Sebelum terlalu banyak hati yang
rusak, pulanglah. Biarlah hanya aku saja yang merasakannya. Tapi, jangan dengan
dia. Meskipun, jingga ini terlalu indah untuk aku nikmati sendiri. Sudah
terlalu banyak jingga yang aku lewati denganmu. Hingga saat melewati satu
jingga tanpamu rasanya seperti gula yang tidak lagi manis.
Sayup-sayup angin berdesir
disekeliling telingaku. Aku tolehkan kepalaku ke segala arah mencari
tanda-tanda kedatanganmu. Yang aku temukan hanya pohon-pohon yang melambai dari
kejauhan; angin yang kosong. Entah mengapa jingga hari ini terasa redup. Mungkinkah
karena tidak ada pembangkitnya yang tengah terlelap?
Sebuah dering membuyarkan
lamunanku yang tengah menengadah ke atas. Jingga hari ini redup, ujarmu. Diam-diam seulas senyum berhasil menyusup. Entah
bagaimana caramu, tapi kamu selalu bisa membaca perasaan dan pikiranku. Apakah
batok ini terlalu bening hingga kamu bisa membacanya? Jemariku menari diatas
tombol-tombol. Mungkin
karena ia tidak berteman,jawabku.
Hatimu; perasaanmu tengah terbagi
dua.
Seharusnya aku hanyalah orang
yang berada diluar lingkaranmu. Seharusnya aku menyuruhmu pulang. Hanya saja
aku belum berani untuk menyuruhmu pulang. Kembali terdengar dering
lembut, temannya
sedang memandang dari kejauhan,jawabnya
melalui pesan.
Aku dongakkan kepalaku dan
bertanya dalam diam, jingga, apakah semua ini benar? Kamu terlalu indah untuk kunikmati
sendiri. Aku tarikan kembali jemari lemah
ini, pulanglah.
Ia masih akan cukup lama. Entah
ia mengerti atau tidak. Tapi, kuharap, ya.
Berapa lama? Balasmu lagi. Aku menghela
nafas.
Hingga ia menghilang di ufuk. Atau
mungkin hingga ia tidak pernah kembali,jawabku. Ia mengerti. Inilah kesukaan kamu. Menatap jingga
di atas langit sambil tersenyum. Dan diam-diam aku akan memperhatikan senyum
itu. senyum sehangat jingga.
Hanya satu kalimat yang membuatku
terkesiap darimu, dari orang yang sanggup membuat jantung ini memompa darah
melebihi kemampuannya, kembalilah. Menahan bulir-bulir agar tidak lepas kontrol.
Kugandeng dua alas kaki di antara
jemari. Berjalan di atas kelemebutan pasir dan dibawah tenda biru, diikuti
bayang-bayang pekat, meninggalkan jejak semu di pasir yang lembab. Rambutku
kembali terkibar karena angin sejuk. Tapi, rasa sejuk ini tidak sanggup untuk
menyusup masuk hingga ke dalam.
Sejujurnya, aku hanya ingin
semuanya bertahan seperti ini.
Tapi, aku tidak mau ada yang
terluka. Lagi.
Kamu harus memilih pada akhirnya.
Dan hati ini sudah berbicara, alarm itu sudah berdering, tapi kuabaikan bak ia
tak pernah berdering. Meski terbalik, aku tetap kan mendorongmu kembali
padanya. Bagaimanapun, aku tidak memiliki hak.
Di atas kepalaku, jingga masih
menghantui. Menciptakan bayang-bayang semu yang pilu.
Kamu tahu bagaimana rasanya
menunggu. Aku menunggu ditemani seorang jingga yang bisa pergi tanpa
sepengetahuanku.
Mengecap segala rasa dan
membekukannya dengan waktu. Menikmati rindu ini seorang diri hingga menyesap
hingga ke relung-relung nadi. Aku hanya membisikan rindu ini pada jingga hari
ini. Berharap jingga hari ini menyampaikannya padamu, entah kapan itu. mungkin
saat aku tak lagi menatap jingga; mungkin saat aku dan kamu menatap jingga ini
bersama kembali; mungkin saat aku dan kamu menatap jingga ini dengan waktu yang
berbeda, dengan orang yang berdiri disamping yang berbeda; dengan senyum yang
berbeda dan rengkungan hangat yang berbeda.
Laut tidak berubah; angin kan tetap tak pernah terlihat; air kan tetap sejernih kristal. Hanya, kita yang berubah; pergi dan kembali dalam waktu yang tidak terdefenisikan.
Lalu aku menitipkan rindu ini pada angin lalu, berharap rindu ini akan sampai dihantarkan oleh kepekatan waktu yang terus bergerak seiring angin yang berhembus oleh sang waktu. Ingin menyusupkan kedua tangan lemah ini di antara sela-sela kehangatan dan menitipkan segala rasa yang terasa.
Laut tidak berubah; angin kan tetap tak pernah terlihat; air kan tetap sejernih kristal. Hanya, kita yang berubah; pergi dan kembali dalam waktu yang tidak terdefenisikan.
Lalu aku menitipkan rindu ini pada angin lalu, berharap rindu ini akan sampai dihantarkan oleh kepekatan waktu yang terus bergerak seiring angin yang berhembus oleh sang waktu. Ingin menyusupkan kedua tangan lemah ini di antara sela-sela kehangatan dan menitipkan segala rasa yang terasa.
Kukedipkan dua mataku dan
berhenti sejenak. Awan-awan bergerak beriring bak sekelompok burung yang
bermigrasi lewat di depan pelupuk mata yang lemah termakan waktu.
Mungkin jawaban itu tengah
terjebak kemacetan dan kesemrawutan ibu kota yang menyakitkan. Mungkin, jawaban
itu sebentar lagi akan terjawab. Mungkin, sebentar lagi semuanya hanya akan
menjadi abu yang ditiup angin. Tidak berbekas. Tidak terjawab. Tidak sampai.
Nantinya, aku hanya akan menjadi
seberkas bayang dari masa lalu itu, masa lalu kamu. Terima kasih sudah mengisi
tiap lembar kenangan ini dengan caramu sendiri. Kamu adalah pemilik dari setiap
60 detik kebahagian yang tidak ingin aku sia-siakan. Kamu tahu yang
sesungguhnya.
Jika, waktu dan takdir berteman,
mungkin mereka akan mempertemukan aku dan kamu kembali. Jika tidak, aku akan
mengingatmu yang akan selalu hidup di dalam jingga di atas langit yang
dibiaskan oleh surya bersama kapas putih yang lembut yang terus bergerak
beriring bak jam waktu; tiada henti.
Sesungguhnya,
kamu adalah duniaku yang tak terhingga ∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar