A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 13 April 2013

Bayang.



Jingga sore ini berbungkuskan dengan bingkai putih.
Dapatkah kau melihatnya dengan jelas?
Jangan kau pejamkan matamu. Meski menyilaukan, tapi di balik itu ada sebuah keindahan yang tidak berbayar.
Perlahan-lahan bingkai itu mulai berpencar.
Mereka tidak lagi di tempatnya. Seperti hati ini yang mulai berpencar; sudah tidak bersatu di tempat yang seharusnya.
“Sampai kapan?” gumamku.
Selamanya mungkin hanya akan menjadi bayang-bayang.
Ku ayun-ayunkan kedua kakiku yang menggantung di dermaga, kembali memandang jingga yang berpendar yang sering kita sebut senja. Matahari sudah setengah tenggelam. Tapi, tidak ada niat untuk beranjak dari sini. Kau tahu kenapa? Disini, semuanya tentang kau. Aku memang seperti orang bodoh yang menunggu sesuatu yang tidak mungkin; tapi, nyatanya tetap aku lakukan.
Jingga itu indah.
Namun, tidak bisa digapai.
Juga, tidak bisa dimiliki seutuhnya.
Kau terwujud dalam jingga.
Jangan menunggu, ucapmu lewat sebuah pesan. Aku tidak menunggu. Aku hanya menikmati waktuku untuk mengecapmu melalui segala kenangan yang ada; kehangatan tanganmu yang layaknya barang langka untuk ku dapat; senyummu yang selebar perahu naga; tawamu yang renyah di indera pendengaranku. Entah sejak kapan, kau berubah menjadi canduku. Jika tidak kudapatkan, akan terasa menyakitkan. Dan sakit itu perlahan-lahan mulai menyebar. Sakit itu acapkali aku artikan dengan kerinduan yang tidak tersampaikan.
Satu kata itu begitu terdengar klise, tapi aku tidak bisa memberikan satu kata lain yang lebih indah untuk mewakili penjelasanku. Anggaplah hanya angin yang berbisik di telingamu, kalau begitu, sayang.
Kau berjalan di bawah jingga dengan matahari diufuk yang mulai kelelahan dan si putih yang berpendar sudah menunggu jam jaganya, kau akan melihat bayang. Bayang yang terkadang tidak pernah dianggap ada; bayang yang bahkan tidak pernah diharapkan ada. Mengapa? Karena bayang itu hanya semu dan terkadang menakutkan.
Terkadang aku hidup di dalam bayang itu.
Kemana kau melangkah, aku menguntit layaknya penguntit di belakangmu; seperti anak kecil yang menguntit hanya untuk sebuah permen. 
Selamanya, aku hanya akan berwujud dalam bayang yang hidup dalam kenangan masa lalumu yang sudah kau titipkan pada burung-burung yang melintas di atas kepalamu itu. Yang aku kenal dengan kata, melupakan. Namun, kau lebih mengenalnya dengan kata, melepaskan.
Selamanya, aku tidak akan pernah hidup dalam hidupmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar