roti dengan selai coklat dan segelas susu hangat.
“Ayo sarapan.”ajakku padanya yang tengah berjongkok di depan perapian untuk memadamkan api. Ia mengambil posisi duduk diseberangku dan menyantap setangkup roti. Sarapan pagi yang hening. “Pesawat jam berapa?”tanyaku membuka udara kecanggungan, mencoba seperti aku tidak akan kehilangan.
Ia menatap jam gantung di atas kulkas. “Jam 11.”jawabnya sambil menggigit rotinya. Ia tahu aku sedang mencoba menahan diri, tapi ia pun pura-pura tidak tahu. Tidak apa-apa. Itu lebih baik daripada ia menunjukkan bahwa ia tahu kalau aku tengah pura-pura bahwa aku tidak akan kehilangan seseorang sebentar lagi.
Jawabanku hanya sebuah anggukan, yang mungkin tidak ia perhatikan. “Sana mandi dan siap-siap. Biar aku yang bereskan dapur.”kataku sambil membawa piring roti dan gelas susunya yang sudah kosong, sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya. Ia tak kunjung juga turun dari bangkunya. Aku tahu, karena tidak terdengar suara sandal. Sambil mencuci piring, kembali terngiang di ingatanku saat membuat roti kering untuknya. Saking seriusnya aku mencuci peralatan, aku tidak sadar ia tengah mengendap-endap di belakangku dan mengagetkanku dengan mulai menggelitiku. Aku harus melemparinya busa sabun ke wajahnya barulah ia berhenti, lalu sama-sama tertawa.
Akankah seperti itu?
Aku mendengarnya berdeham di belakangku. Ya, tepat dibelakangku.
Aku berbalik badan dengan tangan yang masih penuh dengan busa sabun, berniat untuk mengatakan mengapa ia belum juga pergi siap-siap. Namun, aku malah dikejutkan dengan langkah selanjutnya. Ia memelukku dengan erat. Aku balas memeluknya. Kami bertahan cukup lama dalam posisi saling berpelukan.  “Sana mandi lebih dulu, biar aku yang lanjutkan cuciannya.”ujarnya sambil nyengir.
“Oh itu tidak bisa, barista. Kau tidak lihat tanganku sudah berbusa sabun? Lebih baik kau saja yang mandi lebih dahulu. Saat kau selesai mandi, apartemenmu sudah bersih.”ujarku sambil mengacungkan sepuluh jari penuh busa padanya. Ia tertawa. Akhirnya ia melepaskan pelukannya dan berjalan keluar dari dapur menuju kamarnya dan aku pun melanjutkan acaraku yang sempat tertunda.
Sungguh, aku ingin mengantarnya ke bandara. Tapi, aku takut jika aku mengantarnya, aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri dan akhirnya malah menangis di depannya. Itu memalukan. Sudah cukup aku tertangkap basah membaca novel terbalik. Maka saat aku yakin semuanya sudah selesai, aku tinggalkan sebuah salam perpisahan melalui sebuah note untuknya yang aku tempel di kopernya yang sudah siap untuk dikunci. Seperti pengecut yang lari dari kejaran anjing padahal ia sendiri yang menjahili anjing tersebut.

Kebiasaan lama memang tidak bisa hilang, aku masih saja suka mengayun-ayunkan kakiku yang menggantung di bangku halte bus yang memang tinggi, seperti anak kecil.
Sudah beberapa tahun lewat dari hari aku bertemu dengan barista itu. Aku masih mengunjungi kedai kopi itu, tapi acap kali aku melangkah masuk aku selalu mempersiapkan diriku lebih dahulu untuk tidak berharap ia berada disana. Di balik mesin kopi saat pertama kali aku sadar ia bekerja disini.
Aku tengah menunggu di halte di seberang jalan rumahku. Menunggu bus bernomor 11 menuju ke kedai kopi. “Lama sekali.”gerutuku dengan sebal. Kuncir kudaku bergoyang dengan lincah kesana kemari saat aku menggoyangkan kepalaku mengikuti lagu yang kudengar lewat earphone. Aku buru-buru bangkit dari dudukku saat melihat bus bernomor 11 muncul dari belokan dan tak lama pintunya berhenti tepat didepanku.
Aku berangkat kesiangan. Maka aku harus menerima resiko berdesak-desakkan dalam bus dan aku mengerang dengan sebal karena keterlambatanku. Tahu begitu aku menunggu bus nomor 11 lainnya, tapi aku harus menunggu sejam dari sekarang. Hah! Akhirnya aku bisa lepas dari desakan ikan-ikan dalam kaleng setelah beberapa menit berada di dalam bus aku pun melompat turun dari bus ke halte dan menunggu jalanan kosong untuk menyebrang.
Apakah ia masih mengingatku disana?
