Bagaimana
rasanya jika suatu hari kamu kehilangan senjamu sendiri?
Bukan itu
maksudku. Bagaimana jika suatu saat kamu kehilangan seorang yang kamu cintai? Apakah
kamu siap? Siapapun tidak akan suka dengan perpisahan, dalam bentuk apapun itu.
Sesiap apapun kita, saat perpisahan itu tiba, akan ada rasa sesak. Apalagi jika
kita berpisah dengan orang yang kita cintai.
Aku menatap
senja di depan mataku dengan dua jemari yang aku tarikan di atas pasir untuk
membentuk pola-pola yang tidak menentu bentuknya.
Entah sudah
berapa lama terpisah oleh jarak dan waktu, tapi yang aku tahu sudah cukup lama
rindu ini bersemayam, menunggu untuk segera dilepaskan. Tampaknya, ia akan
semakin lama bersemayam disana.
Bukankah aku
sudah memutuskan untuk mundur dengan sendiri? Seharusnya aku tidak merindukanmu
lagi, bukan? Tapi, di setiap tidurku, aktor dalam filmku selalu kamu. Bahkan di
dalam film itu tidak ada seorang figuran. Keseluruhan peran ada padamu. Kamu peran
utamanya; kamu peran pembantunya; kamu figurannya; dan kamu pula yang
menentukan akhirnya.
Bagaimana rindu
ini tidak pernah berhenti untuk bertumbuh layaknya seorang anak kecil dalam
masa pertumbuhannya jika setiap tidurku hanya kamu yang muncul? Ia bertumbuh
seiring dengan betapa seringnya kamu mampir dalam filmku.
Lalu,
keesokan paginya aku akan terbangun berbalutkan dinginnya rindu.
Kamu senja
yang hilang di hari yang berkabut penuh dengan tetesan-tetesan air yang
berjatuhan. Ya, hujan. Kamu menyukai keduanya, tapi mereka tidak akan pernah
muncul bersamaan di hari yang sama, sayangnya. Jadi, kamu harus memilih salah
satunya. Dan yang kamu pilih ialah senja.
Ah, betapa
bodohnya setiap kali aku datang kesini dan mengharapkan bisa menemukan apa yang
aku cari. Yang aku temukan hanya seorang senja yang sendirian, hanya bertemankan oleh deburan riak-riak kecil yang dilahirkan
dari ombak yang beradu ketangkasan untuk sampai di bibir pantai lebih dahulu,
dan yang terlambat kembali ke tengah lautan.
Kita berada
di bawah langit yang sama, dan berpijak di atas tanah yang sama.
Yang tidak
sama hanyalah keberadaan kita. Kamu disana dengannya, aku disini dengan
senjamu.
Kutekuk
kedua lututku, memeluknya dengan harapan dapat memberikan kehangatan pada
dinginnya rindu dan lalu menyenderkan daguku di sela-sela kedua lutut yang
kupeluk, dengan mata yang menatap pasir basah.
Angin pantai
menyerbu mendekatiku dan mengibarkan rambut yang tidak kuikat.
Kutengadahkan
kepalaku. “Mendung.”gumamku. kutolehkan mataku ke arah matahari. Ia sudah
setengah tenggelam. “Langitnya masih oranye loh, Niel.”gumamku sekali lagi seraya
tersenyum. Bukan tersenyum, seperti hanya mengangkat sudut-sudut bibirku saja,
kupikir.
Rasanya seperti
sudah bukan umur lagi mengungkapkan secara gamblang kalau aku merindukannya,
terasa cheesy untuk diucapkan. Tapi,
kalau tidak dikatakan pun rindu ini tidak akan pernah sampai. Kukeluarkan ponsel
dari sakuku dan menekan tombol angka 9. Namun, kembali kuurungkan niatku.
“Aku tidak
boleh mengganggunya lagi.” Kembali aku masukkan ponselku ke saku dan memeluk
lututku kembali sambil menghembuskan nafas panjang dan berat.
Bisa aku
rasakan, perlahan-lahan sekitarku mulai kosong akan orang. Sudah banyak yang
pulang, tapi setengah dari rasa ini ini belum berpulang juga. Aku masih nyaman
duduk diatas pasir basah yang kini sudah kering, mungkin, karena sudah terlalu
lama aku duduki. Mungkin satu-satunya orang yang masih bertahan disini hanya
aku. Mungkin juga, saat aku pulang kantong-kantongku penuh dengan pemberat. Pasir.
“Masih
sering kok. Iya, masih sering kangen.”gumamku sambil terkekeh geli dengan
jemari yang menelusuri pasir basah di depan mataku.
Kamu seperti
pasir. Meski aku genggam dengan erat, namun kamu masih bisa pergi melalui
celah-celah kecil yang aku sendiri tak sanggup untuk menutupnya. Dan walau
tidak aku genggam erat pun, kamu tetap akan pergi. Kalau seperti saat ini
keadaannya, bukan kamu yang pergi. Aku yang melepaskan diriku sendiri.
Warna oranye
masih melekat diatas kepalaku.
Sepertinya,
selamanya kamu akan hidup dalam senja.
Dan aku
akan hidup untuk terus memperhatikan senja, bukan untuk memilikinya.
Aku masih
saja duduk disini seperti orang bodoh. Saat kuletakkan daguku di sela-sela dua
lutut yang bertemu, aku termangu begitu mendengar seseorang memanggil namaku. Bukan
takut, bukan. Bukan heran, bukan. Tapi, aku termangu pada suara itu. “Niel......
Ah pasti bukan. Aku hanya sedang halusinasi. Hanya halusinasi.”gerutuku dengan
cepat dan menutup telingaku.
Tapi namaku
semakin sering disebut.
Dengan sebal
aku menolehkan kepalaku ke kiri dan kanan. Akhirnya aku mendengus sebal. “Hanya
angin. Ya, hanya angin.”gerutuku sambil merutuki diriku sendiri yang dengan
mudahnya mencari-cari keberadaan seseorang.
“Lebih baik
aku pulang sebelum aku menjadi gila disini hanya karena perkara merindu,
membuat telingaku menjadi lebih sensitif.”ucapku seraya bangun dari posisi
dudukku dan mengibaskan pasir-pasir yang menempel di celana bagian belakangku
lalu menenteng sepatu sendal taliku. “Untung nggak ada pemberat.”desahku saat
aku melihat isi kantong celana trainingku yang kosong.
Aku seperti
tertanam ke dalam pasir basah saat aku balik badan. Badanku kaku. Tidak bisa
aku gerakkan. Bahkan tanpa sadar aku menahan nafas.
Long time no see. Have you been happy while I’m gone? Aku hanya
bisa mengucapkannya dalam hati.
“Long time no see. Are you oke so far?”
I’m not good so far.
“Have you been happy so far?”
So far, as long as you happy, then I do. Chessy, but
it’s the fact, despite what people say it is a lie, but to me its honest.
“Ich vermisse dich.”
Aku
terdiam. Mataku masih terpaku padanya.
“Kamu tidak
seharusnya ada disini, Niel.”bisikku.
“Kupikir,
tempatku seharusnya ada disini, Kanaya.” Mungkin bisikanku ditiup oleh angin
hingga terdengar olehnya.
“Pulanglah,
Niel.”ucapku. Aku tidak boleh tergoda. Ia lebih baik dengannya. Terasa berat memang,
tapi bukankah memang harus aku lakukan? Ini perkara kebahagian orang. Bukan
saatnya bagiku untuk egois,
“Jangan
memaksakan dirimu, Naya.” Panggilan itu termasuk dalam daftar rinduku yang
entah sudah sepanjang apa jika dituliskan.
“Tidak. Aku
tidak memaksakan diriku, Niel.”
Ia bergerak
dari tempatnya berdiri dan mendekatiku.
Menutup jarak
antara kami yang terbentang; menghalau angin pantai yang mulai terasa menusuk
tulang, sepertinya memang bukan karena angin penyebabnya, tapi karena rasa
sakit dan rindu yang bertemu dalam satu keadaan yang berubah menjadi penyakit
tanpa penawarnya.
Ia memberikanku kehangatan tanpa pernah aku minta, lalu tanpa sadar aku sudah masuk
dalam pelukannya, tanpa bisa aku cegah. Kupikir rasanya sudah berubah, ternyata masih
sama seperti terakhir kali aku tinggalkan.
“I’ve been here, Naya.”bisiknya dengan
sangat lembut dengan suara khasnya yang berat, hasil dari akil balik yang
sempurna. Bisa aku rasakan ia menghirup aroma tubuhku yang bercampur dengan
wanginya air laut yang menguar. Aku masih belum bisa bergerak. Aku seperti
terjebak dalam keadaan terkejut yang parah.
“Ich vermisse dich.”gumamku dengan lirih.
“Aku tahu. Tanpa
perlu kamu katakan, aku selalu bisa baca semuanya, Naya.”ujarnya sambil
terkekeh. Beratus-ratus senja yang aku lewatkan sendiri kini terbayarkan oleh
satu hari dengan senja yang perlahan-lahan mulai turun.
“Sudah, jangan
pikirkan yang lain lagi.”
Aku anggukkan
kepalaku pelan-pelan. Ia mengusap puncak kepalaku dengan lembut dan sebuah
senyum terulas di bibirku. Sudahlah, ia tidak perlu tahu ataupun melihatnya.
Aku sudah
bertemu kembali.
Keseluruhannya
ini memang hanya sebuah cerita klasik nan klise tentang rasa rinduku ini yang
tercatat dalam lembaran cerita waktu yang tertulis dengan tinta takdir.
~ f i n ~
terj: ich vermisse dich = aku merindukanmu.
~ f i n ~
terj: ich vermisse dich = aku merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar