Perlahan-lahan,
bulir-bulir air mulai beradu untuk sampai di tanah lebih dahulu.
Kutengadahkan
salah satu telapak tanganku dan bulir-bulir itu berjatuhan di atas telapak
tangan yang mulai membeku. Kehangatannya telah dihisap dengan sangat perlahan
dan sembunyi-sembunyi oleh dingin dan meninggalkan jejak kebekuan di sela-sela
kehangatan yang mulai menipis.
Jari-jari
ini mulai berkerut, mungkin ia terlalu banyak merindu.
Bulir-bulir
itu berjatuhan di atas air yang tenang dan menimbulkan riak-riak kecil yang
lucu dan sangat disayangkan jika tidak dinikmati. Tidak ada niat olehku untuk
beranjak atau mencari perlindungan. Kamu, menyukainya. Diam di bawahnya. Tapi,
entah mengapa sekarang tidak lagi. Dan aku masih menyukainya. Tidak ada alasan
bagiku untuk berhenti.
Kilatan
mulai berpendar di atas kepalaku. Dan bunyi menyambar yang mulai menyapaku
dengan sinis.
Perlahan-lahan
bulir-bulir itu mulai turun dengan kecepatan tinggi, acapkali kita menyebutnya
dengan hujan. Sehingga, dengan berat hati aku meninggalkan tempatku duduk
dengan nyaman menanti jingga yang ternyata tak kunjung datang; kamu dan jingga
di ufuk, sebelum direngkuh oleh dingin yang membekukan.
Yang datang
hanya sebatalion air yang tumpah ruah tanpa bisa dibendung lagi.
Sungguh,
aku tidak berharap terlalu banyak dengan kedatanganmu.
Karena
sesungguhnya aku sudah mengetahui akhir dari semua ini.
Aku hanya
sedang merasakan kembali kenangan yang kembali hilir mudik di pikiran ini.
Seperti kopi; terkadang manis, terkadang pahit. Aku ingin membiarkan sebagian
dari rasa pahit itu mengalir dan mengikuti arus hingga ke ujung meander, dan
terkubur bersama dengan yang lain sehingga mereka membentuk delta. Meskipun,
masih akan ada yang menggenang di permukaan, yang tidak tersapu oleh arus dan mengalami
proses infiltrasi tanpa perkolasi.
Meskipun kamu
tidak lagi hidup di dalam kenyataanku, tapi bukankah kamu tetap hidup di dalam
kenanganku? Mungkin, bagimu semuanya hanyalah seperti sakura yang tumbuh dengan
proses yang begitu lama, namun berakhir dengan cepat. Semuanya hanya seperti
ilusi bagimu.
Tapi,
bagiku itu adalah kenyataan yang bermetamorfosis menjadi kenangan.
Mungkin
sudah saatnya bagiku untuk melepas sang merpati untuk kembali ke alam bebas.
Mungkin
sudah saatnya bagiku untuk melepas semua kenangan tentangmu; tentang kita untuk
kembali menyatu dengan udara dan kembali ke asal muasalnya yang tidak pernah
aku ketahui daerahnya.
Mungkin,
sudah saatnya aku melepasmu dari kenanganku yang selama ini selalu aku kunci dengan
rapat dengan ketakutan; dengan rantai kerinduan.
Aku
bukanlah sang penjaga waktu ataupun teman sang takdir yang bisa meminta untuk
mengganti rol filmku sendiri yang masih berputar. Si takdir sudah berkata
dengan lantangnya bahwa bukan dengan kamu.
Aku hanya
bisa menyampaikan harapanku yang sangat klise ini, berharap bahwa kamu bahagia
dengan siapapun nantinya yang bersama kamu, pada gemerisik dedaunan yang saling
saut-sautan di senja sore yang terbit ketika berganti jaga dengan hujan.
Hiduplah
dengan orang yang membuatmu tidak bisa hidup jika tidak dengannya.
Tidak akan
ada pelangi jika tidak didahului oleh sebuah hujan, bukan?
Aufwiedersehen.
∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar