Perasaan dimana kamu begitu ingin
bertemu dengannya; ingin memeluknya; ingin menggandeng tangannya; ingin
menghirup wanginya; ingin berada di dekatnya; ingin bisa menatapnya
berlama-lama; ingin bertukar kata dengannya; dan masih banyak keinginanmu
untuknya. Terkadang semuanya itu sering kita artikan dengan merindukan.
Kamu pernah merasakannya?
Namun, tidak selamanya rindu itu bisa
kamu ungkapkan, sayang.
Rindu yang mampir padaku, adalah satu
dari rindu yang tidak terjelaskan; tidak tersampaikan. Rasanya begitu
menyesakkan. Seperti paru-parumu yang tiba-tiba tidak bisa menghirup udara; begitu
menyakitkan.
Bukankah menangis bersama hujan itu
lebih baik? Setidaknya, aku tidak akan terlihat lemah saat itu; tidak akan
terlihat cengeng ataupun minta dikasihani. Aku lebih senang terlihat seperti
gadis remaja yang seperti tidak pernah merasakan masa kecil dengan bermain
hujan. Sungguh, itu lebih baik daripada kamu harus melihatku bersedu sedan dan
menerbitkan rasa kasihan dalam rasamu.
Sungguh, aku tidak memiliki kekuatan
sekuat pohon beringin.
Hanyalah seorang gadis yang memiliki
perasaan seperti kaca; bening dan mudah pecah jika salah sentuh.
Setiap pagi saat aku membuka mata
dari tidur tidak tenangku yang ditemani oleh malam yang pekat, aku tersenyum
karena aku masih bisa untuk bertemu denganmu.
Sarapan pagi yang aku santap adalah
menunggumu untuk mengeluarkan barang sepatah kata, lalu kemudian menenggak harapan
kosong sebagai pelengkapnya.
Makan siang yang paling aku benci
adalah tidak adanya kamu.
Saat tengah kupandangi tenda biru
yang menaungi aku; juga kamu; juga dia; dan lainnya, kembali teringat olehku,
bahwa ini adalah kesukaanmu. Kamu senang memandangi mereka yang menaungi kita, lihat langit sore ini. Indah. Ucapmu
saat itu. Dan aku tersenyum. Lihat mereka
yang bergerak berarak di birunya tenda ini pula. Terlihat tenang, indah. Itu
kalimatku padamu. Entah kamu masih mengingatnya atau tidak. Dari hal
terkecilmu, seperti sudah tersimpan dengan otomatis dalam laci ingatan yang
lama-lama akan aku pindahkan ke laci momen-momen, yang aku sebut: kenanganmu.
Lalu, menjelang malam, aku menyantap
makan malamku yang tidak ada jemu-jemunya kusantap, namanya adalah rindu.
Semuanya berputar seperti itu dari
hari ke hari. Seperti seekor hamster yang berputar-putar dengan rodanya.
Aku sedang dalam masa beradaptasi.
Bukan. Bukan dengan lingkungan baru; bukan dengan orang baru. Tapi, dengan rasa
yang baru. Aku tengah beradaptasi dengan keadaan pula. Aku harus mulai
membiasakan diriku tanpa dirimu, mulai menata perasaan ini; mulai mencoba untuk
menyembunyikannya dan berusaha agar ia tidak muncul ke permukaan lagi. Seperti
saat aku harus mempersiapkan diriku dikala penerangan ini perlahan-lahan mulai redup;
ya seperti disaat kamu mulai menghilang perlahan-lahan, dengan berjalan pergi.
Ya, selamanya rindu ini hanya akan
berdiam di dalam sana. Di dalam dada, lalu perlahan-lahan menggunung dan mulai
menyesakkan dada, minta untuk disampaikan. Namun, kembali kutelan sesak
itu.
Meski aku berusaha agar tersampaikan,
tapi sepertinya ia akan tersesat dan memilih untuk pulang padaku dan
mengembalikan apa yang ia bawa beserta bunganya. Aku tahu, tidak seharusnya. Mengapa?
Hatimu sudah bertuan, sayang.
Saat melihatmu tertawa, saat itulah
mengapa aku menyebutmu sang jingga dalam diriku. Kamu mampu untuk menyebarkan
hangatmu dikala dingin mulai merambati dinding-dinding rindu ini dan
membungkusnya dengan rapih tanpa celah. Ya, meski tawa itu bukan milikku.
Aku pernah ingin membekukan sang
jingga. Namun, sepertinya masih.
Sepertinya waktu sedang asik bermain
sehingga ia tidak mau memberikan kesempatan untuk membekukannya. Ternyata sang
jingga memang hanya bisa kusantap dikala ia datang dengan menggunakan sepasang kaca cembung
ini, lalu merelakan ia pergi dalam diam pada saatnya, sepertinya. Sehingga aku hanya membekukannya dalam memori otak ini.
Tetaplah menjadi jingga itu. Aku hanya
akan menatapmu dari kejauhan. Aku tidak akan berusaha untuk menggapaimu untuk
kusimpan sendiri. Karena kamu sama dengan udara. Bisa kurasakan, namun tidak
bisa kugapai, apalagi untuk aku miliki. Sepertinya, perjalananku sebentar lagi
akan sampai di penghujung jalan, karena sesungguhnya kamu tidak menciptakan
jalan selanjutnya.
Perjalananku sudah selesai.
FIN.
∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar