A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Selasa, 03 Desember 2013

Tidak Terduga


Siapa yang senang jika harus menjadi yang kedua? Dan atau bahkan menjadi yang ketiga dan seterusnya. Tidak ada satu pun perempuan dan atau laki-laki yang senang jika selalu menjadi pilihan dari sekian pilihan. Laki-laki mungkin tidak akan terlalu memusingkan perihal menjadi pilihan atau tidaknya. Tapi, lain hal dengan perempuan yang akan memusingkan hal tersebut. Terkadang, otak dan mulut menolak untuk menjadi pilihan, namun hati terkadang berkehendak yang lain.
Awalnya aku memang tidak mau menjadi pilihan, jika selama aku bisa menjadi yang utama. Kau pasti mengerti maksudku dengan pilihan dan menjadi yang utama. Aku tidak pernah berpikir negatif perihal perempuan-perempuan yang menjadi pilihan kesekian. Tapi, aku juga tidak pernah setuju dengan hal tersebut. Karena, diluar lingkar hidupku aku tahu, banyak hal yang tidak terduga yang akan terjadi.
Sekarang, hal tidak terduga yang aku maksudkan, sanggup aku berikan contohnya. Ya, contohnya aku, yang menjadi pilihan kesekian dari yang utama. Aku sempat mendengar satu kalimat dari seorang laki-laki,”Lebih baik menjadi yang kedua tapi diutamakan, daripada menjadi yang utama tapi diduakan.” Sebenarnya, dua-duanya pun akan merasakan sakit yang sama. Mungkin yang utama namun diduakan yang lebih berpotensi lebih menyakitkan.
Tapi, perempuan mana yang tidak mau selalu menjadi yang utama tanpa harus perlu ada pilihan-pilihan lain dibelakangnya atau diduakan dan seterusnya? Perempuan mana yang tidak ingin diakui sebagai satu-satunya yang dicintai oleh laki-laki yang mencintainya? Perempuan mana yang tidak akan sakit hati jika tahu ternyata dibelakangnya masih ada pilihan-pilihan lain selain ia?
Jujur, tidak pernah terbayangkan olehku untuk berada diposisi seperti ini. Tidak pernah sekalipun. Namun, apa dikata jika alam memiliki kehendak sendiri?
Aku berusaha untuk tetap berada di posisi yang netral. Namun, terkadang aku sering kali kebingungan dengan perasaanku sendiri. Ya, aku tahu dia sudah bertuan. Sempat terpikirkan olehku bahwa aku datang terlambat sehingga melewatkan seorang yang sebenarnya berarti bagiku. Jika tidak terbangun pada kenyataan, mungkin aku akan merasa semua yang terjadi padaku ini begitu manis. Terlalu manis, sehingga ketika aku terbangun pada kenyataan, rasa pahit yang aku rasakan selanjutnya.
Bahagia. Setiap orang memiliki definisi mereka masing-masing perihal satu kata itu.
Namun, percaya padaku, kebahagiaan itu tidak bisa ditukar dengan apapun; tidak bisa dibeli dengan nilai mata uang apapun, meski memiliki nilai tukar yang tinggi. Setiap orang memiliki bahagia itu sendiri. Karena, bahagia setiap orang berbeda-beda. Karena, setiap orang berhak untuk bahagia.
Sering kali aku harus menahan rasa ngilu setiap kali tanpa sengaja aku menatap mereka yang tengah bersama. Sebelum aku mendapati mereka bersama, rasa tidak enak mulai menyerang perasaanku, dan tidak lama setelah itu aku mendapatkan jawaban dari rasa tidak enak yang tiba-tiba menyerang itu.
Biar begitu, otakku tetap menyadarkanku. Aku hanyalah temannya.
Aku tidak tahu akan sampai kapan aku berada diposisi ini. Rencana untuk mundur? Ada. Tapi, setiap kali aku mulai mengambil satu langkah mundur, dia datang dengan dua langkah maju.
“Jangan bengong. Siang-siang begini bengong, nanti dicolek setan loh.”candanya ketika aku tengah menunggu makan siang kami diantar.
“Kamu kan setannya? Kan barusan kamu nyolek aku.”balasku. Ia langsung berdecak sebal. Aku terkekeh pelan.
“Kamu kenapa?”tanyanya tiba-tiba dengan lembut. Aku menoleh ke arahnya yang tengah menatapku sambil tersenyum tipis dan balas bertanya,”Memang aku kenapa? Aku baik-baik saja.”
Ia mendengus geli mendengar jawabanku. “Ya kamu kayak bukan yang biasanya.” Aku mengerutkan keningku dengan bingung.
“Emang biasanya aku kayak gimana?”pancingku. Dia malah tertawa.
“Ya biasanya kamu tuh heboh. Ketawa-ketawa. Tapi, kok hari ini enggak. Ada apa? Cerita-ceritalah.”ujarnya. Aku terkekeh pelan.
“Terlalu berlebihan. Aku baik-baik saja.” Untung saja, percakapan tersebut dihentikan oleh pesanan makan siang kami yang sudah sampai di depan mata. Seketik hening yang berkepanjangan menggantikan percakapan kami yang sebelumnya.
“Maaf, ya.” Tiba-tiba ia berujar seperti itu. Aku terdiam sejenak. Memang hari ini aku kebanyakan diam daripada tertawa, setelah semalam sebelumnya aku menemukan satu hal yang selama ini selalu aku hindari. Otakku terlalu sibuk berpikir sehingga aku lebih memilih diam, karena takut salah satu topik yang aku pikirkan tiba-tiba terucap olehku tanpa sadar.
Aku pura-pura bingung. “Kenapa minta maaf?”tanyaku bingung sambil mengunyah.
“Ya aku minta maaf aja. Tadi kan aku sempat telat dari jam janjian makan.”jawabnya. Aku tahu itu jawaban yang dibuat-buat.


Aku sendiri tidak tahu ini semua akan bertahan hingga kapan, apalagi dengan dia sendiri. Mungkin masih terlalu dini bagiku untuk memastikan bahwa ini rasa yang sudah keluar dari jalurnya. Namun, perihal perasaan aku tidak pernah meragukan perasaanku sendiri. Perjalanan kedepan masih panjang bagiku, sedangkan ia juga pasti sudah menghadapi hubungan yang serius. Tapi, bagiku untuk dihubungan yang nantinya akan aku jalani entah dengan siapapun itu, aku pun sudah harus serius.
Aku selalu berdoa dan berharap akan menemukan jalan yang tepat bagi kita.
Lalu, jalan itu ditunjukan padaku. Dengan kehadiranmu.
Kedatanganmu selalu penuh dengan keragu-raguan, hingga membuat perasaan ini pun terbagi menjadi dua dan aku menemukan persimpangan di ujung jalan tersebut. Tidak ada jalan tengah karena aku harus memilih satu diantara keduanya. Memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Aku pun bergerak perlahan, mengikuti waktu yang bergerak kecepatan.
Akan sampai waktunya ketika aku harus memilih. Untuk tetap tinggal di masa lalu, atau melangkah maju dengan masa depanku. Tidak selamanya setiap orang dapat hidup dengan masa lalunya. Waktu saja bergerak maju, bukan mundur; bahkan menghitung pun selalu bergerak maju; umurmu bertambah, bukan berkurang. Tidak ada yang bisa hidup di masa lalu. Mau tidak mau, akan tetap maju.
Maka aku memilih untuk pergi dan memilih jalanku sendiri dengan berbelok ketika sampai di persimpangan. Tentunya setelah aku sudah selesai menata dan membersihkan ruangan yang sebelumnya masih berantakan; hati. Perlahan aku jalani perjalanan denganmu yang terkadang masih sering terombang-ambing; tidak tahu ujungnya akan berhenti dimana. Tapi, herannya aku masih meneruskannya saja. Lalu, lama kelamaan, perjalanan ini mulai disebut sebagai proses.
Jatuh dan bangunnya aku dalam proses ini sudah lebih dari cukup untuk aku rasakan.
Perbandingan antara jatuh dan bangunnya itu seimbang. Kadang ada saatnya aku merasa lelah dan ingin menyerah, namun sekali lagi aku teringat alasanku supaya tidak berhenti dan menyerah. Kamu. Untuk apa aku berusaha payah untuk melewati proses ini dari awal jika di pertengahan tiba-tiba aku menyerah? Konyol. Meski terkadang aku sering merasa melewati proses ini sendirian.
Aku sadar aku telah benar-benar melupakannya adalah ketika aku dibuat panik olehmu karena tidak adanya kabar darimu seharian penuh. Proses terberat yang pernah aku rasakan adalah bagian ketika kamu tidak menghiraukanku sama sekali; layaknya aku ini orang asing bagimu. Setidaknya saat proses ini aku sudah merasakan pahit-manisnya.
Pernah satu kali aku berkata, “Kamu tahu, yang aku inginkan adalah kamu bisa mengkomunikasikan masalahmu dan atau kesalahanku yang aku tidak tahu, denganku.” padamu yang saat itu hanya membalas pernyataanku dengan anggukan samar. “Aku juga ingin tahu tentang apa yang kamu rasakan.”ujarku sekali lagi. Saat itu aku hanya bisa menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan pelan, berusaha meredam emosiku. Karena, besok-besoknya masih sama saja.


Aku tahu, terkadang aku yang harus bersikap dewasa dan harus selalu siap untuk mengalah. Hal tersebut selalu aku anggap sebagai salah satu cara untuk belajar dewasa. Darimu aku belajar untuk melatih kesabaranku; darimu aku belajar untuk melatih egoku ketika tidak dihiraukan olehmu ketika sudah bertatap muka dengan layar game, juga.
Pernah sekali dia bertanya padaku, “Siapa yang bisa ngemong diantara kalian?”
Saat itu aku menjawab, “Ya karena kita sudah sama-sama dewasa, jadi kita sama-sama belajar untuk saling mengemong satu sama lain.” Dia hanya tersenyum. Karena aku yakin kita bisa sama-sama saling ngemong.
Sudah cukup lama proses ini berlangsung hingga aku tidak tahu akan sampai kapan, tapi aku tahu bahwa proses ini akan ada akhirnya.


Aku tengah duduk di samping jendela kereta yang akan membawaku kembali, yang aku tahu aku melakukan perjalanan ini sendirian. Ketika tatapanku termangu keluar jendela saat kereta ini mulai bergerak perlahan, aku mendapati bayangmu dijendela.
Benar saja, ketika aku menoleh, aku mendapatimu dibelakangku, tengah sibuk meletakkan barang-barang bawaanmu dibagasi diatas kepala, lalu menunduk kearahku sambil tersenyum ketika duduk disampingku. Senyumku lebarnya langsung dua kali lipat darimu. Perjalanan kali ini aku tidak akan sendirian; proses yang aku jalani selama ini pun tidak aku jalani sendirian, karena kamu berjalan dalam diam di dalam bayangku.
Memang kamu bukan satu dari setiap orang yang pernah lakukan beberapa hal termanis untuk pasangan mereka, tapi yang aku tahu dengan pasti bahwa aku akan mencintaimu dan menyayangimu hingga waktu yang tidak terdefinisikan. Tapi, mungkin, kamu pun begitu perihal aku.
Selamat menikmati perjalanan ini. Bersamaku.

Sabtu, 14 September 2013

Pergi dan Gelap


Akan ada saatnya ketika kau berada di bagian atas kehidupan, tapi akan ada pula saatnya kau berada di bagian bawah kehidupan. Ingat saja tentang pepatah lama yang sering berkata, hidup itu seperti bola yang berputar. Akan seperti itu. Tidak selamanya kau akan hidup dengan leha-leha, tapi tidak selamanya juga kau akan hidup susah. Tidak selamanya kau akan dihantui oleh masalah. Meski satu selesai, satu datang.
Ada yang hidup dengan normal, lalu tiba-tiba hidupnya berubah, ada. Entah karena apapun itu alasan yang membuatnya berubah. Dibalik setiap kejadian akan selalu ada maknanya. Walau hanya segelintir orang yang mengerti.
Aku tersenyum dengan dua mata yang memandang kejauhan. Aku bisa merasakan ramainya suara air yang berjatuhan di atas batu di depanku; udara sejuk yang dihasilkan menerpa kedua pipiku seakan-akan membelai dengan lembut. Udaranya yang sejuk perlahan-lahan mulai membuaiku yang diam-diam meresapi udara khasnya. Aku mengusap lengan atasku yang mulai terasa dingin, padahal hari baru saja beranjak sore.
Aku menoleh sedikit ke belakang melewati bahuku saat mendengar suara kaki, dan lalu tersenyum. “Kau tidak merasa dingin?”tanya Ibu sambil mengusap bahuku dengan lembut. Aku menggeleng pelan. “Hanya terasa sedikit, karena sudah menjelang sore, Bu.”jawabku.
“Terus, kau mau sampai kapan disini terus?”tanya Ibu seraya menyampirkan kain tebal ke bahuku, yang lalu aku ucapkan terima kasih sambil berbisik.
“Sebentar lagi saja, Ibu. Lagipula, aku mau ngapain di dalam kamar.”jawabku. Beliau terdiam.
Tidak berselang lama, aku mencium wangimu. Wangi entah sejak kapan melekat diingatanku. Wangi yang membuatku rindu.
Pelan-pelan tubuhku menegang.
“Maaf, Ibu mengizinkannya datang.”ucap beliau. Kali ini aku yang diam seribu bahasa. Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, seakan-akan merajuk. Bukan, aku bukan merajuk. Hanya saja, aku belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap.
“Apa kabar?”tanyamu. Aku hanya menjawab dengan diam. Mati-matian aku menahan kedua tanganku untuk tidak terangkat ke udara dan mengusap kedua pipimu dengan lembut. “Aku baik-baik saja.”katamu memberikan pernyataan.
Aku menghela nafas panjang, menangkap wangimu sebisaku untuk kusimpan. “Pulang lah. Aku baik-baik saja. Tapi, maaf, kau tidak perlu datang berkunjung lagi.” Hanya itu kalimatku yang keluar dari bibirku.
Kalimat itu berbeda dengan apa yang aku pikirkan untuk aku ucapkan.
Jika sudah berani jatuh cinta, berarti harus berani untuk sakit hati. Karena keduanya bersahabat karib.
Diam-diam memang hanya aku yang berjuang sendirian, selama ini.
Dirimu merengkuh kedua tanganku dengan hangat. “Pulang lah. Sudah beranjak sore. Perjalanan pulangmu tidak dekat.”ujarku sekali lagi dengan dinginnya. Tapi, kau tetap bergeming ditempat. Kedua tanganmu yang hangat masih merengkuh tanganku.
Kau diam, aku pun diam.
“Kenapa kau harus menghindar?”tanyamu dengan pelan. Aku menelengkan kepalaku ke samping. Berusaha menghindari tatapanmu, yang terasa menyentuh pipiku.
“Tidak, aku tidak menghindar. Aku pikir memang sudah cukup. Pulang. Nanti kau dicarinya. Aku tidak mau dia menemukanmu ada disini, denganku.”jawabku sambil berusaha melepaskan rengkuhan tanganmu, meski tidak rela.
Kau menahan gerakanku.
“Tidak apa-apa. Aku sudah memberitahunya.”
“Baiklah, kalau begitu kau tidak usah berlama-lama disini. kau sudah tahu kan aku baik-baik saja? Pulang lah.”elakku berkali-kali. aku berusaha untuk memberikan senyumku yang biasanya, yang aku sendiri tidak tahu apakah terlihat seperti sebuah senyum atau tidak.
Aku bisa mendengarmu menghela nafas dan menghembuskan dengan berat.
“Baiklah, aku pulang. Tapi, aku akan kembali. Jaga kesehatanmu.”ujarmu sambil mengusap lembut puncak kepalaku. Ketika rengkuhan tanganmu itu meninggalkan tanganku, terasa seperti ada yang hilang saat itu. Tapi, aku buru-buru menghapus rasa kehilangan itu. Seharusnya, aku tidak boleh terlalu jatuh terpuruk karena rasa ini yang semakin hari semakin parah.
“Kenapa diusir pulang?”tegur Ibuku. Aku hanya menanggapi dengan diam.
“Ia khawatir padamu. Bukankah ia sudah pernah bilang, kalau dia khawatir, ia akan langsung datang? Kau sendiri yang bilang begitu pada Ibu –“
“Dulu, Bu. Itu dulu. Bukan kemarin ataupun sekarang.”selaku dengan pelan.
“Ibu tau. Tapi, kemarin dan atau sekarang pun, Ibu juga tau kalau kau masih mencintainya. Kenapa harus membohongi perasaan sendiri?”tutur beliau dengan lembut. Aku dibuatnya terdiam. Aku menghembuskan nafas dengan berat.
“Bu, terkadang, ada yang harus direlakan, agar tidak ada yang terlalu banyak yang sakit. Jadi, aku putuskan untuk mulai belajar menjadi orang yang bisa merelakan. Meski itu tidak mudah.”jawabku dengan lembut setelahnya.
“Kalau sudah perihal perasaan, jangan pernah berbohong, Sayang.”
“Tapi, dengan keadaan yang seperti ini, aku hanya bisa memilih untuk duduk dan tersenyum jika ia memang sudah  memilih untuk dengannya. Dengan dia pula yang terasa tidak ingin diperjuangkan, aku bisa apa?”balasku.
“Jika ternyata ia sendiri tidak bahagia dengan yang sekarang?” Pertanyaan Ibu begitu menyengat ulu hati.
“Maka, diluar sana ternyata ada yang sanggup membuatnya bahagia. Tapi, aku tidak termasuk di dalamnya.”
Ibu masih saja berniat untuk berdebat denganku. “Kenapa?”
Aku terkekeh miris mendengar pertanyaan Ibu yang begitu ingin tahu. “Karena, ya aku memang sudah tidak bisa lagi memberikan apa yang dia cari, Bu.”jawabku.
“Kalau ternyata –“
“Bu, aku mau masuk. Udaranya semakin dingin.”potongku dengan sangat lembut. Jika tidak aku potong, beliau akan semakin gencar mendebat setiap jawabanku perihal satu topik ini. sudah berkali-kali aku berkata pada beliau, aku sudah memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya, berkali-kali pula pernyataanku didebat dan dibantah olehnya. Aku tahu, beliau bermaksud baik. Tapi, untuk satu ini, sudah tidak ada yang bisa mengubah keputusanku lagi.
Beliau bangkit berdiri dari posisi duduknya dan membantuku berdiri. Kami berjalan bersisian. Kenanganku tentangnya berputar kembali ketika aku berjalan bersisian seperti ini. Entah sudah lewat berapa lama, aku tidak menghitungnya, tapi selama ini dirinya selalu hidup dalam kenanganku yang tidak bisa aku sentuh dengan jemariku lagi, karena selamanya dirinya hanya hidup di dalam sana. Di dalam kenangan yang aku dan dia ciptakan bersama. Saat-saat ketika ia menggenggam tanganku dengan hangat, dan menjagaku agar tidak terjatuh tiba-tiba; lalu ia akan mengambil alih jalanku dengan berjalan lebih dahulu di depanku, masih dengan tangan yang menggenggam tanganku. Lucunya, aku merasa tidak ingin melepaskannya barang sebentar saja. Tapi, entahlah dengannya.
Diam-diam, aku belajar untuk tidak lagi menatap yang lalu dan mulai melepaskan apa yang aku genggam saat ini.
Karena, sudah tidak ada lagi kesempatan untukku untuk membuatmu bahagia. Yang selama ini kau cari memang hanya ada pada perempuanmu saat ini. Aku belajar untuk menerima kenyataan yang menghampiriku, meski aku sudah sering belajar dari kenyataan-kenyataan yang sebelumnya.
Nduk, tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mengapa, Ibu optimis, kau punya kesempatan itu. Tapi, Ibu tidak bermaksud memberikanmu harapan, yang jika tidak terbukti nantinya, malah menjadi harapan semu. Untuk sekarang, istirahat saja dulu. Tidak usah dipikirkan perihal hari ini dan Ibu minta maaf sudah membawanya kesini. Kalau ada perlu apa-apa, Ibu ada di dekatmu.”ucap Ibu sebelum akhirnya keluar dari kamarku.
Bagiku, berharap boleh saja. Tapi, jika sudah perihal perasaan, semakin berharap, nantinya akan semakin sakit jika ternyata hasil akhirnya tidak sebanding sesuai dengan harapan sendiri. Aku menatap langit-langit kamar yang terasa gelap. Mengorek kembali kenangan lamaku denganmu yang entah sudah terjadi beberapa waktu yang lalu, yang masih sering membuatku tersenyum sendiri jika mengingatnya. Tapi, jika sampai pada saat-saat aku mengingatmu dengannya....lebih baik aku tidak pernah mengenang lagi.
Kenangan itu ada untuk dikenang, memang.
Tapi, tidak ada yang bisa memilih kenangan itu sendiri. Mau mengenang yang manis atau yang pahit, akn terprogram dengan sendirinya. Aku pun begitu.


“Jangan keluar dulu. Kan belum selesai.”cegahku yang berdiri di depan pintu sambil menyilangkan salah satu kakiku, bersandar ke tembok di sampingku.
“Aku hanya mau buang sampah.”ujar laki-laki itu dengan tak acuh.
“Ya sudah, tunggu sebentar lagi apa susahnya?”jawabku dengan bercanda.
“Kalau begitu, aku dorong ya?”ujar laki-laki itu.
Belum sempat aku menarik kakiku atau pun protes, aku sudah merasakan tubuhku melayang diudara dan mendarat di lantai ubin dengan bunyi yang berdebum cukup keras. Sungguh, jika saat aku berdiri aku tidak merasakan sakit yang menyengat di bagian tulang ekorku, aku akan tertawa untuk menutupi maluku. Tapi, sayangnya yang keluar malah air bening dari sudut-sudut mataku. Rasa sakitnya menyengat hingga diubun-ubun dan menjalar turun ke punggung.
Tiba-tiba aku terjaga dari tidurku karena mimpi yang mampir tadi.
Aku ingat kata orang, jika seseorang yang jatuh dan atau berbenturan dengan sesuatu, itu bisa dijadikan pertanda buruk.
Dan, ya. aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Tapi, ternyata memang terjadi.
Hal yang sama sekali tidak aku bayangkan untuk terjadi.
Aku diserang perasaan terkejut dan masih tidak percaya. Ibu berusaha untuk tidak panik, supaya aku pun tidak serta merta panik karenanya. Aku menarik dan menghembuskan nafasku dengan sangat perlahan, seperti layaknya orang yang baru belajar bernafas, berusaha menetralkan perasaan ini supaya kembali seperti semula. Aku tersenyum tipis, hanya disudut bibirku. Senyum miris.

Entah di hari keberapa kita tidak lagi bertemu, kau berusaha untuk menghubungiku mulai berkali-kali yang tidak aku jawab sama sekali. Ibu bahkan sampai bosan menyuruhku untuk menjawab yang langsung aku tolak mentah-mentah. Aku bukannya balas dendam untuk beberapa waktu yang lalu, saat kau tiba-tiba seperti menghilang ditelan bumi setelah insiden aku jatuh, bukan. Aku hanya tidak mau kau tahu, hanya itu. Toh sebenarnya kau pun tidak akan terlalu memperdulikan aku yang notabene hanya kau anggap sebagai seorang adik angkat, ya itu hanya asumsiku sendiri dari apa yang aku perhatikan dan apa yang (berusaha) aku tanamkan dalam mindset aku sendiri.
Aku duduk diam di dalam kamar merah. Tangan-tanganku menyusuri foto-fotomu yang masih aku rendam di dalam air, yang aku cetak belum lama sebelum aku jatuh dan aku memang masih hafal urutan-urutan foto yang aku cetak sendiri. Sebenarnya, aku sudah kehilanganmu bahkan jauh sebelum aku ketahui. Bodohnya aku, aku malah masih bertahan seperti ini. Sudah jelas, dirinya yang memang lebih pantas untukmu.
Pikiranku melayang-layang entah ke kenangan yang mana, ketika diriku merasa dipeluk dengan hangat olehmu dari belakang. “Halo.”sapamu dengan hangat. Tubuhku menegang dengan sangat sempurna, aku merasa lama-lama aku akan seperti patung jika seperti ini terus. “Untuk apa kembali?”tanyaku dengan ketus.
“Untuk bertemu denganmu. Harus ada alasan yang lengkap, ya?”tanyamu dengan polos.
Aku kembali diam.
“Aku bantu gantung, ya, foto-foto yang masih basah ini.”ujarmu sambil mengambil alih foto yang masih basah dari tanganku.
“Tidak usah. Nanti merepotkanmu. Aku bisa sendiri.”ujarku sambil menolak tawaranmu dengan lembut dan berdiri dari tempat dudukku sambil menyentuh gantungan yang ada beberapa foto yang masih dijepit. Aku tengah mencari-cari jepitan dalam kegelapan untuk menjepit foto yang tengah aku pegang, ketika tanganmu mengangsurkan dua buah jepitan ke dalam tanganku.
“Terima kasih.”ucapku dengan pelan. Aku ingat foto yang saat ini aku pegang, adalah hanya fotomu sendiri yang aku ambil diam-diam karena kau tidak suka difoto oleh orang lain. Dan kau tersenyum, meski tidak sengaja. Entah kapan aku bisa melihatmu tersenyum seperti saat itu lagi. Atau mungkin, aku tidak akan pernah melihatmu seperti itu lagi.
“Aku temani kau keluar.”ujarmu sambil menggandeng tanganku, keluar dari kamar merah.
“Ibu dimana?”tanyaku dengan datar. Harusnya, Ibu ada disini.
“Ibu sedang pergi keluar. Beliau menitipkanmu padaku.”ujarmu dengan pelan dan menggenggam tanganku dengan hangat.
Bolehkah aku merindukanmu?
Meski aku diperbolehkan, apakah aku boleh mengucapkannya? Jika aku mengucapkannya, akankah masih seperti yang kemarin-kemarin, ketika kau yang menghampiriku sambil tersenyum lebar? Apakah ada jaminannya, kau tidak akan berubah dan tidak menjaga jarak dariku?
Jadi, lebih baik aku ucapkan sambil berbisik pada udara yang sama sekali tidak akan kau dengar, kan?
“Cukup temani aku ke kamar saja, dan kau sudah boleh pulang. Yang ada aku tambah merepotkanmu.”kataku.
“Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Lagi pula, aku dipesankan untuk makan siang denganmu. Ibu tadi pergi setelah selesai masak. Beliau sudah menyiapkan makan siang.”jawabmu dengan riang. Berbanding jauh dengan nadaku yang selalu ketus. Maaf, aku tidak bermaksud, jika kau ingin tahu.
Aku selalu penasaran, apakah kau pernah sekali dan atau beberapa kali benar-benar khawatir tentangku layaknya seorang laki-laki yang mengkhawatirkan perempuan yang ia sayangi, bukan dalam artian kakak-adik?
Aku ingin tahu, seperti apa perasaanmu saat kau tahu aku jatuh saat itu.
Jika, aku diperbolehkan jujur, aku merindukan segalanya tentangmu. Apapun itu. tanpa terkecuali. Pernahkah kau seperti itu padaku?
“Kau mau makan –“
“Aku bisa makan sendiri.”potongku dengan cepat sambil menyentuh piringku yang sudah terisi oleh nasi dan beberapa lauk-pauk. Yang terdengar diatas meja hanya detingan sepasang sendok dan garpu. Aku memutuskan untuk makan dengan dua tanganku, terasa lebih nikmat, seperti yang aku lakukan biasanya jika makan dirumah, hanya dengan tangan.
Tidak ada yang membuka suara, hingga akhirnya kau memutuskan untuk memecah keheningan.
“Kau masih mencintai orang yang dulu kau sebut-sebut itu?”tanyamu. Aku tersedak oleh nasi yang masuknya salah jalur. Kau buru-buru membantuku minum hingga aku bisa bernafas lega. “Kalau merasa tidak perlu dijawab, tidak apa-apa.”katamu selanjutnya.
Aku berdeham, berusaha menetralkan masuknya udara. “Masih.”jawabku.
“Masih mau berjuang?”
“Entahlah.”jawabku sepatah kata.
“Mengapa?”tanyamu lebih lanjut.
Aku diam sebentar. “Aku rasa, dia sudah bahagia. Jadi, aku hanya diam-diam saja bertahannya.”jelasku, singkat dan padat. Kau pun terdiam.
“Kalau dia masih ingin kau berjuang?”
“Akan aku pikirkan dua kali.”
“Kenapa?”
“Karena,”kalimatku menggantung diujung lidah. “Kau ini ingin tahu sekali.”desisku sambil berusaha mengelak. Aku menggigit bibir dalamku. Dan aku bisa mendengarmu berdecak sebal karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti dariku.
“Selesai ini, kau pulang saja. Mungkin sebentar lagi Ibu sampai dirumah.”
“Kau kenapa tidak pernah menghubungiku lagi?” Pertanyaanmu benar-benar keluar dari topik.
“Karena, ya aku merasa, sudah tidak ada lagi yang perlu dibahas. Iya, kan? Toh kau ada wanitamu.”ujarku lirih, sebenarnya jawabanku melenceng dari pertanyaanmu, diam-diam aku menggigit bibirku yang terlalu cepat menjawab dan malah memberikan jawaban yang seharusnya tidak aku berikan.
Hening.
Diam-diam aku menunggumu memecah keheningan untuk sekali lagi, sambil menghabiskan makan siangku perlahan-lahan.
Hari itu, kau pergi dalam diam. Meski kau sempat berbisik ketika mengucapkan selamat tinggal padaku yang sebenarnya masih terjaga dari tidurku.
Sesungguhnya, aku tidak ada niatan untuk merusak atau membuat kebahagianmu pecah. Tapi, kau sendiri tidak tahu perihal hidupmu kan? Aku pun begitu. Aku hanya mengikuti arus yang aku ikuti, kemana tujuannya dan kemana ia bermuara. Maafkan aku, karena ternyata aku bermuara padamu yang seharusnya sudah tidak bisa lagi.


“Besok kita ke dokter, ya. Ibu punya kabar baik.”ujar Ibu pada suatu waktu ketika aku tengah melepaskan foto-foto yang aku cetak di kamar merah. Gerakanku masih berlanjut, tapi pikiranku berputar keras mengolah informasi Ibu. Ada apa lagi?
“Ada apa lagi, Bu?”ujarku dengan lirih.
“Sudah, nanti saja kau tahu kabar baiknya. Dan, Ibu rasa, suatu waktu kau harus mengucapkan terima kasih.”ujar Ibu penuh kemisteriusan. Keningku berkerut semakin heran mendengar kalimat terakhir beliau. Sepertinya ada yang tidak aku paham disini.
Aku pun hanya menunggu-nunggu hari ketika akhirnya Ibu mengajakku untuk pergi ke dokter spesialisku. Aku hanya menunggu diluar, sejujurnya aku malas untuk mendengar ocehan-ocehan dokter tersebut, jadi aku membujuk Ibu untuk tetap menunggu diluar saja.
Telingaku mendengar suara pintu yang dibuka lalu ditutup dengan pelan-pelan.
Nduk, kau mendapatkan donor.”ujar Ibu. Aku mematung di tempat dudukku.
Aku bingung, haruskah aku melonjak kegirangan? Atau haruskah aku biasa-biasa saja? Aku milih yang paling diplomatis, berusaha tenang.
Akhirnya yang terucap adalah, “Tidak usah, Bu. Begini saja yang lebih baik.”tolakku dengan halus. Mungkin, Ibu sangat terkejut mendengar jawabanku yang diluar perkiraannya.
Nduk, Ibu kan bermaksud baik.”ujar Ibu memohon.
“Aku tahu, Bu. Aku tahu, Ibu bermaksud baik. Tapi, aku butuh untuk berpikir.”jawabku, setengah membujuk.
“Untuk apa berpikir ulang jika ternyata kau sudah mendapatkan donor?”
“Bu, tidak semudah itu. Aku tahu dia ikut campur tangan, kan, Bu?”tanyaku. Ibu tidak bisa mengelak lagi.
“Di bermaksud –“
“Iya, aku tahu, Ibu dan dia bermaksud baik. Tapi, biarkan aku berpikir ulang perihal ini. Aku masih harus menyiapkan mentalku, Bu,” Aku menghela nafas dengan lembut dan melanjutkan, “Ayo, pulang. Nanti kita pulangnya semakin larut.”ajakku. Ibu menyelipkan tangannya dengan lembut ke lenganku dan berjalan beriringan denganku.


Suatu saat, kau akan mengerti, disaat sudah tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan, yang tersisa hanyalah merelakan. Memang terasa rumit diawalnya, tapi aku bahkan kau pun tidak bisa memaksakan kehendak jika memang ternyata tidak bisa dituruti oleh alam. Itulah mengapa aku menyebut yang tersisa hanyalah merelakan, jika ternyata jalannya tidak bisa berdampingan. Lebih baik ada satu yang mengalah untuk menyelamatkan yang lainnya. Bagikut, itu lebih baik.
Satu hal, bahagia itu tidak bisa dibeli dengan apapun; tidak bisa ditukar dengan apapun meski itu teramat sangat bernilai. Bahagia itu tidak bisa kau cari dengan begitu mudahnya dari toko ke toko. Tidak semudah yang kau bayangkan untuk benar-benar bahagia, Sayangku. Rasa itu memang terungkap dalam satu kata, tapi jika memang tidak dimaknai, itu hanya akan menjadi seonggok kata yang biasa saja. Jadi, jika kau memang sudah menemukan bahagiamu, aku harap, kau sanggup untuk menjaganya. Karena, aku sudah menemukan bahagiaku, maka aku mencoba sebisaku untuk tetap menjaganya.
Aku tidak pernah memintamu untuk datang seperti ini.
Meski jujur, aku pernah berharap kau seperti saat ini.
Pernah terbayangkan olehku untuk menghabiskan hariku hanya denganmu dari aku membuka mata hingga aku menutup mata. Tapi, sekarang hanyalah seonggok bayangan yang aku pendam sendiri yang aku selipkan di kenangan yang aku tanam dalam-dalam agar tidak terbuka suatu waktu secara tiba-tiba.
Menjelang mendekati hari dimana kau merayakan tanggal yang kau tunggu di setiap tahunnya, aku mempersiapkan hadiah untuk yang pertama dan yang terakhir. Aku mencoba sebisa dan seamatiranku untuk membuatkan satu slide pendek yang memuat tentangmu, tentang aku, tentang kita, dan tentang kalian. Tentang kau dan dia.
Aku menuangkan kembali seluruh kenangan manis dan pahit yang aku simpan dengan baik entah di sebelah mananya otakku ini, ke dalam slide pendek yang sangat teramat berantakan tersebut. Awalnya aku ragu untuk melanjutkannya. Hingga sempat tersendat-sendat. Tapi, entah dorongan darimana, pada akhirnya proyek kecil-kecilanku itu berhasil selesai jauh dari deadline.


Kau membuka bungkusan berbentuk pipih tersebut yang ternyata sebuah piringan compact disk yang sepi akan tulisan. Kau mengerutkan keningmu, saking herannya. Tanpa nama pengirim, hanya berbungkuskan kertas kado dengan dibagian depannya bertuliskan nama lengkapmu.
Kau menyisipkan piringan compact disk tersebut ke dalam laptopmu dan menunggu dengan sabar dan juga penuh keingintahuan. Tidak lama berselang dari masa menunggumu, kau menahan nafas, karena kaget begitu melihat wajahku muncul, dan hampir memenuhi layar dengan kepala yang dimiringkan ke kanan sambil tersenyum lebar yang menampilkan deretan gigi-gigiku, itu potongan gambar yang sudah cukup lama sekali. Kau pun berdecak sebal karena merasa berhasil dikerjai olehku yang bungkus kadonya tanpa nama pengirim. Sesungguhnya, aku sendiri merasa konyol ketika memasukkannya sebagai salah satu pembuka dari slide pendek itu.
Yang tadinya kau menahan nafas, berganti menjadi senyum lebar, tapi seperti menahan tawa. Setiap menitnya potongan-potongan gambar tersebut silih berganti. Entah itu diriku; entah itu dirimu yang berkali-kali mengelak untuk difoto atau direkam; entah itu tentang dirimu yang bersamanya; entah itu tentang kegilaan kita yang dulu. Ya, dulu. Ketika mengerjakan bagian ini, terselip satu pertanyaan di dalam benakku, apakah kita bisa mengulanginya lagi? Tapi, kau tidak perlu tahu perihal itu.
Asal kau tahu, merindukanmu itu mulai terasa sangat berat ketika sampai pada fase aku-tidak-bisa-memberitahumu. Entah aku mendapat penopang darimana, aku perlahan mulai melewati fase tersebut meski dengan rasa miris yang cukup terasa.
Kau tersenyum ketika sampai pada bagian aku yang memotretmu diam-diam dan atau merekammu saat itu. Aku tidak perlu menyebutkan tempat-tempat yang menjadi latar belakang slide pendekku ini, kan? Jikalau, kau memang sudah tidak mengingatnya lagi, itu tidak mengapa. Karena, aku tahu dan bisa aku memaklumkan kalau otak manusia – termasuk aku dan kau – memiliki kapasitas yang sedikit perihal menyimpan kenangan yang jika baginya tidak terlalu penting.
“Kau ini susah sekali untuk diajak foto. Punya satu foto denganmu itu terasa seperti akan meminta foto dengan artis Hollywood yang gayanya selangit.”gerutuku dengan gusar.
Kau tertawa. “Ya karena aku tidak suka difoto.”jawabmu dengan santai.
“Tapi, kau itu suka foto orang lain.”jawabku masih dengan kegusaran dalam intensitas yang cukup tinggi.
Sekali lagi, kau tertawa dulu baru menjawab pernyataanku, “Itu kan hobbyku.” Jawabanmu membuatku sukses memberengut pada detik berikutnya, karena jawaban itu sudah skak matt bagiku. Sudah tidak bisa dibantah lagi.
Kau tersenyum saat slide tersebut sampai pada bagian tersebut.
Dan kau larut dalam potongan-potongan gambar yang – maafkan aku, ya – termasuk cukup berantakan tersebut.
Aku menutup rangkaian slide pendek tersebut dengan ucapan selamat ulang tahun.


Aku bukannya tidak mau menerima bantuanmu, tapi aku berusaha untuk tidak lagi membuatmu terlalu memikirkanku. Perihal wanitamu saja terkadang sudah cukup membuatmu kepikiran, jadi aku juga tidak mau menambah beban pikiranmu lagi. Padahal aku sendiri bukan saudara atau keluargamu, aku malah semakin tidak ingin menambah beban pikiranmu.
 Saat kau sudah selesai dengan slide pendek pemberianku tersebut, aku sudah memutuskan untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah duapatah kata untuk sekadar menjelaskan perasaan ini. Cukup aku saja dan Ibu yang tahu. Maka, kau pun tidak perlu repot-repot untuk menjelaskan sepatah duapatah kata pula. Lalu, jika ternyata kau menyambangi rumahku, yang kau temui hanyalah keheningan yang entah kapan akan berubah menjadi keramaian lagi. Ya, pada akhirnya aku berhasil membujuk Ibu untuk pindah. Pindah kemana pun yang tidak bisa kau temui kapan pun itu. Entah keluar kota, entah keluar negeri.

Entah besok, lusa, dan seterusnya dengan siapa pun yang bersamamu itu, aku tahu kau akan selalu bahagia dengan seorang yang beruntung tersebut. Aku berikan sebagian kecil dari kenanganku tentang kita, untuk kau simpan dan kau kenang suatu saat jika kau berkenan. Tetaplah bahagia, meski orang yang bersamamu silih berganti nantinya, tapi pastikan dialah bahagiamu. Karena, bahagia itu mahal dan terasa sangat mewah untuk dimiliki, jadi jangan sia-siakan orang (-orang) yang sudah membuatmu bahagia. Konyol, aku malah berbicara perihal bahagia.
Aku pamit.
Note: Walau bahagiaku ternyata tidak abadi, tapi terima kasih karenamu aku sudah merasakan yang namanya bahagia dan tidak ada penyesalan sekalipun dariku.
Kau menyimpan dengan apik secarik kertas yang ada tulisan tanganku tersebut diantara kenangan kita dan juga bersama dengan piringan pipih yang aku hadiahkan padamu.
Pada akhirnya, secara perlahan, kau mulai melafalkan selamat tinggal padaku dalam diam dan melanjutkan kebahagianmu dengannya dan denganku sebagai seorang yang pernah singgah dalam waktu yang cukup singkat di ruang dan waktumu. Mungkin, hatimu juga kah? Jawabannya hanya kau yang tahu.

Fin. 

Kamis, 29 Agustus 2013

Satu Definisi


Setiap orang bukannya berhak untuk bahagia? Hanya saja, setiap orang memiliki bahagia yang berbeda. Tapi, jangan kau pikir bahagia setiap orang memiliki artian yang berbeda. Artian bahagia itu hingga saat ini, masih tetaplah sama. Perasaan ketika kau merasakan perasaan senang. Dengan kau merasa senang karena hal sekecil apapun, kecuali hal yang negatif tentunya, kau sudah bisa menyebutnya bagian dari definisi bahagia.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya dengan mendapatkan balon, ada.
Orang yang sanggup bahagia hanya dengan bisa bersitatap dengan seorang yang dicintai meski hanya sebentar, ada. Pada umumnya, rasa bahagia seperti itu sanggup didefinisikan oleh kaum perempuan. Euforia setelah bersitatap selalu terasa masih kental biar sudah lewat beberapa waktu.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya dengan mendapatkan cokelat, ada.
Banyak hal yang sanggup membuat setiap orang bahagia dengan mudahnya.
Aku? Dengan bisa bersamanya saja sudah cukup, meski hanya dalam rentang waktu yang kecil; melihatnya tersenyum meski hanya dari jarak yang sanggup dilewati beberapa burung yang sedang terbang juga sudah termasuk bahagia bagiku.
Pada intinya, bahagiaku hanya bertumpu disatu titik. Dirinya.
Ada orang yang bahkan sanggup untuk mempertahankan kebahagiannya meski tahu hanya sia-sia, namun sejauh ini masih bertahan. Aku.
Kau tidak bingung membayangkan bagaimana aku bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama demi mempertahankan kebahagianku. Aku bertahan, karena aku bersungguh-sungguh. Karena aku tahu, titik tumpu bahagiaku masih padanya, dan hingga kini masih belum pindah pelabuhan.
Aku tidak tahu, akan sampai kapan aku bertumpu pada satu titik ini. Bukannya, aku tidak tahu, aku hanya tidak berani untuk memprediksikannya. Akan ada waktunya, saat ada sebuah celah dimana tumpu-bahagia-ku akan bertumpu pada titik yang lain. Dan, ya, meski sudah kupersiapkan sejak dini, tetap saja saat terjadi, aku ditertawakan oleh kenyataan.
Konyol. Padahal, aku sudah tahu, tidak ada yang siap dengan perpisahan dalam bentuk apapun itu. Kalau begitu, jika memang tidak ingin berpisah, tidak usah bertemu, iya kan? Tapi, namanya manusia. Selalu ada waktunya untuk bertemu, dan ya, waktu untuk berpisah juga.
Aku memainkan lensa kameraku. Membidik sasaran apa saja yang aku lihat di depan mataku dari ketinggian gedung.
“Lebih baik tidak usah bermain dengan lensa dulu, kalau sedang tidak fokus dan malah merusak hasilnya.”ucapnya. Aku turunkan kamera yang menutupi setengah wajahku sambil mendengus.
“Kau ini.” Hanya itu yang terucap. Karena, aku memang tidak bisa mengelak. Meski aku mengelak, dirinya tetap akan tahu.
“Aku lagi tersedia buat dengerin cerita perempuan yang penuh dramatisir, kok.”candanya. Aku mendelik kearahnya yang langsung tertawa.
Aku menggeleng sambil membersihkan kameraku. “Tidak ada yang perlu diceritakan. Kau ini terlalu berlebihan kalau jadi perasa.”ledekku. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok dan menatapku penuh selidik. Aku mengangkat kameraku dan membidik apapun itu.
“Kau yakin?”tanyanya penuh selidik.
Oh c’mon. I’m fine. Kau ini terlalu berlebihan.”desahku dengan sebal. Tidak berselang lama, rambutku berantakan karenanya. “YA!”teriakku dengan sebal. Dia hanya tertawa melihatku merapikan rambutku sambil menggerutu.
“Kau tahu,”
“Tidak.”
“ – kau ini salah satu temanku yang tidak pernah menceritakan apapun yang ada di otak dan hatimu. Selalu saja, aku yang bercerita.”sambungnya, tanpa mengindahkan ejekanku. Aku menarik nafas, yang sedari tadi aku tahan. Jika aku sedari tadi bernafas dengan lancar, yang terhirup olehku bukanlah udara, tapi wangi tubuhnya yang menguar ditiup angin.
“Jadi, karena hanya itu kau tidak mau berteman denganku lagi?”hinaku. Maksudku hanya bercanda. Tapi, ia menanggapinya dengan serius.
Ia menatapku dengan lekat, membuatku jengah.
Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Hanya berusaha untuk meredakan kejengahanku saja. “Ya! Kau ini jangan menatapku seperti akan menerkamku habis-habisan!”seruku sambil mengambil beberapa langkah mundur. Ia berdecak sebal karena aku malah menganggapnya sedang bercanda.
“Dengarkan aku dan jawab pertanyaanku dengan jujur.”ucapnya dengan sangat pelan dan serius. Bulu romaku tiba-tiba meremang mendengarnya berbicara seperti itu. “Kau ini menyeramkan.”ucapku disela-sela ia menarik nafas.
“Sstt. Hanya jawab dengan jujur saja.”
“Ya sudah, cepat tanyakan! Kau ini sanggup membuat badan kucing berjinjit dengan cepat.”gerutuku.
Ia terdiam lama, sambil menarik nafas ia bertanya, “Kau masih normal, kan?”tanyanya dengan wajah......astaga aku menahan tawa terbahak-bahakku, yang memelas.
“ASTAGA!” Aku tidak bisa menahan tawaku ketika mendengar pertanyaannya. Selang sedetik, ia cemberut. “Otakmu itu sudah tua sepertinya, ya. Tentu saja aku masih normal. Aku masih menyukai dan akan selalu menyukai yang berjenis kelamin laki-laki. Tidak seperti kau, kanan-kiri, oke.”ledekku. Wajahnya semakin ditekuk. Ketika aku menertawakannya lagi, wajahnya langsung sembilan tekuk.
Terkadang, hanya dengan seperti ini dengannya sudah termasuk dalam pengertian bahagiaku. Kadang-kadang, kami akan sibuk dengan lensa masing-masing, tapi kami tidak benar-benar saling diam. Aku bingung menjelaskannya.
Kami saling mengenal belum dalam hitungan waktu yang cukup lama, padahal. Tapi, kami berteman sudah seperti teman lama. Dia sanggup memberikan aku rasa nyaman. Meski seharusnya aku tahu, ia sudah bertuan, tidak seharusnya rasa nyaman ini berkembang biak menjadi hal yang dilarang.
Tapi, ya itulah mengapa aku menyebutnya titik-tumpu-bahagiaku.


Walaupun waktunya lebih banyak dengan wanitanya, ia masih berusaha untuk menyempatkan waktu untukku. Terkadang, aku sebal sendiri jika wanitanya sudah mulai memanipulasi dirinya. Tapi, aku juga tau diri, kalau aku sebenarnya tidak ada hak. Karena, toh aku hanya berstatus sebagai temannya. Bahkan, kalau bisa disebut, aku seperti masuk dalam lingkaran hidup mereka tiba-tiba. Jadi, aku harus belajar bersyukur perihal itu.
Aku menyusuri kembali jalan cerita, dari awal aku bertemu dengannya.
Sebenarnya, aku tidak ada niatan untuk seperti ini dengannya. Awalnya aku hanya mau berbincang dengannya tentang beberapa hal, namun lama kelamaan menjadi lebih sering berbincang. Namanya juga takdir. Tidak ada yang tahu sama sekali akan dibawa menuju kemana jalan cerita mereka sendiri.
Aku tengah membersihkan lensa kameraku sebelum disimpan dengan apik di dalam tas khususnya, ketika tiba-tiba ia duduk di hadapanku sambil memberikan cengiran lebarnya yang menampilkan gigi-giginya yang tersusun dengan rapih. Aku mendongak dengan tak acuh sambil terus membersihkan lensa kameraku.
Ia mendesis sebal.
Aku mendongak lagi. “Apa?”tanyaku sambil menatapnya dengan kening yang berkerut. Ia kembali memamerkan gigi-gigi putih bersihnya ke arahku. “Kalau kau hanya ingin memamerkan gigi-gigi yang habis kau cuci bersih di dokter, lebih baik kau lupakan rencanamu itu. Karena, aku buru-buru dan tidak ada waktu untuk melihat ada yang kurang bersih atau benar-benar bersih.”gerutuku sambil melanjutkan acaraku menyimpan kameraku ke dalam tasnya dan bangkit berdiri dari bangku tembok yang aku duduki sejak tadi membidik sasaran-sasaran-tidak-jelasku, di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari lokasi rumahku dan rumahnya yang berjarak beberapa meter.
Aku bisa mendengarnya terkekeh pelan di belakangku, namun aku tetap melanjutkan langkahku sambil menggelengkan kepalaku karena hanya menganggapnya bercanda.
“Aku cuma mau minta tolong, jadi fotografer untuk foto pre wedding aku. Bisa, kan?”
Aku yang tengah melangkah, tiba-tiba terdiam di tempat. Membeku di tempatku berdiri. Tanpa perlu menoleh, aku tau bahwa ia tengah berjalan ke arahku. Tidak lama kemudian, ia sudah berdiri di hadapanku dengan wajah yang memohon. Aku bingung mau menolak dengan halus dengan cara seperti apa, karena aku tidak mungkin bisa menolak permintaannya.
Jika aku sebuah gedung, sebentar lagi aku akan runtuh. Ya, dapat aku pastikan.
Aku hanya mengangkat sudut-sudut bibirku, berharap itu menyerupai sebuah senyuman yang biasa aku tunjukan padanya.
“Aku pikirkan dulu ya.”kataku berdiplomatis. Ia langsung memberengut tidak suka.
Desisan sebal langsung meluncur dengan cepat dari bibirku.
“Baiklah, baiklah. Nanti, aku kabari kapan waktu kosongku. Kau kan yang harus menyesuaikan waktu dengan fotografernya.”ucapku dengan asal-asalan.
Wajahnya berubah sumringah. “Sebenarnya tidak boleh begitu. Tapi, ya sudahlah. Karena, aku percaya padamu, aku ikuti katamu saja.”jawabnya. Hatiku semakin mencelos mendengarnya. Ternyata, kemarin-kemarin itu aku sudah diberikan waktu untuk mulai merelakannya biar bagaimanapun. Dan dengan bodohnya, aku tidak mengindahkan kesempatan itu.
“Kalau sudah tidak ada urusan lagi, aku pergi lebih dahulu.”ujarku dengan nada datar dan langsung buru-buru menghilang dari hadapannya. Berusaha menghalau bulir-bulir ini mengalir lebih dahulu sebelum kepergianku dari hadapannya.

Kalimat singkatnya yang meminta tolong itu masih saja terngiang-ngiang ditelingaku, hingga hampir membuatku gila jika seperti ini terus menerus. Aku tidak memikirkannya, tapi kalimat itu seperti sudah terprogram untuk berputar secara otomatis di otakku.
Harus aku akui, bahwa terkadang aku iri ketika melihat tangannya merengkuh pinggang wanitanya dengan posesif, memberikan keamanan yang sanggup membuat seorang wanita merasa nyaman dan tidak ingin meninggalkan rengkuhan itu meski harus dibayar berapa pun. Aku bahkan berani bertaruh, aku pun tidak akan mau menukar rengkuhan itu dengan apapun yang ditawarkan padaku.
Akhirnya, aku mencapai kesepakatan dengannya. Tepatnya kapan, tempatnya dimana, dan lain sebagainya. Ternyata, mereka memang hanya tinggal mencari fotografer setelah mereka merencanakan ini semua. Mereka hanya mau mencicil. Ya, begitulah yang aku dengar dari wanitanya.
Aku berikan satu konsep yang terbayang di otakku.
Aku hanya ingin mereka terlihat santai, dan terlihat tidak terlalu formal.
Aku putuskan untuk berikan konsep, paralayang.
Terdengar rumit. Tapi, sepertinya akan menyenangkan. Aku akan mengambilnya secara diam-diam, begitulah yang aku bayangkan. Dari awal mereka mempersiapkan untuk paralayang hingga ditahap terakhir ketika paralayang mereka mencapai landasan, dan lalu membereskan peralatan paralayang mereka.
Memang terdengar seperti hanya foto main-main sekumpulan remaja yang tengah liburan. Justru, itu yang aku maksud. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuknya. Jika, ia memang sudah menemukan titik-tumpu-bahagianya sendiri, maka aku pun mau tidak mau turut bahagia.
Sejauh ini, mereka menyetujui konsepku.
Aku hanya bisa tersenyum lemah.
Dan hanya bisa berharap yang terbaik dari yang terbaik untuk titik-tumpu-bahagiaku yang sudah memutuskan jalannya. Aku akan merindukan masa ketika aku yang tertawa dengannya tanpa sebab yang pasti; aku yang menertawakannya ketika ia kepedasan, padahal makanannya tidak menggunakan cabai yang cukup banyak; menertawakan leluconnya dan saling melemparkan guyonan yang bisa disebut teramat-sangat jayus; dan masih banyak lagi.


Yang aku inginkan untuknya hanya satu hal yang sederhana: ia bahagia.
Bukankah, memang sudah seperti itu kesepakatan dengan Sang Seleksi Alam? Kesepakatan yang dibuat dibawah sadar. Mau bagaimanapun, aku tetap harus merelakan.
Hingga umurku saat ini, aku masih tetap saja belum sanggup mengerti jalan pikiran dari cerita hidup ini. Aku masih belum mengerti maunya berakhir seperti apa ceritaku ini.
Aku duduk diam di bangkuku dan merasakan semburan hangat matahari pagi di kulitku. Aku tersenyum lemah sambil menyentuh kulit yang dibelai oleh hangatnya matahari pagi ini.
“Mau diluar sampai matahari sore?”seru sebuah suara yang aku kenali, mengambil posisi duduk disampingku.
“Tidak, Bu. Sebentar lagi saja. Ibu tidak datang ke acaranya?”tanyaku sambil menatap lurus.
“Bagaimana Ibu bisa pergi, kalau anak Ibu dirumah sendirian? Ibu tidak mau terjadi apa-apa pada anak Ibu.”ujar Ibuku sambil mengusap lembut rambutku yang sengaja aku gerai.
Aku terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Ibu pergi saja, sebelum terlambat. Setidaknya ada yang mewakilkan dan ada yang menyampaikan pesan turut bahagiaku untuknya, Bu. Kalau Ibu tidak pergi, aku menitip pesan pada siapa?”ujarku sambil tersenyum lemah.
Aku bisa merasakan, Ibu tengah menarik nafas panjang. Beliau tengah terombang-ambing di tengah dilema. “Kau yakin, tidak mau ikut?”tanya Ibu dengan lembut dan hati-hati.
Bahuku terkulai lemas. “Bu, sampai kapan pun, aku tidak akan muncul di hadapannya. Aku sudah mengatakannya dari awal.”jawabku dengan lembut, berusaha membuat Ibu mengerti bahwa keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.
“Baiklah. Ibu antar kau masuk dulu ya. Ibu janji tidak akan lama disana. Begitu mengucapkan –“
“Aku bisa sendiri, Bu.”potongku sambil menyentuh tangannya yang lembut, yang tengah menggenggam tanganku dengan hangat.
“Tidak. Ibu temani.”ujar Ibu bersikeras. Aku hanya menjawabnya dengan menganggguk dan ikut berdiri ketika Ibu berdiri. Beliau menuntunku masuk ke dalam kamarku dan membantuku mengambil posisi berbaring di tempat tidurku. “Ibu tinggal dulu ya.”ucap Ibu sambil mengecup keningku. Aku menjawabnya dengan mengangguk pelan. Tidak lama berselang, aku mendengar suara pintu yang dibuka dan menutup.
Sejak kejadian yang menimpanya dan memperburuk keadaannya menjelang hari bahagianya, sudah aku putuskan untuk menitipkan apa yang biasa aku pergunakan, meski itulah yang terpenting untuk digunakan untuk melihat. 
Tidak lupa juga, di dalam suratku, aku titipkan sebuah memory card yang berisikan titik-tumpu-bahagiaku.
Lalu, pelan-pelan, bulir-bulir bening mulai mengalir turun di kedua sisi pipiku.


Untukmu,
Maaf, aku tidak bisa mengunjungimu hingga kapanpun, hingga di waktu yang tidak bisa aku prediksikan. Aku tahu, dengan atau tanpaku, kau akan bahagia. Ya, dengannya. Paralayang itu sudah menjadi tugas terakhirku untukmu sebelum pada akhirnya aku mundur dari dunia kita.
Dimanapun kau berada, aku yakin kau akan bahagia dengannya yang sudah menjadi titik-tumpu-bahagiamu. Karena, kau sudah menumpukan bahagiamu padanya, maka kau harus percaya, bahwa bahagiamu ada padanya. Jangan kau lalaikan tumpuanmu.
Aku hanya bisa berharap, kau bisa mengerti maksudku mengapa aku tidak bisa bertemu denganmu lagi.
Aku titipkan sebagian dari tumpuan bahagiaku untukmu.
Aku percaya, kau akan menjaga apa yang telah aku titipkan padamu.
Dirimu akan tetap menjadi titik-tumpu-bahagiaku.
Aku turut bahagia dalam bahagiamu.


Terkadang ada hal yang harus dikorbankan untuk mencapai kata bahagia, meski itu hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Terima kasih, karenamu aku mengenal kata bahagia meski dengan cara yang berbeda. 

Fin.