A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Rabu, 27 Maret 2013

Jingga yang Dibiaskan


Sebelum terlalu banyak hati yang rusak, pulanglah. Biarlah hanya aku saja yang merasakannya. Tapi, jangan dengan dia. Meskipun, jingga ini terlalu indah untuk aku nikmati sendiri. Sudah terlalu banyak jingga yang aku lewati denganmu. Hingga saat melewati satu jingga tanpamu rasanya seperti gula yang tidak lagi manis.
Sayup-sayup angin berdesir disekeliling telingaku. Aku tolehkan kepalaku ke segala arah mencari tanda-tanda kedatanganmu. Yang aku temukan hanya pohon-pohon yang melambai dari kejauhan; angin yang kosong. Entah mengapa jingga hari ini terasa redup. Mungkinkah karena tidak ada pembangkitnya yang tengah terlelap?
Sebuah dering membuyarkan lamunanku yang tengah menengadah ke atas. Jingga hari ini redup, ujarmu. Diam-diam seulas senyum berhasil menyusup. Entah bagaimana caramu, tapi kamu selalu bisa membaca perasaan dan pikiranku. Apakah batok ini terlalu bening hingga kamu bisa membacanya? Jemariku menari diatas tombol-tombol. Mungkin karena ia tidak berteman,jawabku. 
Hatimu; perasaanmu tengah terbagi dua.
Seharusnya aku hanyalah orang yang berada diluar lingkaranmu. Seharusnya aku menyuruhmu pulang. Hanya saja aku belum berani untuk menyuruhmu pulang. Kembali terdengar dering lembut, temannya sedang memandang dari kejauhan,jawabnya melalui pesan.
Aku dongakkan kepalaku dan bertanya dalam diam, jingga, apakah semua ini benar? Kamu terlalu indah untuk kunikmati sendiriAku tarikan kembali jemari lemah ini, pulanglah. Ia masih akan cukup lama. Entah ia mengerti atau tidak. Tapi, kuharap, ya.
Berapa lama? Balasmu lagi. Aku menghela nafas.
Hingga ia menghilang di ufuk. Atau mungkin hingga ia tidak pernah kembali,jawabku. Ia mengerti. Inilah kesukaan kamu. Menatap jingga di atas langit sambil tersenyum. Dan diam-diam aku akan memperhatikan senyum itu. senyum sehangat jingga.
Hanya satu kalimat yang membuatku terkesiap darimu, dari orang yang sanggup membuat jantung ini memompa darah melebihi kemampuannya, kembalilahMenahan bulir-bulir agar tidak lepas kontrol.
Kugandeng dua alas kaki di antara jemari. Berjalan di atas kelemebutan pasir dan dibawah tenda biru, diikuti bayang-bayang pekat, meninggalkan jejak semu di pasir yang lembab. Rambutku kembali terkibar karena angin sejuk. Tapi, rasa sejuk ini tidak sanggup untuk menyusup masuk hingga ke dalam.
Sejujurnya, aku hanya ingin semuanya bertahan seperti ini.
Tapi, aku tidak mau ada yang terluka. Lagi.
Kamu harus memilih pada akhirnya. Dan hati ini sudah berbicara, alarm itu sudah berdering, tapi kuabaikan bak ia tak pernah berdering. Meski terbalik, aku tetap kan mendorongmu kembali padanya. Bagaimanapun, aku tidak memiliki hak. 
Di atas kepalaku, jingga masih menghantui. Menciptakan bayang-bayang semu yang pilu.
Kamu tahu bagaimana rasanya menunggu. Aku menunggu ditemani seorang jingga yang bisa pergi tanpa sepengetahuanku.
Mengecap segala rasa dan membekukannya dengan waktu. Menikmati rindu ini seorang diri hingga menyesap hingga ke relung-relung nadi. Aku hanya membisikan rindu ini pada jingga hari ini. Berharap jingga hari ini menyampaikannya padamu, entah kapan itu. mungkin saat aku tak lagi menatap jingga; mungkin saat aku dan kamu menatap jingga ini bersama kembali; mungkin saat aku dan kamu menatap jingga ini dengan waktu yang berbeda, dengan orang yang berdiri disamping yang berbeda; dengan senyum yang berbeda dan rengkungan hangat yang berbeda.
Laut tidak berubah; angin kan tetap tak pernah terlihat; air kan tetap sejernih kristal. Hanya, kita yang berubah; pergi dan kembali dalam waktu yang tidak terdefenisikan.
Lalu aku menitipkan rindu ini pada angin lalu, berharap rindu ini akan sampai dihantarkan oleh kepekatan waktu yang terus bergerak seiring angin yang berhembus oleh sang waktu. Ingin menyusupkan kedua tangan lemah ini di antara sela-sela kehangatan dan menitipkan segala rasa yang terasa. 
Kukedipkan dua mataku dan berhenti sejenak. Awan-awan bergerak beriring bak sekelompok burung yang bermigrasi lewat di depan pelupuk mata yang lemah termakan waktu.
Mungkin jawaban itu tengah terjebak kemacetan dan kesemrawutan ibu kota yang menyakitkan. Mungkin, jawaban itu sebentar lagi akan terjawab. Mungkin, sebentar lagi semuanya hanya akan menjadi abu yang ditiup angin. Tidak berbekas. Tidak terjawab. Tidak sampai.
Nantinya, aku hanya akan menjadi seberkas bayang dari masa lalu itu, masa lalu kamu. Terima kasih sudah mengisi tiap lembar kenangan ini dengan caramu sendiri. Kamu adalah pemilik dari setiap 60 detik kebahagian yang tidak ingin aku sia-siakan. Kamu tahu yang sesungguhnya.
Jika, waktu dan takdir berteman, mungkin mereka akan mempertemukan aku dan kamu kembali. Jika tidak, aku akan mengingatmu yang akan selalu hidup di dalam jingga di atas langit yang dibiaskan oleh surya bersama kapas putih yang lembut yang terus bergerak beriring bak jam waktu; tiada henti.

Sesungguhnya, kamu adalah duniaku yang tak terhingga ∞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar