A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Selasa, 17 Juni 2014

Randezvous.


Sudah pernah dengar kalau ada orang yang kehilangan itu berbahagia? Ah, mungkin ada. Tapi, percayalah padaku itu hanya kepura-puraan belaka saja. Sejauh ini tidak ada yang benar-benar bahagia meskipun ia baru saja kehilangan. Jangan percaya ketika ia tersenyum. Jika kau bisa benar-benar melihat kau akan tahu perbedaannya seperti apa antara senyuman yang benar-benar senyuman dan senyuman yang menyembunyikan rasa sakit.
“Bengong aja. Diculik setan loh.” Aku menoleh sekilas sambil mencibir.
“Iya, kalau aku sampai diculik ya itu pasti kau satu-satunya orang yang bakal melakukan itu.”jawabku sambil mendelik.
Ia tertawa. Tawa renyah yang selalu, ah yang sering aku rindukan maksudku. “Berarti aku setan dong?”katanya disela-sela tawa.
I’m not say that, dude.”ledekku, sambil mengedipkan satu mataku kearahnya.
“Lagipula kalau aku menculikmu yang ada aku rugi.” Kata-katanya menggantung diudara.
“Kok gitu?”gerutuku dengan kening yang berkerut.
“Iyalah, mending kalau kau benar-benar makan tiga kali sehari, lah kalau kau itu  udah makan lebih dari tiga kali sehari porsinya kayak kuli pula. Mungkin, orang yang menculikmu yang nggak tahu apa-apa bakal langsung ninggalin kau ditempat.”candanya.
Aku meninju pelan lengannya sambil tertawa. “Sialan.”cemoohku padanya. Ia terkekeh.
“Ngelamunin apa sih? Awas aja kalau ngelamunin aku.”
Aku bergidik ngeri. “Kau ini akibat baru pertama kali jomblo atau emang lagi stres akibat diputusin? Aku sudah bilang, wanita yang itu nggak ada benarnya. Udah benar kau kembali dengan yang lama, malah ngeyel.”kataku. Ia menatapku dengan tatapan datar, lalu sedetik kemudian hanya mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
“Lebih baik kau habiskan segera jus alpukat itu sebelum sebagai gantinya kau mandi jus alpukat. Belum pernah kan?”ancamnya dengan sangat santai, namun tajam. Selanjutnya, aku hanya tertawa terbahak-bahak. Ia tidak akan pernah tega untuk menyiramku. Percaya padaku, hanya aku yang berani menyiramnya didepan umum. Selanjutnya? Ia terkekeh panjang yang bagiku menyeramkan dan dengan gerakan tiba-tiba langsung memelukku erat, maksudnya adalah supaya aku ikut basah. Kurang ajar kan? Sebenarnya aku yang kurang ajar. Hahaha.
“Baiklah. Aku habiskan sekarang, lalu gantinya kau belikan aku Starbucks botol yang harganya selangit itu, ya? Oke? Deal!” Aku langsung menenggak jus alpukat itu hingga tandas. Dan ia hanya melongo melihatku.
“Ayo, sekarang beli kopinya!”seruku sambil menggeretnya keluar dari kafe shop itu.
“Eh, apa-apaan?! Nggak deal dong! Itu kan hanya sepihak.”gerutunya sambil melepaskan lengannya yang aku tarik.
“Ya nggak bisa, kau harus beli itu atau kau pulang jalan kaki?” Aku tersenyum menang karena aku memegang kartu as-nya. Sepertinya ia lupa kalau tadi aku yang mengendarai mobilnya kesini. Ia mendesah sebal, dan langsung masuk ke mobil disisi supir. Sebelum masuk ke balik kemudi, aku tertawa bahagia atas kemenanganku mendebatnya.
Dia orang yang pernah dan masih aku cintai saat ini. Namun, yang tidak pernah aku ucapkan. Ia tidak tampan, tapi dimataku aku senang melihat wajahnya. Aku menakar wajah seseorang dari enak-dilihat-atau-tidak, ya simplenya, wajahnya bosenin atau tidak. Hanya itu. Aku tidak suka menakar seseorang dari dia-tampan-atau-tidak. Kesannya mendiskriminasikan yang lainnya, dan aku tidak suka. Dan aku suka rambutnya yang tidak pernah menyentuh kerah baju, namun memiliki jambul. Aku sering sekali menertawakan jambul itu.
“Udah dong, nggak usah masang wajah cemberut gitu. Kita bentar lagi sampai, kok.”ujarku sambil menepuk-nepuk kepalanya yang malah semakin cemberut. Ia paling tidak suka ditepuk-tepuk, tapi ia tidak pernah menepisnya. Paling ia hanya memberikan wajah yang siap menelan orang hidup-hidup. Aku terbahak-bahak melihat wajahnya yang semakin kusam.
“Kau ini benar-benar berniat membuat kantongku kering? Kau nggak tahu apa tadi kau makan sebanyak apa? Terus, sekarang minta dibeliin Starbucks?! Kau pikir aku ini Ayahmu?! Untung aku bukan pacarmu. Kalau aku pacarmu, sekarang dipikiranku adalah bagaimana caranya aku bisa  mutusin kau yang mulutnya berbisa kayak ular.”celotehnya panjang lebar dari bangku disamping supir. Aku hanya menjawabnya dengan tertawa saja.
Dia tidak akan benar-benar marah padaku, percayalah.
Aku melompat turun dari mobilnya yang tinggi itu, diikuti oleh pemilik mobil dengan wajah yang cemberut. Ia berjalan mendahuluiku dan mendorong pintu untukku. “Terima kasih.”ucapku dengan tulus. See? Bahkan dengan wajah masamnya itu ia tetap masih bisa berlaku sopan pada wanita yang sudah membuat wajahnya masam ini. Tapi, coba kalau aku perhatikan. Ia tidak akan seperti itu pada perempuan-perempuannya yang lain. Ya kalau dia kesal pada wanita itu, jangan harap ia akan memanjakan wanitanya, yang ada malah ditinggal dibelakangnya, apalagi langkahnya dia dua langkahnya orang normal. Kejam.
“Tidak yang mahal-mahal!”perintahnya sambil menyerahkan dompet coklat tuanya. Aku menerimanya dengan senang hati. Perutku ini paling anti kalau belum kena kopi. Parah ya? Aku memesan cappucino, seperti biasa. Dan untuk mengembalikkan moodnya si bos itu, aku memesankan latte hangat untuknya.
“Kan aku tidak pesan kopi!”serunya, masih dengan nada yang sebal.
“Yaudah, aku yang habisin aja semua kalau kau nggak mau.”kataku sambil menarik gelas kopi yang aku letakkan dihadapannya. Tapi, sedetik kemudian ia menahannya.
“Biar aku yang bantu habiskan.”jawabnya dengan lemah. Aku tertawa dalam hati. Lihatkan? Dia itu hanya malu-malu kucing saja.
Aku membiarkan udara sejuk melewati jarak diantara kami ini. Aku selalu menikmati waktuku seperti ini. Dan ia tidak pernah mengusikku, ia terlalu tahu bagaimana caranya memberikan aku quality time untuk diriku sendiri meskipun saat itu aku sedang bersamanya. Satu tanganku memegang cangkir cappucino hangat itu, dan sementara yang satu lagi membalik halaman novel yang aku letakkan terbuka diatas meja.
“Liv...” Aku merasa familiar dengan nama itu. Aku mendongak dan mendapatinya tengah menatap seseorang yang berdiri di kejauhan, sedang mengantri kopi. Aku menyipitkan mataku hingga tinggal segaris, dan aku membeku ditempat. Aku merutuki diriku sendiri. Sepertinya hari ini bukan hari keberuntunganku. Aku menyandarkan punggungku kesandaran sofa dengan tidak mood.
“Samperin aja.”kataku dengan tidak bersemangat. Ia menatapku setengah berharap.
“Kalau kau yakin itu dia, ya samperin. Kalau nggak, ya tetep coba. Daripada gigit jari.”gumamku tak acuh, melarikan tatapanku ke buku. Supaya ia tidak perlu melihat emosi yang tiba-tiba muncul antara sedih, cemburu, iri, dan senang yang ada di mataku. Mamaku selalu berkata kalau setiap emosi yang tidak aku sampaikan dan hanya aku simpan itu selalu bisa terlihat dimataku, meski hanya melihat sekilas saja.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dari kursinya. Ia berjalan dengan ragu-ragu ke arah antrian, perlahan ia menoleh ke arahku. Aku mengangguk sambil tersenyum, memberinya kepercayaan kalau ia tidak salah lihat, karena aku sendiri yakin kalau kita tidak salah lihat soalnya. Ia membalikkan badannya dan berjalan dengan mantap ke barisan antrian.
Sedetik kemudian aku mendengar suara pekikkan tertahan. Aku menghembuskan nafas lega. Ternyata kami memang tidak salah lihat. Diam-diam aku tersenyum. Setelah hampir sekian lama ia tidak bertemu dengan wanita yang benar-benar ia anggap wanita dimatanya, kini mereka bertemu kembali. Ternyata waktu memiliki skenarionya sendiri. Secara tidak langsung waktu mengatur pertemuan mereka. Aku memang memiliki kepercayaan kalau waktu memang memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan dua orang yang sudah berpisah untuk bertemu kembali. Meskipun sudah terpisahkan berkali-kali namun, jika memang mereka ditakdirkan bertemu kembali maka akan terjadi. Tidak ada yang bisa menentang alam, kalau memang sudah jodoh. Seorang dukun sekali pun.
Aku meletakkan sepasang earphone ditelingaku. Menghalau suara-suara bising disekitarku dan lanjut membaca. Kopi yang tinggal setengah itu tidak aku hiraukan. Aku sudah tidak terlalu mood untuk menghabiskan kopi itu saat ini. Mungkin nanti.
Belum lama aku membaca, ia kembali ke sofanya. Aku menatap dengan heran. Aku pikir ia akan mengajak wanita itu duduk disini. berhubung ada satu sofa kosong disamping kami ini. “Loh, kok nggak diajak gabung?”tanyaku bingung.
Ia terkekeh. “Dia tadi lagi nemenin temannya makan siang. Terus pas dia mau ke wc dan lewat sini, dia lihat disini antriannya lagi nggak panjang, jadi dia mampir. Tadi abis pesan kopi, dia langsung balik ke tempat makan. Dan kau tahu, kita tukeran nomor handphone!”pekiknya dengan bahagia. Jujur, aku tidak pernah melihatnya sebahagia ini. Bahkan, hanya dengan saling bertukar nomor handphone saja sudah sanggup membuat laki-laki dihadapanku ini berbuat apa saja. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Seperti bocah yang mendapatkan permen dalam sekali minta.
“Yaudah, bagus kan moodnya balik lagi? Sekarang aku bisa pesan kopi lagi kan?”kataku dengan datar.
Wajahnya tidak kalah datar dariku saat menjawab, “Tidak.” dengan tegas dan mulai sibuk dengan handphonenya. Aku rasa kalau aku menghilang sekarang juga ia tidak akan tahu atau bahkan tidak peduli. Aku memberengut di sofa dan melanjutkan acara membacaku dan menyesap sedikit-sedikit kopiku yang sudah menipis.
Lebih baik aku pulang dan tidur, daripada aku harus merasakan aura-aura yang sanggup membuatku gila karena cemburu dan iri. “Ayo pulang. Tapi, aku mau beli satu kopi dulu buat dibawa pulang. Tenang saja kau nggak usah protes kali ini aku beli pakai duitku.”jawabku dengan datar, aku langsung menambahkan kalimat terakhir dibelakang sebelum ia sempat protes karena hari ini aku sudah cukup jadi cewek matre.
Ia menunggu dengan sabar disampingku yang sedang menunggu namaku dipanggil. Kali ini jemarinya tidak sibuk mengetikkan pesan di ponsel. Begitu aku mendapatkan kopiku, aku langsung berjalan lebih dulu menuju pintu, namun ia selalu bisa mendahuluiku. Aku biarkan ia membukakan pintu untukku dan mengucapkan terima kasih dalam gumaman.
“Kali ini kau saja yang nyetir. Aku capai. Mau tidur.”kataku setengah malas, sambil melempar kunci mobil kearahnya yang dengan kening berkerut menerima kunci mobil itu dan langsung mengambil jalan ke pintu supir. Begitu aku duduk dibangku yang nyaman itu, aku langsung memejamkan mata, sementara ia memutarkan lagu jazz instrumental di music player.
Ketika aku membuka mata sebentar aku mendapati ia tengah mengetik sesuatu diponselnya. “Kau ini berniat untuk membunuhku dengan main ponsel saat nyetir?!”pekikku kaget. Ia pun terkejut mendengar aku yang memekik tiba-tiba. Setahuku, dan semoga belum berubah, dia adalah laki-laki yang paling anti untuk bermain ponsel saat sedang nyetir. Dan aku tidak tahu, hari ini ia sedang kesambet setan apa sehingga tiba-tiba dia seperti ini.
“Kau bisa tunggu sampai dirumahku dulu kan untuk membalas pesannya?”gerutuku dengan sinis. Ia menghembuskan nafas dan meletakkan ponselnya di dashboard. Tidak lama kemudian, aku bisa merasakan ada getaran dari ponsel itu. Aku langsung mengambil ponsel itu sebelum tangannya lebih dulu. Dan ada satu pesan yang muncul di layar. Oh, ternyata benar. Mereka langsung smsan. Aku membalas pesan wanita itu tanpa permisi dengan mengatakan untuk tidak menghubunginya yang saat ini sedang menyetir. Memang dari nada balasanku seperti sinis, tapi masa bodolah. Aku tidak mau hanya karena sms, dan dia tega untuk membahayakan dua nyawa.
Ia hanya diam saja saat aku mengomel tadi. Aku pun diam. Karena, aku merasa tidak bersalah. Jadi, aku merasa tidak memiliki kewajiban untuk meminta maaf padanya. Wajahku masih cemberut saja. Lalu tangannya itu menyentuh puncak kepalaku dan mengusapnya pelan-pelan, hal yang biasanya ia lakukan untuk menenangkanku.
“Maaf, ya.”ujarnya dengan lembut masih dengan mengusap-usap rambutku.
Sepertinya aku lupa memberitahu kalau dia itu juga tahu cara mengembalikkan moodku. Tapi, hanya dia yang sanggup mengembalikkan moodku hanya dengan seperti ini.
“Ayo dong, jangan cemberut terus. Aku kan udah minta maaf. Aku tahu kau khawatir, aku tahu. Aku minta maaf.” Ia masih berusaha membujukku dengan suaranya yang lembut dan dalam itu.
“Iya.”jawabku pendek. Pelan-pelan wajah cemberutku menghilang, seiring dan menghilangnya usapan dirambutku.
“Gitu dong. Jadinya kan aku bisa pulang dengan selamat.”candanya.
“Kok gitu?”
“Kan bisa aja, pas kau turun dari mobil kau menyumpah-nyumpahi aku saking masih sebalnya sama aku. Hayo? Iya kan?”ledeknya. Aku mencibir, namun tidak kembali kesal. Ia tertawa pelan karenanya.
Begitu sampai di depan pintu rumah, oops maksudnya apartemen yang sederhana yang menjadi tempat aku indekos, aku mencium pipinya sebagai tanda perpisahan untuk hari ini. “Hati-hati dijalan ya. Thank you for the coffee.”ujarku setelah ia balas mencium puncak kepalaku. Aku tidak tahu mengapa ia senang mencium puncak kepalaku.
Saat aku turun dari mobil itu dan menunggu mobil itu menghilang dari pandangan, aku kembali merasakan satu perasaan yang selalu sama. Kehilangan. Rasanya, aku hanya tidak ingin berpisah dengannya meskipun besok dan seterusnya kami akan bertemu. Dari hal barusan, kalian jangan berpikiran aku dan dia berpacaran ya. Asal kalian tahu aja, dia itu masih stuck di mantannya yang tadi ketemu di Starbucks. Hahaha. Aku menertawakan diriku sendiri yang mencintai seorang yang masih terjebak di masa lalu. Aku tidak pernah berniat untuk merebut perhatiannya. Karena, bagiku seperti ini saja sudah cukup. Naif ya? biarlah. Aku mencoba untuk bersyukur. Meskipun aku sendiri harus menekan rasa iri yang lebih besar daripada cemburu ini.
Aku melangkah dengan gontai menuju elevator yang membawaku ke lantai tiga tempat indekosku berada beberapa meter dari elevator. Kotak besi itu mengeluarkan suara ‘ting’ sesaat sebelum pintu terbuka. Begitu aku masuk ke dalam, aku meletakkan sepatuku di dekat anak tangga pertama. Dan begitu aku naik keatas, aku menyibakkan gorden di jendela besarku. Membiarkan matahari sore merangkak masuk kedalam ruanganku ini, sembari berjalan menuju pantry untuk membuat teh hangat yang aku bawa ke ruang tv.
Biasanya kalau dia sedang malas pulang cepat ke rumahnya, ia akan mampir disini sampai malam hanya untuk bermalas-malasan disofa denganku. Tapi, sepertinya hari ini ia terlalu bersemangat untuk mendekam dikamarnya dengan ponsel yang ia bawa kemana-mana. Berani bertaruh denganku, mulai besok ia tidak akan pernah jauh dari ponselnya barang sesenti pun. Mungkin, kalau sekarang aku iseng meneleponnya, aku akan dibanjiri dengan segala makian dari paling halus sampai paling kasar yang ia punya dan aku hanya akan menjawabnya dengan tertawa terbahak-bahak. Pasti ia mengharapkan kalau wanita itu yang meneleponnya atau membalas smsnya.
Aku terkikik geli saat membayangkan wajahnya yang kesal karena merasa di php-in oleh ponsel sendiri.
Aku menghembuskan nafas panjang. Ketika tidak ada wanita lain dihidupnya selain aku, aku sanggup untuk tertawa lega dan benar-benar bahagia. Tapi, ketika ada satu yang melangkah masuk kedalam hidupnya selain aku, rasanya aku ingin memilih untuk pergi saja saat itu dan meninggalkannya berdua dengan dunianya. Karena, aku tahu aku tidak akan bisa seperti mereka. Itu hanya harapan kosong yang tidak akan terealisasikan. Hanya mimpi seorang gadis kecil yang ingin dijemput oleh pangeran berkuda.
Aku duduk termangu seperti orang yang kehilangan ruhnya dengan dua tangan yang menangkup gelas teh dan dengan tv yang menyala tanpa ada niatan untuk aku tonton. Aku menyalakan tv itu dengan niatan supaya terdengar ramai saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk merinngkuk di sofa itu sampai tertidur. Dan tidak menyentuh teh yang aku buat itu.
Kira-kira bisa semudah itu kah meninggalkan perasaan seperti meninggalkan teh yang sudah dibuat begitu saja? Andai saja bisa. Tapi, pasti tidak semudah itu. Aku lebih menghargai teh yang dibuat dari beberapa proses. Itu mengajarkanku bahwa semuanya tidak instan, pasti membutuhkan proses. Memang bukan hanya teh, kopi juga. Tapi, ya suka-suka aku dong mau pake yang mana.


Aku terbangun oleh deringan bel di pintu apartemenku. Aku menoleh ke kanan dan kiri. “Gila! Udah gelap lagi aja. Jam berapa coba ini?”gerutuku.
“HEI GADIS PEMALAS! CEPAT BUKA PINTUNYA!” Teriak sebuah suara dari balik luar pintu dengan gemas. Aku menepuk jidatku. Lupa! Kalau aku telat membukakan pintu dalam hitungan detik, mungkin pintu itu sudah terpental entah kemana dan membuat tetangga yang lain siap menelepon polisi.
Aku membuka pintu dengan lebar-lebar. “Ngapain disini?”tanyaku sambil bersandar di kusen pintu.
“Mau ngebakar! Ya aku mau bikin makanan!”jawabnya dengan gusar dan menenteng barang belanjaannya ke dalam, meninggalkan aku yang masih bengong. Tumben ini anak orang belanja sendirian. Biasanya dia udah merongrong aku di telepon untuk menemaninya belanja bahan masakan.
“Kau itu ya aku teleponin nggak ada jawabannya mulu. Itu mbak-mbak operator mungkin udah bete kali ngasih tau aku buat nelpon nanti lagi. Sekali lagi aku nelpon kau, mungkin mbak operator itu bakal langsung teriak ‘BISA TELEPON NANTI AJA NGGAK?!’ Hiiiiiy, ngeri!” Aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak di sofa mendengar ia bercerita. Aku sendiri bingung, dia itu sebenarnya lagi ngomelin aku atau mbak-mbak operator?
“Heh! Nggak usah ngejogrog disitu! Bantuin aku bikin makan malam nih! Emang aku kesini buat jadi pembokat gratis semalam?! Buru!”serunya sambil mengacung-acungkan pisau. Aku langsung melompati dua anak tangga yang menuju dapur.
“Siap pak bos!”seruku.
Waktu aku buka handphoneku, ternyata ada sekitar 20 missed call. Ya, cuma dia doang the one and only yang sampai menelepon segitu banyaknya. Dan sms yang aku nggak bisa hitung sama sekali. dari yang paling halus sampai yang isinya capslock semua. Aku tertawa terbahak-bahak setiap membaca semua pesannya. Ia memberengut ditempat duduknya.
Kami memutuskan untuk makan malam di beranda luar yang menghadap langsung ke keramaian kota dan lampu-lampu rumah dan jalanan. Duduk di bangku selonjoran yang bisa ditemukan di pinggir kolam renang atau pantai itu. Sorry, aku nggak tahu namanya. Hahaha.
“Hah! Ini enak banget!”ujarnya sambil menumpukkan kedua tangannya dibelakang kepala dan memejamkan matanya. Aku masih sibuk mencicipi masakannya. Jadi, selama satu jam berkutat di dapur itu aku hanya menjadi kelinci percobaan, enak atau tidak. Karena, aku berhasil menghancurkan gorengannya diatas panggangan.
“Ini apalagi!”gumamku dengan mulut penuh.
“Hah! Kau itu makan mulu, tapi nggak ada gendutnya.”jawabnya. Aku terkekeh dan masih asik mencomot sana-sini.
“Menurutmu, aku udah bisa ngajakin dia jalan belum ya?” Tiba-tiba ia berkata melenceng jauh dari topik. Alhasil, makanan yang aku telan salah masuk jalur dan membuatku tersedak dan megap-megap seperti kehabisan napas. “Uhuk...huk...uhuk...” Ia langsung panik dan mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil memberikanku minum.
“Makannya pelan-pelan dong. Nggak bakal langsung habis kok ini semua makanannya. Tenang aja.”katanya dengan santai sambil kembali ke posisinya semula setelah aku berhasil mengontrol nafasku lagi.
Aku cemberut dan mengabaikan kata-katanya. Selera makanku jadi menghilang karenanya.
“Jadi, gimana menurutmu?”
“Menurutku apaan?!”sergahku dengan nada tinggi. Ia langsung menoleh. Aku buru-buru berdeham-deham dan menenggak minumanku. Oops, reaksiku kelewatan.
“Lagi PMS, ya?”katanya dengan polos.
“Enak aja. Udah lewat kali!”jawabku.
“Maksudku, perasaan marah selalu, kok.”balasnya, lalu tertawa melihat wajahku yang langsung ditekuk 7 lipatan.
“JAYUS!”teriakku. meskipun ada jarak cukup jauh, tapi teriakanku sepertinya sukses menusuk gendang telinganya.
“Tolong, Re, kalau mau teriak-teriak liat situasi dan jam.”gerutunya, masih memegangi telinganya. Berharap masih berfungsi dengan baik.
“Mana bisa!”jawabku dengan santai selonjoran di kursi malas itu dan menikmati udara malam. Memang kata orang udara malam itu tidak baik untuk kesehatan. Tapi, untuk saat ini...masa bodoh lah dengan hal itu. Udaranya terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Udara itu sama ya kayak perasaan. Bisa merasakannya itu menyenangkan, tapi ketika sudah merasakannya lagi rasanya seperti kehilangan dan rasanya akan mati mungkin. Udara dan perasaan itu memiliki satu persamaan, sama-sama membuat orang ketergantungan.
“Udah malem, udah duduk diluar, malah bengong lagi ini gadis. Eh apa udah nggak?”celetuknya sambil menggigit sepotong sosis yang mulai dingin.
Aku langsung menatapnya dengan tajam, “Kau belum pernah dilemparin panci ya?!”
Ia mengangkat kedua tangannya seperti menyerah sambil tertawa-tawa dan dengan mulut yang sibuk mengunyah potongan sosis.
“Aku kira malam ini kau akan mendekam di dalam kamar dan dengan tangan yang sibuk sms-an.”
“Aku tidak akan sejahat itu padamu, Re. Aku tahu kalau kau akan merindukanku.”
“TIDUR DISINI KAU!”ancamku dan langsung masuk ke dalam dan mengunci rolling door yang terhubung ke beranda luar.
Meskipun rolling door itu sudah aku tutup, tapi suara tawanya masih menggema. Aku mendengus sebal. Dasar laki-laki itu, tingkat kepedeannya sudah di level menakutkan. Biarkan saja dia tidur dalam dingin begitu.
Sudah jam segini, ia tidak akan pulang. Dan aku memang akan melarangnya pulang. Jalanan sudah terlalu sepi untuk membiarkannya menyetir sendirian.
“Ayolah, Re. Kau tega mengunci aku diluar sini? Bukannya aku sumber isi perutmu?”bujuknya sambil bersandar di besi beranda dekat pintu, dengan dua tangan yang bersedekap di dadanya, dan dengan seringai yang menghiasi wajahnya.
Hah! Dasar lemah! Dibujuk gitu aja aku langsung membukakannya pintu.
Tapi, hal selanjutnya yang membuatku terkejut adalah tubuhku ditarik ke pelukannya. Wangi tubuhnya langsung menyerang indra penciumanku. Begitu kedua lengannya memerangkap tubuhku, ia mendesah lega.
“Udah lama nggak kayak gini.” Ia menumpukkan kepalanya di puncak kepalaku.
Hening. Aku tidak berani menjawab, apalagi mengeluarkan suara. Yang ada nanti malah aku menjawabnya dengan gemetaran.
Memang sudah cukup lama tidak seperti ini. Sering aku merindukan kami yang seperti saat ini. Tapi, tidak mungkin bagiku untuk meminta padanya atau tiba-tiba langsung memeluknya. Karena, biasanya dialah yang lebih dulu melakukan hal tersebut. Ya contohnya seperti ini.
“Udah berapa lama ya?”
Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
Diam. Ia berkata apa-apa. Tapi, tangannya mengusap kepalaku dengan lembut.
Kedua tanganku memeluk punggungnya. Punggung yang sering kali menjadi objek tinjuku, tapi yang dibalas dengan tawa terbahaknya seakan-akan itu hanya sebuah cubitan anak kecil yang tidak sakit.
Nyaman. Rasanya, aku tidak ingin keluar dari lingkup pelukannya yang seperti ini.


Harap dimaklumi jam tidurku, ya. Udah kayak kelelawar aja jam tidurku ini. teman-temanku selain ia saja sampai frustasi kalau mau menghubungiku harus setelah jam 12 siang. Kadang, malah lebih. Heheheh.
“Hei, anak gadis. Lekas bangun! Aku sudah siapkan cappucino hangat buatmu dan roti bakar coklat. Cepat bangun kalau tidak mau kehabisan.”bisiknya. Hidungku samar-samar mencium wangi aftershave darinya. Hmm, sepertinya dia baru beres mandi.
Aku menyibakkan selimutku entah kemana, dan berjalan dengan lunglai ke ruang makan dengan rambut yang menjulur ke segala arah mata angin. Masa bodoh dengan pakaian tidurku yang hanya mengenakan baju kedodoran dan celana pendek yang tersembunyi dibaliknya. Aku duduk di bar stool dan memutar-mutarnya.
“Ayo cepatlah mana kopiku?! Lama kali kau ini!”gerutuku dengan wajah cemberut.
“Udah tinggal minum aja banyak protes. Nih. Kalau mau lagi masih ada di teko.” Selang sedetik, beli indekosku berdering. Aku mengantar laki-laki itu yang sudah mandi, sudah wangi, sudah pakai kaus ganti, dan sudah pakai celana sedengkul itu berjalan ke arah pintu indekos dengan kening berkerut dan dengan mulut sibuk menyeruput kopi.
Dalam hati, aku heran. Memangnya aku sempat mengundang seseorang kesini sesiang ini untuk menikmati kopi dan roti bakar yang menurutku sudah terlalu siang untuk disebut sarapan? Emang iya ya? Semalam kan aku nggak mabuk. Semalam habis dari beranda itu, kami nonton film sampai ketiduran. Terus, bangun pagi tadi aku udah diatas kasur. Jadi? Ah, kalian tidak perlu khawatir. Laki-laki itu sudah tahu dimana ia akan tidur. Di sofa bed. Bahkan di sofa itu sudah ada bantal dan selimut yang ia bawa sendiri.
Wait. Jadi, siapa gerangan yang siang-siang begini bertamu? Jarang sekali ada yang bertamu sesiang ini ke indekosku kecuali laki-laki ini.
Aku yang hendak memutar tubuhku kembali ke posisi semula, malah  menyemprotkan isi mulutku begitu melihat siapa yang muncul di puncak tangga. Perempuan itu! Hanya mengenakan dress selulut bermotif floral berwarna krem dan dengan rambut coklat tuanya yang digerai. Laki-laki itu menatapku dengan heran yang menyemprotkan kopiku. Dia nggak tau aja perasaan gue. Shock, man!
“Siang, Re. Baru bangun ya?”tanyanya dengan ramah. Aku hanya terkekeh miris.
“Iya, biasalah semalam abis begadang ngelonin itu laki.”kataku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali. Perempuan itu menoleh ke lain arah dan tertawa pelan.
“Rain, aku...aku ya pokoknya kesana lah.”kataku dengan kikuk mengambil cangkir kopi dan piring roti bakarku dan memilih untuk keluar ke beranda. Sebelum ia sempat menahanku, rolling door itu sudah aku tutup duluan. Karena, kalau aku sudah disini, ia tidak akan kesini, dan memilih untuk duduk di sofa ruang tamu saja.
Aku duduk selonjoran dan memejamkan mataku. Aku biarkan kopi dan roti itu mendingin. Berharap supaya perasaan ini buru-buru membeku saja. Seandainya semudah itu. melihatnya dengan wanita yang lainnya aku sudah biasa. Tapi, dengan wanita yang ini. Rasanya terlalu menyesakkan. Mengapa? Karena, hanya wanita ini satu-satunya yang benar-benar ia cintai; yang benar-benar ia anggap wanita di matanya. Aku? Baginya aku memang wanita, tapi setengah laki-laki. Ia bahkan sempat menyarankan padaku untuk periksa ke dokter, barangkali hormon laki-laki di tubuhku lebih banyak. Dan dia mendapat hadiah sebuah jitakan kencang dariku, membuatnya mengaduh kesakitan. Aku sih bodo amat. Dia bakal sembuh cepat ini kok.
“Demen banget bengong sih.” Sikutku ditepuk pelan.
“Siapa yang bengong sih?! Nggak lihat ini mata merem?!”gerutuku dengan sebal dan memunggunginya.
“Kalau mau tidur ya di kasur lah. Pegal tau kalau aku harus mengangkutmu ke kasur. Udah bagus nggak aku seret.”katanya.
“Nggak usah, aku udah enjoy disini. Kau balik lagi ke dalam aja. Temenin tuh.”kataku, setengah mengusirnya.
“Dia lagi ke kamar mandi.”katanya dengan singkat, dan datar.
“Berantem?”tanyaku.
Ia terkekeh. “Ya nggak lah. Cuma....”
“Rain?” Aku menoleh ke arah pintu. Laki-laki itu menoleh sambil tersenyum dan kembali masuk ke dalam.
Rain. Hujan. Laki-laki yang kukenal ini memang seperti hujan. Menyejukkan, namun dimiliki oleh semua orang. Aku sempat tertawa begitu tahu namanya. Saat aku tertawa, ia menatapku dengan heran. Mungkin, ia berpikir aku ini perempuan gila yang baru kenal dengannya namun sudah menertawakan namanya. Aku bukan menertawakan namanya, aku menertawakan pada kegilaan otakku. Aku pernah berpikir, kalau ada laki-laki yang seperti hujan dan bernama seperti hujan, mungkin akan terdengar unik, tapi aku menyukai pikiran sesaatku itu.
Aku kenal dengannya di salah satu tempat les bahasa, laki-laki ini sekelas denganku. Setelah aku kenal, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Aku tidak pernah menyangka dia memiliki sisi gila dan sisi percaya diri yang kelewat batas. Saat ia kenal dengan wanita yang ia puja-puja yang kini ada di dalam itu, ia terlihat seperti seseorang yang sudah menemukan jodohnya dan sudah siap menikah besok. Dan saat mereka berpisah, ia terlihat seperti orang yang siap mati saat itu juga. Aku hanya memberikannya pelukan menenangkan dan secangkir kopi. Terkadang, aku membiarkan ia tertidur diatas pangkuanku. Dan suatu hari, entah di hari keberapa ia kehilangan, ia terbangun disisiku sambil tersenyum dan mencium puncak kepalaku. Dan bergumam, “Terima kasih.” Aku hanya menatapnya terheran-heran.
Selanjutnya ya seperti saat ini. Ia seperti baru bangun dari tidur panjang dan mimpi buruknya, lalu merasa bahagia kalau apa yang ia impikan tidak terjadi di dunia nyata.
Seorang wanita berdiri di dekat rolling door, “Re, aku pulang dulu ya.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Re, aku antar dia ke pintu dulu ya.”
“Sekalian aja kau pulang sana!”ledekku padanya yang hanya terkekeh. Tahu bahwa aku tidak benar-benar menyuruhnya pulang.
“Teh sama kopinya keburu dihabisin sama lalar.”
“Biarin aja.” Jawabku dengan tak acuh, masih dengan memejamkan mata.
“Re...,”panggilnya pelan. Aku menggumam, “Apa sih? Ganggu amat orang lagi santai.” Tiba-tiba ia meraih tanganku yang aku tumpukkan dibelakang kepala, ke dalam genggaman tangannya yang terasa...pas. Mau berapa kali aku dibuat shock hari ini olehnya? Satu kali lagi mungkin aku bisa dapat jodoh ganteng! Ngarep banget nggak sih? Biarin. Namanya juga ngarep, nggak bakal ngira-ngira.
Aku membuka mataku dan menatapnya dengan kening berkerut. Ia yang membelakangi sinar matahari, membuat rambut coklatnya terlihat kemerah-merahan, dan membiaskan semburat cahaya oranye. Samar-samar aku melihat ia tersenyum lembut padaku dengan mata teduhnya, “Orang tuaku semalam baru saja touchdown disini dan mereka menginap di hotel dekat bandara, nanti malam mereka baru move ke rumahku –“
Aku mendengus sebal dibikin penasaran gini, aku langsung memotong kalimatnya, “Rain, langsung ke poin utamanya. Kau tahu kan kalau aku tidak suka yang bertele-tele.  I will appreciate you, if you to the point. How I hate –“
Ia pun membalas memotong kalimatku dengan santai, “Re, aku mau ajak kau ketemu orang tuaku.” WAIT! Give me a second, no, a minuteee~~! What he said?!! Did he serious with that?! Jantung aku rasanya mau copot sampai ke ujung jempol.
Aku yang hampir melongo itu berdeham pelan, “Aku kan udah biasa ketemu sama orang tuamu. Trus? Something wrong?”tanyaku, berlagak polos.
Ia tertawa. “Kali ini dalam konteks yang berbeda, Re.  I want to announce to them, that I want you to be part of my life, to be my partner for the rest of my time, Re. Because, at the first time we met, I know, one day I will realized this feeling. And I know, I should to admit it. I don’t want to become a liar to myself. That’s the reason I want you to meet my parents soon even though they already know you.” Ia menarik nafas pelan, lalu ia menatap langsung ke mataku, dan berkata, “So, ich liebe dich, Re.” Ia menutup serangkaian kalimatnya itu dengan menarik kepalaku dan mengecup puncak kepalaku.
HAHAHAHA! Dia belum liat aja mukaku saat ini! Udah kayak kepiting rebus, man! Kalau dia lihat, paling dia akan tertawa sampai jatuh ke lantai segala. Kali ini mungkin jantungku benar-benar merosot sampai ke ujung jempol kaki.
Aku masih melongo. Tapi, lagi-lagi aku mencoba untuk stay cool, “Emang aku bakal bilang iya? Emang aku bakal bilang mau?”kataku dengan wajah tengil.
Lagi, ia tertawa. “Kapan kau bisa menolakku? Aku minta ditemani ke tempat gym, kau mau. Aku minta tolong kau menjemput dua orang tuaku, kau mau. Aku minta tolong kau untuk menemaniku gunting rambut, kau mau. Bahkan, kau rela-rela saja jadi obat nyamuk saat aku dengan pacar-pacarku yang sebelumnya ini.”
“Memang itu bisa jadi tolok ukur? Nggak tuh. Semua sahabat kan bakal melakukan itu semua. Kau juga tidak bisa menolakku, Rain. Kau yang paling tidak menolakku. Kalau aku sebutkan semuanya satu-satu, keburu malam.” Kataku dengan tawa.
“Tapi, ada satu yang belum aku minta darimu.”katanya, ia bahkan tidak menjawab kalimatku. Aku mengerutkan kening. “Apa?”tanyaku dengan bingung.
“Jadi, ibu untuk anak kita nantinya.”Hah! Lemah banget, baru dibilang gitu aja aku udah tersipu-sipu.
“Aku selalu suka bagian kau yang seperti ini! Hahaha~!!” Dan ia memelukku sambil tertawa.
“Emang udah aku jawab iya atau tidak?! Lalu, aku ini orang kedua dari wanita itu?!”gerutuku, menahan malu.
“Dengan ekspresimu seperti itu, aku sudah tahu jawaban yang akan kau berikan untukku. Tidak usah khawatir, aku selalu tahu apa yang ada di pikiranmu. Kepalamu terlalu transparan dimataku. Dan, soal mantanku itu, ia sebentar lagi akan menikah. Aku mengundangnya kesini juga sekalian ia mengantarkan surat undangan. Untuk kita.”jawabnya dengan lembut. “Jadi, anggap saja, yang kemarin-kemarin itu aku hanya mengujimu, Re.” Ia berbisik sambil tertawa puas.
Aku mencubit pinggangnya, membuatnya mengaduh dalam tawanya.
“Ich liebe dich, Rain.” Bisikku.
“Aku tahu, Re, aku tahu. Aku tidak pernah meminta apalagi berharap kau akan menjawab kalimat itu. Karena, aku selalu tahu kau.”katanya. Ia mencium puncak kepalaku lama sekali.
Senja kota Wina hari ini menjadi saksi biksu serangkaian kalimat yang ia ucapkan padaku dengan lembut, namun tegas dan penuh keyakinan. 

Senin, 09 Juni 2014

Random.

Kau tahu rasanya diabaikan? Padahal disekitarmu itu ramai sekali atau padahal kau berteman kan banyak orang, tapi seperti tidak ada yang menganggapmu ada. Kalau kau belum tau, mari aku beri tahu rasanya. Rasanya lebih menyesakkan daripada saat kau harus kehilangan salah satu sepatumu; rasanya bahkan lebih menyakitkan daripada saat kau putus dengan pacarmu atau mungkin sebanding sakitnya dengan rasa orang yang gagal menikah di saat-saat terakhir; rasanya lebih kecut dari menenggak jus jeruk yang belum manis. 
Mungkin kau akan baik-baik saja, ketika ada seorang laki-laki yang berasa disampingmu, yang menemanimu, yang menghiburmu. Lalu, bagaimana dengan yang tidak memiliki satu? Bahkan saat sedih dan mengharapkan ada satu dari teman  — orang yang baginya sudah dianggap teman, entah bagaimana dengan orang itu menganggapnya —, yang secara sadar bahwa ada temennya yang sedang sedih dan menghiburnya, dan pada kenyataannya tidak ada satu pun? Bagaimana? Mungkin harus merasakannya dulu sebelum bisa berpendapat. Aku sendiri sudah lupa bagaimana rasanya dikhawatirkan oleh seseorang (selain dua orang tua), bagaimana rasanya ada seseorang yang rindu dan kepikiran buat ketemu, bagaimana rasanya benar-benar dicintai dengan serius. Aku sudah lupa keseluruhannya itu. Hahah konyol ya? Padahal belum lama ini aku menjalani hubungan. Yang ternyata baru aku sadari hanya hubungan yang isinya kosong beratasnamakan 'pacaran', tidak lebih, hanya kurang. Tidak ada rasa iri kalau melihat pasangan yang lain, hanya selalu muncul dipikiran ini, "kapan?" Namun, lagi-lagi hanya tenggelam begitu saja pertanyaan itu, aku tidak pernah menunggu jawabannya karena yang ada hanya akan membuat frustasi, karena menunggu jawaban itu sama saja seperti mencari ujung cakrawala yang sebenarnya susah ditemukan, atau mungkin memang tidak memiliki ujung?
Kata orang, kalau ingin menangis ya menangis saja. Gampang memang. Tapi terkadang siapa yang tahu pikiran orang? Kebanyakan orang saat ini selalu beranggapan: nangis mulu, gak capek? Lemah banget cuma gitu doang nangis. See? Maka dari itu sekarang banyak wanita yang terlihat kuat diluarnya, seperti gelas bening yang terlihat anggun, mewah, dan terlihat kuat, tapi coba saja untuk dijatuhkan sekali kalau tidak langsung pecah berkeping-keping. 
Bahkan ada yang membangun benteng pertahanannya sendiri, tapi yang menjadi pondasi benteng itu apa? Rasa sakit hati yang pernah dirasain dan rasa takut, takut terulang kembali. Ketika kau menganggap orang yang benar-benar ada untukmu, ternyata tidak itu....menyesakkan. Seperti sesak menahan tangis. Aku termasuk lemah, saat menahan tangis dan lalu dipeluk, jangan salah kan aku kalau kau akan kebanjiran. Aku berkata ini bukan bermaksud ingin terlihat lemah atau minta dikasihani. Dan aku percaya, diluar sana  juga ada wanita yang begitu. Pertahanan diri wanita itu tidak kuat sebenarnya, tidak seperti yang laki-laki pikirkan. Satu titik lemah wanita adalah ada di titik persahabatan, sebelum percintaan. Ketika mereka menemukan orang yang mereka rasa bisa disebut sebagai sahabat, seterusnya maka akan seperti itu. Tapi, justru itu point lemahnya. Ketika salah satu merasa terkhianati atau ditinggal kan atau tidak dipedulikan, rasanya luar biasa sakit. Tidak mudah menemukan sahabat yang benar-benar bisa disebut sebagai sahabat yang benar-benar tahu kapan kau sedang sedih tanpa harus memberitahukannya, sahabat yang tetap ada meskipun kalian habis melewati pertengkaran dan bukannya meninggalkan. Susah. Dan sudah jarang. Seperti menemukan pasangan. Susah untuk menemukan yang benar-benar bisa disebut sebagai pasangan yang mengerti luar dalam, baik buruknya. 
Jadi, ketika kau sudah memiliki itu dijaga. Jangan disia-siakan. Semua itu bisa menghilang dalam satu kali kedipan mata. Jangan sampai menyesal, ya. Terjebak dalam penyesalan layaknya terjebak dalam kotak besi yang tidak memiliki pintu keluar. 



Sincerely, 
V.