Jingga sore
ini berbungkuskan dengan bingkai putih.
Dapatkah kau
melihatnya dengan jelas?
Jangan kau
pejamkan matamu. Meski menyilaukan, tapi di balik itu ada sebuah keindahan yang
tidak berbayar.
Perlahan-lahan
bingkai itu mulai berpencar.
Mereka
tidak lagi di tempatnya. Seperti hati ini yang mulai berpencar; sudah tidak
bersatu di tempat yang seharusnya.
“Sampai
kapan?” gumamku.
Selamanya
mungkin hanya akan menjadi bayang-bayang.
Ku
ayun-ayunkan kedua kakiku yang menggantung di dermaga, kembali memandang jingga
yang berpendar yang sering kita sebut senja. Matahari sudah setengah tenggelam.
Tapi, tidak ada niat untuk beranjak dari sini. Kau tahu kenapa? Disini,
semuanya tentang kau. Aku memang seperti orang bodoh yang menunggu sesuatu yang
tidak mungkin; tapi, nyatanya tetap aku lakukan.
Jingga itu
indah.
Namun, tidak
bisa digapai.
Juga, tidak
bisa dimiliki seutuhnya.
Kau
terwujud dalam jingga.
Jangan menunggu, ucapmu lewat sebuah pesan.
Aku tidak menunggu. Aku hanya menikmati waktuku untuk mengecapmu melalui segala
kenangan yang ada; kehangatan tanganmu yang layaknya barang langka untuk ku
dapat; senyummu yang selebar perahu naga; tawamu yang renyah di indera
pendengaranku. Entah sejak kapan, kau berubah menjadi canduku. Jika tidak kudapatkan,
akan terasa menyakitkan. Dan sakit itu perlahan-lahan mulai menyebar. Sakit itu
acapkali aku artikan dengan kerinduan yang tidak tersampaikan.
Satu kata
itu begitu terdengar klise, tapi aku tidak bisa memberikan satu kata lain yang
lebih indah untuk mewakili penjelasanku. Anggaplah hanya angin yang berbisik di
telingamu, kalau begitu, sayang.
Kau
berjalan di bawah jingga dengan matahari diufuk yang mulai kelelahan dan si
putih yang berpendar sudah menunggu jam jaganya, kau akan melihat bayang. Bayang
yang terkadang tidak pernah dianggap ada; bayang yang bahkan tidak pernah
diharapkan ada. Mengapa? Karena bayang itu hanya semu dan terkadang menakutkan.
Terkadang
aku hidup di dalam bayang itu.
Kemana kau
melangkah, aku menguntit layaknya penguntit di belakangmu; seperti anak kecil
yang menguntit hanya untuk sebuah permen.
Selamanya,
aku hanya akan berwujud dalam bayang yang hidup dalam kenangan masa lalumu yang
sudah kau titipkan pada burung-burung yang melintas di atas kepalamu itu. Yang
aku kenal dengan kata, melupakan. Namun, kau lebih mengenalnya dengan kata,
melepaskan.
Selamanya,
aku tidak akan pernah hidup dalam hidupmu.
∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar