A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Rabu, 29 Mei 2013

Bus [2]

Hujan salju semakin deras di pagi hari. Meskipun matahari bersinar, tapi tidak ada kehangatan yang terasa. Aku masukan salah satu tangan yang berbalutkan sarung tangan tebal ke dalam saku jaket dengan tangan yang lainnya memegang payung. Aku tidak berencana untuk mengoleksi sallju dalam jumlah cukup banyak untuk kubawa pulang.
Aku mampir ke kedai kopi. Kuputuskan untuk mengambil teh manis saja yang tersedia secara gratis. Aku melihat jam tanganku. “Sebentar lagi jam 9.”gumamku dan menyesap teh manis hangat tersebut.
“Hei. Am I late?”tanyanya sambil mengibaskan salju di rambutnya yang berjambul di bagian depannya. Ya, dia memang bukan orang asli Korea. Asalnya dari New York. Dan ia disini karena mendapatkan kesempatan untuk merasakan pertukaran pelajar di awal tahun ini. Untuk mengisi waktu kosongnya ia bekerja disini. Sehingga ia hanya dibayar dengan hitungan paruh waktu.
“Tidak. Aku belum lama sampai. Mau minum teh dulu untuk menghangatkan tubuh?”tawarku. Ia mengangguk seraya berjalan menuju teko yang tersedia di meja khusus dan tak lama kemudian ia sudah kembali dan duduk di sofa di hadapanku.
“Salju semakin deras?”tanyaku dengan miris, sambil melihat keluar jendela. Dia mengedikkan bahunya. Antara sebagai jawaban ‘ya’ dan ‘tidak peduli’. “Ah, hari ini kau tidak kerja?”tanyaku. Penasaran.
“Kerja. Kalau di akhir pekan aku mengambil jam malam. Tapi, untuk hari ini aku sengaja mengambil cuti.”jawabnya sambil tertawa kecil. Aku dan ia tidak pernah mengobrol dalam bahasa Korea, karena saat pertama kali mendengarnya berbicara dengan bahasa Korea beserta logatnya, terdengar lucu. Sehingga, kami memutuskan untuk mengobrol dengan bahasa Inggris. Sejujurnya aku pun bukan orang Korea asli, hanya separuh dari darahku.
Tidak ada perkenalan secara resmi. Dan tidak ada yang memulai.
Dingin. Seperti hati yang sudah cukup lama tidak dihuni. Tidak ada rasa hangat disana. Mungkin dibutuhkan waktu yang lama untuk melelehkan dingin di dalam sana dan menggantinya dengan kehangatan yang baru. Setengah jam kemudian setelah menghabiskan teh manis entah untuk ke berapa kalinya kami tambah, kami putuskan untuk keluar dan menuju tempat yang dimaksud olehnya untuk mencari pohon Natal.
Untungnya saat keluar dari kedai, hujan salju sudah tidak separah tadi. Tapi, aku tetap memutuskan untuk membuka payungku. “Karena aku jauh lebih tinggi darimu, lebih baik aku yang memegang payungmu. Daripada aku harus merunduk terus-menerus atau kau yang mengangkat tinggi-tinggi tanganmu yang tetap membuatku harus merunduk saat di dalam payung.”candanya seraya mengambil alih payungku.
Aku tertawa mendengarnya. Lucu melihatnya yang tinggi, berbalutkan dengan syal tebal di lehernya dan jaket yang tidak kalah tebal sambil memegang payung dan uap dingin keluar dari mulut dan hidungnya tiap kali ia menghembuskan nafas. Aku mulai menendang-nendang tumpukan salju yang aku lewati di trotoar.
Aku tidak menghitung sudah berapa kali aku hampir jatuh terpeleset karena terus-menerus mengusili tumpukan salju, jika saja lenganku tidak disanggah oleh tangannya yang tidak memegang payung. Aku tertawa lebar melihatnya mendesis. Maka kali ini, aku berpegangan pada lengannya yang memegang payung, dan kembali mengusili salju-salju itu. “Sampai kali ini kau benar-benar jatuh, akan aku biarkan.”desisnya dengan sebal, tapi tersirat nada bercanda didalamnya. Kuberikan senyum lebarku padanya yang lalu mendengus dan tertawa.
Padahal kami hanya sering berbicara lewat pesan dan atau telpon, tapi aku sudah merasa begitu akrab dengannya. Seperti sedang bersama dengan teman lama.
Hari ini aku dan ia berencana untuk mencari seluruh perlengkapan dan pernak-pernik untuk Natal nanti. Sepertinya dua hari ini akan sibuk dengan mengurus pohon Natal dan merangkai ‘perhiasan’ pohon Natal baru miliknya.

Hari Natal sudah besok. Dekat perapianku sudah banyak kayu bakar yang bertumpuk. Kue-kue kering sudah tersedia di meja tamu, juga di ruang bacaku yang merupakan tempat aku bersantai depan perapianku. Aku tertawa sendiri jika mengingat beberapa hari lalu saat aku menyuruhnya untuk membuat kue kering yang menghasilkan dapur yang seperti kapal pecah di kondominium miliknya.
Ia hanya memberikanku cengiran tidak berdosanya seraya menggaruk tengkuknya begitu aku melangkah masuk ke dalam dapurnya dan berhasil membuatku menganga melihatnya. “Jangan lagi kau mencoba untuk memasak atau apapun itu yang berhubungan dengan dapur.”kataku yang masih setengah terkejut. Telur-telur pecah berserakan di mejanya yang tinggi dan besar; tepung-tepung yang ikutan berserakan; adonan yang gagal; dan masih banyak lagi.
Menjelang sore, dapur itu barulah bersih.
Keesokannya aku datang kembali dan membuatkan beberapa jenis kue kering dengan empunya tempat yang duduk dengan manis di meja yang menjadi saksi bisu tingkahnya yang memporak-porandakan dapurnya sendiri. “Sampai satu kue hilang, kau buat 10 toples.”ancamku padanya karena sempat tertangkap basah olehku yang berbalik badan tiba-tiba untuk mengambil sisa adonan, sedang mengambil dua kue kering yang baru keluar dari oven. Ia tertawa seperti anak kecil yang ketahuan mengambil permen dan buru-buru melahap dua kue yang berada di tangannya sebelum aku sempat menyuruhnya untuk mengembalikkan ke tempatnya yang semula.
Ponselku berdering. “Sedang apa?”tanyanya dari seberang.
Aku mengapit ponselku di antara telinga dan bahuku. “Aku sedang memasukkan beberapa potong kayu bakar. Kau?”tanyaku.
 Sedang menghabiskan salah satu dari kue kering di toples yang baru selesai kau buat beberapa hari lalu.”jawabnya dengan suara yang tidak berdosa. Aku mendesis sebal. Ia hanya menjawabnya dengan sebuah tawa renyah.
“Kau tidak berangkat kerja?”tanyaku sambil mengalihkan pembicaraan dari kue, sebelumnya karena aku barusan melihat jam.
Sebentar lagi. Kau tidak ke kedai?”tanyanya.
“Hari ini sudah. Tadi menjelang sore aku pulang, karena aku harus membereskan dapurku.”jawabku. “Sekarang kau siap-siap berangkat saja ke kedai, daripada terlambat. Hujan saljunya sudah tidak parah seperti kemarin-kemarin.”kataku.
“Baiklah. Aku siap-siap sekarang.” Tapi, tidak ada tanda-tanda ia akan memutuskan sambungan telpon. Aku mengulum senyumku.
“Hati-hati di jalan. Bye.” Dengan ragu-ragu aku memutuskan sambungan. Aku memaju mundurkan kursi goyangku yang berada di depan perapian.

Hari Natal tiba! Aku menyibakkan kain gorden di jendela besarku supaya sinar matahari menghangatkan ruangan dirumahku. Diluar, anak-anak kecil sedang berseru girang sambil bermain-main dengan salju. Saling main lempar-lemparan salju; main guling-gulingan di salju juga.
Entah mengapa belakangan ini aku sering menunggu pesan atau telpon darinya.
Sekarang pun begitu, aku menunggu ia mengucapkan Selamat Natal lebih dahulu dariku. Tapi, ponselku tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahuku terkulai lemas. “Mungkin ia belum bangun.”gumamku untuk menghibur diriku sendiri dan bersiap-siap untuk bertandang ke kedai kopi.
Perputaran waktu mulai terasa cepat. Saat aku merasa baru di awal bulan, tiba-tiba saat tersadar aku sudah berada di pertengahan bulan yang tidak lama lagi akan di akhir bulan. Seiring waktu yang mulai berputar cepat ini pun, perlahan-lahan dirimu mulai terhapus olehnya. Apapun itu. Kau tidak tahu sebarapa kuatnya aku berusaha untuk melepaskan diri. Tapi, mari kita lihat akhirnya. Apakah aku berhasil atau tidak. Aku sendiri meragu.
Aku baru sadar, hari ini barista itu tidak masuk.
Aku menghampiri temannya yang lain untu bertanya. “Barista yang paruh waktu itu, tidak masuk?”tanyaku.
Temannya menggeleng. “Tidak. Tapi, tadi pagi sebelum aku sempat masuk untuk ganti shift, ia menitipkanku note ini.”katanya sambil mengulurkan selembar kertas note.
12 o’clock at my compartmen.
I’m waiting for.
B.
Hanya dua baris kalimat tersebut. inisial ‘B’ itu maksudnya adalah barista.
Saat aku melihat jam, sebentar lagi tengah hari. Maka kuputuskan untuk memesan dua kopi yang di take away dan menunggu barang sebentar di halte bus yang biasa aku dan ia menunggu bus yang sama. Sinar matahari mulai terasa hangat tidak seperti beberapa minggu kemarin yang sering kali aku sebut Hari Beku. Karena memang dingin sekali, dinginnya dingin yang membekukan.
Bus bernomor 11 terlihat dari kejauhan. Aku langsung berdiri di pinggir halte dan langsung meloncat masuk begitu pintu bus tersebut terbuka dan menempelkan kartu busku ke detektornya. Hari ini sepertinya ramai. Karena bus bernomor 11 hari ini cukup penuh, serta bus bernomor lainnya yang aku perhatikan saat berhenti di halte tempatku menunggu.
Aku sendiri tidak tahu kapan masa pertukaran pelajarnya selesai. Karena, ia sendiri tidak mau memberitahukan padaku dan tiap kali aku bertanya dia akan mengalihkan topik. Dan ya, aku memang mudah sekali dialihkan. Pikiranku mudah meloncat-loncat dari satu topik ke topik yang lain dan melupakan sejenak topik sebelumnya.
Aku berhenti di halte yang hanya berbeda beberapa halte dengan halte rumahku.
Untungnya aku hafal nomor apartemennya, jadi tidak terlalu susah untuk menemukannya, hanya saja aku perlu bertanya berada di lantai berapa. Karena tidak mungkin aku menggedor satu persatu pintu yang terbilang banyak disini. Bisa-bisa aku sampai saat tengah malam. Dikedua kalinya aku menekan bel, pintu itu terbuka dan melahirkan sosoknya yang berbalutkan pakaian santai. Kaus T-shirt Polo berwarna putih dan sweater berwarna biru dongker yang tidak terkancing.
Ia mengambil jaket juga blazer yang aku gunakan dan menggantungnya di tempat jaket. Saat bertemu di depan pintu, ia memberikanku seulas senyum miring khasnya padaku yang menjawabnya dengan cengiran. Rasanya aneh jika aku langsung menghamburkan diriku padanya. Ia menuntunku ke balkon kompartemennya yang besar dan mulutku menganga. Membuatnya tertawa.
“Jangan hanya dilihat. Ayo, duduk.”ujarnya sambil menarikkan bangkuku dan mempersilahkan aku duduk, lalu ia duduk di depanku. Ia mempersiapkan makan siang sederhana.
“Kau membuat steak sendiri?”tanyaku dengan ragu.
“Ya. Tidak usah khawatirkan dapurnya. Dapurnya masih bersih. Kalau soal membuat steak, aku tahu membuatnya.”jawabnya seraya mengambil piringku berisi steak dan mulai membaginya dengan bentuk kotak-kotak dan mengembalikannya ke hadapanku, lalu giliran steaknya yang ia potong kotak-kotak. Aku mengeluarkan kopi yang masih hangat.
“Aku tidak tahu, kau suka kopi apa. Jadi supaya adil, aku membelikan kopi yang aku sukai saja.”kataku sambil terkekeh dan mengulurkan gelas kopinya.
“Tidak apa-apa.”jawabnya seraya menerima gelas kopinya dan menurunkan gelas wine miliknya, diikuti olehku. Tiba-tiba aku tertawa. Ia menatapku dengan heran, namun tidak menyuarakan keheranannya.
“Rasanya lucu, makan steak di tempat yang terbuka seperti ini tapi minumnya kopi.” Saat aku selesai menjelaskan, barulah ia ikut tertawa. “Bagus, jadinya berbeda dari yang lainnya. Lagipula aku tidak terlalu suka minum wine.”ujarnya.
“Bagus kalau kau tidak suka minum wine.”jawabku sambil mulai menyantap steakku. Tidak gosong, tidak setengah mentah juga, bumbunya tidak kurang tidak juga lebih. Masakannya pas.
Makan siang itu diisi dengan gelak tawa yang tidak tahu diri dan obrolan-obrolan ringan. Dan pada akhirnya kami hanya minum air putih. Karena baginya lebih baik kopi itu dipanaskan kembali dan diminum sambil bersantai di depan perapian. Jadilah kami sekarang duduk di sofa dengan perapian yang menyala berada di depan kami, dan selimut yang menyelimuti dari paha hingga kaki kami dengan kopi dicangkir yang sudah dipanaskan kembali.
Ia berdeham beberapa kali. sepertinya ada yang mau ia katakan.
Firasatku sudah mulai tidak baik. “Masa pertukaran pelajarku disini sudah selesai. Besok aku akan pulang ke New York. Maaf aku baru bisa beritahumu sekarang. Kemarin-kemarin aku sibuk menyelesaikan apa yang belum diselesaikan di universitas.”katanya. Tidak menatapku, melainkan hanya menatap cangkir kopinya. Aku pun terdiam. Kenyataan membuatku tersedak dengan tidak sopan. Seharusnya aku cepat sadar kalau cepat atau lambat ia akan pulang ke New York dan tidak akan ada cerita untuk kembali.
Ia membantuku meletakkan cangkir kopinya dan membawaku masuk ke dalam pelukannya. Mungkin alam sedang memberiku waktu dan menyuruhku untuk memastikan perasaanku. Siapa tahu hanya seliwat saja. Lama-kelamaan mataku mulai mengantuk, tapi telingaku saat itu masih berfungsi untuk mendengar satu kalimatnya, “Selamat Natal.” Dan aku masih sempat membalas, “Selamat Natal juga, barista.” Dan aku jatuh tertidur. Mungkin karena kehangatan dari perapian dan atau mungkin dari pelukannya.
Saat aku terbangun keesokan paginya, aku berada di kamar tidurnya. Aku terkejut. Dan saat kuperiksa sampingku, ternyata hanya tempat tidur yang rapih juga bantal yang tidak terpakai. Aku keluar dari kamarnya terburu-buru hingga menabrak apapun yang menghalangiku. Ia sudah pergi? Pergi tanpa mengatakan sesuatu? Sungguh, bulir-bulir air mataku sudah mulai menggenang di pelupuk mataku.
Dan aku terjatuh lemas dengan bersandar di tembok saat melihatnya tetidur pulas di sofa depan perapian yang apinya hampir mati. Aku mengambilkan selimut yang tadi aku gunakan dan menyelimutinya, menambah kehangatannya. Karena selimut yang ia gunakan terlalu tipis untuk udara yang dingin, ditambah lagi dengan perapian yang hampir mati apinya.
Inikah yang namanya cinta yang baru?
Inikah saatnya aku melupakan yang lama jika yang baru sendiri harus aku lupakan?
Aku mengusap rambutnya yang selembut bayi. Ia tidak mengenakan apapun untuk membuat rambutnya terkesan bagus. “Selamat pagi.”gumamnya sambil mengusap matanya, tanpa berusaha bangkit dari posisi tidur yang membuat orang pegal-pegal.
“Selamat pagi juga.”jawabku sambil menarik tanganku dari rambutnya. “Siap-siaplah. Jangan sampai terlambat naik pesawat.”kataku sambil bangkit dari posisi dudukku dan berjalan menuju dapur untuk mencari bahan yang bisa dijadikan sebagai sarapan pagi. Akhirnya aku menemukan bungkusan roti tawar juga selai coklat, dan susu kental manis. Hanya selai coklat? Sepertinya ia memang hanya suka coklat. Maka kubuatkan dua tangkup roti dengan selai coklat dan segelas susu hangat.
“Ayo sarapan.”ajakku padanya yang tengah berjongkok di depan perapian untuk memadamkan api. Ia mengambil posisi duduk diseberangku dan menyantap setangkup roti. Sarapan pagi yang hening. “Pesawat jam berapa?”tanyaku membuka udara kecanggungan, mencoba seperti aku tidak akan kehilangan.
Ia menatap jam gantung di atas kulkas. “Jam 11.”jawabnya sambil menggigit rotinya. Ia tahu aku sedang mencoba menahan diri, tapi ia pun pura-pura tidak tahu. Tidak apa-apa. Itu lebih baik daripada ia menunjukkan bahwa ia tahu kalau aku tengah pura-pura bahwa aku tidak akan kehilangan seseorang sebentar lagi.
Jawabanku hanya sebuah anggukan, yang mungkin tidak ia perhatikan. “Sana mandi dan siap-siap. Biar aku yang bereskan dapur.”kataku sambil membawa piring roti dan gelas susunya yang sudah kosong, sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya. Ia tak kunjung juga turun dari bangkunya. Aku tahu, karena tidak terdengar suara sandal. Sambil mencuci piring, kembali terngiang di ingatanku saat membuat roti kering untuknya. Saking seriusnya aku mencuci peralatan, aku tidak sadar ia tengah mengendap-endap di belakangku dan mengagetkanku dengan mulai menggelitiku. Aku harus melemparinya busa sabun ke wajahnya barulah ia berhenti, lalu sama-sama tertawa.
Akankah seperti itu?
Aku mendengarnya berdeham di belakangku. Ya, tepat dibelakangku.
Aku berbalik badan dengan tangan yang masih penuh dengan busa sabun, berniat untuk mengatakan mengapa ia belum juga pergi siap-siap. Namun, aku malah dikejutkan dengan langkah selanjutnya. Ia memelukku dengan erat. Aku balas memeluknya. Kami bertahan cukup lama dalam posisi saling berpelukan.  “Sana mandi lebih dulu, biar aku yang lanjutkan cuciannya.”ujarnya sambil nyengir.
“Oh itu tidak bisa, barista. Kau tidak lihat tanganku sudah berbusa sabun? Lebih baik kau saja yang mandi lebih dahulu. Saat kau selesai mandi, apartemenmu sudah bersih.”ujarku sambil mengacungkan sepuluh jari penuh busa padanya. Ia tertawa. Akhirnya ia melepaskan pelukannya dan berjalan keluar dari dapur menuju kamarnya dan aku pun melanjutkan acaraku yang sempat tertunda.
Sungguh, aku ingin mengantarnya ke bandara. Tapi, aku takut jika aku mengantarnya, aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri dan akhirnya malah menangis di depannya. Itu memalukan. Sudah cukup aku tertangkap basah membaca novel terbalik. Maka saat aku yakin semuanya sudah selesai, aku tinggalkan sebuah salam perpisahan melalui sebuah note untuknya yang aku tempel di kopernya yang sudah siap untuk dikunci. Seperti pengecut yang lari dari kejaran anjing padahal ia sendiri yang menjahili anjing tersebut.

Kebiasaan lama memang tidak bisa hilang, aku masih saja suka mengayun-ayunkan kakiku yang menggantung di bangku halte bus yang memang tinggi, seperti anak kecil.
Sudah beberapa tahun lewat dari hari aku bertemu dengan barista itu. Aku masih mengunjungi kedai kopi itu, tapi acap kali aku melangkah masuk aku selalu mempersiapkan diriku lebih dahulu untuk tidak berharap ia berada disana. Di balik mesin kopi saat pertama kali aku sadar ia bekerja disini.
Aku tengah menunggu di halte di seberang jalan rumahku. Menunggu bus bernomor 11 menuju ke kedai kopi. “Lama sekali.”gerutuku dengan sebal. Kuncir kudaku bergoyang dengan lincah kesana kemari saat aku menggoyangkan kepalaku mengikuti lagu yang kudengar lewat earphone. Aku buru-buru bangkit dari dudukku saat melihat bus bernomor 11 muncul dari belokan dan tak lama pintunya berhenti tepat didepanku.
Aku berangkat kesiangan. Maka aku harus menerima resiko berdesak-desakkan dalam bus dan aku mengerang dengan sebal karena keterlambatanku. Tahu begitu aku menunggu bus nomor 11 lainnya, tapi aku harus menunggu sejam dari sekarang. Hah! Akhirnya aku bisa lepas dari desakan ikan-ikan dalam kaleng setelah beberapa menit berada di dalam bus aku pun melompat turun dari bus ke halte dan menunggu jalanan kosong untuk menyebrang.
Apakah ia masih mengingatku disana?
Sebulan setelah kepergiannya, aku menyerah pada kenyataan bahwa ternyata aku merindukannya. Dan yap, cinta yang baru yang sudah harus pergi lagi. Aku tidak mencoba untuk menghubunginya karena akan sia-sia. Sebab, nomor itu pasti sudah tidak terpakai. Saat ia keluar dari Korea, nomor dan ponselnya tidak akan berfungsi lagi. Aku pun tidak berusaha untuk bertanya pada teman barista yang lain mengenainya.
Aku mengistirahatkan pantatku diatas sofa yang nyaman dengan udara yang hangat di dalam kedai. Aku melemparkan pandanganku keluar jendela. Menatap orang yang berlalu lalang. “Permisi. Boleh saya duduk disini?”ujar seseorang. Aku mengalihkan pandanganku dari luar jendala bersiap-siap untuk menolak dengan sebal, padahal kursi dan sofa lain masih banyak yang kosong.
Tapi, aku harus menelan bulat-bulat niatku karena tergantikan dengan pekikkanku yang tertahan ditenggorokan. “Kau?”ujarku dengan terkejut.
“Selamat pagi.”ujarnya sambil tersenyum. Aku bangkit berdiri dari posisi dudukku dan menghamburkan diriku ke dalam pelukannya. Aku bisa mendengarnya tertawa di samping telingaku. “Aku merindukanmu.”bisikku langsung.
“Bagus.”jawabnya dengan singkat. Aku menjauhkan diriku darinya dengan kening yang berkerut bercampur sebal.
“Hanya itu? Hanya ‘bagus’?”protesku dengan kesal padanya.
Ia dengan tidak acuh duduk di sofa di hadapanku, aku mengikutinya dan duduk disofa yang sebelumnya aku duduki masih dengan wajah sebal. 
“Bagus, karena aku tidak perlu bertanya lagi untuk menyamakannya dengan perasaanku.”jawabnya dengan santai. Aku mendesis dengan sebal, namun mengulum senyum juga disaat bersamaan.
“Bagaimana kalau kita berjalan-jalan diluar? Sekarang sedang musim semi, kan? Sayang kalau hanya berdiam di dalam sini.”ujarnya sambil berdiri seraya menggandengku dan keluar dari kedai kafe setelah ia menyapa kembali teman-teman lamanya. 
Di belakangnya, aku tersenyum.
Ia pergi, dan kini ia kembali tanpa sepengetahuanku.
“Kau mengikuti pertukaran pelajar juga? Lalu, kapan kau akan pergi lagi, hah?”seruku dengan galak, saat aku berhasil menyamai langkahnya. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum miring.
“Hmm...kira-kira bagusnya kapan ya aku pergi lagi?”katanya sambil berpikir.
“YA!” bentakku. “Ini tidak lucu kalau kau sedang bercanda!”seruku dengan gemas.
Ia menatapku dengan serius. “Tidak. Aku memang tidak sedang bercanda.”ujarnya dengan serius. Aku menelusuri matanya. Yang aku temukan hanya mata jahilnya. Tak lama kemudian, ia tertawa sambil memelukku kembali. “Aku tidak akan pergi lagi, Nona Kopi.”ujarnya. Aku tidak langsung percaya. “Kau bohong kan?!” Ia langsung menunjukkan wajah seperti anak kecil yang berbicara jujur dan takut dimarahi. Aku pun tersenyum lebar dan balas memeluknya, karena aku memang mempercayainya.
Entah bagaimana cara yang ia gunakan, ia sanggup membuatku untuk membuang rasa rinduku yang lama dan menggantinya dengan punyanya. Ia sanggup membuatku hanya menatap masa depan dengannya dan membuatku untuk tidak menoleh lagi ke belakang. Ia membuatku bersemangat untuk bangun di pagi hari untuk saling berbagi “Selamat Pagi” satu sama lain. Menjadi alasan bagiku untuk terus tersenyum. Karena, ia sanggup mengembalikan hariku yang terkadang membuatku jenuh.
Menemaniku disaat-saat sulitku selama di universitas, padahal ia sendiri tengah sibuk di universitasnya. Ia selalu ada disana saat aku butuh, ia akan dengan sukarela memberikan bahunya saat aku mulai jatuh tertidur di bus; melindungiku dengan dua lengannya; membagi semuanya apa yang ia pikirkan padaku; berdiskusi tentang apapun; kami saling berbagi.
Ya, ia akan selalu disana.
Sekarang tidak ada lagi aku yang menjalani hariku sendirian. Sekarang, sudah berganti dengan kami. Menjalani waktu bersama. Saling mengisi kekurangan yang ada, dan saling berbagi kelebihan yang dimiliki. Dan aku yakin, aku sanggup menjalani hariku selanjutnya meskipun tidak selamanya hariku akan indah, tapi selama dengannya, akan terasa mudah.

fin

Bus [1]

Setiap hari orang berlalu-lalang. Datang dan pergi. Duduk dan berdiri.
Setiap harinya berputar seperti itu terus menerus dalam porosnya yang sudah terbentuk secara alami. Banyak orang dengan berbagai perasaan yang datang dan tinggal dalam hati ini. Namun, tidak ada yang abadi bukan? Yap. Tidak ada yang abadi.
Aku duduk di bangku halte bus tersebut sambil mengayun-ayunkan kakiku karena bangku itu cukup tinggi dan melebar lalu memanjang agar muat banyak orang untuk digunakan. Menyenangkan mengayun-ayunkan kedua kaki yang menggantung di udara saat duduk.
Setiap hari seperti inilah aku. Duduk menunggu di halte bus yang sama setiap harinya untuk pulang, entah darimanapun itu aku berasal. Saat aku tengah membaca sebuah novel, seorang laki-laki duduk tak jauh dariku dengan jaket yang cukup tebal dan gelas kopi take away di tangannya. Udara di malam hari memang selalu terasa dingin. Aku hanya menatapnya sekilas dan melanjutkan bacaku.
Aku selalu menunggu bus yang bernomor sama setiap harinya, 11. Aku sampai hafal jamnya muncul di halte ini. Maka dariitu aku selalu menunggu bus tersebut disini. Untungnya, ia melewati halte bus di kompleks rumahku. Sehingga aku tidak perlu memutar arah. Dan aku tidak akan dengan sukarela memutar arah. Entah sudah berapa bus yang lewat tapi bus bernomor 11 tak kunjung datang.
Aku menoleh ke sampingku, sekadar untuk memperhatikan sekitar.
Dan aku dapati laki-laki tersebut pun masih duduk di tempatnya semula. Kali ini ia tengah menggoyang-goyangkan gelas kopinya. Mungkin, kopinya sudah hampir habis. “Mungkin ia sedang menunggu di jemput oleh temannya.”gumamku. Kembali aku menenggelamkan pikiranku dalam novel yang tengah kubaca, dan menyembunyikan dagu hingga hidungku ke dalam jaket berleher tinggi. Menghalau udara dingin.
Jalanan masih ramai dengan mobil-mobil yang berlalu-lalang.
Jam-jam seperti ini, halte-halte bus terkadang jarang penghuni, hanya segelintir orang saja. Dan sejauh ini, keamanan kota ini sangat dijaga. Tidak dengan hati ini. Mudah sekali dirusak oleh orang lain, bahkan terlalu mudah untuk dicuri dan tidak dikembalikan. Maka aku pun merasa nyaman berada di halte ini cukup lama. Siapa tahu dengan angin dingin, bisa membekukan rasa rindu ini dan membekukan perasaan yang sudah hidup cukup lama hingga aku sendiri tidak sanggup untuk membuangnya.
Di halte ini, biasanya akan ramai dengan segelintir orang. Entah mengapa malam ini hanya ada kami berdua. Aku bahkan sudah mulai hafal siapa saja yang sering menunggu bus di halte ini. Apakah aku pernah melihatnya? Otakku berputar seperti mesin pencari orang. Tapi, hasil yang muncul adalah: tidak ditemukan. Apa mungkin ia baru kali ini menunggu disini?
Bulu kudukku berdiri saat angin dingin menyapaku dengan sangat tidak sopan.
Semoga saja ia bukan orang yang bertangan gatal.
Aku masih menikmati novel di hadapanku saat bus yang kutunggu datang.
Aku berdiri. Ia pun berdiri. Ya, dapat kurasakan dari ekor mataku.
Pintu bus tersebut terbuka secara otomatis. Aku menempelkan kartuku yang berada di dompet untuk diverifikasi barcode yang tertera. Isi bus tersebut tidak terlalu ramai; tidak penuh juga.
Aku mengambil tempat duduk di pintu yang tadi aku lewati. Perjalanan untuk sampai di rumah masih jauh, maka kuputuskan untuk melanjutkan membaca setelah memperhatikan jalanan. Aku bisa menangkap bayangan laki-laki yang tadi duduk tidak jauh dariku di halte, berada hanya berjarak 2 bangku dari bangkuku, melalui jendela.
“Dijemput bus.”gumamku, memperbaiki kalimatku sebelumnya yang ternyata keliru, lalu memfokuskan kembali ke bacaanku. Setidaknya berada di dalam bus, terasa lebih hangat daripada diluar.
Mungkin, ia akan turun lebih dahulu dariku, pikirku saat itu.
Dan, yap. Ia turun lebih dahulu di setengah perjalananku. Aku pura-pura membaca novel di tanganku, saat ia melewatiku. Dan, ya, aku harus mengakui kebodohanku yang sangat ceroboh. Aku membaca novel itu terbalik. Aku sangat berharap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Memalukan. Sangat.

Aku kembali mengunjungi kedai kafe yang dibuka 24 jam, namun tidak terbilang ramai atau sepi juga. Sambil menyesap kopiku, aku mulai membuka novelku kembali. Yap, kemanapun aku pergi aku akan membawa novel entah sudah keberapa kali aku membacanya. Lagu instrumental mengiring siangku melalui speaker. Kedai ini membuat orang yang berada di dalamnnya merasa nyaman. Hanya saja, kedai ini tidak berada di pinggir jalan sehingga hanya beberapa orang yang mengetahui letak kedai ini.
Aku bisa menghabiskan hariku disini bersama buku dan kopi. Jika, kopimu sudah habis, kamu boleh mengisinya dengan teh manis atau teh tawar yang disediakan secara cuma-cuma, kamu boleh menambahnya sesering mungkin. Aku mengambil posisi duduk ternyamanku. Duduk bersila diatas sofa untuk satu orang berwarna coklat pohon.
Tidak ada kebetulan yang lebih dari sekali. “Sekarang harus aku akui, ternyata memang sempit dunia ini.”gerutuku dengan suara rendah, supaya hanya aku yang mendengarnya. Ada apa? Mataku baru saja menangkap sosok barista yang tengah menyeduh kopi, barista yang bahkan belum masuk hitungan 24 jam, duduk berseberangan denganku di bus dan di halte. Dan yap, yang membuatku bertingkah konyol bin bodoh. Aku berharap ia sudah melupakan wajahku beserta tingkah bodohku beberapa bulan lalu.
Aku bahkan sampai mengambil jam pulang lebih cepat dari biasanya, berharap dengan begitu saat siang aku tidak akan bertemu dengannya di halte. Namun, baru kali ini aku melihatnya berada dibalik mesin kopi tersebut. Atau mungkin aku yang memang sering tidak memperhatikan barista, dan hari ini mataku telah dibukakan.
Aku memutuskan untuk pindah tempat duduk ke sofa di hadapanku yang membelakangi barista tersebut. Seandainya semudah itu membelakangi masa lalu. Terkadang masa lalu itu bisa satu langkah lebih maju. Ia pandai mengejar.

Novel sudah kututup, namun masih tergeletak di atas meja kopi. Kopi pun yang tersisa hanya ampasnya. Mataku ‘menelanjangi’ apapun yang aku lihat.
Penghangat ruangan mulai dinyalakan. Sepertinya hari ini udara dingin datang lebih cepat dari perkiraan. Mereka tidak menggunakan penghangat ruangan modern, tapi yang tradisional. Kami menyebutnya, ondol. Alat ini hanya terdapat di Korea. Penghangat ruangan yang terdapat di bagian bawah kayu-kayu ini. Hangatnya terasa seperti hangat alami. Karena penghangatnya menggunakan batu bara, kayu, dsb.
Aku keluarkan jaket super tebalku dari dalam ransel, diikuti dengan kain tebal untuk melingkari leherku. Melindunginya dari udara dingin. Tapi tak cukup sanggup untuk melindungi hati ini dari kerinduan. Hanya sebuah kain tebal, bukan sebuah perasaan yang lain yang bisa menggantikan atau menghapusnya.
“Permisi. Apakah Anda mau mengisi cangkir Anda dengan teh?”ujar seorang pelayan sambil menawarkan dua teko teh.
Aku mendongak untuk menatap pelayan tersebut. Dan yap, aku berusaha untuk tidak membelalakkan mataku karena meskipun aku mencoba, aku tidak akan terlihat seperti sedang membelalakkan mataku. “Teh manis saja. Terima kasih.”ujarku sambil membungkukkan sebagian tubuhku ke arahnya. Setelah ia selesai mengisi cangkirku, ia pergi dan menawarkan pada pengunjung yang lain.
Aku menghembuskan nafas. “Tidak mungkin aku pindah kedai hanya karena masalah sepele.”omelku pada diriku sendiri. Maka kuputuskan untuk tetap di kedai ini. Bukan maksudnya aku akan tinggal disini. Maksudku, aku tetap akan datang ke kedai ini dan menikmati hari-hariku yang kosong. Menunggu hari masuk kuliah.
Aku menyibakkan pergelangan jaketku untuk melihat jam. “Masih lama.”gumamku seraya tersenyum. Jam pulangku masih lama. Aku pikir sudah sebentar lagi karena keadaan diluar sudah cukup gelap untuk disebut malam. Karena sebenarnya, baru menjelang malam.
Aku tersenyum saat sadar musim dingin hampir sampai. Menyenangkan bermain lempar-lemparan bola salju dan membuat orang-orangan dari salju atau sekadar memperhatikan butiran-butiran salju itu turun dari balik jendela rumah dengan secangkir teh hangat dan beberapa kue kering, dilanjutkan dengan duduk-duduk di depan perapian sambil membaca novel. Itulah mengapa aku sangat menunggu musim dingin.
Aku bahkan sudah menyiapkan beberapa novel untuk kubaca. Dari yang terbaru hingga yang sudah berulang-ulang, berada di samping sofa bacaku dekat perapian. Ah ya, Natal sebentar lagi. Tempat belanja pasti akan penuh dengan orang-orang yang mencari perlengkapan Natal atau mungkin baru akan mencari pohon Natal beserta isinya.
Kembali kutarikan mataku di novel dan membuat pikiranku fokus dengan imajinasi. Melupakan waktu, melupakan sekitar, melupakan perut yang sudah meronta-ronta minta diisi.

Hari ini satu novel selesai. Tebalnya masuk dalam kategori sedang.
Aku duduk tegak dan mulai meregangkan tubuhku kesana kemari. Kembali kusibakkan pergelangan jaketku untuk memeriksa jam. Hampir jam pulangku. Aku putuskan untuk mulai membereskan barang-barangku yang berserakan diatas meja kopi. Earphone yang masih tersambung dengan iPod berserakan diatas meja; piring kue yang sudah ‘bersih’ olehku; tisu-tisu bersih dan kotor; juga bungkusan-bungkusan kosong bekas camilanku. Aku masukan semua sampah itu kedalam satu kantong kertas bekas aku pakai mengisi camilan-camilanku yang akan aku buang nanti dalam perjalanan menuju halte.
Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, aku masukkan iPod ke saku baju lengan panjang yang aku gunakan sebelum memakai jaket dengan earphone yang menggantung di leherku. Aku tidak berani menggunakan earphone saat berjalan sendirian di malam hari, demi keamanan sendiri.
Dari kejauhan, halte tersebut cukup ramai oleh beberapa orang; ibu-ibu yang mungkin baru pulang kantor; beberapa anak remaja yang baru pulang entah darimana mereka berasal. Aku duduk diujung bangku halte tersebut. Berusaha mengacuhkan beberapa anak remaja yang mengganggu, setelah ibu-ibu yang baru pulang kantor itu naik bus pertama sejak aku duduk di halte bus.
“Kak, kau bisa berikan kami beberapa uangmu?”seru seorang anak yang tingginya sedang dan cukup kurus.
“Untuk apa?”kataku dengan judes.
“Untuk membeli makanan, permen, rokok, minuman.....pokoknya berikan saja kami beberapa lembar uangmu.”paksanya lagi. Antara takut dan sebal. “Tidak akan aku berikan jika tidak akan kalian gunakan dengan baik.”jawabku masih dengan memasang wajah galak.
“Kami tahu, kau memiliki uang banyak di dompetmu. Jangan pura-pura tidak memiliki duit!”bentak anak tersebut. Diam-diam aku terkejut. Dimana tata krama mereka? Seperti anak gelandangan saja.
“Atau mungkin, jika memang kau tidak memiliki duit, kau bisa menemani kami secara cuma-cuma.” Seorang anak laki-laki bertubuh gempal maju dan berdiri disamping anak bertubuh kurus yang memaksaku tadi.
Bahkan aku belum sempat melawan, anak bertubuh gempal itu mulai melancarkan tangannya ke arahku. “Belum waktunya bagimu untuk mengencani perempuan yang lebih tua darimu. Apalagi menggodanya. Kau disekolahkan bukan? Seharusnya kau tahu tata krama.” Tangan anak bertubuh gempal itu ditahan oleh cengkraman barista tersebut seraya menggeleng-gelengkan kepalanya pada anak laki-laki yang tangannya ditahan yang tengah memandang dengan wajah sebal. Sejujurnya aku terkejut. Aku pikir, jam kerjanya belum selesai. Dan ia berbicara dengan bahasa juga logat Korea yang terdengar lucu.
Sambil melepaskan tangan anak kecil yang tenggelam dibalik cengkraman barista tersebut, ia berkata, “Minta maaf sekarang juga.” Ia menatap ke arah anak remaja lainnya yang berdiri disitu. “Kalian semua.”tambahnya. Mereka semua meminta maaf padaku yang berwajah bingung. Bukan bingung pada anak-anak remaja ini, tapi pada barista yang seperti jin. Muncul tiba-tiba.
Setelah anak-anak remaja itu berlalu, ia duduk tak jauh dariku. Seperti pertama kali kami berjumpa.
Kembali kuayun-ayunkan kedua kakiku yang menggantung. Aku bingung bagaimana cara yang tepat untuk mengucapkan terima kasih pada barista yang sudah menyelamatkanku dari gangguan segerombolan anak remaja yang sepertinya belum akil balik itu, karena tidak bisa berpikir dewasa.
Bus bernomor 11 pun menepi ke halte, aku merasakan ia pun ikut berdiri dan berjalan menuju bus ini. Konyolnya, kami duduk di tempat yang sama seperti pertama kali. Tapi, kali ini aku tidak akan memperhatikannya, supaya tidak mengulangi kebodohanku sebelumnya dengan kebodohan lainnya. Jadi, kuputuskan untuk mendengarkan lagu dan memandang jalan raya. Pelan-pelan hujan mulai mengguyur kota dan aku tenggelam dalam lagu instrumental yang mengalir.

Entah sudah lewat berapa pekan sejak ia menolongku dari segerombolan anak-anak kecil kurang moral. Aku selalu memikirkan caraku untuk mengucapkan terima kasih padanya. Tapi, hingga aku duduk menyesap kopi hangat pun aku belum menemukan kalimat dan timing yang pas. Akh sepertinya aku belum diberikan waktu yang pas. Tapi, jika tidak mengucapkan terima kasih juga, rasanya seperti ada beban yang mengekor di belakang dan meminta untuk diselesaikan. Dan rasanya akan berat.
Tidak terasa waktu sudah berputar cepat, dan sebentar lagi Natal akan tiba. Udara yang tadinya sejuk perlahan-lahan mulai dingin beku. Diawal-awal musim dingin memang udara akan terasa beku. Aku mungkin tidak akan sanggup jika disuruh mandi dengan air yang seperti air di Kutub Utara.
Hari ini aku tidak mampir ke kedai kopi. Aku memutuskan untuk naik bus 11 dari halte yang terletak di depan bookstore yang hari ini aku singgahi. Aku sudah terlalu bersemangat untuk menikmati bacaan-bacaan yang akan menemaniku selama waktu kosongku. Aku menggeram kesal dan memasukkan komik beserta bungkusan plastik yang baru beberapa detik yang lalu aku sobek saat bus yang aku tunggu menepi. Menyebalkan.
Keadaan bus terasa lengang. Aku melihat jam. Ah pantas saja. Ini masih jam sekolah dan jam kerja; bukan jam makan siang orang kantor. Lagipula cuaca sedang gelap dan rintik-rintik mulai mengguyur. Belakangan ini sering hujan deras. Aku melompat masuk ke dalam bus 11 yang pintunya langsung menutup secara otomatis. Aku menoleh ke kiri dan kanan mencari tempat duduk yang nyaman, supaya aku bisa menikmati perjalanan pulangku sambil membaca komik.
Saat aku berjalan ke bangku belakang bus, aku tersadar ada seorang laki-laki yang tengah memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar ke jendela bus. Wajahnya penuh babak belur. Aku mengernyit ngeri. Tapi, saat aku semakin dekat, aku terperanjat kaget ternyata dia barista yang menolongku saat aku ditodong segerombolan anak kecil kekurangan zat moral! Aku langsung buru-buru duduk disampingnya dan mengeluarkan kotak P3K kecil yang selalu aku bawa kemana-mana.
Ia mengernyit kesakitan saat aku coba bersihkan kulitnya yang sobek.
“Ah aku bahkan tidak tahu rumahnya dimana.”gerutuku dengan gelisah. “Permisi, apakah kamu bisa memberikan aku alamatmu?”tanyaku dengan ragu-ragu. Ia hanya mengeluarkan erangan kesakitan. Berusaha bicara tapi tidak bisa. Aku semakin gelisah karena ia tidak kunjung memberikan alamat atau apapun yang bisa menunjukkan lokasi tempat tinggalnya.
Akhirnya aku putuskan untuk membawanya ke tempat tinggalku dan merawatnya disana hingga ia bisa memberitahuku lokasi tempat tinggalnya. Karena aku curiga ia bukan orang asli Korea, terlihat dari wajahnya yang bukan wajah Asia dan potongan rambutnya. Karena, laki-laki Korea cenderung mengikuti potongan rambut penyanyi asal negaranya.
Dalam perjalanan ke rumah, aku merasakan ia mulai menggigil. Padahal ia mengenakan baju berlengan panjang. Aku melepaskan salah satu syalku dan melingkarkan syal tebal itu di lehernya. Setidaknya sudah mengurangi gigilannya. Karena, setelahnya ia mulai tidak menggigil lagi.
Aku putuskan untuk mulai membaca komikku yang seakan-akan terus-menerus memanggilku untuk membacanya. Aku sudah tidak tahan untuk tidak menyentuh komik itu. Perjalanan untuk sampai di halte yang tidak jauh dari rumahku masih ada sekitar setengah jam lagi. Diam-diam aku khawatir dengan luka laki-laki itu.
Membaca komik itu seru jika tidak ada yang mengganggu.
Saat aku tengah membaca, tiba-tiba aku merasakan pundakku kananku berat. Saat aku menoleh, kepala laki-laki itu sudah jatuh ke pundakku. “Sepertinya ia tertidur.”gumamku. Sungguh, ini konyol. Seharusnya kan yang seperti ini aku yang notabene perempuan, kenapa malah dia yang laki-laki yang jatuh tertidur di pundak perempuan? Ya setidaknya seperti itu yang aku baca di novel dan aku tonton di drama-drama Korea.
Aku biarkan ia tertidur di pundakku. Paling-paling saat ia bangun, ia harus pergi ke dokter supaya lehernya di gips akibat tulang leher yang salah tempat.

Aku setengah menyeret langkahku menuju rumah sambil membopong barista ini.
Beberapa orang yang lewat memperhatikanku. Aku hanya bisa memberikan senyum tolong-dimaklumi dan bergegas masuk ke rumah sambil menidurkannya di sofa panjang. Buru-buru aku menyalakan api di perapian, supaya dia merasa hangat. “Sepertinya ia demam.”gumamku dan buru-buru mengambil sebaskom air dan beberapa lembar handuk kecil dan mulai mengompresnya sembari membersihkan dan mengobati luka-lukanya dan juga babak belurnya.
“Heran, dia habis adu jotos dimana? Kau beruntung tidak ditangkap oleh polisi.”kataku padanya yang tengah tertidur, atau sedang pingsan? Entahlah. Kalau pun pingsan, dia akan bangun juga nantinya.
Setelah selesai mengobati, aku tinggalkan handuk basah karena air dingin itu diletakkan di keningnya, dan aku duduk di kursi goyang sembari membaca komik lainnya, karena komik sebelumnya sudah habis aku lahap selama perjalanan, dengan secangkir coklat hangat.

Lama kelamaan, mataku sudah mulai berat terbuka dan kepalaku mulai terjatuh.
Akhirnya aku putuskan untuk tidur di depan perapian, diatas permadani cukup tebal yang menghiasi lantai kayuku, yang berarti di depan sofa tempat barista itu aku baringkan. Aku menghembuskan nafas karena mendapatkan posisi nyaman.
Seringkali aku terbangun secara otomatis untuk membalikkan atau mengganti handuk lainnya dan mengembalikkannya ke kening barista itu. Saat tengah malam, entah keberapa kalinya aku mengganti handuk yang hampir kering itu, demamnya sudah mulai turun dan aku menghembuskan nafas lega. Karena, aku tidak perlu terbangun kaget hingga subuh untuk mengganti handuk. Jadi, aku ganti dengan selimut tebal untuk menyelimutinya dan aku bisa kembali tidur nyenyak.

“Arrrgghhh!”pekikku frustasi seraya mengacak-acak rambutku dengan kesal karena bekerku sudah berdering, padahal aku merasa aku baru tidur beberapa jam saja. Aku langsung mematikan jam bekerku dan kembali bergelung di dalam selimutku ketika telingaku menangkap suara erangan seseorang yang baru bangun.
Oh, dear Lord!” Aku mulai menyumpah dengan sebal. Aku paksakan tubuhku untuk duduk tegak. Mataku menangkap gerakan dari barista itu yang menatapku dengan bingung. Bahuku terkulai lemas karena harus menjelaskan panjang lebar kenapa dia berada dirumahku. Alhasil, aku hanya menjawab kebingungan dimatanya dengan erangan sebal.
“Nanti saja aku jelaskan. Di meja makan ada roti dan selai. Di kulkas ada susu dalam kotaknya. Tolong jangan ditenggak dari kotak kemasannya. Itu juga kalau kau mau sarapan lebih dahulu baru ke kerja atau mungkin pulang.”ujarku sambil kembali bergelung diselimut.
Hening.
Aku tidak merasakan ada yang bergerak. Kali ini mataku terbuka lebar. Takut terjadi sesuatu padanya. Aku langsung keluar dari dalam selimut dan memelototinya. Ia sedang menguap. Aku kembali menyumpah dengan sebal. Akibat kurang tidur pikiranku sudah mulai melantur memikirkan hal-hal buruk.
Aku merasakan ia bergerak di sofa. “AAAKKKHHH!! MY HAND!!”pekikku saat tanganku terinjak olehnya, aku tahu ia tidak sengaja. Ia tidak melihat tanganku yang tengah telentang di balik selimut.
Ia langsung mundur dengan gerakan cepat dan jatuh terduduk di atas sofa dengan wajah kaget, apalagi setelah mendengar suara teriakanku. “Maaf. Aku tidak melihatnya.”katanya. Dugaanku benar, ia memang bukan orang asli Korea. Karena ia berbicara bahasa Inggris dengan fasih, seakan-akan bahasa Inggris adalah bahasa ibunya.
Kalau begini ceritanya, aku memang tidak diberkati untuk tidur kembali. Aku putuskan untuk benar-benar bangun dan menatap barista itu dengan sebal, lalu berlalu menuju ruang makan untuk menyiapkan sarapan masih dengan wajah yang moodnya turun drastis hingga di titik nol. Barista itu menyusulku ke ruang makan. Aku mengajaknya duduk untuk menyantap roti dengan selai coklat dan segelas susu putih.
“Ah, aku mau berterima kasih karena tempo hari kau sudah menolongku dari anak-anak berandalan di halte.”kataku. menghapus udara kecanggungan disekitar kami.
“Ya, terima kasih kembali. Aku juga berterima kasih karena sudah merawatku. Aku tidak tahu bagaimana nasibku kalau aku tidak ditemukan olehmu di bus.”ujarnya sambil tersenyum miring.
Aku jadi penasaran. “Sebenarnya, apa yang terjadi?”tanyaku akhirnya. Ia mendongak dari roti yang tengah ia gigit. Aku menunggu keputusannya, akan menceritakan atau tidak.
Ia menarik nafas, “Aku hanya sedang menolong anak kecil yang dicegat segerombolan anak-anak remaja tanggung. Ya alhasil begini jadinya.”ujarnya dengan tidak acuh. Aku tertawa mendengar ceritanya. “Konyol. Kau kalah dengan remaja-remaja tanggung itu?”kataku seraya tertawa lagi.
“Mereka bergerombol. Dan aku sedang kurang fit.”jawabnya dengan tenang. Aku sedang berusaha meredakan tawaku. Karena sepertinya hanya aku yang menganggap itu konyol. Sekarang aku yang merasa diriku ini konyol. “Apakah akhir minggu nanti kau kosong?”tanyanya tiba-tiba. Aku mengerutkan kening. “Kosong, kenapa?”balasku dengan pertanyaan.
“Bolehkah kau menemaniku mencari pohon Natal?”tanyanya dengan ragu-ragu.
“Oh. Boleh-boleh saja. Kapan?”tanyaku.
“Kita janjian di kedai kopi jam 9, hari Sabut nanti. Aku tahu tempat yang menjual pohon-pohon Natal serta pernak perniknya dekat kedai kopi. Bagaimana?”tanyanya.
Aku mengangguk. “Baiklah. Hari Sabtu jam 9 di kedai kopi.”ujarku ulang.
Setelah acara sarapan singkat itu, aku mempersilahkannya untuk mandi saja lebih dahulu disini jika ia mau langsung ke kedai kopi tanpa pulang lebih dahulu, tapi ternyata ia memilih untuk pulang saja. Aku mengantarnya hingga trotoar rumahku. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung.
“Tempat tinggalku dekat sini. Aku tinggal di apartemen.”ujarnya sambil mengedikkan bahu dengan cuek. Aku hanya mengangguk-angguk mengerti dan melambaikan tangan saat ia mulai berjalan menjauh.
Beberapa hari aku tidak keluar rumah karena keasyikan menikmati bacaan-bacaan yang tersedia hingga tidak sadar, salju mulai turun.

to be continue. 

Kamis, 16 Mei 2013

Masa Lalu

Ada sebagian orang yang tidak mempercayai bahwa karma itu hidup.
Aku? Ah ya, aku percaya pada karma.
Mengapa? Karena aku sedang merasakannya hingga saat ini.
Karma. Namanya sudah tidak asing lagi bukan ditelinga kita?
Hanya saja perasaannya yang masih cukup asing bagi siapapun yang belum pernah merasakannya.
Saranku, lebih baik jangan pernah bermain api dengan karma, jika nantinya kamu menyesal karena sudah dilalap oleh api yang kamu nyalakan sendiri.
Saat kamu sudah merasakannya, barulah kamu sadar bahwa ia hidup dan ada, hanya saja sifatnya semu.
Kuayunkan kedua kakiku yang menggantung di atas beton beranda. Duduk sambil menikmati angin semilir. Pernah merindukan seorang yang pertama kali mengenalkanmu pada dunia tentang bagaimana rasanya dicintai dan mencintai? Saat ini aku sedang merindukannya. Masih ada satu hal yang belum selesai, maka dari itu, karma itu masih mengekangku dan memintaku untuk segera menyelesaikannya. Mungkin, ia sudah bosan denganku.
Aku tidak akan bisa kemana-mana sebelum menyelesaikan masalahku ini.
Masalah yang menyangkut tentang masa lalu.
Meski sudah terbilang masa lalu, tapi ia masih memiliki peran. Jika bukan karena masa lalu, mungkin kamu tidak akan pernah belajar untuk masa depanmu nanti.
Aku bukan bermaksud mau mengganggunya, aku hanya mau menyelesaikan masa lalu kami; bukan, masa laluku yang masih terasa mennggantung. Jika tidak selesai, mungkin aku akan semakin lama bersahabat dengan karma.
“Jangan bengong terus. Kerjaan yang bagusan dikit dong.”canda temanku. Ia mengambil posisi duduk disampingku dan ikut mengayunkan kedua kaki kami yang menggantung di udara. Aku terkekeh sebal.
“Enggak usah terlalu dipikirin tentang karma.”ujarnya dengan santai, tapi tersirat nada serius didalamnya.
“Kau seperti sedang menyuruhku untuk berhenti bernafas padahal tubuh ini masih ada jiwa yang hangat, belum mendingin.”gerutuku. Ia menoleh ke arahku, ya bisa kurasakan, lalu ia menertawakan kalimatku sedetik kemudian.
“Itu tidak lucu, kau tahu?” aku mendelik ke arahnya.
“Aku tahu, aku tahu. Tapi kau terlalu serius tentang karma itu. Kau seperti menganggap setan itu sebenarnya ada.”balasnya.
“Kau belum merasakannya, makanya kau berani mengatakan seperti itu. Becareful with your words, girl. Setan itu sebenarnya memang ada, jika kau tidak mengganggunya ia tidak akan mengunjungimu. It same with carma, by the way.”jawabku lagi.
Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Setahuku, ia sudah tidak bersama dengan wanitanya yang sekarang. Kalau aku mengajak kau untuk bertemu –“
He won’t. Mau berapa kalipun aku berusaha untuk bertemu dengannya, hasilnya zonk. Berapa kalipun aku mencoba untuk mengajaknya berbicara lewat pesan, hasilnya? Nol besar. Kau tahu tentang itu semua, cantik. Dan, ya aku sudah tahu perihal ia sudah tidak dengan pacarnya yang sekarang.”potongku langsung dengan gerutuan bernada pasrah. Aku tahu kalimat selanjutnya, dia akan mengajakku untuk bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang pernah hidup di masa laluku. Laki-laki yang pernah aku sakiti.
Kata orang, jika ingin lepas dari karma, pergi dan selesaikan masalahmu itu hingga tuntas dan tidak lupa untuk meminta maaf padanya.
“Ya terus mau bagaimana? Hah? Kau tahu darimana?”tanyanya, setengah mendesak. “Kau tidak usah tanya bagaimana. Karena aku sendiri bingung. Aku tahu darimana? Kau pikir aku tidak suka menjadi stalker? Sepertinya mereka bertengkar hebat, tapi aku tidak tahu topik apa yang mereka ributkan. Mereka hanya saling menyindir. Lagipula mantan wanitanya itu tidak lama kemudian mendapatkan yang baru.”jawabku sambil memandang kejauhan, setengah menerawang.
“’Tuh kan bengong lagi.”tegurnya. Aku langsung menoleh dengan sinis padanya.
Ia langsung bersiul dengan mata yang jelalatan kemana-mana, pura-pura tidak terjadi sesuatu. Aku mendesis sebal melihat tingkahnya. Biar bagaimanapun, ia tetap sahabat sejak kecilku yang menjadi saksi hidup tentang aku dan laki-laki itu.
“Liburan dulu sana. Jangan diam disini terus.”ujarnya sambil menepuk bahuku. “Aku pulang dulu.”ujarnya seraya turun dari tempat duduknya dan pulang. Padahal rumahnya persis di depan rumahku.
Sepertinya aku memang membutuhkan liburan.

Setiap orang membutuhkan waktu untuk menarik nafas panjang untuk melanjutkan hidupnya yang terkadang membosankan. So, here I am. Berjalan-jalan santai di bawah langit musim gugur dengan syal yang melingkar di leherku dan kedua tanganku yang terselip di kedua kantung celana pendek yang aku kenakan dan juga dengan earphone yang menggantung di telingaku.
Betapa aku merindukan tempat ini. Seharusnya aku memang tidak kembali ke sini. Seharusnya. Aku tertawa sendiri saat tahu betapa bodohnya aku malah mengunjungi tempat pertemuan pertamaku dengannya. Kalian tahu pulau dijadikan tempat syuting Winter Sonata, bukan? Nama pulau yang diambil dari penemunya, yaitu Jenderal Nami yang sudah menjadi Jenderal di umur 25 tahun. Ya, disinilah kami bertemu.
Sayangnya awal pertemuannya tidak baik, akhirnya pun ternyata tidak baik juga. Hhmm. Orang-orang berlalu lalang disekitarku dengan pasangannya atau dengan keluarganya. Namun, pada umumnya dan kebanyakan yang datang mengunjungi pulau yang identik dengan romantismenya adalah pasangan.  Sepertinya hanya aku sendiri yang datang kesini sendirian. Terlihat indah pohon-pohon yang menyerupai cemara menjulang tinggi di kedua sisiku dan menaungiku dengan daun-daunnya yang menguning, dan mulai menggugurkan dirinya.
Jalanan kini diselimuti oleh daun-daun yang menguning dan sudah terinjak-injak oleh orang yang lalu-lalang.
Saat sampai di pintu masuk yang bertuliskan ‘Welcome To Naminara Republic’, dan melihat lautan manusia yang berjalan berbondong-bondong, aku berdecak sebal karena salah waktu kedatangan. Tapi, biar bagaimanapun aku tetap menikmati keindahan pulau ini, pulau yang berbentuk setengah lingkaran atau seperti mangkuk.
Kebanyakan orang senang datang kesini saat salju. Mereka akan beramai-ramai membuat orang-orangan salju. Dulu, aku pun begitu. Namun, berakhir dengan saling lempar bola-bola salju. Ya, dulu. Mungkin, jika aku kembali kesini dengannya akan terasa lain.
Banyak orang yang melewatiku, yang berbeda arus.
Lalu, tiba-tiba ada yang membuatku berhenti melangkah. Aku masih ragu. Tapi, entah mengapa aku ingin berbalik badan. Orang-orang yang tadinya berjalan di belakangku, kini melewatiku karena aku berhenti berjalan. Aku tolehkan kepalaku melewati batas bahuku.
Dia berdiri disana. Laki-laki-masa-lalu-ku. Ia menatapku dari balik kacamata beningnya.
Udara sejuk hilir mudik di sekelilingku. Kali ini kubalikkan tubuhku dengan sempurna.
Kali ini aku tidak bisa berbohong, rindu yang diam-diam menyusup masuk ke relung yang kosong dan hampa akan udara, kini muncul dipermukaan. Aku pikir ia akan berbalik badan dan pergi menjauh seperti sering kali ia lakukan jika berpapasan denganku dimanapun saat kami bertemu. Tapi, kali ini tidak. Ia seperti di dorong oleh angin musim gugur, melangkah dengan perlahan ke tempatku yang diam mematung.
“Sedang apa kau disini?”tanyanya saat sudah berdiri tepat di depanku. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun.
Aku tergagap menjawab pertanyaannya. “A....aku? Disini? Hanya mau menikmati Pulau Nami. Memang ada yang salah? Aku mau melanjutkan jalan-jalan santaiku. Selamat tinggal dan semoga harimu menyenangkan.”kataku sambil membalikkan badanku. Lebih baik aku yang pergi lebih dahulu sebelum ia yang melakukannya, seperti layaknya ia baru saja bertemu dengan binatang yang kotor.
Tapi ternyata, kelima jarinya yang pernah menyelimuti lima jariku yang lain dan menyalurkan kehangatan, mencengkeram lengan atasku dan tidak mengizinkanku untuk pergi lebih dahulu dengan kencang. “Ada apa?”tanyaku, pura-pura bertanya dengan santai padahal aku ingin sekali meringis karena sakitnya cengkraman lima jarinya. “Kau masih mau bertemu denganku, Valen?”tanyaku, tanpa nada.
Ia terdiam. Kami terdiam. Perlahan-lahan lima jarinya lepas dari lenganku.
“Jangan berdiam disini. Berjalanlah. Terserah jika kau mau kembali ke arahmu atau berputar arah.”ajakku dengan perlahan. Biarlah ia mau mencengkeram lenganku lagi atau tidak, atau dia tidak akan ikut juga ya sudahlah. ‘Toh aku sudah mencoba untuk mengajaknya. Kali ini tidak ada cengkeraman tangan yang perih.
Tapi, bekasnya masih berasa. Masih berdenyut. Aku memegang lengan atasku dengan pura-pura melipat kedua lenganku di depan dada. Sungguh, rasanya sangat menyakitkan dan meninggalkan perih. Mungkin seperti inilah sakitnya dulu saat aku menyakitinya.
“Maaf.”bisiknya. Aku terkejut karena ia tahu aku tengah memegang lenganku, tapi aku pura-pura tidak mendengarnya, untungnya earphone yang masih menggantung di telingaku ini membantu alibiku. Bahkan berdenyutnya belum juga menghilang.
Sial. Kalau begini aku tidak bisa menikmati Pulau Nami.
Tapi, sepertinya inilah jalannya.
Aku berjalan menuju tempat duduk ada di sebuah jembatan dari kayu. Aku pikir ia tidak akan mengikutku, ternyata ia masih berjalan disampingku dan ikut duduk denganku di atas tempat duduk.
“Kau masih ingat pertama kalinya kita bertemu?” Aku membuka suara. Ia hanya diam.
“Pertama kali bertemu di musim gugur Pulau Nami, saat kau membuatku terjatuh dari sepedaku dan membuatku tercebur ke sungai kecil di depan kita ini. Bukannya kau membantuku kau malah menyalahkanku yang tidak bisa bersepeda dengan benar dan meninggalkanku yang diperhatikan oleh pengunjung, untung saja aku kesini dengan temanku. Ah, dan kau memarahiku dengan Bahasa Indonesia. Tapi, yang jelas saat itu kau yang tengah menelpon lalu olenglah yang salah,”
Laki-laki disampingku hanya diam juga. Memandang kejauhan.
“Terlalu banyak kebetulan yang tidak bisa disebut kebetulan. Dimanapun aku ada, aku selalu berpapasan denganmu. Bahkan saat perjalanan pulang ke Indonesia, kau berada di bangku ketiga di deret yang sama denganku dan temanku. Dan ternyata, rumahmu hanya berbeda beberapa rumah dariku di kompleks. Terasa lucu dan klise sebenarnya itu semua,”
Aku sendiri tidak tahu, apakah jiwa dan pikirannya masih menyatu dengan tubuhnya atau tidak.
“Lalu kita memulainya dengan sangat sederhana. Denganmu yang lebih dahulu menghampiriku, lalu memulainya. Ternyata, malah aku yang mengakhirinya dengan tidak halus. Kau dan aku sama-sama percaya dengan hubungan jarak jauh. Tapi, bodohnya aku, aku lebih percaya pada ketakutanku, bahwa kau disana tidak sanggup berlama-lama, itulah alasanku yang seharusnya aku beritahu padamu, tapi malah aku simpan sendiri karena aku takut kau tidak akan percaya jadi yang aku katakan aku bertemu dengan yang lain saat itu, dan aku malah menyuruhmu mencari yang bisa berada di dekatmu saat kau butuhkan dan malah berbohong kalau bonekamu sudah hilang.” Aku menggigit bibir bawahku supaya tidak bergetar.
Yang aku tahu, bahunya masih naik-turun layaknya orang yang masih bernafas. Tapi, aku tidak tahu apakah ia menyimak ceritaku atau tidak.
“Entahlah itu semua sudah lewat berapa tahun. Yang tersisa dari semuanya hanya penyesalan. Setiap kali aku mencoba menyelesaikannya, kau pergi menghindar. Aku pikir saat itu, mungkin selamanya aku akan terjebak dalam kesalahan masa lalu. Entah sudah berapa lama aku berada di dalamnya hingga aku sendiri tidak sanggup untuk menghitungnya. Tapi, ternyata sekarang aku diberikan jalan.” Aku menarik nafas panjang.
“Aku minta maaf, Len. Maaf untuk semuanya. Untuk apapun kesalahan yang aku tahu dan tidak aku ketahui. Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya sebelum aku tidak bisa menyelesaikannya sama sekali. Jika tidak aku selesaikan saat ini, tidak ada kemungkinan aku akan mendapatkan kesempatan kedua. Dan....terima kasih untuk 4 tahun kita.”paparku, menutupnya dengan sebuah senyuman. Lalu, melemparkan pandanganku jauh di depanku.
Bisa kurasakan ia menarik nafas panjang dari bahunya yang terangkat dan menghembuskannya dengan pelan. “Bahkan sebelum kau meminta maaf, aku sudah memaafkannya. Selama ini aku hanya berusaha menutupi satu rasa yang belum terhapus mungkin kau menulisnya dengan spidol permanent saat itu hingga susah sekali bagiku untuk menghapusnya. Kau bahkan tidak tahu bahwa aku sering kembali ke sini. Kembali ke jembatan ini, lalu perlahan-lahan seperti tayangan slide show, kenangan pertemuan aku dan kau yang terjatuh dari sepeda berputar ulang di kepalaku. Saat itu memang terasa menyebalkan, namun jika aku mereka ulang, terasa lucu.”ujarnya. kali ini aku yang diam, menyimak.
“Kau tidak tahu bukan setelah perpisahan itu berapa lama aku beradaptasi? Cukup lama hingga kau kembali ke tanah yang sama denganku. Hanya saja saat kau kembali, aku tengah mencoba beradaptasi dengan rasa dari orang yang berbeda. Aku mencobanya dan ya, cukup berhasil. Lalu, kau datang kembali untuk menyelesaikan semuanya. Entah mengapa, saat itu aku benar-benar belum ingin menyelesaikannya. Aku sendiri tidak tidak memiliki alasannya. Membingungkan bukan? Jangankan kau, aku sendiri bingung. Lalu, tiba-tiba, aku ingin kembali ke sini beberapa hari yang lalu. 2 hari lalu aku putuskan untuk kembali ke sini. Dan ya, disinilah aku berada. Kembali ke sini. Duduk disini kembali, kali ini dengan wanita yang ada di slide showku.”tandasnya.
Kami terjebak dalam keheningan. Padahal sekitar kami terasa ramai sekali. Kami sama-sama diam. “Ternyata, pertemuan ini sudah direncanakan untuk terjadi. Mungkin, itulah alasannya kenapa aku belum ingin menyelesaikannya saat itu.”katanya.
Ternyata memang waktu sudah membuat rencana, lalu menggiring kami untuk kembali kesini dan mempertemukan kami untuk sama-sama menyelesaikannya.
Rindu itu belum juga lepas. Padahal aku menunggu-nunggu ia melepaskan diri.
“Terima kasih sudah memaafkanku. Baiklah, kalau begitu aku pergi lebih dulu. Lanjutkan hidupmu, Len.”kataku seraya tersenyum hambar padanya, sambil bangkit berdiri dan mulai mengambil langkah menjauh.
“Bagaimana jika aku ingin memulainya dari awal lagi?”ujarnya tiba-tiba. Langkahku berhenti tiba-tiba. Aku membalikkan tubuhku dengan kening yang berkerut bingung. “Dan ya, aku memang ingin memulainya dari awal lagi. Jika kau memang tidak ingin, kau sudah boleh pulang. Hanya itu yang mau aku katakan.”lanjutnya, lalu terulas senyum miring khasnya.
Aku mematung di tempatku. Aku tidak bisa kemana-mana.
“Kau...tidak mau pulang?”tanyanya sambil menaikkan kacamatanya yang merosot.
Aku menggeleng pelan.
Tiba-tiba ia mengulurkan kedua tangannya, membukanya dengan lebar. Itu s’lalu menjadi tanda darinya jika memintaku untuk masuk dalam pelukannya. Dan aku langsung menghamburkan diriku ke dalam pelukannya. “Ah! Kau sepertinya tambah gemuk.”ledeknya. “Ya!”teriakku di telinganya dengan sebal. “Besok kau harus mengantarku ke dokter THT, gadis!”gerutunya, lalu kembali memelukku dengan erat. “Maaf soal lenganmu.”bisiknya.
Aku mengangguk. “Tidak apa-apa.”jawabku sambil nyengir.
Tidak ada kata rindu yang terucap. Tapi, dengan begini rindu itu sudah tersampaikan.
Kali ini aku berjanji untuk tidak meninggalkannya untuk yang kedua kalinya.
Kembali Pulau Nami menjadi saksi bisu pertemuan kedua kami di bawah musim gugur. Masa lalu yang kemudian menjadi masa depan.

fin