A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Selasa, 07 Mei 2013

Bertemu Senja


Bagaimana rasanya jika suatu hari kamu kehilangan senjamu sendiri?
Bukan itu maksudku. Bagaimana jika suatu saat kamu kehilangan seorang yang kamu cintai? Apakah kamu siap? Siapapun tidak akan suka dengan perpisahan, dalam bentuk apapun itu. Sesiap apapun kita, saat perpisahan itu tiba, akan ada rasa sesak. Apalagi jika kita berpisah dengan orang yang kita cintai.
Aku menatap senja di depan mataku dengan dua jemari yang aku tarikan di atas pasir untuk membentuk pola-pola yang tidak menentu bentuknya.
Entah sudah berapa lama terpisah oleh jarak dan waktu, tapi yang aku tahu sudah cukup lama rindu ini bersemayam, menunggu untuk segera dilepaskan. Tampaknya, ia akan semakin lama bersemayam disana.
Bukankah aku sudah memutuskan untuk mundur dengan sendiri? Seharusnya aku tidak merindukanmu lagi, bukan? Tapi, di setiap tidurku, aktor dalam filmku selalu kamu. Bahkan di dalam film itu tidak ada seorang figuran. Keseluruhan peran ada padamu. Kamu peran utamanya; kamu peran pembantunya; kamu figurannya; dan kamu pula yang menentukan akhirnya.
Bagaimana rindu ini tidak pernah berhenti untuk bertumbuh layaknya seorang anak kecil dalam masa pertumbuhannya jika setiap tidurku hanya kamu yang muncul? Ia bertumbuh seiring dengan betapa seringnya kamu mampir dalam filmku.
Lalu, keesokan paginya aku akan terbangun berbalutkan dinginnya rindu.
Kamu senja yang hilang di hari yang berkabut penuh dengan tetesan-tetesan air yang berjatuhan. Ya, hujan. Kamu menyukai keduanya, tapi mereka tidak akan pernah muncul bersamaan di hari yang sama, sayangnya. Jadi, kamu harus memilih salah satunya. Dan yang kamu pilih  ialah senja.

Ah, betapa bodohnya setiap kali aku datang kesini dan mengharapkan bisa menemukan apa yang aku cari. Yang aku temukan hanya seorang senja yang sendirian, hanya bertemankan oleh deburan riak-riak kecil yang dilahirkan dari ombak yang beradu ketangkasan untuk sampai di bibir pantai lebih dahulu, dan yang terlambat kembali ke tengah lautan.
Kita berada di bawah langit yang sama, dan berpijak di atas tanah yang sama.
Yang tidak sama hanyalah keberadaan kita. Kamu disana dengannya, aku disini dengan senjamu.
Kutekuk kedua lututku, memeluknya dengan harapan dapat memberikan kehangatan pada dinginnya rindu dan lalu menyenderkan daguku di sela-sela kedua lutut yang kupeluk, dengan mata yang menatap pasir basah.
Angin pantai menyerbu mendekatiku dan mengibarkan rambut yang tidak kuikat.
Kutengadahkan kepalaku. “Mendung.”gumamku. kutolehkan mataku ke arah matahari. Ia sudah setengah tenggelam. “Langitnya masih oranye loh, Niel.”gumamku sekali lagi seraya tersenyum. Bukan tersenyum, seperti hanya mengangkat sudut-sudut bibirku saja, kupikir.
Rasanya seperti sudah bukan umur lagi mengungkapkan secara gamblang kalau aku merindukannya, terasa cheesy untuk diucapkan. Tapi, kalau tidak dikatakan pun rindu ini tidak akan pernah sampai. Kukeluarkan ponsel dari sakuku dan menekan tombol angka 9. Namun, kembali kuurungkan niatku.
“Aku tidak boleh mengganggunya lagi.” Kembali aku masukkan ponselku ke saku dan memeluk lututku kembali sambil menghembuskan nafas panjang dan berat.
Bisa aku rasakan, perlahan-lahan sekitarku mulai kosong akan orang. Sudah banyak yang pulang, tapi setengah dari rasa ini ini belum berpulang juga. Aku masih nyaman duduk diatas pasir basah yang kini sudah kering, mungkin, karena sudah terlalu lama aku duduki. Mungkin satu-satunya orang yang masih bertahan disini hanya aku. Mungkin juga, saat aku pulang kantong-kantongku penuh dengan pemberat. Pasir.
“Masih sering kok. Iya, masih sering kangen.”gumamku sambil terkekeh geli dengan jemari yang menelusuri pasir basah di depan mataku.
Kamu seperti pasir. Meski aku genggam dengan erat, namun kamu masih bisa pergi melalui celah-celah kecil yang aku sendiri tak sanggup untuk menutupnya. Dan walau tidak aku genggam erat pun, kamu tetap akan pergi. Kalau seperti saat ini keadaannya, bukan kamu yang pergi. Aku yang melepaskan diriku sendiri.
Warna oranye masih melekat diatas kepalaku.
Sepertinya, selamanya kamu akan hidup dalam senja.
Dan aku akan hidup untuk terus memperhatikan senja, bukan untuk memilikinya.
Aku masih saja duduk disini seperti orang bodoh. Saat kuletakkan daguku di sela-sela dua lutut yang bertemu, aku termangu begitu mendengar seseorang memanggil namaku. Bukan takut, bukan. Bukan heran, bukan. Tapi, aku termangu pada suara itu. “Niel...... Ah pasti bukan. Aku hanya sedang halusinasi. Hanya halusinasi.”gerutuku dengan cepat dan menutup telingaku.
Tapi namaku semakin sering disebut.
Dengan sebal aku menolehkan kepalaku ke kiri dan kanan. Akhirnya aku mendengus sebal. “Hanya angin. Ya, hanya angin.”gerutuku sambil merutuki diriku sendiri yang dengan mudahnya mencari-cari keberadaan seseorang.
“Lebih baik aku pulang sebelum aku menjadi gila disini hanya karena perkara merindu, membuat telingaku menjadi lebih sensitif.”ucapku seraya bangun dari posisi dudukku dan mengibaskan pasir-pasir yang menempel di celana bagian belakangku lalu menenteng sepatu sendal taliku. “Untung nggak ada pemberat.”desahku saat aku melihat isi kantong celana trainingku yang kosong.
Aku seperti tertanam ke dalam pasir basah saat aku balik badan. Badanku kaku. Tidak bisa aku gerakkan. Bahkan tanpa sadar aku menahan nafas.
Long time no see. Have you been happy while I’m gone? Aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati.
Long time no see. Are you oke so far?
I’m not good so far.
Have you been happy so far?”
So far, as long as you happy, then I do. Chessy, but it’s the fact, despite what people say it is a lie, but to me its honest.
“Ich vermisse dich.”
Aku terdiam. Mataku masih terpaku padanya.
“Kamu tidak seharusnya ada disini, Niel.”bisikku.
“Kupikir, tempatku seharusnya ada disini, Kanaya.” Mungkin bisikanku ditiup oleh angin hingga terdengar olehnya.
“Pulanglah, Niel.”ucapku. Aku tidak boleh tergoda. Ia lebih baik dengannya. Terasa berat memang, tapi bukankah memang harus aku lakukan? Ini perkara kebahagian orang. Bukan saatnya bagiku untuk egois,
“Jangan memaksakan dirimu, Naya.” Panggilan itu termasuk dalam daftar rinduku yang entah sudah sepanjang apa jika dituliskan.
“Tidak. Aku tidak memaksakan diriku, Niel.”
Ia bergerak dari tempatnya berdiri dan mendekatiku.
Menutup jarak antara kami yang terbentang; menghalau angin pantai yang mulai terasa menusuk tulang, sepertinya memang bukan karena angin penyebabnya, tapi karena rasa sakit dan rindu yang bertemu dalam satu keadaan yang berubah menjadi penyakit tanpa penawarnya.
Ia memberikanku kehangatan tanpa pernah aku minta, lalu tanpa sadar aku sudah masuk dalam pelukannya, tanpa bisa aku cegah. Kupikir rasanya sudah berubah, ternyata masih sama seperti terakhir kali aku tinggalkan.
I’ve been here, Naya.”bisiknya dengan sangat lembut dengan suara khasnya yang berat, hasil dari akil balik yang sempurna. Bisa aku rasakan ia menghirup aroma tubuhku yang bercampur dengan wanginya air laut yang menguar. Aku masih belum bisa bergerak. Aku seperti terjebak dalam keadaan terkejut yang parah.
Ich vermisse dich.”gumamku dengan lirih.
“Aku tahu. Tanpa perlu kamu katakan, aku selalu bisa baca semuanya, Naya.”ujarnya sambil terkekeh. Beratus-ratus senja yang aku lewatkan sendiri kini terbayarkan oleh satu hari dengan senja yang perlahan-lahan mulai turun.
“Sudah, jangan pikirkan yang lain lagi.”
Aku anggukkan kepalaku pelan-pelan. Ia mengusap puncak kepalaku dengan lembut dan sebuah senyum terulas di bibirku. Sudahlah, ia tidak perlu tahu ataupun melihatnya.
Aku sudah bertemu kembali.
Keseluruhannya ini memang hanya sebuah cerita klasik nan klise tentang rasa rinduku ini yang tercatat dalam lembaran cerita waktu yang tertulis dengan tinta takdir.

~ f i n ~



terj: ich vermisse dich = aku merindukanmu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar