A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 13 April 2013

Melepas.



Perlahan-lahan, bulir-bulir air mulai beradu untuk sampai di tanah lebih dahulu.
Kutengadahkan salah satu telapak tanganku dan bulir-bulir itu berjatuhan di atas telapak tangan yang mulai membeku. Kehangatannya telah dihisap dengan sangat perlahan dan sembunyi-sembunyi oleh dingin dan meninggalkan jejak kebekuan di sela-sela kehangatan yang mulai menipis.
Jari-jari ini mulai berkerut, mungkin ia terlalu banyak merindu.
Bulir-bulir itu berjatuhan di atas air yang tenang dan menimbulkan riak-riak kecil yang lucu dan sangat disayangkan jika tidak dinikmati. Tidak ada niat olehku untuk beranjak atau mencari perlindungan. Kamu, menyukainya. Diam di bawahnya. Tapi, entah mengapa sekarang tidak lagi. Dan aku masih menyukainya. Tidak ada alasan bagiku untuk berhenti.
Kilatan mulai berpendar di atas kepalaku. Dan bunyi menyambar yang mulai menyapaku dengan sinis.
Perlahan-lahan bulir-bulir itu mulai turun dengan kecepatan tinggi, acapkali kita menyebutnya dengan hujan. Sehingga, dengan berat hati aku meninggalkan tempatku duduk dengan nyaman menanti jingga yang ternyata tak kunjung datang; kamu dan jingga di ufuk, sebelum direngkuh oleh dingin yang membekukan.
Yang datang hanya sebatalion air yang tumpah ruah tanpa bisa dibendung lagi.
Sungguh, aku tidak berharap terlalu banyak dengan kedatanganmu.
Karena sesungguhnya aku sudah mengetahui akhir dari semua ini.
Aku hanya sedang merasakan kembali kenangan yang kembali hilir mudik di pikiran ini. Seperti kopi; terkadang manis, terkadang pahit. Aku ingin membiarkan sebagian dari rasa pahit itu mengalir dan mengikuti arus hingga ke ujung meander, dan terkubur bersama dengan yang lain sehingga mereka membentuk delta. Meskipun, masih akan ada yang menggenang di permukaan, yang tidak tersapu oleh arus dan mengalami proses infiltrasi tanpa perkolasi.
Meskipun kamu tidak lagi hidup di dalam kenyataanku, tapi bukankah kamu tetap hidup di dalam kenanganku? Mungkin, bagimu semuanya hanyalah seperti sakura yang tumbuh dengan proses yang begitu lama, namun berakhir dengan cepat. Semuanya hanya seperti ilusi bagimu.
Tapi, bagiku itu adalah kenyataan yang bermetamorfosis menjadi kenangan.
Mungkin sudah saatnya bagiku untuk melepas sang merpati untuk kembali ke alam bebas.
Mungkin sudah saatnya bagiku untuk melepas semua kenangan tentangmu; tentang kita untuk kembali menyatu dengan udara dan kembali ke asal muasalnya yang tidak pernah aku ketahui daerahnya.
Mungkin, sudah saatnya aku melepasmu dari kenanganku yang selama ini selalu aku kunci dengan rapat dengan ketakutan; dengan rantai kerinduan.
Aku bukanlah sang penjaga waktu ataupun teman sang takdir yang bisa meminta untuk mengganti rol filmku sendiri yang masih berputar. Si takdir sudah berkata dengan lantangnya bahwa bukan dengan kamu.
Aku hanya bisa menyampaikan harapanku yang sangat klise ini, berharap bahwa kamu bahagia dengan siapapun nantinya yang bersama kamu, pada gemerisik dedaunan yang saling saut-sautan di senja sore yang terbit ketika berganti jaga dengan hujan.
Hiduplah dengan orang yang membuatmu tidak bisa hidup jika tidak dengannya.
Tidak akan ada pelangi jika tidak didahului oleh sebuah hujan, bukan? 
Aufwiedersehen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar