A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 13 April 2013

Rindu yang Terjebak.


Perasaan dimana kamu begitu ingin bertemu dengannya; ingin memeluknya; ingin menggandeng tangannya; ingin menghirup wanginya; ingin berada di dekatnya; ingin bisa menatapnya berlama-lama; ingin bertukar kata dengannya; dan masih banyak keinginanmu untuknya. Terkadang semuanya itu sering kita artikan dengan merindukan.
Kamu pernah merasakannya?
Namun, tidak selamanya rindu itu bisa kamu ungkapkan, sayang.
Rindu yang mampir padaku, adalah satu dari rindu yang tidak terjelaskan; tidak tersampaikan. Rasanya begitu menyesakkan. Seperti paru-parumu yang tiba-tiba tidak bisa menghirup udara; begitu menyakitkan.

Bukankah menangis bersama hujan itu lebih baik? Setidaknya, aku tidak akan terlihat lemah saat itu; tidak akan terlihat cengeng ataupun minta dikasihani. Aku lebih senang terlihat seperti gadis remaja yang seperti tidak pernah merasakan masa kecil dengan bermain hujan. Sungguh, itu lebih baik daripada kamu harus melihatku bersedu sedan dan menerbitkan rasa kasihan dalam rasamu.
Sungguh, aku tidak memiliki kekuatan sekuat pohon beringin.
Hanyalah seorang gadis yang memiliki perasaan seperti kaca; bening dan mudah pecah jika salah sentuh.

Setiap pagi saat aku membuka mata dari tidur tidak tenangku yang ditemani oleh malam yang pekat, aku tersenyum karena aku masih bisa untuk bertemu denganmu.
Sarapan pagi yang aku santap adalah menunggumu untuk mengeluarkan barang sepatah kata, lalu kemudian menenggak harapan kosong sebagai pelengkapnya. 
Makan siang yang paling aku benci adalah tidak adanya kamu.
Saat tengah kupandangi tenda biru yang menaungi aku; juga kamu; juga dia; dan lainnya, kembali teringat olehku, bahwa ini adalah kesukaanmu. Kamu senang memandangi mereka yang menaungi kita, lihat langit sore ini. Indah. Ucapmu saat itu. Dan aku tersenyum. Lihat mereka yang bergerak berarak di birunya tenda ini pula. Terlihat tenang, indah. Itu kalimatku padamu. Entah kamu masih mengingatnya atau tidak. Dari hal terkecilmu, seperti sudah tersimpan dengan otomatis dalam laci ingatan yang lama-lama akan aku pindahkan ke laci momen-momen, yang aku sebut: kenanganmu.
Lalu, menjelang malam, aku menyantap makan malamku yang tidak ada jemu-jemunya kusantap, namanya adalah rindu.
Semuanya berputar seperti itu dari hari ke hari. Seperti seekor hamster yang berputar-putar dengan rodanya.
Aku sedang dalam masa beradaptasi. Bukan. Bukan dengan lingkungan baru; bukan dengan orang baru. Tapi, dengan rasa yang baru. Aku tengah beradaptasi dengan keadaan pula. Aku harus mulai membiasakan diriku tanpa dirimu, mulai menata perasaan ini; mulai mencoba untuk menyembunyikannya dan berusaha agar ia tidak muncul ke permukaan lagi. Seperti saat aku harus mempersiapkan diriku dikala penerangan ini perlahan-lahan mulai redup; ya seperti disaat kamu mulai menghilang perlahan-lahan, dengan berjalan pergi.
Ya, selamanya rindu ini hanya akan berdiam di dalam sana. Di dalam dada, lalu perlahan-lahan menggunung dan mulai menyesakkan dada, minta untuk disampaikan. Namun, kembali kutelan sesak itu. 
Meski aku berusaha agar tersampaikan, tapi sepertinya ia akan tersesat dan memilih untuk pulang padaku dan mengembalikan apa yang ia bawa beserta bunganya. Aku tahu, tidak seharusnya. Mengapa? Hatimu sudah bertuan, sayang.

Saat melihatmu tertawa, saat itulah mengapa aku menyebutmu sang jingga dalam diriku. Kamu mampu untuk menyebarkan hangatmu dikala dingin mulai merambati dinding-dinding rindu ini dan membungkusnya dengan rapih tanpa celah. Ya, meski tawa itu bukan milikku.
Aku pernah ingin membekukan sang jingga. Namun, sepertinya masih.
Sepertinya waktu sedang asik bermain sehingga ia tidak mau memberikan kesempatan untuk membekukannya. Ternyata sang jingga memang hanya bisa kusantap dikala ia datang dengan menggunakan  sepasang kaca cembung ini, lalu merelakan ia pergi dalam diam pada saatnya, sepertinya. Sehingga aku hanya membekukannya dalam memori otak ini.

Tetaplah menjadi jingga itu. Aku hanya akan menatapmu dari kejauhan. Aku tidak akan berusaha untuk menggapaimu untuk kusimpan sendiri. Karena kamu sama dengan udara. Bisa kurasakan, namun tidak bisa kugapai, apalagi untuk aku miliki. Sepertinya, perjalananku sebentar lagi akan sampai di penghujung jalan, karena sesungguhnya kamu tidak menciptakan jalan selanjutnya.

Perjalananku sudah selesai.
FIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar