A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 01 Juli 2017

Dream

Mimpi.
Beberapa orang mengatakan, bermimpilah yang tinggi setinggi langit, kalau bisa lebih tinggi lagi dari langit. Tapi, kemudian ada saja yang membantahnya, tapi ingat diatas langit masih ada langit lagi. Lalu, ada lagi yang mengatakan hal berbeda, bangunlah dari tidurmu itu dan wujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Banyak hal yang berbicara tentang mimpi.
Mimpi terkadang dikaitkan dengan cita-cita seseorang; terkadang pula dikaitkan dengan sebuah bayangan semu atau klise yang hadir ketika tidur, yang sering kita sebut sebagai bunga tidur. Bunga tidur masing-masing orang berbeda satu sama lain. Mimpi yang kita alami, seringkali dikaitkan dengan alam bawah sadar kita. Ketika kita merindukan seseorang, seringkali orang yang kita rindukan itu bisa muncul menjadi bunga tidur. Tetapi, mimpi juga bisa memiliki suatu arti dibaliknya.
Ketika terbangun di pagi hari seringkali kita tidak akan mengingat mimpi kita. Selama dua puluh tahun lebih hidupku, beberapa mimpiku masih bisa aku ingat sampai beberapa hari kemudian, yang lalu tiba-tiba tidak bisa aku ingat lagi karena sudah mulai tertumpuk oleh hal-hal lain di dalam ingatanku.
Bagiku, mimpiku – yang memang kebanyakan memimpikan orang-orang yang aku cintai, seperti kedua orang tuaku, tanteku, teman-temanku, dan laki-laki yang aku cintai – yang menyimpan memoriku. Seringkali, ketika aku merindukan seseorang hingga tanpa sadar, rindu itu sudah masuk ke dalam alam bawah sadarku, aku akan memimpikan orang tersebut.
Ketika terbangun dari mimpi itu, aku memang masih bisa mengingat mimpi itu, tapi rasa rindu itu perlahan-lahan mulai berkurang dan tidak terlalu menyakitkan seperti sebelumnya. Tapi, karena aku masih mampu untuk mengingat keseluruhan mimpi itu, membuatku sering terngiang-ngiang dan terpikirkan terus-terusan.
Ingatan tentang mimpi itu mampu merecoki hariku – bukan, merecoki pikiranku yang kemudian mengganggu hari-hariku, maskudnya. Semuanya menjadi tidak berjalan dengan baik. Aku berjalan di jalan yang mulus saja bisa tiba-tiba kesandung, sampai lenganku harus ditahan oleh temanku, “Lagi sleepwalking ya?”ledek temanku yang kemudian aku hadiahi jitakan detik selanjutnya. Begitulah. Setiap kali otakku sedang tidak sinkron dengan keadaan, teman-temanku hanya mengatakan aku sedang sleepwalking jadi tidak usah dihiraukan.
Aku bersyukur memiliki teman-temanku yang meskipun mengatakan aku sedang sleepwalking dan bukannya mengatakanku sedang galau – sebutan anak zaman sekarang kalau sedang banyak pikiran, mungkin – tidak pernah mendesakku untuk bercerita apapun itu yang membuatku seperti sedang sleepwalking, memang mereka sering bertanya sekali “Kenapa?” hanya dengan satu kata tanya itu saja. Ketika aku menjawab dengan senyum dan menggeleng, mereka mengerti kalau aku memang sedang tidak ingin membicarakan hal tersebut.
Setelah dipikir-pikir, aku lebih bersyukur disebut sleepwalking atau sedang galau, daripada disebut zombie. Well, as you know guys, zombie itu mayat hidup. Kalau sampai mereka menyebutku zombie, mungkin mereka harus menginap di klinik kampus seharian penuh untuk mengompres kepala mereka karena aku jitak berkali-kali hingga memar, bukan, benjol maksudnya.
Aku juga menganggap seseorang itu sudah sangat dekat denganku ketika orang tersebut sudah masuk ke mimpiku. Mungkin kalian akan menganggap itu aneh. Tidak apa-apa. Anggapan setiap orang kan berbeda-beda, aku bisa maklum.
Tapi, ini cerita tentang seorang perempuan yang memiliki bunga tidur mengenai seseorang yang – bisa dikatakan – ia rindukan.
Kau tahu, rindu itu juga bisa menyakitkan. Menyakitkan ketika kau merindukan seseorang dan kau tidak bisa mengatakannya pada orang yang kau rindukan.

Suara detik jam dindingku menggema hingga ke sudut-sudut kamar.
Menghantarkan cahaya matahari yang masih temaram menyusup melalui celah-celah gorden jendelaku yang tidak tertutup dengan sempurna. Aku menarik sedikit ujung bedcover hingga menutupi daguku, sesaat sebelum jam beker di side table tempat tidurku berdering lembut. Ujung jariku menyentuh tombol on-off di bagian belakang badan jam.
Aku mengambil posisi duduk tegak. Masih dengan mata yang terpejam, berusaha mengembalikan nyawaku yang masih belum berkumpul dengan sempurna. Nafasku seiring dengan suara pergerakan detik jam dindingku yang masih menggema. Kedua kelopak mataku mulai terbuka perlahan.
Untuk kesekian kalinya, bola mataku menangkap pemandangan yang sama setiap paginya. Beranda kamar apartemen, dengan gorden jendela tipis yang berkibar halus karena tertiup angin, bersama beberapa burung gereja yang senang mampir bertengger dan bercengkerama di pagar beranda kamarku beberapa menit, sebelum akhirnya terbang pergi ketika aku menggeser pintu penghubung. Padahal aku sudah berusaha sehalus mungkin membukanya. Sepertinya pendengaran mereka lebih tajam.
Sambil memakai mantel kamar, aku keluar dari  dalam kamar menuju dapur untuk membuat susu coklat panas; salah satu kebiasaan setiap pagiku dari awal kuliah, kemudian duduk di ruang nonton untuk mendengarkan berita pagi. Bel pintu berdering halus. Aku bergerak mendekat ke monitor untuk melihat siapa yang datang. Ibu yang biasa membereskan apartemenku. Aku membukakan pintu baginya yang kemudian memberiku ucapan selamat pagi dengan lembut, ”Selamat pagi, Senja. Kunci apartemen Senja tertinggal di rumah Ibu, jadi Ibu terpaksa menekan bel. Maaf ya kalau Ibu membangunkan Senja.”katanya penuh dengan penyesalan.
Aku tersenyum maklum. “Selamat pagi, Bu.”jawabku setelah berhasil menelan susu di dalam mulutku. “Tidak apa-apa. Aku memang sudah bangun dari tadi. Aku bahkan sampai sudah mengaduk susu sendiri.” Akhirnya beliau ikut tersenyum, dan mengangguk pelan.
Setelah memakai sandal ruangan yang biasanya beliau gunakan selama berada di apartemenku, dan berjalan menuju dapur, beliau bertanya “Mau makan apa hari ini?”tanyanya sambil membuka kulkas.
“Terserah Ibu aja mau masak apa.”kataku sambil duduk di kursi bar.
“Baiklah, nanti saya buatkan ayam rica-rica untuk makan siangnya. Untuk makan malamnya mau saya buatkan bihun kuah?”tanya beliau sambil menatapku dengan salah satu tangannya mengangkat bungkus bihun yang ia tarik dari pelosok kulkas.
“Boleh. Nanti kuahnya tinggal saya panaskan lagi, kalau Ibu menyimpannya di kulkas.”
Beliau tau aku tidak pernah sarapan. Bukan tidak pernah, perutku tidak terbiasa dengan mengolah makan saat pagi-pagi. Kalau aku sedang rajin, aku akan membuat sereal. Kalau aku sedang malas dan atau serealnya sedang habis - untuk saat ini dua hal itu terjadi bersamaan – aku hanya akan minum susu. Jadi, susu coklat tidak pernah boleh menghilang dari dalam toplesnya alias aku harus sering mengisi ulang, karena aku sering minum susu.
Setiap pagi, beliau akan mematikan seluruh pendingin ruangan di apartemenku dan menggantinya dengan membuka semua jalur udara keluar masuk – jendela dan pintu beranda – untuk mengganti udara di dalam ruangan. Salah satu keuntungan berada di lantai lumayan di atas itu memberikan akses angin yang bisa dibilang lumayan banyak hilir mudik.
Setiap pagi beliau akan bekerja satu jam dulu, untuk beres-beres, dan yang terpenting untuk memasak. Kalau ada cucian dan baju yang perlu disetrika, ia akan datang lagi siang harinya. Karena, bukan hanya di tempatku saja beliau bekerja. Jadi, beliau harus pintar-pintar membagi waktu. Biasanya beliau ke tempatku untuk melanjutkan pekerjaannya saat siang, ketika ia sudah menyelesaikan pekerjaannya di tempat lain saat pagi.
“Saya mau siap-siap dulu ya, Bu.”kataku sambil meletakkan gelas kosong di dalam mesin cuci piring.
“Iya.”jawabnya singkat.
Aku berjalan dengan santai menuju kamarku sambil menarik kedua kakiku yang rasanya malas sekali untuk berjalan. Angin yang semilir bergantian memasuki ruang- ruang kosong di dalam kamarku, ketika aku menggeser pintu lemari.
Jarum detik terus bergerak berputar di satu poros, suara gerakannya terus menggema di kamarku. Jarum detik itu tidak pernah menyadari bahwa ia berputar terus-menerus di satu poros yang sama; terus menerus berputar di tempat yang sama. Mungkin saja ia tahu, tapi ia tidak mengeluh dan berhenti begitu saja. Aku senang mendengar suara jarum detik yang bergerak, karena aku merasa memiliki kesamaan dengannya. Terus menerus berputar di satu poros yang sama, tanpa pernah mengeluh.
Karena, aku tidak sanggup untuk berhenti begitu saja.
Aku mengganti sepatu Converse hitamku dan meletakannya di dalam lemari sepatu dekat pintu masuk, kemudian memakai sandal sebelum menaiki dua anak tangga, berjalan menuju dapur untuk melihat masakan Ibu. Aku mengangkat tudung saji dan mendapati ayam rica-rica dan lauk lainnya. Di tudung saji itu aku mengambil Post-It yang ditempelkan Ibu.
Senja, nasinya sudah Ibu siapkan di rice cooker ya.
Jangan sampai lupa makan ya.
Ibu.
Post-It berwarna pink itu aku tempelkan kembali ke tudung saji sambil tersenyum. Sebelum mengambil nasi di rice cooker, aku meletakkan tas yang dari tadi berada di bahuku di atas kursi.
Aku sebenarnya bukan orang yang senang makan sendirian. Biasanya aku akan pergi makan ke restoran cepat saji atau makan di restoran biasa sambil mengajak temanku. Entah mengapa hari ini aku sedang ingin makan di apartemen, maka dari itu aku mau-mau saja dimasakin makanan oleh Ibu. Biasanya aku akan menolak dengan halus.
Saat aku hendak memindahkan ayam rica-rica ke piring nasiku, aku mendengar ada suara-suara yang tidak jelas datang dari kamarku. Bulu kudukku mulai meremang. Masa iya di apartemen bisa ada pencuri? Selama hampir 4 tahun aku tinggal disini, tidak pernah aku mendengar ada kejadian apartemen yang kecurian, kataku dalam hati sambil berjalan dengan pelan menuju kamarku.
Password apartemenku pun hanya aku yang tahu. Ibu saja kalau datang aku yang membukakan pintu. Bukannya bermaksud sombong, tapi passwordku bukan kata sandi yang mudah ditebak. Semakin aku mendekati pintu kamarku, aku semakin yakin bahwa ada seseorang di dalam kamarku. Mataku mencari-cari alat yang paling bisa dijadikan senjata untuk melawan, hingga akhirnya aku menemukan gagang sapu tidak jauh dariku.
Sambil memegang gagang sapu itu dengan kuat-kuat, aku mendorong pintu kamarku dengan pelan-pelan. hingga akhirnya pintu itu terbuka dengan lebar. “Halo, Senja.” Kalimat pertama yang aku dengar itu langsung membuatku refleks menjatuhkan gagang sapu yang sedang aku genggam. Aku merasa seperti setengah nyawaku tiba-tiba melayang. Aku tidak mampu untuk berkedip, pun bernafas.
Sementara orang yang mengucapkan salam itu tengah tersenyum kepadaku.
Belum sempat aku memaksa sudut-sudut bibirku untuk terangkat, orang dihadapanku tiba-tiba membuka kedua lengannya dengan lebar. Mengundangku untuk masuk ke dalam pelukannya. Saat itu juga nyawaku yang setengah langsung kembali ke badanku, karena beberapa detik kemudian aku sudah menghamburkan tubuhku ke dalam pelukannya.
Kedua lenganku memeluknya begitu erat. Ia mengusap-usap rambutku dengan lembut, sementara aku membenamkan kepalaku di lekukan lehernya. Menghirup sebanyak-banyak mungkin wanginya. “Aku tadi sempat melihat ada ayam rica-rica di meja makanmu. Kau tidak mau mengundangku untuk makan siang?”tanyanya dengan bisikan lembut di telingaku.
Aku mengulum senyumku dan dengan terpaksa menarik tubuhku dari pelukannya. “Ayo makan. Aku sudah lapar.”kataku sambil menarik lengannya. Hal yang tidak kusangka, tanganku yang tengah menarik lengannya, ia pindahkan ke dalam genggamannya. Aku menoleh sebentar dan mendapatinya tersenyum ke arahku.
“Ayo.”jawabnya.
Rasa-rasanya aku seperti memiliki banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya. Tapi, ketika sudah bersama seperti ini, tiba-tiba saja pertanyaan itu menguap begitu saja.

Aku bahkan sampai tidak sanggup untuk berkedip setiap kali aku menatap laki-laki di hadapanku. Aku takut kalau aku berkedip, ia akan menghilang dari pandanganku. Aku tidak mau hal itu terjadi. Entah sudah berapa malam yang aku hitung hanya untuk bertemu dengannya.
“Ayo dimakan. Bukannya ngeliatin aku terus.”katanya sambil menyentuh punggung tanganku.
Aku seperti tersadarkan, sambil mengerjap-ngerjapkan mataku, aku tersenyum lebar. “Iya.”kataku sambil mulai menyuap makanan yang ada di hadapanku.
Ia, laki-laki yang aku rindukan setiap malam; laki-laki yang ingin aku temui setiap harinya; laki-laki yang menemaniku setiap kali ia memiliki kesempatan; laki-laki yang mampu menghangatkan malamku yang dingin. Lalu, ketika ia pergi, tempat yang ia tinggalkan terasa dingin dan terasa begitu menyedihkan.
Kami duduk santai di beranda kecil di depan kamarku yang menghadap langsung ke pantai. Salah satu kelebihan memiliki kamar yang menghadap ke arah pantai, yaitu ini. Bisa dengan mudahnya memandangi pantai setiap saat kita ingin. Matahari pelan-pelan mulai turun diujung pantai, memberikan semburat jingga di langit. Awan-awan putih mulai berganti warna menjadi oranye. Salah satu waktu yang tidak pernah aku lewatkan setiap harinya. 
Dan ia tahu itu.
Maka dariitu ketika kami sudah selesai makan, ia langsung menarik tanganku ke dalam genggamannya dan mengajakku ke beranda kamar. “Senja.”gumamnya lirih. Aku hanya diam. Antara ia menyebut namaku atau ia sedang menyebut apa yang sedang ia lihat.
“Kau tidak pernah bertanya pada orang tuamu, kenapa kau dinamai senja?” Tiba-tiba ia memberikanku pertanyaan untuk memecah keheningan.
Aku tersenyum menatap langit oranye diatas kami. “Pernah. Mereka bilang, kalau aku lahir tepat di senja hari. Papa dan Mama belum memiliki nama yang tepat dari sekian calon nama untukku, lalu Mama menggumam kata ‘senja’ saat menerimaku dari gendongan perawat. Papa langsung menyebut namaku, Senja.”jawabku.
Aku menarik nafas sebelum melanjutkan, “Mama senang sekali dengan senja. Lukisan-lukisan beliau kebanyakan berlatarkan senja hari. Bagi Mama, aku adalah senjanya. Senja yang bisa ia miliki untuk dirinya sendiri dan bersama Papa.” Aku menoleh menatap laki-laki di sampingku yang sedang menatap ke kejauhan. “Sementara kau adalah senjaku.”kataku, membuatnya langsung menoleh ke arahku.
“Kenapa?”
“Karena, aku tidak bisa memilikimu. Karena kau terlalu indah untuk aku miliki seorang. Kalau aku memaksakan diri untuk memilikimu, akan banyak orang yang terluka. Padahal senja itu tidak mungkin menyakiti orang lain.” Aku tidak lagi menatapnya, melainkan kembali menatap langit.
Sebuah genggaman hangat menangkup tanganku yang berada dipangkuan. Saat aku menatapnya, ia sedang tersenyum ke arahku. Genggaman itu seperti memberikan aku perasaan aman, yang membuatku mampu berpikir bahwa besok akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Ya, memang semudah itu menjalani hari-hariku bersama dengannya.
Tetapi, tidak semudah itu untuk melepaskan kepergiannya.

Jam bekerku kembali berdering. Dengan satu pergerakan tangan, aku langsung bisa meraih bekerku dan menekan tombol off di bagian belakang benda itu. Suara siulan burung-burung yang bertengger manis di pagar pembatas balkon kamarku menyusup masuk melalui celah pintu geserku, sekaligus mengibarkan gorden putih dengan pelan.
Aku memutar tubuhku dan tanganku terulur ke sampingku.
Tunggu.
Ada yang hilang.
Aku langsung membuka mataku dengan cepat.
Begitu menyadari apa yang hilang di sampingku, aku langsung terbangun. Mataku mencari jejak keberadaannya. Di dalam kamarku ini bahkan tidak ada jejak keberadaannya. Aku langsung menyibakkan selimutku dan dengan terburu-buru turun dari tempat tidur, berjalan cepat menuju luar kamarku, bahkan aku sampai tidak sempat memakai sandal kamarku.
Hening. Tidak ada orang lain di sini selain aku.
Pintu apartemenku bergerak terbuka, kemudian muncul sesosok dari baliknya.
Sayangnya bukan sosok yang aku tunggu.
“Selamat siang, Senja.”sapa ibu pengurus apartemenku. Beliau yang setiap pagi datang – tunggu, siang? Ini sudah siang? Aku menolehkan kepalaku ke arah jam dinding yang berada diatas tv. Detik berikutnya aku langsung melongo. Astaga, ini sudah jam 2 siang? Ini bahkan sudah lewat dari setengah hari aku tidur. Sebentar lagi aku bisa tanding lama tidur dengan kelelawar.
“I-ibu baru datang siang ini?”tanyaku sambil mengekori beliau ke ruang belakang, tempat baju-baju bersih yang minta dirapihkan dengan setrikaan.
Ibu menoleh kearahku dengan dua alis yang hampir menyatu di tengah-tengah keningnya, beliau bingung mendengar pertanyaanku. Kemudian dia tertawa. “Tidak. Ini ibu datang untuk menyetrika. Ibu lupa tadi pagi bilang ke Senja, kalau siang ibu mau datang lagi. Untung Senja udah pulang.”
Pulang? Pulang darimana? Aku kebingungan. Aku baru pulang dari time traveler apa? Bukannya aku bertemu dengan ibu kemarin pagi? Jangan-jangan tadi pagi aku bertemu dengan ibu saat nyawaku belum kekumpul semua.
“Jadi, tadi pagi Ibu sudah datang?”tanyaku.
“Sudah. Kalau ibu belum datang, Senja belum makan pasti.”jawabnya kemudian mulai menyiapkan perlengkapan menyetrikanya. Aku berjalan dengan lemas menuju kamarku. Kebingungan masih menyita seluruh pikiranku. Dia bahkan tidak meninggalkan pesan sebelum pergi.
Aku langsung membuka ponselku. Kenapa tidak dari tadi kau cek ponselmu, Senja, aku merutuki kebodohanku dalam hati.
Kosong. Tidak ada pesan darinya sama sekali.  Aku meletakkan kembali ponselku di atas tempat tidur dengan lemas. Dia pergi lagi, tanpa pamit. Aku merasa seperti baru saja bertemu dengannya dan sekarang aku sudah ditinggalkan lagi. Dia bahkan tidak mau repot-repot sekadar meninggalkan pesan pamit untukku.
Aku melanjutkan hari ini dengan setengah hati.
Duduk di beranda sambil memegang cangkir tehku yang masih mengepulkan uap panasnya. Pelan-pelan langit mulai berganti warna seiring waktu berputar. Angin hawa musim hujan mulai berdesir di atas kulitku dan membawa pergi kepulan uap panas.  Rasanya menenangkan.
Seandainya semudah itu membawa pergi kenangan. Seandainya semudah itu melepaskan seseorang yang sudah jelas sekali tidak bisa kita harapkan, tapi bodohnya tangan kita masih terus berusaha mencekal keberadaannya. Bukan hanya kau yang sakit, yang dicekal pun sudah tentu tidak akan senang, apalagi bahagia. Seandainya semudah itu membukakan pintu bagi kedatangan orang lain. Seandainya semudah itu hatimu sembuh setelah dilukai berkali-kali. Meski luka itu hanya kecil, tapi jika terjadi karena orang yang aku cintai, luka itu bahkan rasanya lebih sakit berpuluh-puluh kali lipat dari yang seharusnya.
Aku memang seharusnya sudah melepaskannya, tapi bukankah angin bisa saja datang kembali? Dan aku selalu bisa menerimanya saat datang kembali. Banyak yang mencintainya, siapa yang tidak bisa jatuh cinta padanya? Lelaki yang mudah sekali memberikan senyuman pada setiap orang, lelaki yang sanggup menenangkan badai yang akan menerjangnya hanya dengan satu pelukan hangat. Ya, dia berani memeluk badai yang sedang mengamuk. Bahkan Ibu-ku sendiri bisa tergila-gila padanya. Kalian tahu apa yang Ibu katakan sesaat setelah bertemu dengannya di kampung halamanku, ketika ia memaksaku untuk memperbolehkannya ikut aku pulang ke rumah orang tuaku? “Kalau bukan dia mantu Ibu, mending kau jadi biarawati saja.” Ayah sampai tertawa dengan terbahak-bahak mendengar kalimat Ibu. Karena beliau yakin, Ibu sebenarnya juga tidak rela jika anak semata wayangnya menjadi biarawati. Aku pun mau tidak mau ikut tertawa, sementara Ibu menggerutu karena ditertawakan oleh kami.
Sayangnya, Ibu tidak tahu, siapa yang memilikinya seutuhnya.
Perempuan yang tidak akan pernah aku bisa tandingi.
Siapa yang bisa menandingi bayangan? Siapa yang bisa menandingi seseorang yang sudah tinggal di dalam kenangan? Aku saja tidak bisa. Perempuan dalam hidupnya banyak yang silih berganti. Tapi, di kenangannya hanya satu bayangan perempuan saja.
Perempuan yang telah tiada bertahun-tahun lalu, karena harus kalah pada penyakitnya. Saat itu pertama kalinya, aku melihatnya menitikkan air mata. Sekuat-kuatnya dirinya, ia tidak akan pernah mau menitikkan air matanya di depan siapa pun. Hari itu, ia harus bertekuk lutut di depan kesedihannya; di depan kebahagiaannya yang sudah tidur dengan tenang dan tidak perlu merasakan sakit apapun lagi.
Aku memeluknya dengan erat. Saat itu yang aku tahu, ia pasti sangat membutuhkan pelukan. Ia menangis dalam pelukanku. Tidak ada suara, yang ada hanya bahunya yang terguncang. Ia tidak berusaha menghapus jejak-jejak air matanya. Ia membiarkan jejak-jejak itu kering dengan sendirinya, dia berharap dengan begitu ia tidak akan menghapus jejak perempuannya juga.
Aku menyesap teh yang kini sudah mulai menghangat.
Aku hanya rumah singgah baginya. Rumah sesungguhnya sudah tidak ada lagi baginya. Rumah sesungguhnya sudah runtuh bersamaan dengan sedihnya bertahun-tahun lalu. Itu kesedihan pertama dan terakhir kalinya ia tunjukkan padaku. Bahkan ketika menonton film sedih pun, ia bahkan tidak menunjukkan ekspresi sedih, bahkan aku sampai harus menghapus air mataku dengan tisu. Ia akan tertawa melihatku yang menangis seperti  anak kecil yang ditinggal pergi orang tuanya.
Ya, ia sudah membekukan perasaan sedihnya. Aku memahami sekali hal itu. Setiap kali ia bersedih, yang akan ia ingat hanyalah saat-saat kepergian perempuannya.
Aku malah jadi merindukan keberadaannya sekarang.
Aku bisa merasakan hembusan angin pagi yang sejuk melewati celah pintu penghubung menuju balkon kamarku. Menukar udara di dalam kamarku dengan udara yang baru. Matahari masih malu-malu untuk bersinar, karena ia terus memilih untuk bersembunyi di balik awan berwarna abu-abu. Jam bekerku belum berbunyi, karena ini memang belum waktu baginya untuk berdering.
Sebuah tangan menyusup masuk ke dalam selimut dan menarikku ke dalam pelukannya lebih dalam lagi. Aku mengerang pelan. “Hhmm.” Kemudian menggeliat dengan nyaman, menyandarkan bahuku. “Selamat pagi.”bisiknya dengan halus.
“Iya, selamat pagi. Aku mau tidur lagi.”kataku masih setengah sadar.
WAIT! WHO’S THAT?
Mataku langsung terbuka lebar dan tubuhku membeku. Aku bisa mendengar suara tertawa meledek di belakangku. Sepertinya aku kenal. Aku langsung mengambil posisi duduk di atas tempat tidurku dan mendapati dirinya disana. Di atas tempat tidurku juga. Sedang menopang kepalanya dengan satu tangannya di atas bantal. Ia sedang tertawa melihatku yang terkejut.
“Sejak kapan kau ada disini?” Aku bertanya dengan bingung.
“Sejak kau mulai bergumam tidak jelas.”katanya kemudian mengedikkan bahu.
Aku pasti mengigau lagi. Aku kemudian bertanya sambil memicingkan mataku dengan curiga, “Pasti waktu aku sedang mengigau, kau mengerjaiku, ya?” Ia kembali tertawa mendengar kecurigaanku pada sifat usilnya.
“Tidak. Aku hanya mendengarkan kau bergumam tidak jelas. Lalu, waktu aku ucapkan selamat pagi, kau membalasnya dengan jelas. Aku padahal hanya sedang mengetesmu.”jawabnya.
“Iya, itu juga bagian dari mengerjaiku!” Aku membalasnya dengan suara datar.
“Sini.” Ia membuka kedua lengannya lebar-lebar, menantiku untuk merebahkan telingaku tepat di atas jantungnya. Ada yang aneh, gumamku. Tapi, usapan lembut di rambutku, sanggup menghilangkan rasa aneh yang tiba-tiba menyerang perasaanku.
“Begini kan lebih enak.”gumamnya sambil membetulkan posisi selimutku yang tersingkap.
Aku tersenyum lebar, kemudian memeluknya dengan erat. Sangat erat.
“Astaga, Senja. Aku tidak bisa bernafas kalau kau memelukku seperti ini.” Ia menepuk lenganku dengan pelan dan lembut.
“Tidak apa-apa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan kau.” Aku terkekeh. “Aku rindu.”bisikku dengan sangat halus. Berharap ia tidak mendengarku. Harapan yang sia-sia sebenarnya, karena ia pasti mendengarku, karena kemudian ia balas memelukku dengan erat. Seakan-akan sedang berusaha menenggelamkanku dalam pelukannya.
“Sekarang kau yang tidak bisa bernafas karena aku memeluk kau dengan erat!”ledeknya sambil tertawa. Aku bisa merasakan badannya terguncang saat ia sedang tertawa. Mau tidak mau aku ikut tertawa.
“Kau kemana saja?”tanyaku saat aku sudah kembali ke posisiku semula. Berhadapan dengannya, sementara tangaku berada di atas jantungnya.
“Aku tidak kemana-mana, Senja. Aku selalu ada untuk kau. Kau tidak menyadari itu?” Ia menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga, kemudian mengusap pipiku dengan kasih sayang.
“Tidak.” Aku menjawab dengan polos, membuatnya tersenyum tipis.
“Nanti ada saatnya kau akan menyadari itu.”
“Kapan?”
“Ya nanti, kan aku bilang ada saatnya.”
“Ah, ada saatnya menurut versi kau, itu pasti lama sekali. Nanti aku sudah keburu tua dan punya cucu.”ledekku.
Ia tertawa. “Tidak. Kali ini tidak akan lama.” Kemudian ia menatap ke kedalaman mataku, hingga aku tidak bisa memalingkan wajahku. Meskipun begitu aku memang tidak mau memalingkan wajahku. Keberadaannya adalah candu bagiku. Aku tidak butuh obat-obatan terlarang untuk membuatku kecanduan. Dirinya saja sudah candu bagiku; dirinya itu adalah obat-obatan terlarangku.
Aku mengusap rambut hitamnya dengan lembut.
“Aku rindu, Bumi.” Akhirnya kata itu terlontar dari bibirku.
“Aku tahu, Senja, aku tahu sekali itu.”jawabnya penuh kasih. “Sshh, jangan menangis. Aku ada disini.” Ia menarikku kembali ke pelukannya saat melihat bibirku mulai bergetar pelan menahan tangis kerinduanku, ia menyelipkan kepalaku ke bawah lekukan lehernya, dan dengan lembut mengusap-usap punggungku.
Usapan hangatnya di punggungku membuatku terbuai dan pelan-pelan mataku mulai berat dan akhirnya aku jatuh tertidur.
Sesaat sebelum aku tertidur, aku sempat mendengarnya berbisik pelan. “Aku minta maaf, Senja. Kau harus mulai terbiasa untuk tidak merindukanku lagi. Kau tahu aku sayang padamu. Biar bagaimana pun kau senjaku,” Ia menarik nafas pelan, kemudian melanjutkan, “Aku pamit, Senja.” Lalu, ia mengecup keningku dalam waktu yang lama sekali.
Aku tidak sanggup membalasnya karena saat itu kantukku sedang menarikku lebih dalam lagi hingga aku tidak tahu apakah aku tadi hanya perasaanku saja atau ia memang benar-benar mengucapkannya.
Siulan burung-burung yang saling bersautan memberikan tanda bahwa ini sudah pagi. Jam bekerku berdering halus pagi ini. Aku menekan tombol off dengan mata yang masih terpejam dengan sempurna. Ini sudah seperti rutinitas pagi hariku. Mendengar suara siulan burung dan dengkuran bekerku yang nyaring. Sambil menyelipkan tanganku ke dalam bantal kepalaku yang sejuk, aku melanjutkan tidurku lagi. Karena, ini hari Minggu. Hari bagiku untuk tidur sepuas-puasnya.
Aku tidak mendengar suara pintu kamarku di buka.
Aku tidak mendengar suara gorden kamarku disibakkan.
Aku tidak mendengar suara langkah kaki yang mondar-mandir di kamarku.
Hingga akhirnya, seseorang menepuk lenganku dengan halus, “Senja,”panggilnya, beberapa kali menepuk lenganku.
Kemudian, “Ya ampun! Senja, kau demam!”pekik suara itu dengan terkejut.
Aku hanya bergumam tidak jelas. Tapi, aku tahu itu suara ibu yang biasanya mengurus apartemenku. Beliau memang memiliki kunci sendiri. Aku berikan kunci cadangan padanya untuk berjaga-jaga kalau aku tidak bisa bangun untuk berangkat kuliah pagi, jadi beliau bisa membangunkanku.
Suara ibu? Aku memaksa mataku untuk terbuka, meski hanya sedikit.
“Ibu?”tanyaku dengan serak.
“Badanmu panas sekali, Senja.” Aku melihat beliau berlutut di samping tempat tidurku, supaya bisa berada sejajar dengan kepalaku. Aku bahkan merasa biasa saja. “Ibu buatkan bubur ya, biar bisa minum obat. Nanti ibu kompres juga sekalian. Tidur saja dulu, nanti ibu bangunkan kalau sudah selesai.” Beliau langsung bangkit berdiri dan berlalu dari kamarku dengan pintu terbuka.
Kenapa ada ibu? Ibu tidak kaget melihat –
Aku yang malah kaget. Tempat tidurku hanya ada aku seorang!
Aku terduduk. Hal itu membuatku kepalaku langsung seperti berputar-putar dengan cepat. “Akh!” Aku memegang kepalaku yang pusing.
“Bumi?” Aku memanggil namanya. Tapi, pemilik nama itu tidak menyahut. Segala kenyataan datang menghantam kepalaku yang masih pusing dalam sekali hantaman.
Ya Tuhan! Aku menutup mulutku yang menganga dengan lebar.
“Bumi,” Aku kembali menggumamkan namanya.
Masih tidak ada yang menyahut.
“Bumi!” Aku meneriakkan namanya dengan kencang. Ibu sampai harus datang dengan tergopoh-gopoh mendengar teriakanku. Ia mendapatiku tengah menangis di atas tempat tidur dengan dua tangan yang menangkup wajahku.
“Senja,” Beliau membawaku ke pelukannya.
“Ibu, Bumi, bu.” Aku merengek seperti anak kecil yang merengek dibelikan mainan pada ibunya. Beliau hanya mengusap rambutku, berusaha menenangkanku. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku mau Bumi, bu.” Kembali aku merengek dalam tangisku.
“Tidak boleh, Senja. Bumi tidak ada lagi.” Ibu langsung menjatuhkan bom di tengah-tengah tangisku.
“Apa?!” Aku mengangkat kepalaku dari pelukannya. Aku menatapnya dengan mata sembabku, berusaha mencari kebohongan dimatanya. Tapi, aku tidak menemukannya.
“Bohong! Ibu pasti bohong!”kataku dengan wajah merengut dan hampir menangis lagi.
“Ayo ikut Ibu.” Ibu membimbingku berjalan menuju ruang tengah. “Bumi ada di sana.” Dari kejauhan beliau menunjuk sudut ruang tengah yang berada bersebelahan dengan kaca besar, di tengah-tengah meja sudut itu ada sebuah foto berbingkai hitam yang berdiri diantara bunga-bunga segar dan diapit dua buah lilin besar yang apinya bergetar halus, setiap kali ada angin yang berhembus pelan. Aku berjalan menuju meja sudut yang ditunjuk oleh ibu.
Dalam bingkai itu ada wajah seorang laki-laki yang sedang tersenyum lebar. Di bagian bawah foto itu, tertulis dengan tinta hitam, ‘Now you are a happy man because you have met your woman in heaven. May you still be with me who still alive, because of you. May you rest in peace. In loving memory, Bumi.’
Ini sudut yang sering kali aku singgahi, sekadar untuk berdoa baginya, menyalakan lilin, mengganti lilin, mengganti bunganya atau sekadar memandangi fotonya. Dia lelaki yang menyelamatkanku dari kecelakaan mobil beruntun. Kejadian saat itu sangat cepat terjadi. Sedetik lalu ia membuka pintu mobilku dengan cepat, detik selanjutnya aku melihatnya mendorongku keluar dari pintu mobil. Sedetik kemudian, sesaat setelah aku berada di jalan beraspal, mobilnya dihantam dengan keras dari belakang membuat mobil itu ringsek bersama dengan mobil di depannya, di depannya, dan di depannya lagi.
Ia menukar nyawanya untuk nyawaku. Ia menukar kehidupannya untuk kehidupanku. Aku tidak sempat mengucapkan kata perpisahan. Aku tidak sempat pamit padanya. Hingga saat itu seharusnya tiba, aku hanya seseorang yang tidak sanggup melihat petinya yang masih terbuka mulai didoakan, karena sudah saatnya untuk prosesi penutupan peti. Aku pingsan dikala seharusnya aku pamit di depannya untuk terakhir kali.
Aku jatuh terduduk di lantai, dan saat itu lah tangisku kembali terurai.
Ini pertama kalinya bagi ibu melihatku kembali menangis, setelah kepergiannya setahun yang lalu, aku tidak pernah menangis lagi. Ibu yang mengurus apartemenku memang mengenalnya. Bahkan Ibu menganggapnya sudah seperti anaknya sendiri, sama halnya dengan beliau telah menganggap aku sebagai anaknya. Beberapa kali saat kami akan pergi di saat siang hari, kami akan  mengajak ibu untuk ikut kami pergi.
Maka dari itu, pantas saja jika tadi ibu tidak ada kagetnya sama sekali. Karena memang sebenarnya ia tidak ada disini. Ia tidak pernah ada disini. Bumi memang sudah tidak ada lagi disini.
Aku sebenarnya saat itu bukanlah baru pulang dari time traveler seperti yang aku kira, tapi sebenarnya aku bertemu dengannya dalam mimpi. Sama halnya dengan yang baru saja terjadi. Ia baru saja datang singgah ke dalam mimpiku. Alam bawah sadarku tanpa sadar mengundangnya. Ya Tuhan!
Dan sebenarnya ia telah berpamitan melalui mimpiku. Kepergiannya dari mimpiku lah yang membuatku tiba-tiba jatuh demam seperti ini.
Bumi, sekarang aku sadar, bahwa kau memang selalu ada untukku. Kita akan selalu bisa bertemu di kala senja berada di ufuk. Setiap hari kau memang selalu ada untukku. Terima kasih, Bumi.


Fin.