Hujan salju
semakin deras di pagi hari. Meskipun matahari bersinar, tapi tidak ada
kehangatan yang terasa. Aku masukan salah satu tangan yang berbalutkan sarung
tangan tebal ke dalam saku jaket dengan tangan yang lainnya memegang payung.
Aku tidak berencana untuk mengoleksi sallju dalam jumlah cukup banyak untuk
kubawa pulang.
Aku mampir
ke kedai kopi. Kuputuskan untuk mengambil teh manis saja yang tersedia secara
gratis. Aku melihat jam tanganku. “Sebentar lagi jam 9.”gumamku dan menyesap
teh manis hangat tersebut.
“Hei. Am I late?”tanyanya sambil mengibaskan
salju di rambutnya yang berjambul di bagian depannya. Ya, dia memang bukan
orang asli Korea. Asalnya dari New York. Dan ia disini karena mendapatkan
kesempatan untuk merasakan pertukaran pelajar di awal tahun ini. Untuk mengisi
waktu kosongnya ia bekerja disini. Sehingga ia hanya dibayar dengan hitungan
paruh waktu.
“Tidak. Aku
belum lama sampai. Mau minum teh dulu untuk menghangatkan tubuh?”tawarku. Ia
mengangguk seraya berjalan menuju teko yang tersedia di meja khusus dan tak
lama kemudian ia sudah kembali dan duduk di sofa di hadapanku.
“Salju
semakin deras?”tanyaku dengan miris, sambil melihat keluar jendela. Dia
mengedikkan bahunya. Antara sebagai jawaban ‘ya’ dan ‘tidak peduli’. “Ah, hari
ini kau tidak kerja?”tanyaku. Penasaran.
“Kerja.
Kalau di akhir pekan aku mengambil jam malam. Tapi, untuk hari ini aku sengaja
mengambil cuti.”jawabnya sambil tertawa kecil. Aku dan ia tidak pernah
mengobrol dalam bahasa Korea, karena saat pertama kali mendengarnya berbicara
dengan bahasa Korea beserta logatnya, terdengar lucu. Sehingga, kami memutuskan
untuk mengobrol dengan bahasa Inggris. Sejujurnya aku pun bukan orang Korea
asli, hanya separuh dari darahku.
Tidak ada
perkenalan secara resmi. Dan tidak ada yang memulai.
Dingin.
Seperti hati yang sudah cukup lama tidak dihuni. Tidak ada rasa hangat disana.
Mungkin dibutuhkan waktu yang lama untuk melelehkan dingin di dalam sana dan
menggantinya dengan kehangatan yang baru. Setengah jam kemudian setelah
menghabiskan teh manis entah untuk ke berapa kalinya kami tambah, kami putuskan
untuk keluar dan menuju tempat yang dimaksud olehnya untuk mencari pohon Natal.
Untungnya
saat keluar dari kedai, hujan salju sudah tidak separah tadi. Tapi, aku tetap
memutuskan untuk membuka payungku. “Karena aku jauh lebih tinggi darimu, lebih
baik aku yang memegang payungmu. Daripada aku harus merunduk terus-menerus atau
kau yang mengangkat tinggi-tinggi tanganmu yang tetap membuatku harus merunduk
saat di dalam payung.”candanya seraya mengambil alih payungku.
Aku tertawa
mendengarnya. Lucu melihatnya yang tinggi, berbalutkan dengan syal tebal di
lehernya dan jaket yang tidak kalah tebal sambil memegang payung dan uap dingin
keluar dari mulut dan hidungnya tiap kali ia menghembuskan nafas. Aku mulai
menendang-nendang tumpukan salju yang aku lewati di trotoar.
Aku tidak
menghitung sudah berapa kali aku hampir jatuh terpeleset karena terus-menerus
mengusili tumpukan salju, jika saja lenganku tidak disanggah oleh tangannya
yang tidak memegang payung. Aku tertawa lebar melihatnya mendesis. Maka kali
ini, aku berpegangan pada lengannya yang memegang payung, dan kembali mengusili
salju-salju itu. “Sampai kali ini kau benar-benar jatuh, akan aku
biarkan.”desisnya dengan sebal, tapi tersirat nada bercanda didalamnya.
Kuberikan senyum lebarku padanya yang lalu mendengus dan tertawa.
Padahal
kami hanya sering berbicara lewat pesan dan atau telpon, tapi aku sudah merasa
begitu akrab dengannya. Seperti sedang bersama dengan teman lama.
Hari ini
aku dan ia berencana untuk mencari seluruh perlengkapan dan pernak-pernik untuk
Natal nanti. Sepertinya dua hari ini akan sibuk dengan mengurus pohon Natal dan
merangkai ‘perhiasan’ pohon Natal baru miliknya.
Hari Natal
sudah besok. Dekat perapianku sudah banyak kayu bakar yang bertumpuk. Kue-kue
kering sudah tersedia di meja tamu, juga di ruang bacaku yang merupakan tempat
aku bersantai depan perapianku. Aku tertawa sendiri jika mengingat beberapa
hari lalu saat aku menyuruhnya untuk membuat kue kering yang menghasilkan dapur
yang seperti kapal pecah di kondominium miliknya.
Ia hanya
memberikanku cengiran tidak berdosanya seraya menggaruk tengkuknya begitu aku
melangkah masuk ke dalam dapurnya dan berhasil membuatku menganga melihatnya.
“Jangan lagi kau mencoba untuk memasak atau apapun itu yang berhubungan dengan
dapur.”kataku yang masih setengah terkejut. Telur-telur pecah berserakan di
mejanya yang tinggi dan besar; tepung-tepung yang ikutan berserakan; adonan
yang gagal; dan masih banyak lagi.
Menjelang
sore, dapur itu barulah bersih.
Keesokannya
aku datang kembali dan membuatkan beberapa jenis kue kering dengan empunya
tempat yang duduk dengan manis di meja yang menjadi saksi bisu tingkahnya yang
memporak-porandakan dapurnya sendiri. “Sampai satu kue hilang, kau buat 10
toples.”ancamku padanya karena sempat tertangkap basah olehku yang berbalik
badan tiba-tiba untuk mengambil sisa adonan, sedang mengambil dua kue kering
yang baru keluar dari oven. Ia tertawa seperti anak kecil yang ketahuan
mengambil permen dan buru-buru melahap dua kue yang berada di tangannya sebelum
aku sempat menyuruhnya untuk mengembalikkan ke tempatnya yang semula.
Ponselku
berdering. “Sedang apa?”tanyanya dari
seberang.
Aku
mengapit ponselku di antara telinga dan bahuku. “Aku sedang memasukkan beberapa
potong kayu bakar. Kau?”tanyaku.
“Sedang
menghabiskan salah satu dari kue kering di toples yang baru selesai kau buat
beberapa hari lalu.”jawabnya dengan suara yang tidak berdosa. Aku mendesis
sebal. Ia hanya menjawabnya dengan sebuah tawa renyah.
“Kau tidak
berangkat kerja?”tanyaku sambil mengalihkan pembicaraan dari kue, sebelumnya
karena aku barusan melihat jam.
“Sebentar lagi. Kau tidak ke kedai?”tanyanya.
“Hari ini
sudah. Tadi menjelang sore aku pulang, karena aku harus membereskan
dapurku.”jawabku. “Sekarang kau siap-siap berangkat saja ke kedai, daripada
terlambat. Hujan saljunya sudah tidak parah seperti kemarin-kemarin.”kataku.
“Baiklah.
Aku siap-siap sekarang.” Tapi, tidak ada tanda-tanda ia akan memutuskan
sambungan telpon. Aku mengulum senyumku.
“Hati-hati
di jalan. Bye.” Dengan ragu-ragu aku memutuskan sambungan. Aku memaju mundurkan
kursi goyangku yang berada di depan perapian.
Hari Natal
tiba! Aku menyibakkan kain gorden di jendela besarku supaya sinar matahari
menghangatkan ruangan dirumahku. Diluar, anak-anak kecil sedang berseru girang sambil
bermain-main dengan salju. Saling main lempar-lemparan salju; main
guling-gulingan di salju juga.
Entah
mengapa belakangan ini aku sering menunggu pesan atau telpon darinya.
Sekarang
pun begitu, aku menunggu ia mengucapkan Selamat Natal lebih dahulu dariku.
Tapi, ponselku tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahuku terkulai lemas. “Mungkin
ia belum bangun.”gumamku untuk menghibur diriku sendiri dan bersiap-siap untuk
bertandang ke kedai kopi.
Perputaran
waktu mulai terasa cepat. Saat aku merasa baru di awal bulan, tiba-tiba saat
tersadar aku sudah berada di pertengahan bulan yang tidak lama lagi akan di
akhir bulan. Seiring waktu yang mulai berputar cepat ini pun, perlahan-lahan
dirimu mulai terhapus olehnya. Apapun itu. Kau tidak tahu sebarapa kuatnya aku
berusaha untuk melepaskan diri. Tapi, mari kita lihat akhirnya. Apakah aku
berhasil atau tidak. Aku sendiri meragu.
Aku baru
sadar, hari ini barista itu tidak masuk.
Aku
menghampiri temannya yang lain untu bertanya. “Barista yang paruh waktu itu,
tidak masuk?”tanyaku.
Temannya
menggeleng. “Tidak. Tapi, tadi pagi sebelum aku sempat masuk untuk ganti shift, ia menitipkanku note ini.”katanya
sambil mengulurkan selembar kertas note.
12 o’clock at my compartmen.
I’m waiting for.
B.
Hanya dua
baris kalimat tersebut. inisial ‘B’ itu maksudnya adalah barista.
Saat aku
melihat jam, sebentar lagi tengah hari. Maka kuputuskan untuk memesan dua kopi
yang di take away dan menunggu barang
sebentar di halte bus yang biasa aku dan ia menunggu bus yang sama. Sinar
matahari mulai terasa hangat tidak seperti beberapa minggu kemarin yang sering
kali aku sebut Hari Beku. Karena memang dingin sekali, dinginnya dingin yang
membekukan.
Bus
bernomor 11 terlihat dari kejauhan. Aku langsung berdiri di pinggir halte dan
langsung meloncat masuk begitu pintu bus tersebut terbuka dan menempelkan kartu
busku ke detektornya. Hari ini sepertinya ramai. Karena bus bernomor 11 hari
ini cukup penuh, serta bus bernomor lainnya yang aku perhatikan saat berhenti
di halte tempatku menunggu.
Aku sendiri
tidak tahu kapan masa pertukaran pelajarnya selesai. Karena, ia sendiri tidak
mau memberitahukan padaku dan tiap kali aku bertanya dia akan mengalihkan topik.
Dan ya, aku memang mudah sekali dialihkan. Pikiranku mudah meloncat-loncat dari
satu topik ke topik yang lain dan melupakan sejenak topik sebelumnya.
Aku
berhenti di halte yang hanya berbeda beberapa halte dengan halte rumahku.
Untungnya
aku hafal nomor apartemennya, jadi tidak terlalu susah untuk menemukannya,
hanya saja aku perlu bertanya berada di lantai berapa. Karena tidak mungkin aku
menggedor satu persatu pintu yang terbilang banyak disini. Bisa-bisa aku sampai
saat tengah malam. Dikedua kalinya aku menekan bel, pintu itu terbuka dan
melahirkan sosoknya yang berbalutkan pakaian santai. Kaus T-shirt Polo berwarna
putih dan sweater berwarna biru dongker yang tidak terkancing.
Ia
mengambil jaket juga blazer yang aku gunakan dan menggantungnya di tempat
jaket. Saat bertemu di depan pintu, ia memberikanku seulas senyum miring
khasnya padaku yang menjawabnya dengan cengiran. Rasanya aneh jika aku langsung
menghamburkan diriku padanya. Ia menuntunku ke balkon kompartemennya yang besar
dan mulutku menganga. Membuatnya tertawa.
“Jangan
hanya dilihat. Ayo, duduk.”ujarnya sambil menarikkan bangkuku dan
mempersilahkan aku duduk, lalu ia duduk di depanku. Ia mempersiapkan makan
siang sederhana.
“Kau
membuat steak sendiri?”tanyaku dengan ragu.
“Ya. Tidak
usah khawatirkan dapurnya. Dapurnya masih bersih. Kalau soal membuat steak, aku
tahu membuatnya.”jawabnya seraya mengambil piringku berisi steak dan mulai
membaginya dengan bentuk kotak-kotak dan mengembalikannya ke hadapanku, lalu
giliran steaknya yang ia potong kotak-kotak. Aku mengeluarkan kopi yang masih
hangat.
“Aku tidak
tahu, kau suka kopi apa. Jadi supaya adil, aku membelikan kopi yang aku sukai
saja.”kataku sambil terkekeh dan mengulurkan gelas kopinya.
“Tidak
apa-apa.”jawabnya seraya menerima gelas kopinya dan menurunkan gelas wine
miliknya, diikuti olehku. Tiba-tiba aku tertawa. Ia menatapku dengan heran,
namun tidak menyuarakan keheranannya.
“Rasanya
lucu, makan steak di tempat yang terbuka seperti ini tapi minumnya kopi.” Saat
aku selesai menjelaskan, barulah ia ikut tertawa. “Bagus, jadinya berbeda dari
yang lainnya. Lagipula aku tidak terlalu suka minum wine.”ujarnya.
“Bagus
kalau kau tidak suka minum wine.”jawabku sambil mulai menyantap steakku. Tidak
gosong, tidak setengah mentah juga, bumbunya tidak kurang tidak juga lebih.
Masakannya pas.
Makan siang
itu diisi dengan gelak tawa yang tidak tahu diri dan obrolan-obrolan ringan.
Dan pada akhirnya kami hanya minum air putih. Karena baginya lebih baik kopi
itu dipanaskan kembali dan diminum sambil bersantai di depan perapian. Jadilah
kami sekarang duduk di sofa dengan perapian yang menyala berada di depan kami,
dan selimut yang menyelimuti dari paha hingga kaki kami dengan kopi dicangkir
yang sudah dipanaskan kembali.
Ia berdeham
beberapa kali. sepertinya ada yang mau ia katakan.
Firasatku
sudah mulai tidak baik. “Masa pertukaran pelajarku disini sudah selesai. Besok
aku akan pulang ke New York. Maaf aku baru bisa beritahumu sekarang.
Kemarin-kemarin aku sibuk menyelesaikan apa yang belum diselesaikan di
universitas.”katanya. Tidak menatapku, melainkan hanya menatap cangkir kopinya.
Aku pun terdiam. Kenyataan membuatku tersedak dengan tidak sopan. Seharusnya
aku cepat sadar kalau cepat atau lambat ia akan pulang ke New York dan tidak
akan ada cerita untuk kembali.
Ia
membantuku meletakkan cangkir kopinya dan membawaku masuk ke dalam pelukannya.
Mungkin alam sedang memberiku waktu dan menyuruhku untuk memastikan perasaanku.
Siapa tahu hanya seliwat saja. Lama-kelamaan mataku mulai mengantuk, tapi
telingaku saat itu masih berfungsi untuk mendengar satu kalimatnya, “Selamat
Natal.” Dan aku masih sempat membalas, “Selamat Natal juga, barista.” Dan aku
jatuh tertidur. Mungkin karena kehangatan dari perapian dan atau mungkin dari
pelukannya.
Saat aku terbangun
keesokan paginya, aku berada di kamar tidurnya. Aku terkejut. Dan saat
kuperiksa sampingku, ternyata hanya tempat tidur yang rapih juga bantal yang
tidak terpakai. Aku keluar dari kamarnya terburu-buru hingga menabrak apapun
yang menghalangiku. Ia sudah pergi? Pergi tanpa mengatakan sesuatu? Sungguh,
bulir-bulir air mataku sudah mulai menggenang di pelupuk mataku.
Dan aku
terjatuh lemas dengan bersandar di tembok saat melihatnya tetidur pulas di sofa
depan perapian yang apinya hampir mati. Aku mengambilkan selimut yang tadi aku
gunakan dan menyelimutinya, menambah kehangatannya. Karena selimut yang ia
gunakan terlalu tipis untuk udara yang dingin, ditambah lagi dengan perapian
yang hampir mati apinya.
Inikah yang
namanya cinta yang baru?
Inikah saatnya
aku melupakan yang lama jika yang baru sendiri harus aku lupakan?
Aku
mengusap rambutnya yang selembut bayi. Ia tidak mengenakan apapun untuk membuat
rambutnya terkesan bagus. “Selamat pagi.”gumamnya sambil mengusap matanya,
tanpa berusaha bangkit dari posisi tidur yang membuat orang pegal-pegal.
“Selamat
pagi juga.”jawabku sambil menarik tanganku dari rambutnya. “Siap-siaplah.
Jangan sampai terlambat naik pesawat.”kataku sambil bangkit dari posisi dudukku
dan berjalan menuju dapur untuk mencari bahan yang bisa dijadikan sebagai
sarapan pagi. Akhirnya aku menemukan bungkusan roti tawar juga selai coklat,
dan susu kental manis. Hanya selai coklat? Sepertinya ia memang hanya suka
coklat. Maka kubuatkan dua tangkup roti dengan selai coklat dan segelas susu
hangat.
“Ayo
sarapan.”ajakku padanya yang tengah berjongkok di depan perapian untuk
memadamkan api. Ia mengambil posisi duduk diseberangku dan menyantap setangkup
roti. Sarapan pagi yang hening. “Pesawat jam berapa?”tanyaku membuka udara
kecanggungan, mencoba seperti aku tidak akan kehilangan.
Ia menatap
jam gantung di atas kulkas. “Jam 11.”jawabnya sambil menggigit rotinya. Ia tahu
aku sedang mencoba menahan diri, tapi ia pun pura-pura tidak tahu. Tidak
apa-apa. Itu lebih baik daripada ia menunjukkan bahwa ia tahu kalau aku tengah
pura-pura bahwa aku tidak akan kehilangan seseorang sebentar lagi.
Jawabanku
hanya sebuah anggukan, yang mungkin tidak ia perhatikan. “Sana mandi dan
siap-siap. Biar aku yang bereskan dapur.”kataku sambil membawa piring roti dan
gelas susunya yang sudah kosong, sebisa mungkin aku menghindari kontak mata
dengannya. Ia tak kunjung juga turun dari bangkunya. Aku tahu, karena tidak
terdengar suara sandal. Sambil mencuci piring, kembali terngiang di ingatanku
saat membuat roti kering untuknya. Saking seriusnya aku mencuci peralatan, aku
tidak sadar ia tengah mengendap-endap di belakangku dan mengagetkanku dengan
mulai menggelitiku. Aku harus melemparinya busa sabun ke wajahnya barulah ia
berhenti, lalu sama-sama tertawa.
Akankah
seperti itu?
Aku
mendengarnya berdeham di belakangku. Ya, tepat dibelakangku.
Aku
berbalik badan dengan tangan yang masih penuh dengan busa sabun, berniat untuk
mengatakan mengapa ia belum juga pergi siap-siap. Namun, aku malah dikejutkan
dengan langkah selanjutnya. Ia memelukku dengan erat. Aku balas memeluknya.
Kami bertahan cukup lama dalam posisi saling berpelukan. “Sana mandi lebih dulu, biar aku yang
lanjutkan cuciannya.”ujarnya sambil nyengir.
“Oh itu tidak
bisa, barista. Kau tidak lihat tanganku sudah berbusa sabun? Lebih baik kau
saja yang mandi lebih dahulu. Saat kau selesai mandi, apartemenmu sudah bersih.”ujarku
sambil mengacungkan sepuluh jari penuh busa padanya. Ia tertawa. Akhirnya ia
melepaskan pelukannya dan berjalan keluar dari dapur menuju kamarnya dan aku
pun melanjutkan acaraku yang sempat tertunda.
Sungguh,
aku ingin mengantarnya ke bandara. Tapi, aku takut jika aku mengantarnya, aku
tidak bisa mengendalikan diriku sendiri dan akhirnya malah menangis di
depannya. Itu memalukan. Sudah cukup aku tertangkap basah membaca novel terbalik.
Maka saat aku yakin semuanya sudah selesai, aku tinggalkan sebuah salam perpisahan
melalui sebuah note untuknya yang aku tempel di kopernya yang sudah siap untuk
dikunci. Seperti pengecut yang lari dari kejaran anjing padahal ia sendiri yang menjahili anjing tersebut.
Kebiasaan
lama memang tidak bisa hilang, aku masih saja suka mengayun-ayunkan kakiku yang
menggantung di bangku halte bus yang memang tinggi, seperti anak kecil.
Sudah
beberapa tahun lewat dari hari aku bertemu dengan barista itu. Aku masih
mengunjungi kedai kopi itu, tapi acap kali aku melangkah masuk aku selalu
mempersiapkan diriku lebih dahulu untuk tidak berharap ia berada disana. Di
balik mesin kopi saat pertama kali aku sadar ia bekerja disini.
Aku tengah
menunggu di halte di seberang jalan rumahku. Menunggu bus bernomor 11 menuju ke
kedai kopi. “Lama sekali.”gerutuku dengan sebal. Kuncir kudaku bergoyang dengan
lincah kesana kemari saat aku menggoyangkan kepalaku mengikuti lagu yang
kudengar lewat earphone. Aku
buru-buru bangkit dari dudukku saat melihat bus bernomor 11 muncul dari belokan
dan tak lama pintunya berhenti tepat didepanku.
Aku
berangkat kesiangan. Maka aku harus menerima resiko berdesak-desakkan dalam bus
dan aku mengerang dengan sebal karena keterlambatanku. Tahu begitu aku menunggu
bus nomor 11 lainnya, tapi aku harus menunggu sejam dari sekarang. Hah! Akhirnya
aku bisa lepas dari desakan ikan-ikan dalam kaleng setelah beberapa menit
berada di dalam bus aku pun melompat turun dari bus ke halte dan menunggu
jalanan kosong untuk menyebrang.
Apakah ia
masih mengingatku disana?
Sebulan
setelah kepergiannya, aku menyerah pada kenyataan bahwa ternyata aku
merindukannya. Dan yap, cinta yang baru yang sudah harus pergi lagi. Aku tidak
mencoba untuk menghubunginya karena akan sia-sia. Sebab, nomor itu pasti sudah
tidak terpakai. Saat ia keluar dari Korea, nomor dan ponselnya tidak akan
berfungsi lagi. Aku pun tidak berusaha untuk bertanya pada teman barista yang
lain mengenainya.
Aku
mengistirahatkan pantatku diatas sofa yang nyaman dengan udara yang hangat di
dalam kedai. Aku melemparkan pandanganku keluar jendela. Menatap orang yang
berlalu lalang. “Permisi. Boleh saya duduk disini?”ujar seseorang. Aku
mengalihkan pandanganku dari luar jendala bersiap-siap untuk menolak dengan
sebal, padahal kursi dan sofa lain masih banyak yang kosong.
Tapi, aku
harus menelan bulat-bulat niatku karena tergantikan dengan pekikkanku yang
tertahan ditenggorokan. “Kau?”ujarku dengan terkejut.
“Selamat
pagi.”ujarnya sambil tersenyum. Aku bangkit berdiri dari posisi dudukku dan
menghamburkan diriku ke dalam pelukannya. Aku bisa mendengarnya tertawa di
samping telingaku. “Aku merindukanmu.”bisikku langsung.
“Bagus.”jawabnya
dengan singkat. Aku menjauhkan diriku darinya dengan kening yang berkerut
bercampur sebal.
“Hanya itu?
Hanya ‘bagus’?”protesku dengan kesal padanya.
Ia dengan
tidak acuh duduk di sofa di hadapanku, aku mengikutinya dan duduk disofa yang
sebelumnya aku duduki masih dengan wajah sebal.
“Bagus,
karena aku tidak perlu bertanya lagi untuk menyamakannya dengan
perasaanku.”jawabnya dengan santai. Aku mendesis dengan sebal, namun mengulum
senyum juga disaat bersamaan.
“Bagaimana
kalau kita berjalan-jalan diluar? Sekarang sedang musim semi, kan? Sayang kalau
hanya berdiam di dalam sini.”ujarnya sambil berdiri seraya menggandengku dan
keluar dari kedai kafe setelah ia menyapa kembali teman-teman lamanya.
Di
belakangnya, aku tersenyum.
Ia pergi,
dan kini ia kembali tanpa sepengetahuanku.
“Kau
mengikuti pertukaran pelajar juga? Lalu, kapan kau akan pergi lagi, hah?”seruku
dengan galak, saat aku berhasil menyamai langkahnya. Ia menoleh ke arahku dan
tersenyum miring.
“Hmm...kira-kira
bagusnya kapan ya aku pergi lagi?”katanya sambil berpikir.
“YA!”
bentakku. “Ini tidak lucu kalau kau sedang bercanda!”seruku dengan gemas.
Ia
menatapku dengan serius. “Tidak. Aku memang tidak sedang bercanda.”ujarnya
dengan serius. Aku menelusuri matanya. Yang aku temukan hanya mata jahilnya.
Tak lama kemudian, ia tertawa sambil memelukku kembali. “Aku tidak akan pergi
lagi, Nona Kopi.”ujarnya. Aku tidak langsung percaya. “Kau bohong kan?!” Ia
langsung menunjukkan wajah seperti anak kecil yang berbicara jujur dan takut
dimarahi. Aku pun tersenyum lebar dan balas memeluknya, karena aku memang
mempercayainya.
Entah
bagaimana cara yang ia gunakan, ia sanggup membuatku untuk membuang rasa
rinduku yang lama dan menggantinya dengan punyanya. Ia sanggup membuatku hanya
menatap masa depan dengannya dan membuatku untuk tidak menoleh lagi ke
belakang. Ia membuatku bersemangat untuk bangun di pagi hari untuk saling
berbagi “Selamat Pagi” satu sama lain. Menjadi alasan bagiku untuk terus
tersenyum. Karena, ia sanggup mengembalikan hariku yang terkadang membuatku
jenuh.
Menemaniku
disaat-saat sulitku selama di universitas, padahal ia sendiri tengah sibuk di
universitasnya. Ia selalu ada disana saat aku butuh, ia akan dengan sukarela memberikan
bahunya saat aku mulai jatuh tertidur di bus; melindungiku dengan dua
lengannya; membagi semuanya apa yang ia pikirkan padaku; berdiskusi tentang
apapun; kami saling berbagi.
Ya, ia akan
selalu disana.
Sekarang
tidak ada lagi aku yang menjalani hariku sendirian. Sekarang, sudah berganti
dengan kami. Menjalani waktu bersama. Saling mengisi kekurangan yang ada, dan
saling berbagi kelebihan yang dimiliki. Dan aku yakin, aku sanggup menjalani
hariku selanjutnya meskipun tidak selamanya hariku akan indah, tapi selama
dengannya, akan terasa mudah.
fin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar