A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Jumat, 26 April 2013

Menangkap Senja


“Lo dimana?!”seru Elsa dari seberang sambungan telpon. Karin terkekeh geli mendengar seruan Elsa yang bercampur sebal,
“Sabar. Gue ke sana deh.”jawab Karin sambil bangkit berdiri.
“Tunggu situ aja. Gue udah suruh Nuel jemput.”jawab Elsa.
“Oke.” Sambungan terputus.
Senja itu selalu indah. Senja itu tidak akan pernah kemana-mana.
“Mau bengong sampai dicolek setan?”ledek seorang. Karin langsung menoleh cepat dan terkekeh.
“Iya, setannya lo kan?”ujar Karin disela-sela kekehannya. Nuel ikut terkekeh dan mengambil posisi duduk disamping Karin.
Entah sejak kapan rasa itu berubah. Entah sejak kapan rasa sayang sebagai teman bertransformarsi menjadi sebuah rasa sayang lebih dari seorang teman. Segalanya memang susah untuk ditebak bukan?
“Hari ini senjanya lagi orange banget ya?”gumam Nuel.
Karin hanya mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari senja di depan matanya.
Bisa waktu dibekukan? Sungguh, untuk saat ini Karin ingin membekukan waktunya. Sayangnya, tidak bisa. Jadi, ia hanya bisa menyerap semuanya dan menyimpannya sendiri.
“Kuliah kemana, Rin?”tanya laki-laki disamping Karin.
“Mungkin ke Kota Pelajar, El. Lo dimana? Paling juga sama Elsa kan?”jawab Karin sambil tertawa pelan. Nuel hanya mengangkat sudut bibirnya.
Selamanya, dihati laki-laki itu hanya akan ada satu wanita. Tidak mungkin satu hati berisikan dua cinta. Pada akhirnya, ia harus memilih salah satu diantaranya. Karin tahu, ia hanyalah figuran dalam sebuah film. Sehingga ia tidak memanjakan perasaannya sendiri untuk berharap suatu hal yang terlalu muluk baginya.
“Lo disana sendiri, Rin?”
“Engga. Ramean kok. Kan banyak mahasiswa lain.”jawab Karin pura-pura polos.
Nuel tertawa mengejek. “Jayus lo!” Lalu, laki-laki itu mengacak-acak rambut panjang Karin yang sudah berantakan karena angin pantai.
“Karena siapa?!”gerutu Karin dengan sebal dan mengikat seluruh rambutnya di puncak kepala.
Bersama langit oranye, sore itu mereka memandangi senja, hingga dibuyarkan oleh dering telpon. Dan mereka berdua sama-sama berseru nyaring. “ELSA!” Tanpa pikir panjang, mereka langsung berlarian menuju mobil Nuel dan laki-laki itu buru-buru melajukan mobilnya. “Gak usah ke Starbucks. Anterin Karin pulang aja kamu. Disini hujan deras. Aku mau tidur. Hati-hati ya.”ujar Elsa saat Nuel mengangkat telpon darinya.
Karin menunggu kelanjutannya dengan menggigit bibirnya. “Gimana?” Nuel terkekeh. “Selow aja. Dia mau tidur.”ujar Nuel. Karin langsung menghembuskan nafas lega.
“Gue nanti turun di kedai kopi depan ya. Lu langsung balik aja. Gue bisa balik sendiri kok.”ujar Karin sambil tersenyum lebar.
“Lu mau ngopi dulu? Gue ngikut deh.”ujar Nuel ikut tersenyum. Senyum yang sering kali Karin sebut dengan, senyum-selebar-bahu.
“Lo gak mau pulang?”tanya Karin sambil menoleh pada laki-laki yang tengah berkonsentrasi pada jalan raya.
“Di rumah juga gue bingung mau ngapain.”jawabnya tak acuh.
Karin cuma manggut-manggut pelan, lalu mereka kembali direngkuh keheningan. Tak lama kemudian, mereka sudah duduk di dalam kedai kopi yang dimaksud Karin, menunggu pesanan kopi mereka sedang diseduh. Hujan diluar semakin parah. “Lo suka ke sini, Rin?”tanya Nuel ketika pelayan selesai mengantar pesanan.
“Ini tempat favorit gue kali, El. Bahkan, Elsa aja enggak tahu ini tempat.”jawab gadis itu sambil menghirup aroma kopinya. Kebiasaannya dari dulu setiap kali minum kopi. Nuel memperhatikan dengan seksama. 
Perasaan Karin mengatakan ada sesuatu yang mengganjal pada Nuel. Namun, laki-laki itu belum mengungkapkannya. Maka, sambil meraih cangkir kopinya, Karin membuka kalimatnya,“Dalam satu hubungan seharusnya enggak ada kata jenuh. Kalau udah ada kata jenuh, jenuh itu udah harus buru-buru dibuang.”gumam Karin dengan mata yang masih terpejam dan dengan hidung yang masih menghirup aroma kopi. Nuel menoleh ke arah Karin yang membuka kedua kelopak matanya dengan perlahan dan tersenyum.
“Kalau ada masalah, selesaikan. Jangan lari. Semakin lo lari, semakin itu masalah menghantui lo. Lo hidup di dunia ini juga udah kayak ikut judi. Tapi, judi lo yang kali ini emang udah dari alamnya.”tambah gadis itu, kali ini setelah menyesap sedikit demi sedikit cappuccino kesukaannya itu.
“Tapi, kalau ternyata jenuh itu muncul karena udah enggak ada kata cinta lagi?”tanya Nuel sambil menghangatkan telapak tangannya di atas cangkir kopi yang uap panasnya masih terasa.
Karin menanggapinya dengan senyuman. “Itu pertanyaan yang seharusnya ada jawabannya. Tapi, jawabannya bukan dari gue. Tapi, dari hati lo sendiri, El. Enggak selamanya jawaban dari semua pertanyaan lo ada diluar diri lo.”jawab gadis itu berdiplomatis.
Sampai kapanpun, Karin akan menyimpan perasaannya ini sendiri. Cukuplah ia sendiri yang tahu tentang rasa ini. Ia tidak ingin mengganggu orang lain hanya karena perasaan yang seharusnya tidak ada ini. Seperti, perasaan yang terlarang.
Mendengar jawaban Karin, Nuel terdiam dengan cangkir kopi yang berhenti di ujung bibirnya. Selamanya, Karin hanya akan menjadi bagian terluar dari hidup Nuel. Tidak termasuk dalam catatan penting.
Diam-diam Nuel tersenyum kecil.

Waktu terus berputar dan tidak pernah berhenti. Waktu tidak akan menunggu. Kita yang harus mengejar waktu itu atau mungkin mencoba berjalan bersisian dengannya. Saat Karin tengah asik memandang langit sore dari balkon rumahnya sebuah pesan masuk ke ponselnya. Lagi di tempat biasa, di kursi biasa, dengan kopi panas yang biasa. Karin tersenyum.
Diam-diam ia menikmati waktu mereka seperti ini. Meski hanya sebatas ini, jujur, Karin sudah merasa sangat cukup. Ia tidak berharap atau meminta lebih dari ini. Cukup dengan bisa berada dekat dengannya sudah sanggup membayar rindu yang terus menerus menyapanya disetiap hari.
“Gak ada apa-apa kan?”tanya Karin sambil mengambil cangkir kopinya yang belum lama diletakkan di hadapannya. Nuel menggeleng dengan senyum-selebar-bahu-nya itu. Karin hanya tersenyum dan menyesap kopinya. Ia pikir Nuel dan Elsa sedang terjadi sesuatu.
“Jangan bilang-bilang Elsa ya kalau kita ketemuan begini. Ngerti kan, Rin?”ujar Nuel.
Karin mengangguk dan tersenyum. “Iyalah gue ngerti kok El.”
Segalanya terjadi bukan tanpa sebab. Setiap ada asap, disitu selalu ada api.
Semua cerita mengalir begitu saja dari bibir mereka. Seperti channel tv yang bisa diganti-ganti terus-terusan. Dari satu topik ke topik yang lain. Kedai yang tadinya ramai mulai berangsur-angur sepi. Hingga hanya satu-dua orang yang masih asik dengan kopi dan topik atau bacaan mereka.

Senja disetiap harinya dilewati bersama, meski mereka berdiri di tempat yang berbeda. Hingga jika suatu saat mereka harus melewati senja seorang diri, rasa nikmatnya seperti berkurang. “Lo udah yakin, Rin?”tanya Elsa sambil tiduran di tempat tidur Karin.
“Yakin kok, Sa. Makin cepat, makin baik kan? Gue juga harus adaptasi sama keadaan disana.”ujar Karin sambil tersenyum lebar. Menunjukkan barisan giginya yang berbaris rapi.
“Tapi, ini kan terlalu cepet.”gerutu Elsa.
“Sa, Jakarta-Jogja bisa ditempuh dalam semalam kok sama kereta, atau bus. Malah cuma beberapa jam doang kalau pakai pesawat. Take it easy, oke? Gue enggak keluar negeri kok. I’ll be there when you need me.”ujar Karin, berhenti dari aktivitasnya dan duduk disamping Elsa.
“Bener ya?”tanya Elsa dengan wajah yang masih kusut.
Karin mengangguk mantap dan memeluk sahabatnya. Baginya, Elsa lebih penting dari apapun. Lebih penting dibanding perasaannya sendiri. Lebih baik ia membakar rasanya sendiri daripada harus merusak hubungan Elsa dan Nuel yang sudah berjalin cukup lama. Dilihat dari sudut pandang manapun, Karin hanyalah orang luar.

Lagi di senja yang seperti biasa. Angin pantai mengibaskan rambut panjang Karin. Gadis itu berjalan menyusuri bibir pantai sambil menenteng alas kakinya. Ombak-ombak kecil yang sampai di bibir pantai menggelitik jemarinya. Sesekali ia berhenti sebentar untuk memandang senja disampingnya. “Nanti masuk angin.”ujar seseorang. Tanpa perlu menoleh, Karin tahu siapa  pemilik suara itu.
“Engga apa-apa. Sekali-kali.”jawab Karin sambil terkekeh.
“Ada apa?”tanyanya to the point.
“Ini udah waktunya buat gue ucapin salam perpisahan ke lo, El. You should to be happy as you should to be. Gue nggak mau jadi batu sandungan buat lo. Jaga baik-baik kebahagian lo dan orang yang ada di dalamnya, sebelum lo menyesal nantinya. Gue udah ngerasain gimana menyesalnya. Dan gue engga mau orang terdekat gue juga ikut merasakannya. See you in another time, if we can.”ujar Karin disela-sela senyumnya.
Gadis itu tengah bersusah payah mengumpulkan kekuatannya supaya ia tidak menangis di hadapan laki-laki yang selalu hidup dalam hangatnya kopi dan lembutnya senja. “Terima kasih untuk keseluruhan waktu di senja dan kopinya.”tandas  Karin sambil membelakangi senja. Senja terakhir.
Setiap tempat, setiap keadaan memiliki cerita mereka sendiri. Namanya, kenangan.


Rasanya aneh menikmati sesuatu yang kita sudah terbiasa menikmatinya dengan seseorang harus kita nikmati sendirian. Tapi, namanya juga hidup. Berada di tempat yang baru pun kita  perlu adaptasi. Meninggalkan masa lalu pun butuh adaptasi yang tidak lama.
Karin menyesap kopinya sambil menonton senja yang perlahan-lahan mulai tenggelam. Kenangan-kenangan itu masih berputar-putar dalam otaknya. Kenangan yang berada dalam satu rol film dan rol film itulah yang terus-terusan diputar. Tidak ada rusaknya. Tidak aus.
Karin mengakui pada dirinya sendiri, setiap kali ia merindukan seorang itu.
Rindu itu biarlah tetap bersemayam di dalam sana dan hidup disana.
Sekarang jalan mereka sudah berbeda. Mereka sudah berpisah di persimpangan jalan. Mungkin jalan untuk kembali pun sudah tertutup belukar. Tapi, Karin bersyukur ia sempat memiliki hari dengannya. Meski ia hanya memiliki kenangan yang sangat sedikit, tapi baginya sudah cukup.
Mungkin saja laki-laki itu tahu, tapi ia beprura-pura tidak tahu.
Tapi, mungkin juga laki-laki itu memang tidak tahu. Karin berharap kemungkinan yang kedualah yang terjadi. Meski kemungkinan pertama memiliki kemungkinan yang sama besar dengan kemungkinan kedua.
Senja Nuel sudah berada disana, sudah bersamanya. Ia sudah berhasil menangkap senjanya.
Mungkin, senjaku berada disini.
Senjaku sedang menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar