A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Kamis, 29 Agustus 2013

Satu Definisi


Setiap orang bukannya berhak untuk bahagia? Hanya saja, setiap orang memiliki bahagia yang berbeda. Tapi, jangan kau pikir bahagia setiap orang memiliki artian yang berbeda. Artian bahagia itu hingga saat ini, masih tetaplah sama. Perasaan ketika kau merasakan perasaan senang. Dengan kau merasa senang karena hal sekecil apapun, kecuali hal yang negatif tentunya, kau sudah bisa menyebutnya bagian dari definisi bahagia.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya dengan mendapatkan balon, ada.
Orang yang sanggup bahagia hanya dengan bisa bersitatap dengan seorang yang dicintai meski hanya sebentar, ada. Pada umumnya, rasa bahagia seperti itu sanggup didefinisikan oleh kaum perempuan. Euforia setelah bersitatap selalu terasa masih kental biar sudah lewat beberapa waktu.
Orang yang sanggup bahagia dengan mudahnya hanya dengan mendapatkan cokelat, ada.
Banyak hal yang sanggup membuat setiap orang bahagia dengan mudahnya.
Aku? Dengan bisa bersamanya saja sudah cukup, meski hanya dalam rentang waktu yang kecil; melihatnya tersenyum meski hanya dari jarak yang sanggup dilewati beberapa burung yang sedang terbang juga sudah termasuk bahagia bagiku.
Pada intinya, bahagiaku hanya bertumpu disatu titik. Dirinya.
Ada orang yang bahkan sanggup untuk mempertahankan kebahagiannya meski tahu hanya sia-sia, namun sejauh ini masih bertahan. Aku.
Kau tidak bingung membayangkan bagaimana aku bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama demi mempertahankan kebahagianku. Aku bertahan, karena aku bersungguh-sungguh. Karena aku tahu, titik tumpu bahagiaku masih padanya, dan hingga kini masih belum pindah pelabuhan.
Aku tidak tahu, akan sampai kapan aku bertumpu pada satu titik ini. Bukannya, aku tidak tahu, aku hanya tidak berani untuk memprediksikannya. Akan ada waktunya, saat ada sebuah celah dimana tumpu-bahagia-ku akan bertumpu pada titik yang lain. Dan, ya, meski sudah kupersiapkan sejak dini, tetap saja saat terjadi, aku ditertawakan oleh kenyataan.
Konyol. Padahal, aku sudah tahu, tidak ada yang siap dengan perpisahan dalam bentuk apapun itu. Kalau begitu, jika memang tidak ingin berpisah, tidak usah bertemu, iya kan? Tapi, namanya manusia. Selalu ada waktunya untuk bertemu, dan ya, waktu untuk berpisah juga.
Aku memainkan lensa kameraku. Membidik sasaran apa saja yang aku lihat di depan mataku dari ketinggian gedung.
“Lebih baik tidak usah bermain dengan lensa dulu, kalau sedang tidak fokus dan malah merusak hasilnya.”ucapnya. Aku turunkan kamera yang menutupi setengah wajahku sambil mendengus.
“Kau ini.” Hanya itu yang terucap. Karena, aku memang tidak bisa mengelak. Meski aku mengelak, dirinya tetap akan tahu.
“Aku lagi tersedia buat dengerin cerita perempuan yang penuh dramatisir, kok.”candanya. Aku mendelik kearahnya yang langsung tertawa.
Aku menggeleng sambil membersihkan kameraku. “Tidak ada yang perlu diceritakan. Kau ini terlalu berlebihan kalau jadi perasa.”ledekku. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok dan menatapku penuh selidik. Aku mengangkat kameraku dan membidik apapun itu.
“Kau yakin?”tanyanya penuh selidik.
Oh c’mon. I’m fine. Kau ini terlalu berlebihan.”desahku dengan sebal. Tidak berselang lama, rambutku berantakan karenanya. “YA!”teriakku dengan sebal. Dia hanya tertawa melihatku merapikan rambutku sambil menggerutu.
“Kau tahu,”
“Tidak.”
“ – kau ini salah satu temanku yang tidak pernah menceritakan apapun yang ada di otak dan hatimu. Selalu saja, aku yang bercerita.”sambungnya, tanpa mengindahkan ejekanku. Aku menarik nafas, yang sedari tadi aku tahan. Jika aku sedari tadi bernafas dengan lancar, yang terhirup olehku bukanlah udara, tapi wangi tubuhnya yang menguar ditiup angin.
“Jadi, karena hanya itu kau tidak mau berteman denganku lagi?”hinaku. Maksudku hanya bercanda. Tapi, ia menanggapinya dengan serius.
Ia menatapku dengan lekat, membuatku jengah.
Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Hanya berusaha untuk meredakan kejengahanku saja. “Ya! Kau ini jangan menatapku seperti akan menerkamku habis-habisan!”seruku sambil mengambil beberapa langkah mundur. Ia berdecak sebal karena aku malah menganggapnya sedang bercanda.
“Dengarkan aku dan jawab pertanyaanku dengan jujur.”ucapnya dengan sangat pelan dan serius. Bulu romaku tiba-tiba meremang mendengarnya berbicara seperti itu. “Kau ini menyeramkan.”ucapku disela-sela ia menarik nafas.
“Sstt. Hanya jawab dengan jujur saja.”
“Ya sudah, cepat tanyakan! Kau ini sanggup membuat badan kucing berjinjit dengan cepat.”gerutuku.
Ia terdiam lama, sambil menarik nafas ia bertanya, “Kau masih normal, kan?”tanyanya dengan wajah......astaga aku menahan tawa terbahak-bahakku, yang memelas.
“ASTAGA!” Aku tidak bisa menahan tawaku ketika mendengar pertanyaannya. Selang sedetik, ia cemberut. “Otakmu itu sudah tua sepertinya, ya. Tentu saja aku masih normal. Aku masih menyukai dan akan selalu menyukai yang berjenis kelamin laki-laki. Tidak seperti kau, kanan-kiri, oke.”ledekku. Wajahnya semakin ditekuk. Ketika aku menertawakannya lagi, wajahnya langsung sembilan tekuk.
Terkadang, hanya dengan seperti ini dengannya sudah termasuk dalam pengertian bahagiaku. Kadang-kadang, kami akan sibuk dengan lensa masing-masing, tapi kami tidak benar-benar saling diam. Aku bingung menjelaskannya.
Kami saling mengenal belum dalam hitungan waktu yang cukup lama, padahal. Tapi, kami berteman sudah seperti teman lama. Dia sanggup memberikan aku rasa nyaman. Meski seharusnya aku tahu, ia sudah bertuan, tidak seharusnya rasa nyaman ini berkembang biak menjadi hal yang dilarang.
Tapi, ya itulah mengapa aku menyebutnya titik-tumpu-bahagiaku.


Walaupun waktunya lebih banyak dengan wanitanya, ia masih berusaha untuk menyempatkan waktu untukku. Terkadang, aku sebal sendiri jika wanitanya sudah mulai memanipulasi dirinya. Tapi, aku juga tau diri, kalau aku sebenarnya tidak ada hak. Karena, toh aku hanya berstatus sebagai temannya. Bahkan, kalau bisa disebut, aku seperti masuk dalam lingkaran hidup mereka tiba-tiba. Jadi, aku harus belajar bersyukur perihal itu.
Aku menyusuri kembali jalan cerita, dari awal aku bertemu dengannya.
Sebenarnya, aku tidak ada niatan untuk seperti ini dengannya. Awalnya aku hanya mau berbincang dengannya tentang beberapa hal, namun lama kelamaan menjadi lebih sering berbincang. Namanya juga takdir. Tidak ada yang tahu sama sekali akan dibawa menuju kemana jalan cerita mereka sendiri.
Aku tengah membersihkan lensa kameraku sebelum disimpan dengan apik di dalam tas khususnya, ketika tiba-tiba ia duduk di hadapanku sambil memberikan cengiran lebarnya yang menampilkan gigi-giginya yang tersusun dengan rapih. Aku mendongak dengan tak acuh sambil terus membersihkan lensa kameraku.
Ia mendesis sebal.
Aku mendongak lagi. “Apa?”tanyaku sambil menatapnya dengan kening yang berkerut. Ia kembali memamerkan gigi-gigi putih bersihnya ke arahku. “Kalau kau hanya ingin memamerkan gigi-gigi yang habis kau cuci bersih di dokter, lebih baik kau lupakan rencanamu itu. Karena, aku buru-buru dan tidak ada waktu untuk melihat ada yang kurang bersih atau benar-benar bersih.”gerutuku sambil melanjutkan acaraku menyimpan kameraku ke dalam tasnya dan bangkit berdiri dari bangku tembok yang aku duduki sejak tadi membidik sasaran-sasaran-tidak-jelasku, di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari lokasi rumahku dan rumahnya yang berjarak beberapa meter.
Aku bisa mendengarnya terkekeh pelan di belakangku, namun aku tetap melanjutkan langkahku sambil menggelengkan kepalaku karena hanya menganggapnya bercanda.
“Aku cuma mau minta tolong, jadi fotografer untuk foto pre wedding aku. Bisa, kan?”
Aku yang tengah melangkah, tiba-tiba terdiam di tempat. Membeku di tempatku berdiri. Tanpa perlu menoleh, aku tau bahwa ia tengah berjalan ke arahku. Tidak lama kemudian, ia sudah berdiri di hadapanku dengan wajah yang memohon. Aku bingung mau menolak dengan halus dengan cara seperti apa, karena aku tidak mungkin bisa menolak permintaannya.
Jika aku sebuah gedung, sebentar lagi aku akan runtuh. Ya, dapat aku pastikan.
Aku hanya mengangkat sudut-sudut bibirku, berharap itu menyerupai sebuah senyuman yang biasa aku tunjukan padanya.
“Aku pikirkan dulu ya.”kataku berdiplomatis. Ia langsung memberengut tidak suka.
Desisan sebal langsung meluncur dengan cepat dari bibirku.
“Baiklah, baiklah. Nanti, aku kabari kapan waktu kosongku. Kau kan yang harus menyesuaikan waktu dengan fotografernya.”ucapku dengan asal-asalan.
Wajahnya berubah sumringah. “Sebenarnya tidak boleh begitu. Tapi, ya sudahlah. Karena, aku percaya padamu, aku ikuti katamu saja.”jawabnya. Hatiku semakin mencelos mendengarnya. Ternyata, kemarin-kemarin itu aku sudah diberikan waktu untuk mulai merelakannya biar bagaimanapun. Dan dengan bodohnya, aku tidak mengindahkan kesempatan itu.
“Kalau sudah tidak ada urusan lagi, aku pergi lebih dahulu.”ujarku dengan nada datar dan langsung buru-buru menghilang dari hadapannya. Berusaha menghalau bulir-bulir ini mengalir lebih dahulu sebelum kepergianku dari hadapannya.

Kalimat singkatnya yang meminta tolong itu masih saja terngiang-ngiang ditelingaku, hingga hampir membuatku gila jika seperti ini terus menerus. Aku tidak memikirkannya, tapi kalimat itu seperti sudah terprogram untuk berputar secara otomatis di otakku.
Harus aku akui, bahwa terkadang aku iri ketika melihat tangannya merengkuh pinggang wanitanya dengan posesif, memberikan keamanan yang sanggup membuat seorang wanita merasa nyaman dan tidak ingin meninggalkan rengkuhan itu meski harus dibayar berapa pun. Aku bahkan berani bertaruh, aku pun tidak akan mau menukar rengkuhan itu dengan apapun yang ditawarkan padaku.
Akhirnya, aku mencapai kesepakatan dengannya. Tepatnya kapan, tempatnya dimana, dan lain sebagainya. Ternyata, mereka memang hanya tinggal mencari fotografer setelah mereka merencanakan ini semua. Mereka hanya mau mencicil. Ya, begitulah yang aku dengar dari wanitanya.
Aku berikan satu konsep yang terbayang di otakku.
Aku hanya ingin mereka terlihat santai, dan terlihat tidak terlalu formal.
Aku putuskan untuk berikan konsep, paralayang.
Terdengar rumit. Tapi, sepertinya akan menyenangkan. Aku akan mengambilnya secara diam-diam, begitulah yang aku bayangkan. Dari awal mereka mempersiapkan untuk paralayang hingga ditahap terakhir ketika paralayang mereka mencapai landasan, dan lalu membereskan peralatan paralayang mereka.
Memang terdengar seperti hanya foto main-main sekumpulan remaja yang tengah liburan. Justru, itu yang aku maksud. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuknya. Jika, ia memang sudah menemukan titik-tumpu-bahagianya sendiri, maka aku pun mau tidak mau turut bahagia.
Sejauh ini, mereka menyetujui konsepku.
Aku hanya bisa tersenyum lemah.
Dan hanya bisa berharap yang terbaik dari yang terbaik untuk titik-tumpu-bahagiaku yang sudah memutuskan jalannya. Aku akan merindukan masa ketika aku yang tertawa dengannya tanpa sebab yang pasti; aku yang menertawakannya ketika ia kepedasan, padahal makanannya tidak menggunakan cabai yang cukup banyak; menertawakan leluconnya dan saling melemparkan guyonan yang bisa disebut teramat-sangat jayus; dan masih banyak lagi.


Yang aku inginkan untuknya hanya satu hal yang sederhana: ia bahagia.
Bukankah, memang sudah seperti itu kesepakatan dengan Sang Seleksi Alam? Kesepakatan yang dibuat dibawah sadar. Mau bagaimanapun, aku tetap harus merelakan.
Hingga umurku saat ini, aku masih tetap saja belum sanggup mengerti jalan pikiran dari cerita hidup ini. Aku masih belum mengerti maunya berakhir seperti apa ceritaku ini.
Aku duduk diam di bangkuku dan merasakan semburan hangat matahari pagi di kulitku. Aku tersenyum lemah sambil menyentuh kulit yang dibelai oleh hangatnya matahari pagi ini.
“Mau diluar sampai matahari sore?”seru sebuah suara yang aku kenali, mengambil posisi duduk disampingku.
“Tidak, Bu. Sebentar lagi saja. Ibu tidak datang ke acaranya?”tanyaku sambil menatap lurus.
“Bagaimana Ibu bisa pergi, kalau anak Ibu dirumah sendirian? Ibu tidak mau terjadi apa-apa pada anak Ibu.”ujar Ibuku sambil mengusap lembut rambutku yang sengaja aku gerai.
Aku terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Ibu pergi saja, sebelum terlambat. Setidaknya ada yang mewakilkan dan ada yang menyampaikan pesan turut bahagiaku untuknya, Bu. Kalau Ibu tidak pergi, aku menitip pesan pada siapa?”ujarku sambil tersenyum lemah.
Aku bisa merasakan, Ibu tengah menarik nafas panjang. Beliau tengah terombang-ambing di tengah dilema. “Kau yakin, tidak mau ikut?”tanya Ibu dengan lembut dan hati-hati.
Bahuku terkulai lemas. “Bu, sampai kapan pun, aku tidak akan muncul di hadapannya. Aku sudah mengatakannya dari awal.”jawabku dengan lembut, berusaha membuat Ibu mengerti bahwa keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.
“Baiklah. Ibu antar kau masuk dulu ya. Ibu janji tidak akan lama disana. Begitu mengucapkan –“
“Aku bisa sendiri, Bu.”potongku sambil menyentuh tangannya yang lembut, yang tengah menggenggam tanganku dengan hangat.
“Tidak. Ibu temani.”ujar Ibu bersikeras. Aku hanya menjawabnya dengan menganggguk dan ikut berdiri ketika Ibu berdiri. Beliau menuntunku masuk ke dalam kamarku dan membantuku mengambil posisi berbaring di tempat tidurku. “Ibu tinggal dulu ya.”ucap Ibu sambil mengecup keningku. Aku menjawabnya dengan mengangguk pelan. Tidak lama berselang, aku mendengar suara pintu yang dibuka dan menutup.
Sejak kejadian yang menimpanya dan memperburuk keadaannya menjelang hari bahagianya, sudah aku putuskan untuk menitipkan apa yang biasa aku pergunakan, meski itulah yang terpenting untuk digunakan untuk melihat. 
Tidak lupa juga, di dalam suratku, aku titipkan sebuah memory card yang berisikan titik-tumpu-bahagiaku.
Lalu, pelan-pelan, bulir-bulir bening mulai mengalir turun di kedua sisi pipiku.


Untukmu,
Maaf, aku tidak bisa mengunjungimu hingga kapanpun, hingga di waktu yang tidak bisa aku prediksikan. Aku tahu, dengan atau tanpaku, kau akan bahagia. Ya, dengannya. Paralayang itu sudah menjadi tugas terakhirku untukmu sebelum pada akhirnya aku mundur dari dunia kita.
Dimanapun kau berada, aku yakin kau akan bahagia dengannya yang sudah menjadi titik-tumpu-bahagiamu. Karena, kau sudah menumpukan bahagiamu padanya, maka kau harus percaya, bahwa bahagiamu ada padanya. Jangan kau lalaikan tumpuanmu.
Aku hanya bisa berharap, kau bisa mengerti maksudku mengapa aku tidak bisa bertemu denganmu lagi.
Aku titipkan sebagian dari tumpuan bahagiaku untukmu.
Aku percaya, kau akan menjaga apa yang telah aku titipkan padamu.
Dirimu akan tetap menjadi titik-tumpu-bahagiaku.
Aku turut bahagia dalam bahagiamu.


Terkadang ada hal yang harus dikorbankan untuk mencapai kata bahagia, meski itu hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Terima kasih, karenamu aku mengenal kata bahagia meski dengan cara yang berbeda. 

Fin.

Kamis, 22 Agustus 2013

Seharusnya.


Kau kenal dengan sang Jarak, kan? Satu kata yang memiliki arti sebuah ruang sela, bisa dalam bentuk satuan ukuran panjang dan atau seberapa jauh dekatnya sesuatu. Banyak orang-orang yang bilang, jikalau memang hubunganmu kuat dengannya meskipun diputuskan oleh jarak, tetap saja hati akan tetap dekat dan hubungan itu akan tetap utuh, jika saling percaya. Entah sejak kapan, aku tidak pernah setuju dengan pendapat tersebut, meski hanya beberapa persen saja.
Mengapa? Karena, jika kau memiliki, misalkan satu hubungan saja dan malah harus bermusuhan dengan jarak, maka rintanganmu akan semakin berat, nanti. Kau pun mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan baru tanpa dirinya. Lingkungan baru itu yang perlahan-lahan memberikanmu satu-per-satu cobaan. Yeah, kau pasti kenal dengan kalimat, seleksi alam.
Ada yang gugur, ada pula yang bertahan. Jarak yang memberikan pelajaran itu sendiri. Jika, kau memang sanggup, kau bisa melewatinya. Tapi, disetiap ada yang sanggup, pasti ada yang tidak sanggup. Entah itu perbandingannya jomplang, atau sama.


Mataku terbuka dengan perlahan, cukup lama aku diam dalam posisiku dengan kedua mataku yang menatap langit-langit kamarku dengan pikiran yang masih kemana-mana. Pelan-pelan jiwaku kembali ke tubuhku dan perlahan mulai sadar sepenuhnya. Dengan gerakan yang teramat pelan, aku menyibakkan selimutku. Berjalan menuju jendela untuk menyibakkan gordennya, mempersilahkan hangatnya sinar matahari membelai seisi ruangan kamarku dan menghangatkan sudut-sudutnya, masuk dengan menyusup dicelah-celah ruang.
Aku menghirup udara pagi dalam-dalam, membiarkan udara baru dan segar itu berputar di dalam rongga paru-paruku untuk membersihkan sisa-sisa udara kotor sebelumnya dan menghembuskannya dengan perlahan.
Hey, hidup tidak semudah kita menarik dan menghembuskan nafas. Tidak.
Jangan pernah meremehkan hidup, jika tidak ingin diremehkan balik oleh Sang Takdir, sang empunya jalan cerita. Kita hidup seperti ikut bermain dalam pasar modal, yang bisa disebut juga ikut judi legal. Aku seperti berjudi dengan hidupku sendiri setiap harinya. Karena, disetiap kali aku melangkah, aku harus memikirkan langkah selanjutnya.
Meski waktu tetap sama, tetap berputar diporosnya yang sama dalam satu lingkaran, tapi apa yang terjadi hari ini, hanya terjadi hari ini, tidak akan terjadi di kemudian hari. Saat-saat yang terjadi saat ini akan menjadi kenangan ketika hari sudah berganti. Satu rol film pendek untuk satu hari; satu cerita untuk satu hari.
Aku menyusurkan ujung-ujung jemariku di setiap gantungan foto. Entah itu hasil cetak polaroid dan atau dari kamar merah. Setiap foto menyimpan cerita, bagiku. Menurutku, itulah fungsi dari foto. Merekam, menyimpan, mengabadikan kenangan yang tidak bisa kita abadikan secara abadi. Meskipun tersimpan dalam otak ini, tapi tempurung otakku ini memang lemah terhadap hal mengingat-ingat. Untuk itulah, ritual setiap pagiku adalah menyusuri kenangan demi kenangan.
Seperti membuka satu per satu lembar setiap buku.
Terkadang, aku akan terpaku dalam satu kenangan.
Terkadang, aku memilih melewati kenangan tersebut tanpa berpikir dua kali.
Sambil menyusurkan jemari-jemariku, aku memejamkan kedua kelopak mataku, meresapinya. Diam-diam kedua sudut bibirku melengkung ke bawah. Membentuk lengkungan yang akrab sekali dengan mata kita. Seulas senyum.


Perjalanan menyusuri kenangan ini baru saja dimulai.
Dan perjalanan kedepan nanti jaraknya tidaklah sebentar.
Hidup kita membutuhkan proses; Dan mungkin, kita tengah berada dalam proses itu. Entah itu revolusi kah atau evolusi yang tengah berlangsung. Setiap proses orang-orang berbeda masanya. Perlahan-lahan aku mulai menyusuri kenangan demi kenangan yang terjalin seperti benang yang sudah selesai dari masa benang-wol-yang-kusut.
Aku mengaduh dengan pelan sambil menatap ujung jariku yang tertusuk entah apapun itu, aku tidak tahu jenis apa yang sudah menusuk ujung jariku hingga membuatnya berdarah. Jariku yang terluka digenggam dengan sangat erat. Aku tersenyum menenangkan.
“Tidak apa-apa, kok.”kataku. Kau hanya memberikan desisan sebalmu padaku, yang aku ketahui, kau tidak serius. Karena, hal selanjutnya yang kau lakukan, kau menatapku dengan dua bola mata yang penuh kekhawatiran.
“Makanya, hati-hati.”gumammu, aku bisa menangkap nada khawatir dibalik kalimat itu. Tanpa rasa malu atau pun jijik, kau menyesap darah yang mengalir dari ujung jemariku. Aku sempat bergidik sebentar, karena geli, bukan karena tidak biasa. “Tahan sebentar saja. Ini untuk menghentikan darah yang keluar dari jarimu.”katamu sambil pergi mengambil handsaplast di kotak P3K. Aku menatap jariku yang tadi tertusuk. Aku memotret ujung jemariku dengan kamera Polaroidku.
“Dasar wanita. Luka saja sampai diabadikan segala.”ledekmu.
“Karena disembuhkan olehmu, menurutku pantas-pantas saja untuk diabadikan.”kilahku sambil tersenyum, yang langsung disambut dengan decakan tidak setuju darimu. Aku tetap dengan santainya mengibas-ngibas kertas Polaroid, menunggu gambar yang dihasilkan muncul. Aku hanya tersenyum lebar, dan seperti anak kecil yang habis jatuh dan tidak menangis, aku berdiri menunggu dengan tenang ketika lukaku diberikan Betadine lalu ditutupi oleh handsaplast.
Kau yang tengah berdiri disampingku dan sudah selesai menempelkan handsaplast ke ujung jariku, menatapku dengan lembut. “Kau ini sudah besar, bukan anak kecil lagi. Masa bisa tertusuk kayu.”candamu sambil geleng-geleng kepala dan mengusap puncak kepalaku. Aku terkekeh layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang dinanti-nantikannya.
Aku berjalan lagi kedepan dengan senyum yang sudah memudar dan dengan genggaman tangan yang kosong disana.
Aku merasakan dua lengan memeluk pinggangku dari belakang, kepalamu bersandar dengan nyaman di bahuku. Aku mengangkat tangan kananku dan mengusap kepalamu dari samping dengan lembut,“So, please stay with me forever, ‘till the end of my life, ‘till the end of my life.” Aku tersenyum tersipu saat mendengar sepenggal lirik dari lagu kesukaanku itu mengalun di telingaku, selain perihal lagunya, tapi juga suaramu. Aku semakin tersenyum ketika suaramu sampai pada satu kalimat dalam lirik itu yang sangat aku sukai, diucapkan dengan sangat pelan.“Oh darling, I love you more each day.” Kepalaku mengangguk dengan mata yang terpejam erat, lalu kepalaku menoleh ke samping dan berbisik, “Aku juga.”
Suara dari saxophone itu sanggup membuatku terlena dan perlahan aku mulai bergerak kecil mengikuti alunan lagu yang dinyanyikan ulang oleh Sierra Soetedjo, dengan tubuhku yang bersandar padamu yang masih memeluk pinggangku dengan hangat. “Cause you’re the only one I have in my heart,”bisikku pada telingamu yang berada tepat disamping pipiku.
Aku tahu dengan baik bahwa bibirmu yang hangat itu tengah tersenyum, meskipun dengan mataku yang masih terpejam. Selang beberapa detik, dagumu yang masih bersandar dengan nyaman di bahuku, terasa seperti mengangguk mengiyakan lirik yang aku bisikan padamu. Sungguh, hanya seperti ini denganmu sepanjang hari, aku merasa sangat sanggup untuk melewati hari ini dengan berdiam diri di dalam rumah saja. Ya, tapi denganmu.
Aku melepaskan tanganku dari rambutnya yang lembut itu, membuka mataku dengan sangat perlahan, nyaris bergetar. Kembali menyusuri cetakan-cetakan foto yang menggantung dengan apik di gantungannya, menyusurinya seperti yang kemarin-kemarin, sendirian saja.
Memang dasar pecandu cerita karangan belaka, aku jadi lebih ingin hidup dalam cerita karangan penulis-penulis itu. Atau mungkin dalam karangan ceritaku sendiri. Ya, begitulah hidup. Ada hal yang memang tercipta namun tidak bisa atau tidak mungkin untuk dimiliki. Ugh, rasanya seperti saat kau sangat lapar dan kau melihat makanan yang sangat menggoda selera, tapi kau tahu kau tidak boleh makan makanan itu ataupun membelinya, rasanya itu.....ah sudahlah. Entah mungkin karena sebuah dan atau beberapa alasan. Aku tidak menyukainya. Aku tidak menyukai pantangan. Apalagi jika pantangannya disuruh untuk mulai melupakanmu. Ha-ha-ha. Rasanya seperti dipaksa untuk makan racun, ya.


Aku menghela nafas dengan berat. Kedua bahuku terkulai dengan lemas di samping tubuhku. Aku berdiri dalam diam di depan jendela besar dengan pikiran yang mulai memasuki fase benang-wol-yang-mulai-kusut dengan mata yang kembali terpejam. Dalam kesunyian, diam-diam rindu ini merangkak masuk melalui celah-celah yang tersisa. Aku hanya diam saja saat rindu ini menggelitikiku tanpa henti. Lama-kelamaan, bukan gelitikan yang aku rasakan lagi. Rindu ini mulai meradang dengan tidak sopannya.
“Kau kenapa diam terus?” Aku menoleh ke belakang melalui bahuku dan tersenyum.
“Tidak. Aku hanya sedang merindukan seseorang.” Candaku sambil menatap ke depan lagi. Dirimu menghampiriku dan berdiri di sampingku dengan postur tubuh seperti sedang kesal.
“Kau? Merindukan? Seseorang? Siapa?”tanyamu dengan nada kalimat yang sebal dan menuntut. Aku menahan mati-matian tawaku yang sudah menggelitik ujung lidahku.
Tidak lama kemudian, dirimu sadar bahwa aku tengah mengerjaimu. Karena, akhirnya dirimu berdesis sebal dan malah ganti menggelitiki pinggangku hingga aku minta ampun. “Ya! Cukup!”pekikku disela tawa kita dan dengan aku yang berusaha melepaskan tanganmu dari pinggangku.
“Siapa suruh mengerjaiku.”jawabmu yang tanpa ampun terus menggelitiki terus.
“Baiklah. Baiklah. Aku minta maaf!”teriakku sambil tertawa. Dirimu masih saja jahil menggelitikiku.
“Cepat bilang, kau merindukan siapa. Kalau tidak, aku tidak akan berhenti menggelitikimu.”ancammu dengan bercanda.
Aku semakin tertawa lebar. “Baiklah. Aku akan mengaku. Tapi, tolong berhenti. YA! Aku tidak bisa bicara dengan lancar.”kataku setengah tersendat karena lebih sering tertawa. Sedetik kemudian, kau berhenti.
Aku menatapmu dengan lembut. “Harus aku bilang, kalau kau sendiri sudah tau jawabannya, ya?” Aku memberikanmu satu pertanyaan yang seharusnya sudah kau ketahui jawabannya. Kau tersenyum lebar padaku dan melebarkan kedua lenganmu ke arahku. Dengan senang hati, dan tanpa pikir panjang, aku melangkah masuk ke dalam pelukan yang kau tawarkan padaku.
“Kau jiwa yang selalu aku puja.” Kau menyanyikanku satu kalimat terakhir dari lagu kesukaanmu, sambil mengusap-usap kepalaku dengan hangat. Rasanya begitu nyaman, diam dalam buaian di pelukanmu seperti ini. Nyamannya seperti kau duduk di sofa yang super-duper-teramat nyaman untuk ditinggalkan begitu saja. Ya, aku terlalu susah untuk meninggalkanmu. Dan aku tidak pernah mencobanya, karena selain aku tahu akan susah, aku pun memang tidak memiliki niatan untuk mencobanya.
Saranku, tidak perlu mencoba untuk melupakan jika terpaksa atau dipaksa. Biarkan waktu yang membantu melupakan, tapi lebih baik jika tidak dengan paksaan. Semakin dicoba akan terasa semakin rumit jika berusaha untuk melupakan. Mungkin kebalikannya yang akan terjadi; akan semakin mengingatnya.
Melupakan memang tidak pernah semudah saat mengucapkannya.


Mataku menyusuri sedikit demi sedikit sisa-sisa dari kenangan yang hampir selesai ini.
Sesekali diselingi senyum; tawa kecil; lalu berakhir dengan diam ketika aku sampai pada penghujung.
Biar bagaimanapun, berjagalah terus, karena kalian, termasuk aku, tidak pernah tahu kapan akan bertemu dengan perpisahan. Tidak ada sama sekali. Untuk menerima perpisahan itu tidak lah mudah. Tidak ada yang pernah menyukai perpisahan, karena yang dicintai hanya lah pertemuan itu sendiri.
Dari awal aku sudah menekankan pada diriku sendiri. Hari ini akan tetap datang, cepat atau lambat, dan aku tidak akan pernah bisa mengelak dari hari ini. Hari tidak bisa dipindah dengan seenaknya seperti memindahkan saluran televisi.
Seperti malam-malam sebelumnya di minggu ini, menonton ulang film-film yang sudah ditonton meskipun film itu baru ditonton beberapa hari yang lalu, di minggu yang berbeda. Aku duduk dengan tenang di sofa sambil menonton film kesukaan kita, saat kau menghampiriku dengan tenang dan duduk disampingku dengan lengan yang melingkar di bahuku.
Aku menoleh sebentar untuk tersenyum padamu, yang kau balas dengan senyum kecil, dan kembali fokus pada film yang tengah diputar di layar di hadapan kita. Tidak lama berselang dari senyum itu, tiba-tiba aku diserang firasat buruk. Kau merasakan gestur tubuhku yang tiba-tiba berubah menjadi lebih tegang, karena selanjutnya kau mengusap-ngusap puncak kepalaku. “Seperti ini saja dulu.”bisikmu sambil mengusap terus puncak kepalaku.
Gestur tubuhku sama sekali tidak berubah. Tidak lebih tenang, tapi melainkan lebih tegang. Sedang menghitung mundur, kataku. Tapi, hanya aku ucapkan dalam hati. Aku membiarkan kepalaku bersandar padanya. Aku tidak tahu mengapa, tapi yang awalnya aku sangat bersemangat untuk menonton ulang film ini, tiba-tiba dua insan di layar yang tengah kasmaran itu berubah menjadi membosankan. Seperti mengonsumsi makanan yang sama setiap hari dan setiap jamnya.
Lama kelamaan usapan lembut di kepalaku seperti lagu pengantar tidur bagiku, mataku mulai terasa berat untuk terbuka. Perlahan dua kelopak mata ini mulai menutup dengan sendirinya, sebelum aku jatuh ke alam mimpi, aku masih sempat mendengar kau membisikan satu kalimat, “I love you, but try to let me go. Please, forgive me.” Untuk yang terakhir kali.
Aku terbangun dengan posisi menghadap ke sisi yang biasa kau tempati di tempat tidur. Tanganku terjulur mengusap sisi tempat tidurmu, berharap menemukan lekukan-lekukan yang menandakan bahwa sisi itu sempat ditempati, tapi aku tidak pernah menemukannya, lagi. Perlahan aku menoleh ke arah nakas disamping tempat tidurku. Benda yang sangat tidak aku inginkan; benda yang sangat aku hindari, sudah berada disana ditemani dengan secarik memo yang menempel di plastik pembungkusnya.

Aku minta maaf karena aku pergi dalam diam. Bahkan, aku tidak berani untuk mengatakannya langsung padamu sekaligus memberikan ini langsung. Aku terlalu pengecut untuk mengucapkan selamat tinggal padamu. Aku tidak pernah sama sekali menghitung hari, karena aku tahu, aku semakin dekat dengan hari ini.
Tapi, terima kasih karena kau sudah menemani hari-hariku yang terasa berat untuk dilalui dan menerimaku meskipun kau sudah tahu kenyataan yang ada di depan matamu, kenyataan yang harus kau hadapi. Terima kasih karena sudah mencintaiku yang tidak layak menerimanya darimu. Terakhir, terima kasih untuk semua kenangan ini.
Tetap saja kau jiwa yang selalu aku puja.

Aku kembali.

Nafas yang mengalir masuk ke rongga-rongga dan yang mengalirkan udara ke dua bilik paru-paruku tiba-tiba berhenti. Aku menempelkan kembali memo itu di plastik transparan itu dan merebahkan kepalaku yang tiba-tiba terasa pening ke atas bantal yang masih menguarkan aroma tubuhmu dan mencoba untuk kembali tenggelam dalam mimpi diiringi oleh wangimu.
Kau sudah memutuskan untuk kembali melewati jarak itu untuk kembali kesana.

Bulu mataku yang dulu sangat kau puja, bergerak terbuka, kembali menatap kejauhan dengan pandangan yang hampa.
Ya, biar bagaimana pun, aku tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa kau sudah kembali ke tempat yang seharusnya. Aku menatap benda dengan memo yang sudah hampir usang itu dengan tatapan nanar. Kau pergi dalam diam, dan aku pun diam dalam ketidaktahuanku saat kau pergi.
Tidak ada yang salah diantara kita, sayang. Yang ada hanya hubungan kita yang ternyata tidak cukup kuat untuk dipisahkan oleh jarak, hingga akhirnya kau pun dipilihkan untuk yang lainnya.
Aku masih belum melangkah keluar dari kotak yang aku sebut-sebut Kenangan Kita. Mungkin, karena aku masih belum bisa melangkah keluar. Padahal, langkahku di dalam pun sudah mulai tertatih. Karena, yang selama ini aku jaga berdua denganmu, kini aku menjaganya seorang diri. Memang seharusnya aku yang mengakhirinya lebih dahulu sebelum akhirnya aku harus membenci melepaskan. Aku membiarkan undangan pernikahan itu tergeletak begitu saja diatas nakas berserta dengan memo yang kau tulis dengan rapih dan meninggalkan gantungan foto berisi kenangan itu dengan langkah gontai.

Kenangan akan tetap menjadi kenangan.
Tidak ada yang bisa merubah kenyataan tersebut.
Kegiatanku setiap pagi tetaplah tidak berubah.
Mengenang.

I’m really thanked for you. For anything you give and what I accept from you.
So, let me wish you are happy, because it’s supposed to be like that.
See you in another story and places, if it’s should.

Fin.