Sebulan setelah kepergiannya, aku menyerah pada kenyataan bahwa ternyata aku merindukannya. Dan yap, cinta yang baru yang sudah harus pergi lagi. Aku tidak mencoba untuk menghubunginya karena akan sia-sia. Sebab, nomor itu pasti sudah tidak terpakai. Saat ia keluar dari Korea, nomor dan ponselnya tidak akan berfungsi lagi. Aku pun tidak berusaha untuk bertanya pada teman barista yang lain mengenainya.
Aku mengistirahatkan pantatku diatas sofa yang nyaman dengan udara yang hangat di dalam kedai. Aku melemparkan pandanganku keluar jendela. Menatap orang yang berlalu lalang. “Permisi. Boleh saya duduk disini?”ujar seseorang. Aku mengalihkan pandanganku dari luar jendala bersiap-siap untuk menolak dengan sebal, padahal kursi dan sofa lain masih banyak yang kosong.
Tapi, aku harus menelan bulat-bulat niatku karena tergantikan dengan pekikkanku yang tertahan ditenggorokan. “Kau?”ujarku dengan terkejut.
“Selamat pagi.”ujarnya sambil tersenyum. Aku bangkit berdiri dari posisi dudukku dan menghamburkan diriku ke dalam pelukannya. Aku bisa mendengarnya tertawa di samping telingaku. “Aku merindukanmu.”bisikku langsung.
“Bagus.”jawabnya dengan singkat. Aku menjauhkan diriku darinya dengan kening yang berkerut bercampur sebal.
“Hanya itu? Hanya ‘bagus’?”protesku dengan kesal padanya.
Ia dengan tidak acuh duduk di sofa di hadapanku, aku mengikutinya dan duduk disofa yang sebelumnya aku duduki masih dengan wajah sebal. 
“Bagus, karena aku tidak perlu bertanya lagi untuk menyamakannya dengan perasaanku.”jawabnya dengan santai. Aku mendesis dengan sebal, namun mengulum senyum juga disaat bersamaan.
“Bagaimana kalau kita berjalan-jalan diluar? Sekarang sedang musim semi, kan? Sayang kalau hanya berdiam di dalam sini.”ujarnya sambil berdiri seraya menggandengku dan keluar dari kedai kafe setelah ia menyapa kembali teman-teman lamanya. 
Di belakangnya, aku tersenyum.
Ia pergi, dan kini ia kembali tanpa sepengetahuanku.
“Kau mengikuti pertukaran pelajar juga? Lalu, kapan kau akan pergi lagi, hah?”seruku dengan galak, saat aku berhasil menyamai langkahnya. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum miring.
“Hmm...kira-kira bagusnya kapan ya aku pergi lagi?”katanya sambil berpikir.
“YA!” bentakku. “Ini tidak lucu kalau kau sedang bercanda!”seruku dengan gemas.
Ia menatapku dengan serius. “Tidak. Aku memang tidak sedang bercanda.”ujarnya dengan serius. Aku menelusuri matanya. Yang aku temukan hanya mata jahilnya. Tak lama kemudian, ia tertawa sambil memelukku kembali. “Aku tidak akan pergi lagi, Nona Kopi.”ujarnya. Aku tidak langsung percaya. “Kau bohong kan?!” Ia langsung menunjukkan wajah seperti anak kecil yang berbicara jujur dan takut dimarahi. Aku pun tersenyum lebar dan balas memeluknya, karena aku memang mempercayainya.
Entah bagaimana cara yang ia gunakan, ia sanggup membuatku untuk membuang rasa rinduku yang lama dan menggantinya dengan punyanya. Ia sanggup membuatku hanya menatap masa depan dengannya dan membuatku untuk tidak menoleh lagi ke belakang. Ia membuatku bersemangat untuk bangun di pagi hari untuk saling berbagi “Selamat Pagi” satu sama lain. Menjadi alasan bagiku untuk terus tersenyum. Karena, ia sanggup mengembalikan hariku yang terkadang membuatku jenuh.
Menemaniku disaat-saat sulitku selama di universitas, padahal ia sendiri tengah sibuk di universitasnya. Ia selalu ada disana saat aku butuh, ia akan dengan sukarela memberikan bahunya saat aku mulai jatuh tertidur di bus; melindungiku dengan dua lengannya; membagi semuanya apa yang ia pikirkan padaku; berdiskusi tentang apapun; kami saling berbagi.
Ya, ia akan selalu disana.
Sekarang tidak ada lagi aku yang menjalani hariku sendirian. Sekarang, sudah berganti dengan kami. Menjalani waktu bersama. Saling mengisi kekurangan yang ada, dan saling berbagi kelebihan yang dimiliki. Dan aku yakin, aku sanggup menjalani hariku selanjutnya meskipun tidak selamanya hariku akan indah, tapi selama dengannya, akan terasa mudah.

fin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar