“Jangan termangu di depan sana. Tidak baik berdiri diam di
depan pintu.”celotehnya sambil memutar kepalanya dan menatapku dari balik
bahunya yang berlapiskan kain putih lembut. Ya, ia menyukai apapun yang
berwarna putih. Baginya warna putih itu lembut, seperti dirinya. Berperangai
yang lembut.
Aku langkahkan kakiku masuk. Dari luar hanya terlihat
seperti ruangan biasa.
Tapi, entah bagaimana saat kujejakkan kedua kaki ini
melewati ambang pintu yang sedari tadi aku diami itu, ruangan itu
bertransformasi menjadi sebuah padang bunga. Mengherankan. Tapi, ia, perempuan
itu masih duduk di tempat yang sama. Tidak ada perubahan. Ia masih
memunggungiku dengan sikap seperti menunggu aku menghampirinya.
Kudekati ia dan duduk disampingnya, ditempat yang masih
kosong.
“Sudah berapa lama kita berpisah?”tanya perempuan itu.
Kepalaku secara otomatis berputar ke arahnya dan mengkerutkan keningku dengan
heran, mungkin jika aku kertas, wajahku sudah penuh dengan tanda tanya.
“Maksudmu? Bukannya kita selama ini selalu bersama?”tanyaku
langsung. Dari samping aku bisa melihatnya tersenyum.
“Tidak. Selama ini kita terpisah. Ah, bukankah seharusnya
seperti itu? Aku harus melepaskanmu. Ada hal lebih baik diluar sana yang sudah
menungguimu. Jangan kau tunggui aku lagi.”jawabnya sambil menoleh dengan
perlahan ke arahku dan tersenyum.
Senyum yang setiap pagi mampu membuatku terbangun dan
merindukannya.
“Tidak. Kau jangan melantur. Bukannya selama ini baik-baik
saja?” Kugenggam jemarinya yang dingin. Mungkin, karena tanganku yang terlalu
panas baginya.
“Jangan dipaksakan. Segalanya yang kau paksakan tidak akan
berhasil baik. Tenang saja, jika sudah waktunya, kita akan bertemu. Saat itu
aku sudah melihatmu bahagia, dan aku sudah bisa untuk mengucapkan salam
perpisahan.”katanya sambil mengusap tanganku yang sedang menggenggam tangannya
yang lain.
Saat aku hendak menjawabnya, tiba-tiba aku terjatuh dari
tempat dudukku dan aku berteriak seperti orang kesetanan dengan dua bola
mataku yang menatapnya berdiri dipinggir jurang tempat aku terjatuh dengan
wajah yang tidak bisa aku gambarkan.
Aku terbangun dari tidurku di subuh hari dengan
terengah-engah, seperti orang yang baru menyelesaikan marathon. Peluh
membanjiri sekujur tubuhku, padahal pendingin ruangan dalam keadaan menyala.
Masih mimpi yang sama dari yang kemarin-kemarin. Aku sendiri bingung, padahal
kemarin aku sudah dipertemukan dengannya. Lalu, sekarang apa lagi? Perasaan
heran itu masih berkecamuk dan menimbulkan akibat yang cukup menyebalkan. Ya,
aku tidak bisa tidur kembali.
Kulangkahkan kakiku menuju pantri untuk menyeduh kopi. Biar
sekalian saja aku terjaga hingga pagi. Sambil mengaduk kopi dalam cangkir,
pikiranku mulai melalang buana. Mengorek apa saja yang bisa dikorek saat ini.
Buru-buru kutinggalkan kopiku di atas meja pantri dan
berjalan dengan terburu-buru ke kamar mandi, mencari celana yang aku gunakan
tadi. Tanganku merogoh-rogoh saku celana, mencari sesuatu. Seperti sedang
merogoh kenangan dalam ingatan yang sudah tertimbun dengan yang lainnya. Harus
dicari terus jika ingin menemukan apa yang dicari.
Ujung jariku menyentuh sebuah kertas. Lantas langsung
kutarik secarik kertas tersebut. Ya, aku mencari note yang tadi diberikan
pelayan kafe dari perempuan yang menjadi pemeran utama dalam cerita mimpiku.
Ia menulis di atas secarik kertas yang dirobek
terburu-buru. Terlihat dari pinggiran sobekan yang tidak rapih. Seingatku, ia
adalah perempuan yang perfeksionis, menuntut segala hal yang ia lakukan selalu
rapih, bersih, dan tertata. Tapi, nyatanya hati dan perasaannya juga hati dan
perasaan orang lain tidak bisa ia buat tertata. Mungkin, kali ini semuanya di
bawah kontrolnya.
“Dia tinggal disekitar sinikah?”gumamku sambil menelaah
kertas sobekan tersebut.
Mataku menangkap sebuah lambang diujung kertas sobekan.
“Rasanya aku pernah melihatnya. Tapi, dimana?”gerutuku
dengan sebal.
Akibat kecelakaan waktu itu, banyak hal yang tertidur dan
tak kunjung bangun.
Bahkan, perihal kenangan pun, masih banyak yang tertidur
lelap. Tidak ada satu pun yang bersedia untuk membangunkan yang lainnya.
Rasanya terlalu menyiksa tidak bisa mengingat kenangan, karena semua kenangan
yang aku miliki aku sendiri yang ciptakan. Begitupun denganmu. Kenanganmu,
kamulah yang ciptakan. Tergantung dengan siapa kamu rangkai.
Ya akibat kecelakaan itu, sebab keteledoranku setelah
pulang dari acara adu mulutku dengan ia. Yang aku ingat sebelum kecelakaan yang
berakibatkan aku melupakan apa yang sudah terjadi adalah aku masih ingin
bertemu dengannya, untuk mengembalikan semuanya ke semula. Meski tidak akan
sama nantinya. Tapi, awan pun tidak akan pernah sama bentuknya disetiap
menitnya, bukan? Lalu, seketika pandanganku gelap. Ternyata bukan hanya
pandanganku yang gelap, tapi kenanganku yang telah aku bangun selama ini
dengannya ikut masuk dalam kegelapan yang aku alami itu, menyebabkan mereka
hilang ditelan oleh kepekatan.
Kertas tersebut aku jepit di penjepit kertas memo yang
berada di atas nakas disamping sofa untuk menonton tv. Aku kembali menemui
kopiku yang masih menunggu di pantri. Menunggu untuk dijemput dan dipanaskan
kembali, seperti mesin mobil saja.
Ah, kenangan kita juga seperti itu bukan? Jika terlalu lama
didiamkan, ia akan dingin. Sehingga kamu butuh untuk memanaskannya, dengan
mengingatnya kembali. Bukan, bukan untuk dijadikan alasan untuk
bersungut-sungut perihal kenangan itu sendiri. Jadikan ia temanmu, jangan
bermusuhan dengannya. Tidak baik. Biar bagaimanapun kenangan itu yang membuatmu
tetap hidup sebagai manusia yang hangat dan terlihat memiliki jiwa. Sakit hati
itu obat pencuci mulutnya. Terserah kamu mau mengambilnya atau tidak. Tapi, ia
tetap akan ada.
Entah angin apa yang membawaku kemari, kembali duduk di
dalam kafe ini dengan jemari yang menggenggam pegangan cangkir kopi. Ah,
lama-lama aku menjadi pencandu kafein. Setidaknya dampaknya sama jika kamu
menjadi canduku. Lama-kelamaan aku akan mendapatkan penyakit.
Mungkin jika aku kembali ke sini, aku bisa bertemu
dengannya, sang perempuan dalam mimpi. Mungkin. Aku tidak bisa menyebut namanya
karena aku sendiri tidak tahu namanya. Bodoh bukan?
Pelayan kemarin yang memberikan note padaku, lewat
disampingku. Sekembalinya dari mengantar pesanan, kupanggil ia. “Wanita kemarin
yang memberimu note, apakah kamu melihatnya pergi ke arah mana?”tanyaku.
Pelayan itu menggeleng dengan sopan. “Maaf, saya tidak memperhatikannya.
Setelah saya menerimanya, ia meminta saya untuk buru-buru menyerahkan pada
Anda.”jawabnya.
“Ia menemuimu dimana?”tanyaku lagi. Sungguh, aku penasaran
sekali dengan wanita itu.
“Saat saya sedang membuang sampah.”jawabnya lagi. Lalu, aku
menganggukkan kepala.
“Terima kasih.”balasku disertai dengan senyuman. Pelayan
itu pun berlalu dari mejaku. Ah sungguh menyebalkan bukan mengetahui hal yang
tidak jelas bentuknya? Aku seperti berada di area abu-abu.
Kuputuskan untuk menghabiskan kopiku hingga habis dan
meninggalkan duit pembayaran beserta billnya
diatas meja dan keluar dari kafe. Pulang.
Seseorang mengetuk pintu dengan pelan. Aku mengintip siapa
ia dari lubang di pintu, lalu membukanya. “Ada apa?” Wanitaku datang
mengunjungiku siang ini sambil membawa bekal. Ia suka sekali memasak. Jika ia
menemukan masakan baru, ia akan menyuruhku untuk mencobanya lebih dahulu.
“Kamu menemukan resep baru?”candaku sambil duduk di bangku
di ruang makan. Menunggunya sedang membuka bekal yang ia bawa.
Ia terkekeh dengan malu-malu. “Tidak. Kali ini aku memang
sengaja memasak makan siang untukmu. Belakangan ini, kafein selalu
menemanimu.”ujarnya seraya meletakkan bekal di hadapan dua lengan yang aku lipat
dengan rapih di atas meja makan seperti anak TK yang menunggu bekalnya
diturunkan.
Aku menerimanya dengan senang hati. Siapa yang tidak senang
mendapat makanan enak secara gratis? Semua orang. Tapi, siapa yang senang jika
ia harus mendapatkan sakit hati dari orang yang ia sayangi? Tidak ada satu pun.
Aku sendiri tidak memiliki kuasa untuk menolak rasa tersebut.
Saat aku sedang mengunyah ayam dengan riang, untungnya
bukan mengunyah sakit hati dengan riang, wanitaku berseru dari seberang ruang,
menyebutkan sebuah nama tempat. Aku curiga ia melihat note yang aku jepit di
penjepit kertas memo. Keberuntungan sedang menyertaiku, karena aku tidak
tersedak ayam. Hanya saja aku tersedak oleh kenyataan.
Baiklah, sudah kuputuskan aku akan segera menemuinya.
Menemui kenanganku. Manis ataupun pahit, tetap akan aku temui. Biar
bagaimanapun itu sudah seperti tanggung jawabku bukan? Didalamnya aku sempat
hidup. Aku seorang laki-laki dan aku dilahirkan untuk bertanggung jawab pada
apapun yang aku putuskan. Apapun putusan yang aku buat akan selalu mengandung
resiko, dan aku harus menerimanya bukan?
Aku pura-pura tidak mendengar seruannya dan melanjutkan
acara makanku yang tersendat, hanya saja kali ini pikiranku tidak ikut makan.
Ia sedang sibuk berpikir. Ah biarlah.
Aku tahu ia membaca note itu. Tapi, ia tidak
mempermasalahkannya. Itulah wanitaku. Ia akan menunggu hingga aku yang
menceritakannya, dan untungnya lagi, ia tidak pernah menuduhku macam-macam. Ia
memberikan seluruh kepercayaannya padaku. Dan aku sudah berjanji pada diriku
sendiri untuk tidak merusak ataupun melubangi kepercayaannya yang berbentuk
utuh dan tanpa putus layaknya sebuah lingkaran.
Aku terjaga hingga subuh. Posisiku masih sama. Duduk dengan
nyaman diatas sofa baca dan menikmati angin malam yang berhembus dari luar
dengan pikiran yang meloncat-loncat kesana kemari, menari-nari mencari
penggalan-penggalan kenangan yang bersembunyi. Kubiarkan untuk sejenak jiwaku
tidak berada di tempat. Ia tahu jalan pulang, ia tidak akan tersesat. Aku
percaya.
Matahari masih mengintip malu-malu di balik awan.
Aku berjalan keluar sambil memasukkan tanganku ke dalam
saku, menikmati udara pagi yang masih segar dan terasa sejuk. Tapi, pikiran ini
tak kunjung segar ataupun sejuk akan kenangan. Rasanya aneh jika pikiran tanpa
kenangan. Bukan kenanganku dengan wanitaku. Tapi kenangan tentangku dan
perempuan dalam mimpi.
Waktu terus bergerak maju. Terkadang kita tidak bergerak
maju bukan?
Terkadang kita bergerak mundur, menemui kenangan masa
lalumu. Ada yang sebagian tidak harusnya ditemui, tapi kamu temui. Ada yang
sebagian harusnya kamu temui, tidak kamu temui. Kadang kita sering melawan
takdir, melawan apa yang seharusnya memang kita lakukan. Kadang aku menghindar
dari kenangan, hanya supaya aku tidak bertemu dengan pahitnya sakit hati,
layaknya pecundang. Tapi, ternyata hidupnya seperti penguntit juga karma. Ia
selalu hidup dalam lingkaranku. Ia tidak akan kemana-mana. Ia hanya menunggu
waktu yang tepat untuk bertandang.
Ada saatnya kita akan bertemu dengan masa lalu, untuk menyelesaikan
apa yang seharusnya sudah selesai. Aku mengetuk pintu rumah yang terbuat dari
kayu mahoni, yang berdiri menjulang diatas kepalaku. Entah diketukan keberapa
kali pintu tersebut berderak terbuka dan melahirkan seorang ibu yang sudah
renta, namun wajahnya masih cerah, seperti belum termakan usia.
Ia bertanya dari balik kacamatanya yang merosot hingga ke
pangkal hidungnya,”Ada apa, anak muda? Pagi-pagi seperti ini sudah berkunjung,
sepertinya ada hal penting.”ujarnya dengan ramah seraya mempersilahkanku masuk
ke dalam rumahnya dengan lantai yang terbuat dari kayu pula. Terasa nyaman dan
hangat berada di dalam sini .
Ia menyeduhkanku secangkir teh melati hangat.
“Minum dulu teh hangatnya. Sekaligus hangatkan hatimu, anak
muda.”ujarnya lagi lalu duduk di sofa diseberang tempatku duduk, sambil
memangku kedua lengannya yang sudah lemah di kedua lengan sofa, lalu kembali
menatapku yang sedang menyesap teh melati buatannya.
“Kau mau kue kering?”tanyanya, setelah aku meletakkan
gelasku.
Aku mengangguk heran. Kenapa
ia selalu berbicara lebih dahulu sebelum aku? Bahkan aku belum mengucapkan
salam padanya sedari tadi,pikirku dengan heran. Tak lama setelah aku
mengangguk, ia meletakkan sekeranjang kue kering yang tertata rapih di dalam
toples kaca yang transparan.
Sebelum menyesap teh miliknya, ia berkata,“Kalau sudah
selesai, mari ikut aku, anak muda. Aku punya sesuatu yang mau aku tunjukan
padamu.”ajaknya. kembali aku dibuat heran olehnya. Aku tidak salah mengetuk pintu
rumah kan? Beliau sukses
membuatku keheranan sepanjang pagi berembun ini.
Teh melatiku yang sisa setengah cangkir sudah kutinggalkan
untuk mengikuti langkah Beliau yang sudah bangkit lebih dahulu dari sofanya dan
berjalan dengan tertatih-tatih. Jiwa laki-lakiku pun terdorong untuk
membantunya berjalan. Kuraih tangannya yang ringkih dan lemah dimakan zaman itu
dan membantunya berjalan, meski ditangannya yang satu lagi, ada yang tongkat
yang menemaninya. Tapi, tongkat itu tidak bisa membantunya saat terjatuh bukan?
Aku menuntunnya yang sedang menuntunku juga.
Ia mengajakku melewati taman. Taman? Taman ini sama dengan
yang ada di mimpiku! Bahkan tempat duduk yang perempuan itu duduki di dalam
mimpiku juga sama. Tempat duduk yang hanya terbuat dari batang pohon yang mulai
lapuk dimakan usia. Tapi, saat dimimpi, batang pohon terlihat segar. Tapi,
sayangnya tidak sesegar ingatanku ini.
Saat pikiranku setengah melayang, setengah mengambang,
wanita renta yang aku tuntun, berhenti berjalan. Aku pun ikut berhenti
berjalan. “Sudah sampai.”gumamnya sambil membenarkan letak topi rajutnya. Sejak
kapan ia mengenakan topi itu? aku sendiri tidak sadar. Mataku menatap
sekeliling.
“Pemakaman?”tanyaku bingung. Lalu, aku seperti dihantam
oleh berjuta-juta bom kenyataan. Pikiranku mulai melantur tidak baik, segala
macam pikiran tidak baik itu pun mulai menertawaiku dengan sinis. Wanita renta
itu mengangguk dengan pelan. Lalu membuka pagar kayu pendek yang hanya sebatas
pinggang orang dewasa.
Beliau mempersilahkanku untuk masuk lebih dahulu, tentu
saja, aku laki-laki yang dididik keras tentang tata krama, menolaknya dan
mempersilahkannya untuk masuk lebih dahulu. Ia terkekeh pelan, lalu berjalan
masuk ke dalam area pemakaman itu. Mungkin, ia tengah mengajakku untuk
mengunjungi sebentar suaminya yang sudah lebih dahulu tidur nyenyak disini. Ya,
sepertinya begitu.
Hanya beberapa meter dari pagar tersebut berdiri sebuah
pemakaman klasik. Pemakaman yang kulihat tidak seperti pemakaman pada umumnya.
Makam itu dibuat dari tumpukan-tumpukan jerami yang tinggi, bahkan hampir
melewati kepalaku, dengan nisan yang berbentuk seperti kepala tempat tidur. Dan
ya, memang bentuk makam ini seperti tempat tidur. Di kedua sisinya, terdapat
tangga dari semen juga di hadapanku saat ini yang menyatu dengan meja
persembahan yang diatasnya ada buah-buah segar dan dupa yang masih mengeluarkan
asap. Aku bisa melihat diatas tumpukan jerami itu ada beberapa karangan bunga.
Tiba-tiba beliau yang tadinya berdiri disampingku kini
berdiri tidak jauh dibelakangku. Ia mempersilahkanku untuk naik. Kutapaki 4
anak tangga batu itu. begitu sampai, kudongakkan kepalaku dan menatap wajah
yang berada di batu nisan itu.
Mendadak aku merasa tangga batu ini hancur.
Dan ternyata bukan tangga batu itu. Tapi, aku.
Aku yang dihantam oleh kenyataan yang memilukan yang sedang
dalam perjalanan menjadi pecahan kaca.
Aku terlambat. Ya, aku terlambat.
Kutumpukan kedua telapak tanganku di atas tumpukkan jerami
itu.
Berusaha untuk menghisap seluruh udara yang bisa aku aku
hisap untuk memenuhi rongga paru-paruku yang tiba-tiba berubah menjadi ruang
hampa udara.
Seluruh kosakata yang aku punya tiba-tiba menguap, ditiup
oleh udara. Lidahku sudah mati kelu karena kenyataan yang tengah sibuk
menertawaiku dengan bahagia.
“Anak muda, sakura mulai rontok.” Mataku melihat
sekeliling. Sakura? Aku tidak sedang di Jepang kan? Keningku berkerut dengan
heran melihat sekelilingku yang penuh dengan bunga-bunga sakura yang mulai
merontokkan diri dari tubuhnya sendiri.
Aku akan kembali mengunjungimu.
“Kau sudah cukup lama di Jepang, anak muda. Dan kau tidak
menyadarinya sama sekali?” Aku memang berada di Jepang?
“Sudah waktunya pulang.”ujarnya sambil berjalan mendekatiku
yang masih berada di puncak tangga batu.
“Istirahatlah.”gumamku pada perempuan dalam mimpiku yang
kini sudah tertidur lelap, ditemani sakura.
Aku diajak oleh beliau untuk duduk di bangku taman, tidak
jauh dari makamnya. Dan bangku taman itu memang sengaja diletakkan menghadap ke
arah makam.
“Sebelum ia benar-benar pergi setelah sekian lama aku hidup
untuk menjaganya, aku dititipkan ini untukmu. Tenang saja, sakura yang akan
menemaninya. Anak muda, tidak ada yang bersifat abadi di dunia ini.
Lanjutkanlah hidupmu. Selamat jalan dan berhati-hatilah, kau tidak akan tahu
apa yang akan menghampirimu dipersimpangan jalan.”ujar ibu bertopi rajut itu
sambil menyerahkan sebuah amplop surat seraya bangkit berdiri dan berjalan dengan
tertatih-tatih meski punggungnya belum terlalu merunduk, menuju pagar.
Ia berjalan perlahan-lahan menjauh dariku.
Aku menatap amplop ditanganku.
Terima kasih sudah datang berkunjung untuk terakhir kalinya.
Aku mohon, lanjutkan hidupmu diluar bayang-bayangku.
Jalanmu masih panjang. Jalanku sudah selesai. Aku sudah bertemu dengan ujung
jalanku. Maaf, aku tidak sempat mengucapkan apa yang seharusnya aku ucapkan.
Aku tidak akan datang lagi.
Aku titipkan sesuatu dariku yang bersifat selamanya. Aku
tahu kamu bisa menjaganya, aku percaya padamu.
Kau tahu bukan aku mencintai sakura? Sakura itu ciri
kehidupan kita yang tidak abadi. Aku sudah berjuang sejauh ini, dan ini akhir
dari perjuanganku. Aku datang bersamanya, aku pun pulang bersamanya, meski
sudah keberapa kali sakura hidup dan mati.
Terima kasih dan selamat jalan.
Tanganku gemetaran saat memegang lembaran tersebut.
Aku kembali teringat dibagian perutku terdapat bekas jahit. “Kau harusnya merasa beruntung, kau
mendapat satu ginjal yang pas dan dengan cepat dari seorang pendonor. Ya, kau
beruntung mendapatkan kesempatan hidup yang kedua.” Aku teringat kalimat
dokter saat aku datang untuk check-up kesehatanku setelah kecelakaan. Ya
Tuhan.
“Ya, aku akan menjaganya.”bisikku. biarlah hanya sakura
yang tengah rontok yang mendengarnya.
Aku pun mulai meninggalkan masa laluku.
Ya sekarang aku tahu sisa dari puzzle yang hilang, ia
perempuan yang dulu hidup denganku. Lalu, ia merelakan aku untuk pergi untuk
mengejar karierku, meski sudah berakhir namun aku masih memaksakan kehendakku
untuk kembali, lalu akhirnya harus berakhir dengan acara adu mulut dan diakhiri
dengan kecelakaan yang membuatku seperti orang bodoh tanpa kenangan, setelah sekian
lama yang aku sendiri tidak bisa hitung.
Aku diberikan penggantimu.
“Terima kasih dan selamat jalan.”lanjutku seraya bangkit
dari tempat dudukku.
Memandang kejauhan, ke arah makam yang mulai disinari oleh
matahari yang berpendar dengan sulur-sulur bercahaya oranye miliknya. Lalu,
setelah aku cukup lama membungkukkan tubuhku, memberikan penghormatan terakhir
padanya, aku pun berjalan pulang ke masa depan yang sudah menungguku.
Fin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar