A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Selasa, 03 Desember 2013

Tidak Terduga


Siapa yang senang jika harus menjadi yang kedua? Dan atau bahkan menjadi yang ketiga dan seterusnya. Tidak ada satu pun perempuan dan atau laki-laki yang senang jika selalu menjadi pilihan dari sekian pilihan. Laki-laki mungkin tidak akan terlalu memusingkan perihal menjadi pilihan atau tidaknya. Tapi, lain hal dengan perempuan yang akan memusingkan hal tersebut. Terkadang, otak dan mulut menolak untuk menjadi pilihan, namun hati terkadang berkehendak yang lain.
Awalnya aku memang tidak mau menjadi pilihan, jika selama aku bisa menjadi yang utama. Kau pasti mengerti maksudku dengan pilihan dan menjadi yang utama. Aku tidak pernah berpikir negatif perihal perempuan-perempuan yang menjadi pilihan kesekian. Tapi, aku juga tidak pernah setuju dengan hal tersebut. Karena, diluar lingkar hidupku aku tahu, banyak hal yang tidak terduga yang akan terjadi.
Sekarang, hal tidak terduga yang aku maksudkan, sanggup aku berikan contohnya. Ya, contohnya aku, yang menjadi pilihan kesekian dari yang utama. Aku sempat mendengar satu kalimat dari seorang laki-laki,”Lebih baik menjadi yang kedua tapi diutamakan, daripada menjadi yang utama tapi diduakan.” Sebenarnya, dua-duanya pun akan merasakan sakit yang sama. Mungkin yang utama namun diduakan yang lebih berpotensi lebih menyakitkan.
Tapi, perempuan mana yang tidak mau selalu menjadi yang utama tanpa harus perlu ada pilihan-pilihan lain dibelakangnya atau diduakan dan seterusnya? Perempuan mana yang tidak ingin diakui sebagai satu-satunya yang dicintai oleh laki-laki yang mencintainya? Perempuan mana yang tidak akan sakit hati jika tahu ternyata dibelakangnya masih ada pilihan-pilihan lain selain ia?
Jujur, tidak pernah terbayangkan olehku untuk berada diposisi seperti ini. Tidak pernah sekalipun. Namun, apa dikata jika alam memiliki kehendak sendiri?
Aku berusaha untuk tetap berada di posisi yang netral. Namun, terkadang aku sering kali kebingungan dengan perasaanku sendiri. Ya, aku tahu dia sudah bertuan. Sempat terpikirkan olehku bahwa aku datang terlambat sehingga melewatkan seorang yang sebenarnya berarti bagiku. Jika tidak terbangun pada kenyataan, mungkin aku akan merasa semua yang terjadi padaku ini begitu manis. Terlalu manis, sehingga ketika aku terbangun pada kenyataan, rasa pahit yang aku rasakan selanjutnya.
Bahagia. Setiap orang memiliki definisi mereka masing-masing perihal satu kata itu.
Namun, percaya padaku, kebahagiaan itu tidak bisa ditukar dengan apapun; tidak bisa dibeli dengan nilai mata uang apapun, meski memiliki nilai tukar yang tinggi. Setiap orang memiliki bahagia itu sendiri. Karena, bahagia setiap orang berbeda-beda. Karena, setiap orang berhak untuk bahagia.
Sering kali aku harus menahan rasa ngilu setiap kali tanpa sengaja aku menatap mereka yang tengah bersama. Sebelum aku mendapati mereka bersama, rasa tidak enak mulai menyerang perasaanku, dan tidak lama setelah itu aku mendapatkan jawaban dari rasa tidak enak yang tiba-tiba menyerang itu.
Biar begitu, otakku tetap menyadarkanku. Aku hanyalah temannya.
Aku tidak tahu akan sampai kapan aku berada diposisi ini. Rencana untuk mundur? Ada. Tapi, setiap kali aku mulai mengambil satu langkah mundur, dia datang dengan dua langkah maju.
“Jangan bengong. Siang-siang begini bengong, nanti dicolek setan loh.”candanya ketika aku tengah menunggu makan siang kami diantar.
“Kamu kan setannya? Kan barusan kamu nyolek aku.”balasku. Ia langsung berdecak sebal. Aku terkekeh pelan.
“Kamu kenapa?”tanyanya tiba-tiba dengan lembut. Aku menoleh ke arahnya yang tengah menatapku sambil tersenyum tipis dan balas bertanya,”Memang aku kenapa? Aku baik-baik saja.”
Ia mendengus geli mendengar jawabanku. “Ya kamu kayak bukan yang biasanya.” Aku mengerutkan keningku dengan bingung.
“Emang biasanya aku kayak gimana?”pancingku. Dia malah tertawa.
“Ya biasanya kamu tuh heboh. Ketawa-ketawa. Tapi, kok hari ini enggak. Ada apa? Cerita-ceritalah.”ujarnya. Aku terkekeh pelan.
“Terlalu berlebihan. Aku baik-baik saja.” Untung saja, percakapan tersebut dihentikan oleh pesanan makan siang kami yang sudah sampai di depan mata. Seketik hening yang berkepanjangan menggantikan percakapan kami yang sebelumnya.
“Maaf, ya.” Tiba-tiba ia berujar seperti itu. Aku terdiam sejenak. Memang hari ini aku kebanyakan diam daripada tertawa, setelah semalam sebelumnya aku menemukan satu hal yang selama ini selalu aku hindari. Otakku terlalu sibuk berpikir sehingga aku lebih memilih diam, karena takut salah satu topik yang aku pikirkan tiba-tiba terucap olehku tanpa sadar.
Aku pura-pura bingung. “Kenapa minta maaf?”tanyaku bingung sambil mengunyah.
“Ya aku minta maaf aja. Tadi kan aku sempat telat dari jam janjian makan.”jawabnya. Aku tahu itu jawaban yang dibuat-buat.


Aku sendiri tidak tahu ini semua akan bertahan hingga kapan, apalagi dengan dia sendiri. Mungkin masih terlalu dini bagiku untuk memastikan bahwa ini rasa yang sudah keluar dari jalurnya. Namun, perihal perasaan aku tidak pernah meragukan perasaanku sendiri. Perjalanan kedepan masih panjang bagiku, sedangkan ia juga pasti sudah menghadapi hubungan yang serius. Tapi, bagiku untuk dihubungan yang nantinya akan aku jalani entah dengan siapapun itu, aku pun sudah harus serius.
Aku selalu berdoa dan berharap akan menemukan jalan yang tepat bagi kita.
Lalu, jalan itu ditunjukan padaku. Dengan kehadiranmu.
Kedatanganmu selalu penuh dengan keragu-raguan, hingga membuat perasaan ini pun terbagi menjadi dua dan aku menemukan persimpangan di ujung jalan tersebut. Tidak ada jalan tengah karena aku harus memilih satu diantara keduanya. Memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Aku pun bergerak perlahan, mengikuti waktu yang bergerak kecepatan.
Akan sampai waktunya ketika aku harus memilih. Untuk tetap tinggal di masa lalu, atau melangkah maju dengan masa depanku. Tidak selamanya setiap orang dapat hidup dengan masa lalunya. Waktu saja bergerak maju, bukan mundur; bahkan menghitung pun selalu bergerak maju; umurmu bertambah, bukan berkurang. Tidak ada yang bisa hidup di masa lalu. Mau tidak mau, akan tetap maju.
Maka aku memilih untuk pergi dan memilih jalanku sendiri dengan berbelok ketika sampai di persimpangan. Tentunya setelah aku sudah selesai menata dan membersihkan ruangan yang sebelumnya masih berantakan; hati. Perlahan aku jalani perjalanan denganmu yang terkadang masih sering terombang-ambing; tidak tahu ujungnya akan berhenti dimana. Tapi, herannya aku masih meneruskannya saja. Lalu, lama kelamaan, perjalanan ini mulai disebut sebagai proses.
Jatuh dan bangunnya aku dalam proses ini sudah lebih dari cukup untuk aku rasakan.
Perbandingan antara jatuh dan bangunnya itu seimbang. Kadang ada saatnya aku merasa lelah dan ingin menyerah, namun sekali lagi aku teringat alasanku supaya tidak berhenti dan menyerah. Kamu. Untuk apa aku berusaha payah untuk melewati proses ini dari awal jika di pertengahan tiba-tiba aku menyerah? Konyol. Meski terkadang aku sering merasa melewati proses ini sendirian.
Aku sadar aku telah benar-benar melupakannya adalah ketika aku dibuat panik olehmu karena tidak adanya kabar darimu seharian penuh. Proses terberat yang pernah aku rasakan adalah bagian ketika kamu tidak menghiraukanku sama sekali; layaknya aku ini orang asing bagimu. Setidaknya saat proses ini aku sudah merasakan pahit-manisnya.
Pernah satu kali aku berkata, “Kamu tahu, yang aku inginkan adalah kamu bisa mengkomunikasikan masalahmu dan atau kesalahanku yang aku tidak tahu, denganku.” padamu yang saat itu hanya membalas pernyataanku dengan anggukan samar. “Aku juga ingin tahu tentang apa yang kamu rasakan.”ujarku sekali lagi. Saat itu aku hanya bisa menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan pelan, berusaha meredam emosiku. Karena, besok-besoknya masih sama saja.


Aku tahu, terkadang aku yang harus bersikap dewasa dan harus selalu siap untuk mengalah. Hal tersebut selalu aku anggap sebagai salah satu cara untuk belajar dewasa. Darimu aku belajar untuk melatih kesabaranku; darimu aku belajar untuk melatih egoku ketika tidak dihiraukan olehmu ketika sudah bertatap muka dengan layar game, juga.
Pernah sekali dia bertanya padaku, “Siapa yang bisa ngemong diantara kalian?”
Saat itu aku menjawab, “Ya karena kita sudah sama-sama dewasa, jadi kita sama-sama belajar untuk saling mengemong satu sama lain.” Dia hanya tersenyum. Karena aku yakin kita bisa sama-sama saling ngemong.
Sudah cukup lama proses ini berlangsung hingga aku tidak tahu akan sampai kapan, tapi aku tahu bahwa proses ini akan ada akhirnya.


Aku tengah duduk di samping jendela kereta yang akan membawaku kembali, yang aku tahu aku melakukan perjalanan ini sendirian. Ketika tatapanku termangu keluar jendela saat kereta ini mulai bergerak perlahan, aku mendapati bayangmu dijendela.
Benar saja, ketika aku menoleh, aku mendapatimu dibelakangku, tengah sibuk meletakkan barang-barang bawaanmu dibagasi diatas kepala, lalu menunduk kearahku sambil tersenyum ketika duduk disampingku. Senyumku lebarnya langsung dua kali lipat darimu. Perjalanan kali ini aku tidak akan sendirian; proses yang aku jalani selama ini pun tidak aku jalani sendirian, karena kamu berjalan dalam diam di dalam bayangku.
Memang kamu bukan satu dari setiap orang yang pernah lakukan beberapa hal termanis untuk pasangan mereka, tapi yang aku tahu dengan pasti bahwa aku akan mencintaimu dan menyayangimu hingga waktu yang tidak terdefinisikan. Tapi, mungkin, kamu pun begitu perihal aku.
Selamat menikmati perjalanan ini. Bersamaku.