A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 14 September 2013

Pergi dan Gelap


Akan ada saatnya ketika kau berada di bagian atas kehidupan, tapi akan ada pula saatnya kau berada di bagian bawah kehidupan. Ingat saja tentang pepatah lama yang sering berkata, hidup itu seperti bola yang berputar. Akan seperti itu. Tidak selamanya kau akan hidup dengan leha-leha, tapi tidak selamanya juga kau akan hidup susah. Tidak selamanya kau akan dihantui oleh masalah. Meski satu selesai, satu datang.
Ada yang hidup dengan normal, lalu tiba-tiba hidupnya berubah, ada. Entah karena apapun itu alasan yang membuatnya berubah. Dibalik setiap kejadian akan selalu ada maknanya. Walau hanya segelintir orang yang mengerti.
Aku tersenyum dengan dua mata yang memandang kejauhan. Aku bisa merasakan ramainya suara air yang berjatuhan di atas batu di depanku; udara sejuk yang dihasilkan menerpa kedua pipiku seakan-akan membelai dengan lembut. Udaranya yang sejuk perlahan-lahan mulai membuaiku yang diam-diam meresapi udara khasnya. Aku mengusap lengan atasku yang mulai terasa dingin, padahal hari baru saja beranjak sore.
Aku menoleh sedikit ke belakang melewati bahuku saat mendengar suara kaki, dan lalu tersenyum. “Kau tidak merasa dingin?”tanya Ibu sambil mengusap bahuku dengan lembut. Aku menggeleng pelan. “Hanya terasa sedikit, karena sudah menjelang sore, Bu.”jawabku.
“Terus, kau mau sampai kapan disini terus?”tanya Ibu seraya menyampirkan kain tebal ke bahuku, yang lalu aku ucapkan terima kasih sambil berbisik.
“Sebentar lagi saja, Ibu. Lagipula, aku mau ngapain di dalam kamar.”jawabku. Beliau terdiam.
Tidak berselang lama, aku mencium wangimu. Wangi entah sejak kapan melekat diingatanku. Wangi yang membuatku rindu.
Pelan-pelan tubuhku menegang.
“Maaf, Ibu mengizinkannya datang.”ucap beliau. Kali ini aku yang diam seribu bahasa. Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, seakan-akan merajuk. Bukan, aku bukan merajuk. Hanya saja, aku belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap.
“Apa kabar?”tanyamu. Aku hanya menjawab dengan diam. Mati-matian aku menahan kedua tanganku untuk tidak terangkat ke udara dan mengusap kedua pipimu dengan lembut. “Aku baik-baik saja.”katamu memberikan pernyataan.
Aku menghela nafas panjang, menangkap wangimu sebisaku untuk kusimpan. “Pulang lah. Aku baik-baik saja. Tapi, maaf, kau tidak perlu datang berkunjung lagi.” Hanya itu kalimatku yang keluar dari bibirku.
Kalimat itu berbeda dengan apa yang aku pikirkan untuk aku ucapkan.
Jika sudah berani jatuh cinta, berarti harus berani untuk sakit hati. Karena keduanya bersahabat karib.
Diam-diam memang hanya aku yang berjuang sendirian, selama ini.
Dirimu merengkuh kedua tanganku dengan hangat. “Pulang lah. Sudah beranjak sore. Perjalanan pulangmu tidak dekat.”ujarku sekali lagi dengan dinginnya. Tapi, kau tetap bergeming ditempat. Kedua tanganmu yang hangat masih merengkuh tanganku.
Kau diam, aku pun diam.
“Kenapa kau harus menghindar?”tanyamu dengan pelan. Aku menelengkan kepalaku ke samping. Berusaha menghindari tatapanmu, yang terasa menyentuh pipiku.
“Tidak, aku tidak menghindar. Aku pikir memang sudah cukup. Pulang. Nanti kau dicarinya. Aku tidak mau dia menemukanmu ada disini, denganku.”jawabku sambil berusaha melepaskan rengkuhan tanganmu, meski tidak rela.
Kau menahan gerakanku.
“Tidak apa-apa. Aku sudah memberitahunya.”
“Baiklah, kalau begitu kau tidak usah berlama-lama disini. kau sudah tahu kan aku baik-baik saja? Pulang lah.”elakku berkali-kali. aku berusaha untuk memberikan senyumku yang biasanya, yang aku sendiri tidak tahu apakah terlihat seperti sebuah senyum atau tidak.
Aku bisa mendengarmu menghela nafas dan menghembuskan dengan berat.
“Baiklah, aku pulang. Tapi, aku akan kembali. Jaga kesehatanmu.”ujarmu sambil mengusap lembut puncak kepalaku. Ketika rengkuhan tanganmu itu meninggalkan tanganku, terasa seperti ada yang hilang saat itu. Tapi, aku buru-buru menghapus rasa kehilangan itu. Seharusnya, aku tidak boleh terlalu jatuh terpuruk karena rasa ini yang semakin hari semakin parah.
“Kenapa diusir pulang?”tegur Ibuku. Aku hanya menanggapi dengan diam.
“Ia khawatir padamu. Bukankah ia sudah pernah bilang, kalau dia khawatir, ia akan langsung datang? Kau sendiri yang bilang begitu pada Ibu –“
“Dulu, Bu. Itu dulu. Bukan kemarin ataupun sekarang.”selaku dengan pelan.
“Ibu tau. Tapi, kemarin dan atau sekarang pun, Ibu juga tau kalau kau masih mencintainya. Kenapa harus membohongi perasaan sendiri?”tutur beliau dengan lembut. Aku dibuatnya terdiam. Aku menghembuskan nafas dengan berat.
“Bu, terkadang, ada yang harus direlakan, agar tidak ada yang terlalu banyak yang sakit. Jadi, aku putuskan untuk mulai belajar menjadi orang yang bisa merelakan. Meski itu tidak mudah.”jawabku dengan lembut setelahnya.
“Kalau sudah perihal perasaan, jangan pernah berbohong, Sayang.”
“Tapi, dengan keadaan yang seperti ini, aku hanya bisa memilih untuk duduk dan tersenyum jika ia memang sudah  memilih untuk dengannya. Dengan dia pula yang terasa tidak ingin diperjuangkan, aku bisa apa?”balasku.
“Jika ternyata ia sendiri tidak bahagia dengan yang sekarang?” Pertanyaan Ibu begitu menyengat ulu hati.
“Maka, diluar sana ternyata ada yang sanggup membuatnya bahagia. Tapi, aku tidak termasuk di dalamnya.”
Ibu masih saja berniat untuk berdebat denganku. “Kenapa?”
Aku terkekeh miris mendengar pertanyaan Ibu yang begitu ingin tahu. “Karena, ya aku memang sudah tidak bisa lagi memberikan apa yang dia cari, Bu.”jawabku.
“Kalau ternyata –“
“Bu, aku mau masuk. Udaranya semakin dingin.”potongku dengan sangat lembut. Jika tidak aku potong, beliau akan semakin gencar mendebat setiap jawabanku perihal satu topik ini. sudah berkali-kali aku berkata pada beliau, aku sudah memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya, berkali-kali pula pernyataanku didebat dan dibantah olehnya. Aku tahu, beliau bermaksud baik. Tapi, untuk satu ini, sudah tidak ada yang bisa mengubah keputusanku lagi.
Beliau bangkit berdiri dari posisi duduknya dan membantuku berdiri. Kami berjalan bersisian. Kenanganku tentangnya berputar kembali ketika aku berjalan bersisian seperti ini. Entah sudah lewat berapa lama, aku tidak menghitungnya, tapi selama ini dirinya selalu hidup dalam kenanganku yang tidak bisa aku sentuh dengan jemariku lagi, karena selamanya dirinya hanya hidup di dalam sana. Di dalam kenangan yang aku dan dia ciptakan bersama. Saat-saat ketika ia menggenggam tanganku dengan hangat, dan menjagaku agar tidak terjatuh tiba-tiba; lalu ia akan mengambil alih jalanku dengan berjalan lebih dahulu di depanku, masih dengan tangan yang menggenggam tanganku. Lucunya, aku merasa tidak ingin melepaskannya barang sebentar saja. Tapi, entahlah dengannya.
Diam-diam, aku belajar untuk tidak lagi menatap yang lalu dan mulai melepaskan apa yang aku genggam saat ini.
Karena, sudah tidak ada lagi kesempatan untukku untuk membuatmu bahagia. Yang selama ini kau cari memang hanya ada pada perempuanmu saat ini. Aku belajar untuk menerima kenyataan yang menghampiriku, meski aku sudah sering belajar dari kenyataan-kenyataan yang sebelumnya.
Nduk, tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mengapa, Ibu optimis, kau punya kesempatan itu. Tapi, Ibu tidak bermaksud memberikanmu harapan, yang jika tidak terbukti nantinya, malah menjadi harapan semu. Untuk sekarang, istirahat saja dulu. Tidak usah dipikirkan perihal hari ini dan Ibu minta maaf sudah membawanya kesini. Kalau ada perlu apa-apa, Ibu ada di dekatmu.”ucap Ibu sebelum akhirnya keluar dari kamarku.
Bagiku, berharap boleh saja. Tapi, jika sudah perihal perasaan, semakin berharap, nantinya akan semakin sakit jika ternyata hasil akhirnya tidak sebanding sesuai dengan harapan sendiri. Aku menatap langit-langit kamar yang terasa gelap. Mengorek kembali kenangan lamaku denganmu yang entah sudah terjadi beberapa waktu yang lalu, yang masih sering membuatku tersenyum sendiri jika mengingatnya. Tapi, jika sampai pada saat-saat aku mengingatmu dengannya....lebih baik aku tidak pernah mengenang lagi.
Kenangan itu ada untuk dikenang, memang.
Tapi, tidak ada yang bisa memilih kenangan itu sendiri. Mau mengenang yang manis atau yang pahit, akn terprogram dengan sendirinya. Aku pun begitu.


“Jangan keluar dulu. Kan belum selesai.”cegahku yang berdiri di depan pintu sambil menyilangkan salah satu kakiku, bersandar ke tembok di sampingku.
“Aku hanya mau buang sampah.”ujar laki-laki itu dengan tak acuh.
“Ya sudah, tunggu sebentar lagi apa susahnya?”jawabku dengan bercanda.
“Kalau begitu, aku dorong ya?”ujar laki-laki itu.
Belum sempat aku menarik kakiku atau pun protes, aku sudah merasakan tubuhku melayang diudara dan mendarat di lantai ubin dengan bunyi yang berdebum cukup keras. Sungguh, jika saat aku berdiri aku tidak merasakan sakit yang menyengat di bagian tulang ekorku, aku akan tertawa untuk menutupi maluku. Tapi, sayangnya yang keluar malah air bening dari sudut-sudut mataku. Rasa sakitnya menyengat hingga diubun-ubun dan menjalar turun ke punggung.
Tiba-tiba aku terjaga dari tidurku karena mimpi yang mampir tadi.
Aku ingat kata orang, jika seseorang yang jatuh dan atau berbenturan dengan sesuatu, itu bisa dijadikan pertanda buruk.
Dan, ya. aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Tapi, ternyata memang terjadi.
Hal yang sama sekali tidak aku bayangkan untuk terjadi.
Aku diserang perasaan terkejut dan masih tidak percaya. Ibu berusaha untuk tidak panik, supaya aku pun tidak serta merta panik karenanya. Aku menarik dan menghembuskan nafasku dengan sangat perlahan, seperti layaknya orang yang baru belajar bernafas, berusaha menetralkan perasaan ini supaya kembali seperti semula. Aku tersenyum tipis, hanya disudut bibirku. Senyum miris.

Entah di hari keberapa kita tidak lagi bertemu, kau berusaha untuk menghubungiku mulai berkali-kali yang tidak aku jawab sama sekali. Ibu bahkan sampai bosan menyuruhku untuk menjawab yang langsung aku tolak mentah-mentah. Aku bukannya balas dendam untuk beberapa waktu yang lalu, saat kau tiba-tiba seperti menghilang ditelan bumi setelah insiden aku jatuh, bukan. Aku hanya tidak mau kau tahu, hanya itu. Toh sebenarnya kau pun tidak akan terlalu memperdulikan aku yang notabene hanya kau anggap sebagai seorang adik angkat, ya itu hanya asumsiku sendiri dari apa yang aku perhatikan dan apa yang (berusaha) aku tanamkan dalam mindset aku sendiri.
Aku duduk diam di dalam kamar merah. Tangan-tanganku menyusuri foto-fotomu yang masih aku rendam di dalam air, yang aku cetak belum lama sebelum aku jatuh dan aku memang masih hafal urutan-urutan foto yang aku cetak sendiri. Sebenarnya, aku sudah kehilanganmu bahkan jauh sebelum aku ketahui. Bodohnya aku, aku malah masih bertahan seperti ini. Sudah jelas, dirinya yang memang lebih pantas untukmu.
Pikiranku melayang-layang entah ke kenangan yang mana, ketika diriku merasa dipeluk dengan hangat olehmu dari belakang. “Halo.”sapamu dengan hangat. Tubuhku menegang dengan sangat sempurna, aku merasa lama-lama aku akan seperti patung jika seperti ini terus. “Untuk apa kembali?”tanyaku dengan ketus.
“Untuk bertemu denganmu. Harus ada alasan yang lengkap, ya?”tanyamu dengan polos.
Aku kembali diam.
“Aku bantu gantung, ya, foto-foto yang masih basah ini.”ujarmu sambil mengambil alih foto yang masih basah dari tanganku.
“Tidak usah. Nanti merepotkanmu. Aku bisa sendiri.”ujarku sambil menolak tawaranmu dengan lembut dan berdiri dari tempat dudukku sambil menyentuh gantungan yang ada beberapa foto yang masih dijepit. Aku tengah mencari-cari jepitan dalam kegelapan untuk menjepit foto yang tengah aku pegang, ketika tanganmu mengangsurkan dua buah jepitan ke dalam tanganku.
“Terima kasih.”ucapku dengan pelan. Aku ingat foto yang saat ini aku pegang, adalah hanya fotomu sendiri yang aku ambil diam-diam karena kau tidak suka difoto oleh orang lain. Dan kau tersenyum, meski tidak sengaja. Entah kapan aku bisa melihatmu tersenyum seperti saat itu lagi. Atau mungkin, aku tidak akan pernah melihatmu seperti itu lagi.
“Aku temani kau keluar.”ujarmu sambil menggandeng tanganku, keluar dari kamar merah.
“Ibu dimana?”tanyaku dengan datar. Harusnya, Ibu ada disini.
“Ibu sedang pergi keluar. Beliau menitipkanmu padaku.”ujarmu dengan pelan dan menggenggam tanganku dengan hangat.
Bolehkah aku merindukanmu?
Meski aku diperbolehkan, apakah aku boleh mengucapkannya? Jika aku mengucapkannya, akankah masih seperti yang kemarin-kemarin, ketika kau yang menghampiriku sambil tersenyum lebar? Apakah ada jaminannya, kau tidak akan berubah dan tidak menjaga jarak dariku?
Jadi, lebih baik aku ucapkan sambil berbisik pada udara yang sama sekali tidak akan kau dengar, kan?
“Cukup temani aku ke kamar saja, dan kau sudah boleh pulang. Yang ada aku tambah merepotkanmu.”kataku.
“Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Lagi pula, aku dipesankan untuk makan siang denganmu. Ibu tadi pergi setelah selesai masak. Beliau sudah menyiapkan makan siang.”jawabmu dengan riang. Berbanding jauh dengan nadaku yang selalu ketus. Maaf, aku tidak bermaksud, jika kau ingin tahu.
Aku selalu penasaran, apakah kau pernah sekali dan atau beberapa kali benar-benar khawatir tentangku layaknya seorang laki-laki yang mengkhawatirkan perempuan yang ia sayangi, bukan dalam artian kakak-adik?
Aku ingin tahu, seperti apa perasaanmu saat kau tahu aku jatuh saat itu.
Jika, aku diperbolehkan jujur, aku merindukan segalanya tentangmu. Apapun itu. tanpa terkecuali. Pernahkah kau seperti itu padaku?
“Kau mau makan –“
“Aku bisa makan sendiri.”potongku dengan cepat sambil menyentuh piringku yang sudah terisi oleh nasi dan beberapa lauk-pauk. Yang terdengar diatas meja hanya detingan sepasang sendok dan garpu. Aku memutuskan untuk makan dengan dua tanganku, terasa lebih nikmat, seperti yang aku lakukan biasanya jika makan dirumah, hanya dengan tangan.
Tidak ada yang membuka suara, hingga akhirnya kau memutuskan untuk memecah keheningan.
“Kau masih mencintai orang yang dulu kau sebut-sebut itu?”tanyamu. Aku tersedak oleh nasi yang masuknya salah jalur. Kau buru-buru membantuku minum hingga aku bisa bernafas lega. “Kalau merasa tidak perlu dijawab, tidak apa-apa.”katamu selanjutnya.
Aku berdeham, berusaha menetralkan masuknya udara. “Masih.”jawabku.
“Masih mau berjuang?”
“Entahlah.”jawabku sepatah kata.
“Mengapa?”tanyamu lebih lanjut.
Aku diam sebentar. “Aku rasa, dia sudah bahagia. Jadi, aku hanya diam-diam saja bertahannya.”jelasku, singkat dan padat. Kau pun terdiam.
“Kalau dia masih ingin kau berjuang?”
“Akan aku pikirkan dua kali.”
“Kenapa?”
“Karena,”kalimatku menggantung diujung lidah. “Kau ini ingin tahu sekali.”desisku sambil berusaha mengelak. Aku menggigit bibir dalamku. Dan aku bisa mendengarmu berdecak sebal karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti dariku.
“Selesai ini, kau pulang saja. Mungkin sebentar lagi Ibu sampai dirumah.”
“Kau kenapa tidak pernah menghubungiku lagi?” Pertanyaanmu benar-benar keluar dari topik.
“Karena, ya aku merasa, sudah tidak ada lagi yang perlu dibahas. Iya, kan? Toh kau ada wanitamu.”ujarku lirih, sebenarnya jawabanku melenceng dari pertanyaanmu, diam-diam aku menggigit bibirku yang terlalu cepat menjawab dan malah memberikan jawaban yang seharusnya tidak aku berikan.
Hening.
Diam-diam aku menunggumu memecah keheningan untuk sekali lagi, sambil menghabiskan makan siangku perlahan-lahan.
Hari itu, kau pergi dalam diam. Meski kau sempat berbisik ketika mengucapkan selamat tinggal padaku yang sebenarnya masih terjaga dari tidurku.
Sesungguhnya, aku tidak ada niatan untuk merusak atau membuat kebahagianmu pecah. Tapi, kau sendiri tidak tahu perihal hidupmu kan? Aku pun begitu. Aku hanya mengikuti arus yang aku ikuti, kemana tujuannya dan kemana ia bermuara. Maafkan aku, karena ternyata aku bermuara padamu yang seharusnya sudah tidak bisa lagi.


“Besok kita ke dokter, ya. Ibu punya kabar baik.”ujar Ibu pada suatu waktu ketika aku tengah melepaskan foto-foto yang aku cetak di kamar merah. Gerakanku masih berlanjut, tapi pikiranku berputar keras mengolah informasi Ibu. Ada apa lagi?
“Ada apa lagi, Bu?”ujarku dengan lirih.
“Sudah, nanti saja kau tahu kabar baiknya. Dan, Ibu rasa, suatu waktu kau harus mengucapkan terima kasih.”ujar Ibu penuh kemisteriusan. Keningku berkerut semakin heran mendengar kalimat terakhir beliau. Sepertinya ada yang tidak aku paham disini.
Aku pun hanya menunggu-nunggu hari ketika akhirnya Ibu mengajakku untuk pergi ke dokter spesialisku. Aku hanya menunggu diluar, sejujurnya aku malas untuk mendengar ocehan-ocehan dokter tersebut, jadi aku membujuk Ibu untuk tetap menunggu diluar saja.
Telingaku mendengar suara pintu yang dibuka lalu ditutup dengan pelan-pelan.
Nduk, kau mendapatkan donor.”ujar Ibu. Aku mematung di tempat dudukku.
Aku bingung, haruskah aku melonjak kegirangan? Atau haruskah aku biasa-biasa saja? Aku milih yang paling diplomatis, berusaha tenang.
Akhirnya yang terucap adalah, “Tidak usah, Bu. Begini saja yang lebih baik.”tolakku dengan halus. Mungkin, Ibu sangat terkejut mendengar jawabanku yang diluar perkiraannya.
Nduk, Ibu kan bermaksud baik.”ujar Ibu memohon.
“Aku tahu, Bu. Aku tahu, Ibu bermaksud baik. Tapi, aku butuh untuk berpikir.”jawabku, setengah membujuk.
“Untuk apa berpikir ulang jika ternyata kau sudah mendapatkan donor?”
“Bu, tidak semudah itu. Aku tahu dia ikut campur tangan, kan, Bu?”tanyaku. Ibu tidak bisa mengelak lagi.
“Di bermaksud –“
“Iya, aku tahu, Ibu dan dia bermaksud baik. Tapi, biarkan aku berpikir ulang perihal ini. Aku masih harus menyiapkan mentalku, Bu,” Aku menghela nafas dengan lembut dan melanjutkan, “Ayo, pulang. Nanti kita pulangnya semakin larut.”ajakku. Ibu menyelipkan tangannya dengan lembut ke lenganku dan berjalan beriringan denganku.


Suatu saat, kau akan mengerti, disaat sudah tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan, yang tersisa hanyalah merelakan. Memang terasa rumit diawalnya, tapi aku bahkan kau pun tidak bisa memaksakan kehendak jika memang ternyata tidak bisa dituruti oleh alam. Itulah mengapa aku menyebut yang tersisa hanyalah merelakan, jika ternyata jalannya tidak bisa berdampingan. Lebih baik ada satu yang mengalah untuk menyelamatkan yang lainnya. Bagikut, itu lebih baik.
Satu hal, bahagia itu tidak bisa dibeli dengan apapun; tidak bisa ditukar dengan apapun meski itu teramat sangat bernilai. Bahagia itu tidak bisa kau cari dengan begitu mudahnya dari toko ke toko. Tidak semudah yang kau bayangkan untuk benar-benar bahagia, Sayangku. Rasa itu memang terungkap dalam satu kata, tapi jika memang tidak dimaknai, itu hanya akan menjadi seonggok kata yang biasa saja. Jadi, jika kau memang sudah menemukan bahagiamu, aku harap, kau sanggup untuk menjaganya. Karena, aku sudah menemukan bahagiaku, maka aku mencoba sebisaku untuk tetap menjaganya.
Aku tidak pernah memintamu untuk datang seperti ini.
Meski jujur, aku pernah berharap kau seperti saat ini.
Pernah terbayangkan olehku untuk menghabiskan hariku hanya denganmu dari aku membuka mata hingga aku menutup mata. Tapi, sekarang hanyalah seonggok bayangan yang aku pendam sendiri yang aku selipkan di kenangan yang aku tanam dalam-dalam agar tidak terbuka suatu waktu secara tiba-tiba.
Menjelang mendekati hari dimana kau merayakan tanggal yang kau tunggu di setiap tahunnya, aku mempersiapkan hadiah untuk yang pertama dan yang terakhir. Aku mencoba sebisa dan seamatiranku untuk membuatkan satu slide pendek yang memuat tentangmu, tentang aku, tentang kita, dan tentang kalian. Tentang kau dan dia.
Aku menuangkan kembali seluruh kenangan manis dan pahit yang aku simpan dengan baik entah di sebelah mananya otakku ini, ke dalam slide pendek yang sangat teramat berantakan tersebut. Awalnya aku ragu untuk melanjutkannya. Hingga sempat tersendat-sendat. Tapi, entah dorongan darimana, pada akhirnya proyek kecil-kecilanku itu berhasil selesai jauh dari deadline.


Kau membuka bungkusan berbentuk pipih tersebut yang ternyata sebuah piringan compact disk yang sepi akan tulisan. Kau mengerutkan keningmu, saking herannya. Tanpa nama pengirim, hanya berbungkuskan kertas kado dengan dibagian depannya bertuliskan nama lengkapmu.
Kau menyisipkan piringan compact disk tersebut ke dalam laptopmu dan menunggu dengan sabar dan juga penuh keingintahuan. Tidak lama berselang dari masa menunggumu, kau menahan nafas, karena kaget begitu melihat wajahku muncul, dan hampir memenuhi layar dengan kepala yang dimiringkan ke kanan sambil tersenyum lebar yang menampilkan deretan gigi-gigiku, itu potongan gambar yang sudah cukup lama sekali. Kau pun berdecak sebal karena merasa berhasil dikerjai olehku yang bungkus kadonya tanpa nama pengirim. Sesungguhnya, aku sendiri merasa konyol ketika memasukkannya sebagai salah satu pembuka dari slide pendek itu.
Yang tadinya kau menahan nafas, berganti menjadi senyum lebar, tapi seperti menahan tawa. Setiap menitnya potongan-potongan gambar tersebut silih berganti. Entah itu diriku; entah itu dirimu yang berkali-kali mengelak untuk difoto atau direkam; entah itu tentang dirimu yang bersamanya; entah itu tentang kegilaan kita yang dulu. Ya, dulu. Ketika mengerjakan bagian ini, terselip satu pertanyaan di dalam benakku, apakah kita bisa mengulanginya lagi? Tapi, kau tidak perlu tahu perihal itu.
Asal kau tahu, merindukanmu itu mulai terasa sangat berat ketika sampai pada fase aku-tidak-bisa-memberitahumu. Entah aku mendapat penopang darimana, aku perlahan mulai melewati fase tersebut meski dengan rasa miris yang cukup terasa.
Kau tersenyum ketika sampai pada bagian aku yang memotretmu diam-diam dan atau merekammu saat itu. Aku tidak perlu menyebutkan tempat-tempat yang menjadi latar belakang slide pendekku ini, kan? Jikalau, kau memang sudah tidak mengingatnya lagi, itu tidak mengapa. Karena, aku tahu dan bisa aku memaklumkan kalau otak manusia – termasuk aku dan kau – memiliki kapasitas yang sedikit perihal menyimpan kenangan yang jika baginya tidak terlalu penting.
“Kau ini susah sekali untuk diajak foto. Punya satu foto denganmu itu terasa seperti akan meminta foto dengan artis Hollywood yang gayanya selangit.”gerutuku dengan gusar.
Kau tertawa. “Ya karena aku tidak suka difoto.”jawabmu dengan santai.
“Tapi, kau itu suka foto orang lain.”jawabku masih dengan kegusaran dalam intensitas yang cukup tinggi.
Sekali lagi, kau tertawa dulu baru menjawab pernyataanku, “Itu kan hobbyku.” Jawabanmu membuatku sukses memberengut pada detik berikutnya, karena jawaban itu sudah skak matt bagiku. Sudah tidak bisa dibantah lagi.
Kau tersenyum saat slide tersebut sampai pada bagian tersebut.
Dan kau larut dalam potongan-potongan gambar yang – maafkan aku, ya – termasuk cukup berantakan tersebut.
Aku menutup rangkaian slide pendek tersebut dengan ucapan selamat ulang tahun.


Aku bukannya tidak mau menerima bantuanmu, tapi aku berusaha untuk tidak lagi membuatmu terlalu memikirkanku. Perihal wanitamu saja terkadang sudah cukup membuatmu kepikiran, jadi aku juga tidak mau menambah beban pikiranmu lagi. Padahal aku sendiri bukan saudara atau keluargamu, aku malah semakin tidak ingin menambah beban pikiranmu.
 Saat kau sudah selesai dengan slide pendek pemberianku tersebut, aku sudah memutuskan untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah duapatah kata untuk sekadar menjelaskan perasaan ini. Cukup aku saja dan Ibu yang tahu. Maka, kau pun tidak perlu repot-repot untuk menjelaskan sepatah duapatah kata pula. Lalu, jika ternyata kau menyambangi rumahku, yang kau temui hanyalah keheningan yang entah kapan akan berubah menjadi keramaian lagi. Ya, pada akhirnya aku berhasil membujuk Ibu untuk pindah. Pindah kemana pun yang tidak bisa kau temui kapan pun itu. Entah keluar kota, entah keluar negeri.

Entah besok, lusa, dan seterusnya dengan siapa pun yang bersamamu itu, aku tahu kau akan selalu bahagia dengan seorang yang beruntung tersebut. Aku berikan sebagian kecil dari kenanganku tentang kita, untuk kau simpan dan kau kenang suatu saat jika kau berkenan. Tetaplah bahagia, meski orang yang bersamamu silih berganti nantinya, tapi pastikan dialah bahagiamu. Karena, bahagia itu mahal dan terasa sangat mewah untuk dimiliki, jadi jangan sia-siakan orang (-orang) yang sudah membuatmu bahagia. Konyol, aku malah berbicara perihal bahagia.
Aku pamit.
Note: Walau bahagiaku ternyata tidak abadi, tapi terima kasih karenamu aku sudah merasakan yang namanya bahagia dan tidak ada penyesalan sekalipun dariku.
Kau menyimpan dengan apik secarik kertas yang ada tulisan tanganku tersebut diantara kenangan kita dan juga bersama dengan piringan pipih yang aku hadiahkan padamu.
Pada akhirnya, secara perlahan, kau mulai melafalkan selamat tinggal padaku dalam diam dan melanjutkan kebahagianmu dengannya dan denganku sebagai seorang yang pernah singgah dalam waktu yang cukup singkat di ruang dan waktumu. Mungkin, hatimu juga kah? Jawabannya hanya kau yang tahu.

Fin.