“Lo dimana?!”seru Elsa dari
seberang sambungan telpon. Karin terkekeh geli mendengar seruan Elsa yang
bercampur sebal,
“Sabar. Gue ke sana
deh.”jawab Karin sambil bangkit berdiri.
“Tunggu situ aja. Gue udah
suruh Nuel jemput.”jawab Elsa.
“Oke.” Sambungan terputus.
Senja itu selalu indah. Senja
itu tidak akan pernah kemana-mana.
“Mau bengong sampai dicolek
setan?”ledek seorang. Karin langsung menoleh cepat dan terkekeh.
“Iya, setannya lo kan?”ujar
Karin disela-sela kekehannya. Nuel ikut terkekeh dan mengambil posisi duduk
disamping Karin.
Entah sejak kapan rasa itu
berubah. Entah sejak kapan rasa sayang sebagai teman bertransformarsi menjadi
sebuah rasa sayang lebih dari seorang teman. Segalanya memang susah untuk
ditebak bukan?
“Hari ini senjanya lagi
orange banget ya?”gumam Nuel.
Karin hanya mengangguk tanpa
mengalihkan matanya dari senja di depan matanya.
Bisa waktu dibekukan?
Sungguh, untuk saat ini Karin ingin membekukan waktunya. Sayangnya, tidak bisa.
Jadi, ia hanya bisa menyerap semuanya dan menyimpannya sendiri.
“Kuliah kemana, Rin?”tanya
laki-laki disamping Karin.
“Mungkin ke Kota Pelajar, El.
Lo dimana? Paling juga sama Elsa kan?”jawab Karin sambil tertawa pelan. Nuel
hanya mengangkat sudut bibirnya.
Selamanya, dihati laki-laki
itu hanya akan ada satu wanita. Tidak mungkin satu hati berisikan dua cinta.
Pada akhirnya, ia harus memilih salah satu diantaranya. Karin tahu, ia hanyalah
figuran dalam sebuah film. Sehingga ia tidak memanjakan perasaannya sendiri
untuk berharap suatu hal yang terlalu muluk baginya.
“Lo disana sendiri, Rin?”
“Engga. Ramean kok. Kan
banyak mahasiswa lain.”jawab Karin pura-pura polos.
Nuel tertawa mengejek. “Jayus
lo!” Lalu, laki-laki itu mengacak-acak rambut panjang Karin yang sudah
berantakan karena angin pantai.
“Karena siapa?!”gerutu Karin
dengan sebal dan mengikat seluruh rambutnya di puncak kepala.
Bersama langit oranye, sore
itu mereka memandangi senja, hingga dibuyarkan oleh dering telpon. Dan mereka
berdua sama-sama berseru nyaring. “ELSA!” Tanpa pikir panjang, mereka langsung
berlarian menuju mobil Nuel dan laki-laki itu buru-buru melajukan mobilnya.
“Gak usah ke Starbucks. Anterin Karin pulang aja kamu. Disini hujan deras. Aku
mau tidur. Hati-hati ya.”ujar Elsa saat Nuel mengangkat telpon darinya.
Karin menunggu kelanjutannya
dengan menggigit bibirnya. “Gimana?” Nuel terkekeh. “Selow aja. Dia mau
tidur.”ujar Nuel. Karin langsung menghembuskan nafas lega.
“Gue nanti turun di kedai
kopi depan ya. Lu langsung balik aja. Gue bisa balik sendiri kok.”ujar Karin
sambil tersenyum lebar.
“Lu mau ngopi dulu? Gue
ngikut deh.”ujar Nuel ikut tersenyum. Senyum yang sering kali Karin sebut
dengan, senyum-selebar-bahu.
“Lo gak mau pulang?”tanya
Karin sambil menoleh pada laki-laki yang tengah berkonsentrasi pada jalan raya.
“Di rumah juga gue bingung
mau ngapain.”jawabnya tak acuh.
Karin cuma manggut-manggut
pelan, lalu mereka kembali direngkuh keheningan. Tak lama kemudian, mereka
sudah duduk di dalam kedai kopi yang dimaksud Karin, menunggu pesanan kopi
mereka sedang diseduh. Hujan diluar semakin parah. “Lo suka ke sini, Rin?”tanya
Nuel ketika pelayan selesai mengantar pesanan.
“Ini tempat favorit gue kali,
El. Bahkan, Elsa aja enggak tahu ini tempat.”jawab gadis itu sambil menghirup
aroma kopinya. Kebiasaannya dari dulu setiap kali minum kopi. Nuel
memperhatikan dengan seksama.
Perasaan Karin mengatakan ada
sesuatu yang mengganjal pada Nuel. Namun, laki-laki itu belum mengungkapkannya.
Maka, sambil meraih cangkir kopinya, Karin membuka kalimatnya,“Dalam satu
hubungan seharusnya enggak ada kata jenuh. Kalau udah ada kata jenuh, jenuh itu
udah harus buru-buru dibuang.”gumam Karin dengan mata yang masih terpejam dan
dengan hidung yang masih menghirup aroma kopi. Nuel menoleh ke arah Karin yang
membuka kedua kelopak matanya dengan perlahan dan tersenyum.
“Kalau ada masalah,
selesaikan. Jangan lari. Semakin lo lari, semakin itu masalah menghantui lo. Lo
hidup di dunia ini juga udah kayak ikut judi. Tapi, judi lo yang kali ini emang
udah dari alamnya.”tambah gadis itu, kali ini setelah menyesap sedikit demi
sedikit cappuccino kesukaannya itu.
“Tapi, kalau ternyata jenuh
itu muncul karena udah enggak ada kata cinta lagi?”tanya Nuel sambil
menghangatkan telapak tangannya di atas cangkir kopi yang uap panasnya masih
terasa.
Karin menanggapinya dengan
senyuman. “Itu pertanyaan yang seharusnya ada jawabannya. Tapi, jawabannya
bukan dari gue. Tapi, dari hati lo sendiri, El. Enggak selamanya jawaban dari
semua pertanyaan lo ada diluar diri lo.”jawab gadis itu berdiplomatis.
Sampai kapanpun, Karin akan
menyimpan perasaannya ini sendiri. Cukuplah ia sendiri yang tahu tentang rasa
ini. Ia tidak ingin mengganggu orang lain hanya karena perasaan yang seharusnya
tidak ada ini. Seperti, perasaan yang terlarang.
Mendengar jawaban Karin, Nuel
terdiam dengan cangkir kopi yang berhenti di ujung bibirnya. Selamanya, Karin
hanya akan menjadi bagian terluar dari hidup Nuel. Tidak termasuk dalam catatan
penting.
Diam-diam Nuel tersenyum
kecil.
Waktu terus berputar dan
tidak pernah berhenti. Waktu tidak akan menunggu. Kita yang harus mengejar
waktu itu atau mungkin mencoba berjalan bersisian dengannya. Saat Karin tengah
asik memandang langit sore dari balkon rumahnya sebuah pesan masuk ke
ponselnya. Lagi di tempat biasa, di kursi biasa, dengan kopi panas yang
biasa. Karin tersenyum.
Diam-diam ia menikmati waktu
mereka seperti ini. Meski hanya sebatas ini, jujur, Karin sudah merasa sangat
cukup. Ia tidak berharap atau meminta lebih dari ini. Cukup dengan bisa berada
dekat dengannya sudah sanggup membayar rindu yang terus menerus menyapanya
disetiap hari.
“Gak ada apa-apa kan?”tanya
Karin sambil mengambil cangkir kopinya yang belum lama diletakkan di
hadapannya. Nuel menggeleng dengan senyum-selebar-bahu-nya itu. Karin hanya
tersenyum dan menyesap kopinya. Ia pikir Nuel dan Elsa sedang terjadi sesuatu.
“Jangan bilang-bilang Elsa ya
kalau kita ketemuan begini. Ngerti kan, Rin?”ujar Nuel.
Karin mengangguk dan
tersenyum. “Iyalah gue ngerti kok El.”
Segalanya terjadi bukan tanpa
sebab. Setiap ada asap, disitu selalu ada api.
Semua cerita mengalir begitu
saja dari bibir mereka. Seperti channel tv yang bisa diganti-ganti
terus-terusan. Dari satu topik ke topik yang lain. Kedai yang tadinya ramai
mulai berangsur-angur sepi. Hingga hanya satu-dua orang yang masih asik dengan
kopi dan topik atau bacaan mereka.
Senja disetiap harinya
dilewati bersama, meski mereka berdiri di tempat yang berbeda. Hingga jika
suatu saat mereka harus melewati senja seorang diri, rasa nikmatnya seperti
berkurang. “Lo udah yakin, Rin?”tanya Elsa sambil tiduran di tempat tidur
Karin.
“Yakin kok, Sa. Makin cepat,
makin baik kan? Gue juga harus adaptasi sama keadaan disana.”ujar Karin sambil
tersenyum lebar. Menunjukkan barisan giginya yang berbaris rapi.
“Tapi, ini kan terlalu
cepet.”gerutu Elsa.
“Sa, Jakarta-Jogja bisa
ditempuh dalam semalam kok sama kereta, atau bus. Malah cuma beberapa jam doang
kalau pakai pesawat. Take it easy, oke?
Gue enggak keluar negeri kok. I’ll be there when
you need me.”ujar Karin, berhenti dari aktivitasnya dan duduk disamping
Elsa.
“Bener ya?”tanya Elsa dengan
wajah yang masih kusut.
Karin mengangguk mantap dan
memeluk sahabatnya. Baginya, Elsa lebih penting dari apapun. Lebih penting
dibanding perasaannya sendiri. Lebih baik ia membakar rasanya sendiri daripada
harus merusak hubungan Elsa dan Nuel yang sudah berjalin cukup lama. Dilihat
dari sudut pandang manapun, Karin hanyalah orang luar.
Lagi di senja yang
seperti biasa. Angin pantai mengibaskan rambut panjang Karin. Gadis itu
berjalan menyusuri bibir pantai sambil menenteng alas kakinya. Ombak-ombak
kecil yang sampai di bibir pantai menggelitik jemarinya. Sesekali ia berhenti
sebentar untuk memandang senja disampingnya. “Nanti masuk angin.”ujar
seseorang. Tanpa perlu menoleh, Karin tahu siapa pemilik suara itu.
“Engga apa-apa.
Sekali-kali.”jawab Karin sambil terkekeh.
“Ada apa?”tanyanya to the point.
“Ini udah waktunya buat gue
ucapin salam perpisahan ke lo, El. You should to be
happy as you should to be. Gue nggak mau jadi batu sandungan buat lo. Jaga
baik-baik kebahagian lo dan orang yang ada di dalamnya, sebelum lo menyesal
nantinya. Gue udah ngerasain gimana menyesalnya. Dan gue engga mau orang
terdekat gue juga ikut merasakannya. See you in another
time, if we can.”ujar Karin disela-sela senyumnya.
Gadis itu tengah bersusah
payah mengumpulkan kekuatannya supaya ia tidak menangis di hadapan laki-laki
yang selalu hidup dalam hangatnya kopi dan lembutnya senja. “Terima kasih untuk
keseluruhan waktu di senja dan kopinya.”tandas Karin sambil membelakangi
senja. Senja terakhir.
Setiap tempat, setiap keadaan
memiliki cerita mereka sendiri. Namanya, kenangan.
Rasanya aneh menikmati
sesuatu yang kita sudah terbiasa menikmatinya dengan seseorang harus kita
nikmati sendirian. Tapi, namanya juga hidup. Berada di tempat yang baru pun
kita perlu adaptasi. Meninggalkan masa lalu pun butuh adaptasi yang tidak
lama.
Karin menyesap kopinya sambil
menonton senja yang perlahan-lahan mulai tenggelam. Kenangan-kenangan itu masih
berputar-putar dalam otaknya. Kenangan yang berada dalam satu rol film dan rol
film itulah yang terus-terusan diputar. Tidak ada rusaknya. Tidak aus.
Karin mengakui pada dirinya
sendiri, setiap kali ia merindukan seorang itu.
Rindu itu biarlah tetap
bersemayam di dalam sana dan hidup disana.
Sekarang jalan mereka sudah
berbeda. Mereka sudah berpisah di persimpangan jalan. Mungkin jalan untuk
kembali pun sudah tertutup belukar. Tapi, Karin bersyukur ia sempat memiliki
hari dengannya. Meski ia hanya memiliki kenangan yang sangat sedikit, tapi
baginya sudah cukup.
Mungkin saja laki-laki itu
tahu, tapi ia beprura-pura tidak tahu.
Tapi, mungkin juga laki-laki
itu memang tidak tahu. Karin berharap kemungkinan yang kedualah yang terjadi.
Meski kemungkinan pertama memiliki kemungkinan yang sama besar dengan
kemungkinan kedua.
Senja Nuel sudah berada
disana, sudah bersamanya. Ia sudah berhasil menangkap senjanya.
Mungkin, senjaku berada
disini.
Senjaku sedang
menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar