A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 12 Juli 2014

The Vow.


Janji. Siapapun pasti pernah membuat janji dengan siapapun itu. Tapi, ada juga yang mengucapkan janji itu namun tidak bisa atau belum ditepati. Janji itu ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat, yang dilakukan dan disetujui oleh dua pihak atau lebih. Tapi, zaman sekarang berharap janji itu ditepati? Seperti berharap bisa hidup di luar angkasa tanpa tabung oksigen. Mustahil. Kebanyakan orang sekarang membuat janji hanya saat ia sedang bahagia. Makanya, sekarang ini sering muncul kalimat petuah, “Jangan membuat janji saat sedang bahagia”. Bisa menemukan seseorang yang bisa menepati janjinya sekarang itu susah, sudah termasuk jarang. Lama-lama janji itu seperti hewan yang sudah hampir punah saja.
Aku menghela nafas berat. Menatap cangkir susu hangatku yang 10 menit lalu aku buat, dan sekarang sudah pindah ke dalam perutku. Dan jangan heran, masih banyak juga yang sering kemakan janji. Janji itu memang kenikmatan yang paling menggoda.
“Mau kau tatap sampai berapa lama pun cangkir itu nggak bakal keisi susu dengan sendirinya, kecuali kau buat lagi,”tegur Mama, sambil meletakkan cangkir kopinya diatas meja makan dari kayu jati. Aku mendengus geli.
“Mama ini bisa aja. Aku ini kan lagi nggak belajar magic,”jawabku asal.
Mama hanya terkekeh dan menyesap kopinya sambil melarikan tatapan matanya ke barisan kalimat-kalimat di koran yang ia dapat di depan pintu rumah. “Nanti sore mama mau berangkat lagi. Kau tidak apa-apa kan sendiri?”kata Mama dengan santai. Aku mengedikkan bahuku dengan tak acuh. Sudah biasa.
“Tidak apa-apa. Aku sudah biasa sendiri, Mam. Nanti hubungi aku kalau udah mau berangkat ya,” kataku, ia mendongak menatapku. Sambil tersenyum, ia menjawab, “Siap, anak gadisku!”
Aku terkekeh. Lalu membalas, “Aku mau mandi dulu, terus sepertinya mau lanjut keluar. Bye, Mom.”kataku sambil mengusap punggung tangannya. Saat aku melompat turun dari bangku kayu, ia membalas dengan gumaman singkat.
Aku menapaki tangga menuju kamarku diatas seraya merencanakan rencana bagaimana caranya menghabiskan hari ini, sendirian. Mengapa? Berhubung ini sudah masuk weekend, jadi kebanyakan temanku sudah ada yang memiliki rencana mereka masing-masing; sudah mulai menyebar kemana-mana dengan acara mereka sendiri. Aku? Ah, aku lebih baik diam di kamar sambil membaca novel.
Aku menutup pintu kamarku dengan pelan dan mulai bersiap-siap.
oOo
Seorang laki-laki dengan rambut gondrong yang panjangnya sampai di kerah baju yang ia kenakan sekarang dan dengan poni yang menjuntai ke depan wajahnya, berjalan dengan gontai keluar dari ruang kelasnya. Sesekali ia memainkan poninya sambil meniup poni yang panjangnya sudah hampir sehidung. Saking sebalnya, ia menarik ikat rambut hitam dari pergelangan tangannya dan mengikat seluruh rambutnya ke belakang, hampir di puncak kepalanya. Beberapa perempuan yang lewat memperhatikannya dan sesekali tersenyum. Meskipun olehnya hanya dianggap lalu.
Bram. Laki-laki dengan wajah yang terlihat super duper cuek, dan dengan tubuh tinggi yang atletis alami tanpa bantuan gym. Dengan wajah yang semi persegi dan dengan hidung bangir, alis mata yang tebal namun tidak berlebihan, bulu mata yang lentik yang membuat para wanita merasa kalah karenanya dan dua bola mata dengan warna hitam pekat di lingkarannya, dan gaya berpakaian yang asal-asalan namun selalu terlihat kasual dipakai olehnya dan sepatu Converse lusuh, sanggup membuat setiap perempuan yang lewat harus mencari pegangan jika tidak ingin jatuh terguling-guling. Ditambah lagi dengan rambutnya yang gondrong itu sering kali ia sisir kebelakang, tanpa ada maksud untuk menggoda. Tapi, karena memang sering kali menutupi pandangannya.
“Bram, nanti jam 6 sore ada rapat di ruang yang seperti biasa. Jangan telat, ya. Sekali ini aja. Ini udah akhir bulan, jangan menyuruhku untuk membayar dendamu,”seru temannya sambil menepuk bahunya pelan. Bram terkekeh pelan dan meninju bahu temannya, teman dari kecilnya. Yang sudah tahu luar-dalam Bram seperti apa.
“Oke. Tenang aja. Kali ini kalau aku telat, aku yang bayar sendiri,”jawabnya dengan suaranya yang nge­-bass dan terdengar dalam itu. Temannya itu tersenyum lebar.
“Kalau gitu, udah bisa bayar hutang denda yang kemarin-kemarin kan?”kata sohibnya sambil tersenyum lebar.
Bram menatapnya datar. Sambil membetulkan posisi ransel yang hanya ia pakai setengahnya, ia menjawab, “Emang kapan aku pernah berhutang padamu?!” lalu berjalan meninggalkan temannya yang mendengus sebal. Bukan Bram kalau tidak selalu pura-pura lupa soal hutang.
oOo
Aku duduk santai dengan menyilangkan kedua kakiku diatas bangku, lalu meletakkan buku yang aku baca diatas pangkuanku sementara kedua tanganku sibuk mengikat rambut di puncak kepala. Mulutku masih sibuk mengunyah waffle yang aku pesan tadi sembari menunggu kopiku diseduh. Untung hari ini kafenya sunyi.
“Ini cappucinonya, untuk gadis yang memakai baju coklat pudar,”kata barista kafe itu yang sudah aku kenal, dan sudah menjadi teman lamaku. “Kapan kau kemari tidak sendirian?”ledeknya. Aku mencibir.
“Kapan-kapan! Kau ini menyebalkan. Untuk apa menanyakan hal seperti itu terus,”kataku.
“Tidak apa-apa. Suka-suka aku dong. Aku kembali kerja dulu ya. Enjoy your time,”katanya sambil lalu. Aku mengacungkan dua jempolku dengan bersemangat dan melanjutkan acara membacaku. Aku disini bisa sampai berjam-jam lamanya, ditemani dengan dua sampai tiga cangkir kopi. Aku terkekeh sendiri. Barista itu sampai pernah bilang, “Kalau kau masih akan tambah, lebih baik kau bayar nanti saja.” Jadi, sejak itu, karena aku tahu aku akan lama disini, aku tidak pernah membayar lebih dulu saat pesan.
oOo
Waktu kalau tidak dirasakan akan berputar dengan cepat, seperti sedang balapan liar menggunakan mesin turbo di jalanan sepi penghuni. Bram merasa baru tadi siang dia keluar dari kelas membosankan, dan yang memang selalu membosankan, dan sekarang keadaan diluar sudah mulai gelap. Bram memetik gitar yang dipangkunya, beberapa chord ia ulangi lagi dari awal, sambil duduk di bangku bulat berwarna hitam di studio dekat kampus. Ponsel diatas coffee table itu berdering, tanda ada panggilan masuk. Bram menoleh sebentar dan hanya mendiamkannya saja, tanpa menjawabnya. Selang beberapa detik, ponsel itu kembali diam.
Bram kembali memetik gitarnya sambil menyenandungkan lirik lagu yang terlintas di kepalanya. Tiba-tiba ponselnya berdering sebentar. Masuk pesan suara. Ia sudah tahu apa isi pesan suara itu, tapi ia iseng dengan menekan putar. Sedetik kemudian, Bram hampir terjengkang dari posisinya karena terlalu bersemangat tertawanya setelah mendengar suara teriakan frustasi sobatnya itu, “BRAM!!!! KALAU KAU TIDAK SAMPAI DI RUANG RAPAT DALAM HITUNGAN 10 MENIT, KAU BAYAR DENDA 500 RIBU! JANGAN HARAP AKU AKAN MEMBANTUMU! JANGAN HARAP BRAM! CEPAT KEMARI, PEREMPUAN JADI-JADIAN!”
Saat meletakkan gitar akustik di stand pun Bram masih sering terkikik geli mendengar pekikkan frustasi temannya barusan. Ada beberapa pesan suara dari temannya itu yang ia simpan, iseng-iseng saja ia menyimpannya. Barangkali bisa jadi moodbooster. Dengan langkah santai ia berjalan kembali ke kampus. Kali ini, kemeja luar yang tadi ia pakai sudah tersimpan dengan kusut di dalam ranselnya. Kini ia hanya mengenakan kaus letter V berwarna hitam. Sesekali ia menoleh ke jam hitam anti airnya itu.
10 menit lebih dikit, pintu ruangan rapat terbuka dan muncullah sosok Bram, dengan gaya cueknya. Temannya yang duduk paling atas menatapnya seperti banteng yang melihat warna merah, sudah siap nyerang, man! Bram mati-matian menahan tawanya. Ia yakin, sohibnya itu tadi berteriak di dalam kamar mandi, makanya tadi terdengar bergema. Lagipula, sohibnya nggak mungkin teriak disaat sedang rapat seperti sekarang.
Ketua rapat itu menatap Bram dengan gelengan kepala tengil, Bram balas menatap laki-laki dihadapannya dengan dua alis terangkat; bingung. Seisi ruangan itu sudah terlalu kenal Bram. Jadi, sekarang pertanyaannya siapa yang tidak kenal Bram? Sepertinya tidak ada, atau mungkin memang belum terdeteksi.
Saat duduk disamping sohibnya, ia langsung merebahkan kepalanya ke atas meja.
“Kalau udah beres, bangunin ya,”pesannya.
“Bram, kau ini benar-benar murah hati sekali mau membantu bendahara kita tambah kaya dengan denda-dendamu. Bahkan bendahara kita saja sudah tidak sanggup menghitung berapa kali kau membayar denda akibat terlambat terus,”gerutu sohibnya dengan sebal, tapi menjaga nada suaranya agar hanya terdengar oleh Bram.
Bram mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah kirinya dengan wajah datar. “Kau ini tadi pagi dibikinin sarapan apa sih? Ngomong kok nggak ada berhentinya sama sekali. Udah kayak ibu-ibu di pasar aja sibuk nawar pakai urat,”balas Bram dengan tak acuh dengan volume suaranya.
“Ya, Bram? Ada yang mau disampaikan?”kata ketua.
Bram mengedikkan bahu. “Tidak ada. Tadi itu lagi ngomelin anak orang yang bingung mau makan apa, mie indomie atau bungkusnya. Silahkan dilanjutkan lagi, pak ketua,”kata Bram, sambil merebahkan kepalanya lagi. Sohibnya hanya menghembuskan nafas panjang.
“Malam ini saya hanya mau mengingatkan kita akan turun ke lapangan untuk mencari dana. Semoga kalian tidak lupa,”sindir ketua, namun semua orang tahu kalau itu hanya candaan belaka. Bram mengacungkan jempolnya, dan ketua pun terkekeh pelan.
Beberapa waktu lalu, Bram berhasil dibujuk untuk memainkan gitar, tapi dengan satu syarat yang konyol bin bodoh. Dia nggak mau kalau dia yang bawa gitarnya. “Dasar wanita! Nggak mau bawa yang berat-berat,”ledek sohibnya. Dengan pasrah, semua anggota rapat pun setuju. Dan disinilah mereka. Berada di dekat pintu tenda makan dengan Bram berdiri dibagian dalam supaya lebih terdengar suara gitarnya, padahal maksud dibaliknya adalah untuk menjual wajah Bram yang memang menjual itu. Bram sih santai.
Laki-laki itu duduk di bangku dengan gitar diatas pangkuannya, dan mulai memainkan intro lagu Janji Suci dari Yovie and Nuno, dan yang lainnya mulai menyanyikan liriknya. Beberapa orang yang tadinya sedang makan, perlahan berhenti dan mulai mengikuti alunan yang dibawakan oleh Bram. Petikan gitar yang lembut, sesuai iramanya pula.
Setiap kali ia memainkan gitar, ia merasa hidupnya terasa lebih ringan. Seperti ia tidak pernah membawa beban hidup. Inilah satu-satunya caranya ia melarikan diri dari kehidupan nyatanya. Biasanya, setiap kali ia bermain gitar, ia akan memejamkan mata. Namun, kali ini ada satu hal yang menarik perhatiannya. Menarik untuk ia perhatikan terus.
Mata Bram beberapa kali mencuri pandang ke arah tempat duduk yang tidak jauh darinya. Meja makan seorang gadis yang memakai baju coklat pudar, sedang makan sendirian dengan santai namun dengan kepala yang ikut bergerak ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama lagu yang ia bawakan dan ikut bernyanyi, tanpa memedulikan sekitarnya. Diam-diam Bram menahan senyumnya, melihat tingkah gadis itu. Konyol, tapi lucu.
Sohibnya itu langsung sadar akan satu hal yang berbeda dari Bram. Ia mengikuti arah pandang mata Bram dan menemukan apa yang laki-laki itu tatap. Sohibnya itu pun bernyanyi sambil tersenyum. Karena, permainan Bram terasa mulai ceria. Gadis itu semakin lincah menggerakan tubuhnya. Dan tanpa sadar menyenggol mangkuk berisi air untuk cuci tangan dan membuatnya kaget. Bram terkejut. Sohibnya bukan ikut terkejut, tapi semakin tersenyum lebar.
Satu lagu akhirnya selesai, dan salah satu temannya berjalan mengitari tiap meja sambil membawa dus yang sudah diberi keterangan. Saat temannya itu akan sampai di meja gadis itu yang tinggal tiga meja lagi, Bram buru-buru bangkit dan berjalan cepat lalu berbisik sesuatu pada temannya hingga temannya itu memberikan dus itu pada Bram.
Laki-laki dengan rambut yang diikat dengan berantakan sampai pada meja gadis itu, diikuti tatapan mata sohibnya yang dengan setia menunggunya di pintu keluar, yang tidak berpintu. Gadis itu mengeluarkan selembar dua ribuan dan memasukkannya ke dalam dus. “Permainan gitarnya bagus. Terima kasih,”kata gadis itu sambil mendongak dan memberikan senyum tulus, yang membuat laki-laki itu terhenyak.
Laki-laki yang masih setengah terhenyak itu tersenyum miring dan mengedikkan bahunya. “Itu tidak seberapa. Hanya iseng saja. Sama-sama,”jawabnya. Gadis itu mendongak lagi, tidak menyangka kalau Bram akan menjawab kalimatnya.
“Tidak apa-apa. Dari iseng kan bisa saja ditekuni,”jawabnya lagi dengan yakin.
“Hoy, bro. Ayo jalan, malah sibuk kenalan. Udah ditungguin yang lain loh ini,”ledek sohibnya dari pintu. Bram mendelik tajam padanya yang langsung balik badan, dan berjalan cepat.
“Tuh, udah ditungguin yang lain. Aku juga udah mau balik. Terima kasih sekali lagi.” Bram menatap kepergian gadis itu dengan bingung, gadis ini kenapa berterima kasih padanya dua kali? Ia sendiri tidak memberikan apa-apa padanya. Harusnya dia yang bilang terima kasih karena gadis itu mau menyumbangkan uang. Ngomong-ngomong, porsi tubuhnya seperti anak kuliahan, kuliah dimana ya kira-kira?
oOo
Aku mengikuti dengan santai lagu yang dimainkan. Sebenarnya bukan lagunya, tapi permainan gitarnya. Entah mengapa, aku suka. Padahal aku baru kali ini mendengarnya. Tapi, terdengar seperti pemainnya memainkan dengan baik gitar tersebut, dan penuh dengan keyakinan. Permainan yang tegas, namun lemah lembut.
Mulutku yang penuh dengan daging ayam sibuk komat-kamit lirik lagu yang sangat aku kenal, Janji Suci. Dan kepalaku mengikuti iramanya hingga ikut bergerak ke kanan dan ke kiri, sementara tanganku sibuk mengupas daging ayam paha di atas piringku, dan malah tidak sadar sampai menyenggol tempat cuci tangan. Aku juga senang melihat jari-jari itu yang berlarian diatas senar gitar dengan lincah. Aku tidak bisa bermain musik, tapi aku senang mendengarkan musik. Malah kadang-kadang, saat mendengar orang bernyanyi, lalu ada orang yang sudah yakin itu fals, aku malah masih bersikeras kalau itu masih normal. Entah tolol entah terlalu bodoh.
Laki-laki gitaris itu menghampiriku sambil membawa dus dengan tulisan kampus yang aku kenal. Jelas kau kenal! Lha wong, itu kampusku kok! Aku buru-buru mengeluarkan dompet dan mengeluarkan dua ribuan, lalu memasukkannya ke dalam dus. “Permainan gitarnya bagus. Terima kasih,”kataku sambil mendongak dan memberikan senyum tulus, tidak ada maksud untuk menggodanya sama sekali. Serius, itu kalimat yang muncul dari dalam hatiku. Berlebihan banget. 
Laki-laki itu tersenyum miring dan mengedikkan bahunya dengan cuek, “Itu tidak seberapa. Hanya iseng saja lagipula. Sama-sama,”jawabnya. Aku mendongak lagi, tidak menyangka kalau laki-laki itu akan menjawab kalimatku.
“Tidak apa-apa. Dari iseng kan bisa saja ditekuni,”jawabku lagi dengan yakin.
“Hoy, bro. Ayo jalan, malah sibuk kenalan. Udah ditungguin yang lain loh ini,” seru temannya dari pintu. Laki-laki yang berdiri sambil memegang dus itu hanya menoleh sebentar pada temannya sambil mendelik. Temannya langsung balik badan dan meninggalkan tempat berdiri sebelumnya.
“Tuh, udah ditungguin yang lain. Aku juga udah mau balik. Terima kasih sekali lagi,”kataku sambil bangkit berdiri dan berjalan mendahului laki-laki yang masih terdiam ditempat berdirinya. Hhmm, ternyata ia cukup tinggi ya. Kepalaku saja hanya sampai sebahunya. Kira-kira tingginya 2 meter bukan ya? Ah, apa peduliku lagipula. Tapi, sayang saja kalau tidak dikembangin lagi. Habisnya, menurutku cowok itu pintar main gitar dan sepertinya bukan hasil iseng-iseng saja, tapi memang ditekuni olehnya. Ah, entahlah.
Aku berjalan menembus keramaian trotoar malam ini untuk mencari taksi. Tadi sore, saat masih di kafe Mama sudah menelepon kalau beliau sudah on the way bandara. Entahlah kali ini beliau mau berangkat bisnis kemana lagi. Aku sih tidak apa-apa, toh setiap hari Mama tidak pernah lupa untuk mengontrol aku via telepon, dan setiap pulang dari ‘liburan’ beliau selalu membawakan aku oleh-oleh dalam bentuk yang tidak habis. Beliau tahu kalau aku tidak suka oleh-oleh yang cepat habis, contohnya seperti makanan. Hehehehe.
Seperti perasaan ya? Kalau dirawat baik-baik tidak akan cepat habis, seperti tumbuhan juga. Tumbuhan kalau dirawat baik-baik pasti akan bertahan lama, dan kalau diberikan pupuk yang baik akan tumbuh dengan cantik. Perasaan itu jangan ditelantarin, jangan dijadiin gelandangan. Bukankah, perasaan itu sebaiknya bertuan? Namun, dalam perjalanannya perasaan itu sering kali memiliki tuan yang belum pas, sehingga harus melewati berbagai proses untuk menemukan yang benar-benar pas. Seperti berusaha menemukan sebuah baju yang pas di badan, juga di hati.
Aku duduk dengan tenang di dalam taksi yang berhasil aku cegat di dalam keramaian jalan raya. Layaknya orang yang sedang latihan cheerleader, aku melompat-lompat sambil melambaikan tangan hingga supir taksinya melihat dan menyalakan lampu sein, barulah aku berhenti melompat-lompat dan buru-buru masuk ke taksi sebelum menyadari kalau diperhatikan hampir semua orang yang lewat di trotoar itu. Habis kalau aku tidak seperti itu, nanti supir taksinya nggak lihat. Jadi, untuk beberapa menit yang lalu, aku terpaksa memutuskan urat maluku dulu sebentar. Nanti dirumah baru disambung lagi pakai lem. Ya barangkali bisa, gitu. Hehehe. Abaikan saja.

Bram mengistirahatkan punggungnya ke tiang tenda tempatnya menunggu temannya keliling dari meja ke meja membawa dus, sambil melarikan matanya ke seorang gadis yang ia perhatikan tadi di dalam tenda makan pertama mereka hampiri sedang melompat-lompat sambil melambaikan tangan. Seperti tidak punya malu saja gadis itu, pikir Bram sambil tersenyum geli. Belum lama ia memperhatikan, tiba-tiba gerakannya berhenti dan gadis itu menghilang ditelan oleh pintu taksi. Wajah Bram kembali seperti yang normal, cuek dan datar.
“Duh, diperhatiin mulu si Gadis Berbaju Coklat nih. Kenapa nggak disamperin tadi?”tegur sohibnya sambil menyenggol lengan Bram yang dua-duanya terlipat di depan dadanya. Bram melirik sebentar ke arah sohibnya, lalu mengedikkan bahu.
“Biarin aja. Kalau memang ada jalan buat ketemu lagi, ya pasti ketemu lagi. Kalau nggak, ya yaudah,”kata Bram dengan acuh.
Sohibnya terkekeh. Ia yakin kalau sebenarnya Bram berharap bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Dianya saja yang masih jaim untuk mengakuinya. Sohibnya itu hanya mengangguk-anggukan kepala saja. “Buang apapun yang ada di pikiranmu tentang aku dan gadis itu sebelum aku hancurkan dengan tequilla,”ledek Bram. Sobat sedari kecilnya itu meninju bahu Bram sambil tertawa.
Sobatnya itu paling tidak tahan dengan segala macam minuman yang mengandung alkohol. Sekali-dua kali tenggak saja sudah teler. Makanya kalau Bram lagi ingin minum banyak dan sendirian, dia akan mengajak temannya ini. Sekadar menjadi alarm bagi Bram juga dijadikan supir semalamnya.
“Aku tidak memikirkan apapun tentang kalian. Pingin banget ya aku memikirkanmu?”ledek Bram.
“Aku tidak sepertimu, homo. Aku masih straight, masih suka yang lembut. Kau terlalu kasar untuk jadi perempuan,”balas Bram. Sekali lagi tinju pelan melayang ke bahu Bram. “Apa kataku. Barusan aku bilang. Sudah diberikan bukti,”kata Bram dengan yakin. Sohibnya itu menjawabnya dengan tawa.
“Ayo pulang, teman-teman. Sudah cukup untuk hari ini. Terima kasih dan hati-hati dijalan. Wait for another information for next meeting. See ya’ soon, guys!”kata ketuanya sambil tersenyum. Satu per satu anggota yang ikut mulai pulang. Bram berjalan ke motornya yang diparkir di tempat parkir cukup jauh dari tenda-tenda makan berdiri, bersama dengan yang lainnya.
Saat ia hendak mengenakan helm, temannya yang menjabat sebagai ketua acara yang ia ikuti ini sebagai anggota panitia menghampirinya dengan menepuk bahunya, “Bram, thanks udah mau ngebantuin kita. Lebih baik acara minum-minummu itu ditunda sampai acara ini selesai ya, Bram. Hati-hati dijalan, bro,”katanya dengan nada suara yang bersahabat.
Laki-laki berwajah cuek itu tersenyum tipis padanya, lalu menjawab, “Siap komandan!” Lalu mengedipkan sebelah matanya. Temannya itu tertawa keras saat berjalan menuju motornya sendiri.
Bram keluar lebih dahulu dari parkiran. Ia memberi kode dengan membunyikan klakson motor pada yang lainnya, lalu melambai sebentar dan langsung bergabung dengan keramaian jalan raya yang berangsur-angsur berkurang, karena sudah diatas jam pulang kerja dan jam makan malam. Sebenarnya ia sedang malas untuk pulang cepat-cepat ke rumahnya. Yang baginya sudah bukan seperti rumah untuknya. Hanya seperti sebuah tempat penginapan. Hanya datang untuk istirahat dan menyimpan barang-barangnya. Selebihnya dilakukan diluar rumah, makan pun.
Ia memasukkan motor sportnya yang berwarna hitam ke dalam garasi setelah menutup pagar rumahnya yang tinggi dan lumayan berat.
Saat ia masuk, lampu ruang tamu masih menyala. Ia mengerutkan kening, bingung. Siapa gerangan yang jam segini masih bangun?
“Belum bosan pulang malam terus, ya?”tegur ayahnya yang sedang mendongak dari layar laptopnya. Perlahan-lahan rambut putih mulai menguasai kepalanya dengan mengubah rambut yang masih hitam menjadi putih.
Bram yang tengah memainkan kunci motor di jemarinya pun berhenti melangkah dan menatap ayahnya, keluarga satu-satunya saat ini yang masih suka tinggal di rumah seperti adik perempuannya yang masih sekolah, ketimbang tinggal di hotel seperti ibunya. Anak laki-laki tertuanya itu mendengus sebal.
“Bagaimana kalau aku balik bertanya, sudah bosan terbang sana-sini? Baguslah ingat kalau masih punya rumah, dan dua anak. Tidak seperti –“
“Bram!”bentak ayahnya. Laki-laki yang dibentak itu hanya mengedikkan bahu dengan tak acuh pada ayahnya yang sudah melepaskan kacamata bacanya. “Jaga kalimatmu, Bram. Darimana saja kau sampai pulang selarut ini?”tanya ayahnya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Apa urusan Ayah? Lagipula Ayah kan selalu lupa sama janji Ayah yang bakalan selalu ada buat keluarga,”kata Bram dengan cuek.
“Ya jelas itu urusan Ayah. Kau ini anak Ayah, Bram,”kata Ayahnya dengan tegas.
“Oh, masih dianggap anak? Habisnya nggak pernah diurusin. Lilo aja aku yang urus. Mungkin aku yang dianggap Ayah olehnya,”jawab Bram tanpa memedulikan kalimatnya.
“Bram! Kau ini –“
“Aku mau istirahat,”kata Bram memotong kalimat Ayahnya sambil melanjutkan jalannya menuju tangga setengah melingkar menuju lantai atas, saat hampir sampai di puncak tangga, Bram berkata, “Ayah juga sebaiknya istirahat, jaga kesehatan biar bisa terbang sana-sini mengurus bisnis Ayah, dan melupakan keluarga,” Sebenarnya setengah peduli, setengah menyindir. Sepertinya porsinya lebih banyak menyindir.
Ayahnya yang hendak menyahut pun hanya bisa menelan kembali kata-katanya karena anak tertuanya sudah langsung masuk ke kamarnya dengan membanting pintu kamarnya. Beliau hanya bisa menarik nafas panjang dan menghembuskannya, berusaha supaya ia tidak segera kena serangan jantung mendadak. Ia melangkah ke dapur untuk menenggak segelas air putih dan masuk ke kamar tidurnya setelah mematikan lampu ruang tamu.
Di kamarnya, Bram langsung menjatuhkan tubuhnya diatas kasur tanpa mengganti baju dan melepas Converse-nya.
Sekejap ia langsung tertidur pulas.
oOo
Aku bangun pagi dengan malas-malasan. Kalau alarmku tidak berbunyi keras, yang saking kerasnya deringannya mungkin sanggup membangunkan ayam untuk berkokok lagi, saat ini aku masih bergelung di dalam selimutku. “Akh! Kuliah?! Oh man!”gerutuku sambil turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi, dengan sedikit kendala. Menabrak sana-sini hingga barang-barang berjatuhan.
“Neng, neng nggak apa-apa di dalam?”tanya bibi.
Sambil mengurut jempolku yang menendang ujung meja, aku berseru, “Nggak kok bi, nggak apa-apa. Aku mau mandi dulu, mau siap-siap ke kampus,”kataku.
“Yaudah, sarapannya sudah di atas meja makan ya neng,”kata bibi yang dengan begitu langsung kembali ke pekerjaannya dan dengan aku yang sibuk berjalan pincang menuju kamar mandiku.
Itulah akibat dari nyawa belum kumpul semua jadi satu. Masih ketinggalan di alam mimpi. Masih asik sendiri mungkin.
Setengah jam setelah kejadian menendang meja, aku sudah duduk di ruang makan dan menyantap sarapan pagiku. Segelas susu putih hangat dan roti bakar. Aku tidak terbiasa sarapan makanan berat. Memang tidak terbiasa saja.
“Neng, si ibu titip pesan, selama Mama neng lagi diluar negeri, neng jangan sering-sering pulang malam. Soalnya kan neng pulang sendiri,”kata bibi sambil mencuci piring.
Aku yang tengah menggigit roti, mengangguk. “Nggak boleh sering-sering? Berarti kadang-kadang boleh kan? Yaudah fix, aku kadang-kadang. Selang sehari-sehari, ya,”jawabku asal. Bibi tertawa pelan. Aku pun ikut tersenyum.
“Ya nggak seperti itu neng. Maksud si ibu kan ya setiap malam, cuman diperhalus aja,”kata bibi.
“Iya bi, iya. Aku ngerti kok maksud Mama. Tenang aja. Aku berangkat dulu ya bi,”kataku sambil melambaikan tangan dan berjalan keluar dari rumah sambil menenteng Converse merahku untuk dipakai diberanda luar. Tinggal jalan sedikit keluar dari gang perumahan, aku sudah bisa menemukan bus yang biasa aku tumpangi ke kampus, meskipun harus sabar menunggu bus yang benar-benar terlihat seperti bus normal pada umumnya.
Saat hendak mengulurkan tangan untuk menghentikan bus yang sebentar lagi lewat, sebuah motor hitam berhenti di depanku. Pengendaranya melepaskan helm full facenya, sambil tersenyum miring, laki-laki itu menyapaku, “Pagi. Mau bareng? Sepertinya kita searah,”katanya.
Aku sempat tergagap. Tidak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki ini. “Kau bicara denganku?”kataku sambil menunjuk diriku sendiri.
“Ya iya. Cantik-cantik kok lemot. Masa bicara sama angin,”ledek laki-laki itu sambil terkekeh pelan. Aura cueknya mendadak menguap dibawa angin entah kemana. Aku pun ikutan terkekeh, sebenarnya terkekeh menahan malu. “Jadi, mau bareng atau nggak? Tenang saja, aku bukan orang yang suka menculik orang kok,”kata laki-laki dihadapanku sambil memangku dua tangannya diatas helm yang diletakkan diatas tangki bensin.
“Aku kan nggak bawa helm. Nanti kalau ditilang gimana?”jawabku.
“Tenang saja. Aku tahu jalan tikus dan lebih cepat buat ke kampus. Ya sudah, ayo naik. Kampusnya yang dimana nih?”katanya sambil memakai helmnya lagi. Aku pun naik ke boncengan dibelakangnya dengan ragu-ragu. “Sama kok, sama tujuanmu,”kataku sambil setengah berteriak. Laki-laki itu hanya mengangguk. Pelan-pelan motor itu mulai membaur dengan kendaraan lainnya. Dan tidak jauh dari tempatku menunggu tadi, ia sudah membelokkan motornya masuk ke dalam jalan-jalan kecil yang saling tembus.
Dalam perjalanan itu, kami hanya diam saja. aku pun tidak ada niat untuk mengajaknya ngobrol. Aku tidak mau mengganggu konsentrasinya. Tidak membutuhkan waktu lama, motor yang aku tumpangi ini sudah sampai di parkiran motor kampus. Beberapa petugas parkir yang seperti sudah mengenalnya, melirikku sambil tersenyum lebar.
“Akhirnya Bram, kau muncul di parkiran dengan ada orang yang diboncengan. Daripada itu jok belakang kosong mulu, kan kita bosan,”ledek seorang dari yang dua orang yang bertugas jaga. Laki-laki yang dipanggil Bram itu terkekeh sebentar.
“Sepertinya aku sering ada boncengannya kok,”
“Yah itu kan sohibmu dari kecil. Kita aja udah bosan. Sekali-kali liat yang bening yang dibawa sama Bram, lah,”kata petugas itu lagi. Kali ini kakinya ditendang pelan oleh laki-laki dihadapanku. Petugas itu tertawa, tidak mengindahkan tendangan barusan.
“Ng...itu dibelakang udah ramai,”kataku padanya.
Laki-laki berjaket hitam ini langsung mengiyakan dan mulai menjalankan motornya mencari parkiran yang masih kosong, dan yang letaknya ada dibagian belakang parkiran. Jadi, terpaksa kami harus jalan cukup jauh menuju pintu masuk parkir tadi.
Saat aku tengah berjalan pelan, untuk menghindar dari motor-motor lainnya, sebuah tangan menarik bahuku. “Perempuan itu jalannya dibagian dalam jalan, bukan bagian luar. Bahaya,”kata laki-laki itu sambil membuka retsleting jaket hitamnya dan menggantinya dengan memakai kemeja biru dongker tanpa mengancingkannya. Membiarkan kaus abu-abu polos yang ia kenakan kelihatan. Aku hanya mengangguk dengan kikuk.
Hhmm.. baru kali ini ada cowok yang seperti ini. Dalam hati aku tersenyum.
“Kita belum kenalan secara formal nih. Aku Bram,”katanya sambil mengulurkan tangan kanannya.
Aku menyambut uluran tangannya, sambil menjawab, “Aku Eve,”jawabku dengan pelan. Bram mengangguk-anggukkan kepalanya, dan ada senyum samar diwajahnya.
“Kau ada kelas pagi? Atau ada urusan lain?”tanyanya.
“Iya, hari ini aku ada kelas pagi. Kau juga?” Aku balas bertanya.
“Ya begitulah. Semester ini aku kebanyakan kelas pagi,”jawabnya sambil mengedikkan bahu.
“Oh, tidak apa-apa. Biar jadi latihan buatmu untuk bangun pagi-pagi,”kataku dengan polos.  Tiba-tiba ia tertawa.
“Kan harusnya perempuan yang belajar bangun pagi, Ev!”serunya sesaat setelah ia tertawa. Aku suka mendengarnya menyebut namaku. Entahlah, aku suka saja.
“Tapi nyatanya aku tidak bisa! Hahaha. Konyol ya? Biarin aja lah. Nanti dibangunin sama suami,”kataku sekenanya. Kami berdua tertawa bersama.
“Itu loh, digandeng dong. Ntar kalau direbut orang lain kan berabe. Ngomong-ngomong siapa namanya Bram?”celetuk petugas parkir tadi saat kami lewat pada Bram.
Bram menoyor pipinya sambil tertawa. “Ya yang ngambil itu pasti kau! Enak aja nanya-nanya namanya. Nggak boleh! Udah kerja yang benar dulu. Ingat sama istri sama anak,”balas Bram. Tawa petugas itu mengantar kami berjalan keluar dari area parkir motor.
“Kau kelas dimana?”tanya Bram.
“Aku ada kelas di lantai satu, ruang 05. Kau?”jawabku sambil membenarkan posisi ranselku.
“Aku di lantai dua. Sepertinya jam masuk kelas kita sama. Kalau nanti aku keluar duluan, aku mampir kelasmu ya! See you!”katanya sambil mengedikkan bahunya saat aku sudah sampai di kelasku. Aku sempat termangu sebentar di depan pintu kelas.
oOo
Bram masuk ke dalam kelas dengan wajah yang seperti biasanya, cuek dan datar. Oh ternyata namanya Eve, hhmm, pikir Bram dalam diam. Tapi, malah dikejutkan oleh suara temannya.
“Wah, wah. Ada yang mulai gencar-gencarnya mendekati seseorang nih,”ujar sohib Bram dari bangkunya. Bram mengedipkan sebelah mata sebelum menjatuhkan dirinya ke bangku disamping temannya itu.
“Kau akan serius dengannya Bram?! Kau yakin mau mematahkan semua hati perempuan di kampus ini yang tergila-gila padamu?”kata temannya itu dengan wajah yang didramatisasi.
Bram menoyor kepala sobatnya dengan santai. “Berlebihan sekali. Dia saja tidak kenal aku, Rei. Tadi aja baru kenalan. Rasanya aku ingin tertawa sambil bersujud. Akhirnya, ada yang benar-benar tidak mengenalku di kampus ini! Aku berhasil menemukan satu perempuan yang tidak histeris kalau bertemu denganku. Akhirnya!”kata Bram dengan bersemangat.
“Yakin kau kalau dia benar-benar tidak mengenalmu?”tanya Rei sambil mengangkat alisnya, tidak percaya sekaligus tidak yakin.
“Yakin 100%, Rei! Gadis ini terlalu transparan sepertinya. Aku bisa tahu dari wajahnya. Aku bisa membedakan mana yang sungguh-sungguh dan tidak. Jadi aku tahu, Rei. Dan hey, aku baru kenal dia beberapa jam saja. Jadi, aku belum bisa menentukan bakal serius atau tidak,”jawab Bram.
Rei masih merasa kurang yakin. “Memang kau yakin gadis ini belum punya pacar? Atau tunangan mungkin? Oh, atau suami mungkin?”
“Rei, kau ini lama-lama seperti perempuan. Seharusnya memang aku yang memanggilmu perempuan jadi-jadian. Ngomong-ngomong pikiranmu ketinggalan di kamar mandimu ya?”ledek Bram sambil geleng-geleng kepala.
“Bram! Enak aja. Aku ini laki-laki tulen,”
“Kau kata beras?! Pulen?! Lagian ya, kalau dia punya pacar, tunangan, atau mungkin suami seperti kata mulutmu itu, dia tidak mungkin menunggu di halte bus, dia pasti diantar!”jawab Bram secara  to the point.
“Siapa tau lagi nggak bisa mengantarnya?”
“Rei, aku tahu jenis bus yang akan dia hentikan tadi. Kalau dia tidak biasa naik bus, dia tidak mungkin secuek itu asal menghentikan bus. Pasti dia sudah biasa naik bus, makanya sampai hafal,” Tadi, sebelum menepi Bram sempat menoleh sebentar lewat kaca spion kanannya, mencari tahu jenis bus apa yang mau ditumpangi oleh calon boncengannya.
“Tapi –“
“Sekali lagi kau membantahku, Rei, jangan harap tidak ada cabai yang mampir ke mulut seperti ibu-ibu arisanmu itu,”ancam Bram dengan santai namun tajam. Rei langsung menutup mulutnya lagi. Bram merasa bahwa ia ingin buru-buru menyelesaikan kelas ini. Secepatnya.
oOo
Aku membereskan buku-bukuku dan memasukkannya ke dalam tas ranselku. Aku memang terbiasa keluar kelas paling akhir. Karena, sering kali masih mencocokkan catatanku dengan catatan yang tertera di papan.
“Mau pulang jam berapa neng? Nunggu matahari terbenam?”ledek Bram yang tiba-tiba sudah duduk dihadapanku. Aku yang terkejut malah tertawa.
“Ya nggak. Aku lagi beres-beres aja. Aku udah biasa keluar kelas terakhir. Kau ngapain disini?”kataku. Sebenarnya, aku tidak benar-benar berharap kalau ia benar-benar akan datang. Memang yang tadi pagi itu bukan janji, tapi hampir menyerupai itu. Aku tidak suka diberikan janji. Aku tidak mau diberikan janji, tapi hanya untuk mengecewakanku.
“Ya sudah. Udah beres kan? Ayo makan,”kata Bram dengan santai.
Aku melongo. Aku pikir dia hanya mau sekadar mampir saja. “Aku pikir kau hanya mau mampir disini. Kau memang tidak ada urusan lain? Tidak ada kelas lagi gitu?”tanyaku dengan bingung. Kami berjalan bersisian keluar dari kelas.
“Tidak ada. Sebenarnya ada kelas, tapi masih nanti sore. Jedanya panjang sekali,”jawab Bram dengan santai. beberapa perempuan yang lewat, aku perhatikan, memperhatikan Bram dengan tatapan yang berharap diperhatikan balik. Tapi, rasanya Bram ini orangnya terlalu cuek. Jadi tidak terlalu memperdulikan sekitarnya. Sepertinya sih begitu dari penglihatanku.
“Ya udah. Sebenarnya aku ada rencana mau ke kafe yang biasa aku kunjungi,”kataku.
“Ayo kesana aja. Nanti beritahu aku alamatnya. Aku sudah hafal semua jalan disini,”jawab Bram dengan yakin.
Aku tertawa. “Baiklah,  driver! Tapi, disana nggak ada makanan berat. Mau mampir dulu ditempat lain?”tanyaku, sambil mengeluarkan jaket yang biasa aku bawa di dalam tas ranselku.
“Tidak apa-apa. Aku tidak sedang ingin makan yang berat-berat,”jawab Bram, ikut-ikutan mengeluarkan jaket dari tasnya.
Aku menjawabnya dengan membulatkan bibirku.
Saat hendak menuruni tangga kampus, dua perempuan menghadang jalan kami.
“Halo, Bram. Mau kemana nih? Kok buru-buru? Main dulu lah.”katanya, tanpa memedulikan aku. Aku juga tidak peduli dengannya. Memang dia siapa? Anak dekan saja aku cuekin, apalagi rektor, apalagi ini tante-tante nyasar.
Wajah Bram langsung mengeras, seperti tanda tidak suka. “Nggak usah bermanis-manis. Aku duluan,”kata Bram dengan sinis lalu menarik lenganku.
“Oho! Baru lagi ya Bram? Mau berapa bulan? Oh, apa mau berapa minggu nih?”ledek perempuan itu sambil menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu mendengus meremehkan. Mataku menatapnya dengan sinis. Udah dandanan kayak tante-tante, eh mulutnya kayak ibu-ibu yang berebutan sayur murah di pasar aja. Bram langsung menghentikan langkahnya dan menatap perempuan itu dengan ujung matanya. “Nggak usah didengerin lidah berbisa kayak dia, Ev,”kata Bram mengingatkanku. Aku hanya mengangkat bahu tak acuh.
Kali ini kalimatnya ditujukan pada wanita itu, ia berkata dengan sinis, “Sekali lagi kau bicara seperti itu, jangan salahkan aku kalau stilletomu yang menyeramkan itu berubah bentuk menjadi flat shoes. Aku tidak main-main dengan kalimatku,”kata Bram, mengancam. Aura disekitarku berubah menjadi tegang. Ya aku sih hanya bisa diam saja. Nafas saja aku pelan-pelan.
Perempuan itu mendengus meremehkan sekali lagi. Ia pikir mungkin ancaman barusan hanyalah gertakan saja. “Kau ini hanya pintar menggertak saja dari dulu,”ledek perempuan itu.
Bram melepaskan tangannya dari lenganku dan berjalan ke arah perempuan itu dengan wajah yang mengeras. Dengan paksa ia menarik kaki perempuan itu ke belakang dan melepaskan satu per satu stilleto hitam yang aku perkirakan tingginya 12cm itu, lalu berjalan ke arah ujung tembok dan mematahkan hak runcing itu dalam sekali-dua kali hentakkan. Beberapa orang yang lalu lalang, menghentikkan jalannya dan gantinya memperhatikan mereka, bukan, kami maksudnya. Aku berhasil dibuat menganga. Apalagi perempuan pemilik stilleto yang kini jadi flat shoes itu? Malunya sudah akar kuadrat, sepertinya.
“BRAM!!!!!”pekik perempuan itu saat ia dipaksa memakai sepatu yang sudah dirusak itu oleh Bram. Wajah perempuan itu sudah setengah menahan tangis. Atau mungkin dengan malu juga. Temannya yang melongo hanya bisa diam saja tanpa berani berkutik. Aku berdecak sambil geleng-geleng kepala. Aku sempat melihat temannya yang semalam bersandar di tembok tidak jauh dari kami sambil tertawa. Ia pasti sudah yakin kalau Bram pasti akan melakukan apa yang ia katakan. Sepertinya itu sohibnya.
“Ayo makan,”kata Bram dengan santai, dengan begitu orang-orang pun melanjutkan lagi kegiatan mereka. Sementara perempuan tadi menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Aku mengekor dibelakang Bram yang berjalan seakan-akan tidak terjadi apa-apa barusan.
“Kau apakan lagi perempuan itu Bram?”tanya petugas parkir itu, sambil tertawa. Ternyata kejadian barusan sudah tersiar sampai ke halaman parkir. Hebat!
Bram mengikat rambutnya dulu sebelum menjawab, “Hanya aku bantu ubah sepatunya dari stilleto jadi flat shoes. Bagaimana? Menarik kan ideku? Siapa suruh ke kampus pakai sepatunya kayak pisau tukang jagal hewan, sesekali dia merasakan pakai flat shoes. Aku keluar dulu ya,”kata Bram dengan datar. Petugas parkir itu mengacungkan dua jempolnya. Sepertinya petugas-petugas parkir disini sudah pada kenal Bram. Jadi, let me guess, jangan-jangan sampai office boy dan office girl kenal Bram? Jadi, am I the only one who isn’t know him yet? Heheheheh. Ya maklum sih ya, kupu-kupu. Kuliah-pulang kuliah-pulang. Nimbrung dengan yang lagi gosip aja jarang. Nimbrung juga kalau diajak. Ya kalau nggak, ya tidur. Tapi, harusnya aku pernah melihat laki-laki ini sekali dua kali di kampus, tapi kok aku nggak merasa familiar dengan wajahnya ya? Ah, otakku ini lemah sekali ternyata kalau soal mengingat wajah.
“Tempatnya jauh dari sini?”tanya Bram sambil memakai helm.
“Nggak terlalu. Cuma 15 menit. Tapi aku kan –“
“Aku tahu, aku tahu. Kau tidak pakai helm kan? Aku tahu jalan tikusnya kok. Tenang lah. Kalau pun ditilang bukan kau yang membayarnya, tapi aku. Ayo naik. Nanti keburu ramai jalannya,”kata Bram saat motornya sudah berada diluar parkiran motornya tadi. Kali ini aku naik tanpa ragu-ragu.
Mungkin karena aku orangnya mudah dekat dengan siapa saja kali ya? Hhmm..
Tapi, omong-omong, perempuan tadi itu siapanya Bram ya? Hhhmm... Hari ini aku kebanyakan hhmm-nya deh ya?
Perjalanan kali ini pun diisi dengan keheningan. Dia tidak berbicara, aku juga. Lagian dia pakai helm full face. Ntar kalau aku ngomong dia nggak dengar? Udah ngomong teriak-teriak trus orangnya nggak dengar bagaimana? Kalu gitu sih lebih baik aku bungkus kepalaku ini dengan plastik hitam. Malunya itu loh man! Nggak ada beda malunya dengan kejadian barusan.
“Wah, wah. Baru kemarin aku nanya kapan kesini nggak sendirian. Hari ini langsung bawa, ehm teman apa pacar nih?”ledek barista itu dari balik mesin kasir. Aku tertawa.
“Teman kok! Aku pesan seperti biasa ya. Bram, kau mau –“ Kata-kataku menggantung diudara. Aku menatapnya sedang menyentuh deretan gitar yang berdiri dengan sempurna di stand. Ia berjalan sangat perlahan dari satu gitar ke gitar yang lain. Aku pikir tadi dia di belakangku. Memang di kafe ini sering ada live music accoustic. Tapi, tidak terjadwal.
“Temanmu bisa main gitar, Ev?”tanya barista itu penuh ingin tahu. Aku mengangguk sekilas.
“Pesankan saja latte hangat satu. Ada bonus untuk hari ini tidak?”kataku dengan wajah bersemangat. Biasanya, kafe ini sering memberikan bonus. Misalnya, dapat bonus satu potong kue, atau mungkin free satu gelas kopi lagi. Tapi, mendadak. Sekali lagi, men-da-dak.
Barista itu tertawa. “Kau ini, setiap kali kesini selalu menanyakan bonus,”katanya sambil mengetuk jarinya diatas layar.
“Habisnya, setiap kali aku kesini, aku tidak pernah kebagian bonus,”gerutuku dengan cemberut.
“Baiklah, baiklah. karena, hari ini kau tidak datang sendiri, kau bisa mendapatkan dua slices Red Velvet,” Aku memekik kegirangan. Red Velvet?! Gratis?! Kapan lagi?!! Horay!
“Salah satunya boleh ditukar dengan brownies?”kata Bram tiba-tiba. Matanya sedang menatap barisan potongan kue-kue. Barista itu tertawa. Aku hanya mencibir. Laki-laki ini.
“Boleh kok, boleh. Silahkan tunggu. Nanti pesanannya diantar,”kata barista. Aku pun meninggalkan meja kasir dan menuju tempat duduk yang biasanya aku duduki. Dua sofa hijau tua pendek dengan sandaran tinggi di sudut ruangan dan coffee table, bersebelahan dengan kaca transparan yang menjulang tinggi diatas kepalaku. Kaca transparan tersebut menyuguhkan pemandangan taman yang hijau. Dan tempat duduk ini berada di area dilarang merokok, jadi jauh dari konsumen lainnya. Hanya sedikit yang memilih duduk di area dilarang merokok ini.
“Kau tidak merokok kan?”tanyaku dengan selidik.
“Aku suka merokok. Tapi, aku bisa tidak merokok jika kau mau,”jawab Bram dengan santai memangku salah satu kakinya diatas lutut satu kakinya yang lain.  
“Bagus. Jangan merokok ya. Aku tidak suka laki-laki merokok,”kataku dengan halus. Tidak bermaksud menyindirnya. Bram yang mengedipkan sebelah matanya padaku. Hhhh~ besok aku harus ke dokter penyakit dalam, untuk memeriksakan jantungku. Masih sehat atau sudah pindah tempat. Astaga! Aku ini kenapa?! Cuma dikedipin aja langsung meleleh.
Aku mengeluarkan novelku dan headset yang masih tersambung ke iPod Touch.
Aku bisa merasakan tatapan Bram yang memperhatikan gerak-gerikku. Saat aku mendongak, matanya memerangkap mataku. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Di mata itu menyimpan.....ketenangan, dan cerita masa lalu. Aku memberikannya senyum tipis, yang ia balas dengan senyum miring khas Bram yang hanya ada disudut bibirnya. Ia mengeluarkan iPod Touchnya juga. Kali ini ia berusaha menyandarkan kepalanya ke sandaran sambil memejamkan matanya.
Aku beruntung mengajak Bram yang ternyata tidak banyak protes dengan apa yang aku lakukan saat ini. Dan sepertinya dia tidak ada ancang-ancang untuk bertanya soal ‘apakah disini akan lama?’ atau ‘kau tidak bosan disini terus?’. Fyuh~
Dan, dalam hitungan menit Bram sudah tertidur pulas dengan kepalanya yang bersandar ke sandaran sofa dengan nyaman. Aku tersenyum kecil. Saat mataku menangkap gerakan barista yang aku kenal itu membawa nampan berisi pesanan kami, aku memberikan tanda untuk tidak berisik. Ia meletakkan pelan-pelan pesanan kami diatas meja bundar berukuran sedang itu. sambil mengedipkan sebelah mata, barista itu berjalan keluar, meninggalkan kami yang tenggelam dalam kesunyian dan keramaian ditelinga.
Aku membiarkannya istirahat disandaran sofa, dan aku lanjut baca menyelesaikan novel yang aku bawa. Ngomong-ngomong, Bram tidak ada niatan untuk membahas perihal perempuan tadi, jadi aku pun menelan rasa penasaranku dengan susah payah menggunakan cappucinoku.
oOo
Kalian tahu tidak? Pasti tidak, makanya ini mau aku kasih tahu, kalau setelah kejadian dia melipir ke halte bus dan menawariku tumpangan, setiap ada jam kelas yang sama denganku pasti dia sudah ada di depan pintu pagar rumahku. Dia tidak pernah bilang terlebih dahulu. Mengapa? Dia saja tidak punya nomorku, apalagi aku. Ada beberapa kelas yang jamku sama dengan jamnya. Kalau dia ada kelas pagi, aku tidak, tapi setelah itu aku ada kelas bersamaan dengan jam kelasnya, Bram pasti akan langsung muncul di depan rumahku. Selesai kelas pertamanya, dia akan langsung keluar dari kampus dan melaju ke rumahku. Beberapa kali aku terkejut melihatnya sedang berdiri bersandar ke motornya yang mesinnya sudah dimatikan.
Dan ia tidak pernah lupa membawakanku helm. Sebenarnya aku sendiri tidak punya helm. Hehehe.
“Pagi,”sapa Bram sambil mengulurkan helm ke arahku.
“Pagi juga. Memang hari ini kau ada kelas pagi, Bram?”tanyaku sambil memakai helm dan mengekor dibelakangnya, dengan naik ke boncengan.
“Tidak,”jawabnya cuek.
“Terus, kenapa kau datang menjemputku?”tanyaku bingung. Seingatku ini hari Selasa, dan Bram tidak ada kelas pagi. Dia hanya ada satu kelas, dan itu kelas sore. Sedangkan aku dari kelas pagi sampai kelas sore. Kelas sorenya bersamaan dengan kelas Bram, haya berbeda kelas saja.
“Tidak apa-apa. Aku sedang ingin menjemputmu. Terserah aku kan? Kan aku yang punya motornya,”jawabnya meledek. Aku tertawa dibelakangnya. Benar juga ya. Motor itu melaju meninggalkan pekarangan rumahku. Setelah melewati banyak hari dengannya, semakin kesini aku semakin tahu kalau dia memang pintar main gitar dan dia termasuk laki-laki yang sangat cuek terhadap orang. Aku juga sudah diperkenalkan pada sohibnya, Rei. Sohibnya berkebalikan jauh dengannya. Orangnya hiperaktif. Tapi, dia bisa mengimbangi Bram yang super duper cuek bebek. Ternyata mereka sudah berteman sejak kecil, pantas saja Rei fine-fine aja kalau sudah diancam oleh Bram. Karena, ia selalu tahu kalau ancamannya Bram padanya itu hanya candaan belaka, bukan serius.
“Nanti selesai kelas, aku jemput lagi ya. Kita makan bareng. Aku udah bilang sama Rei buat ikut. Nanti aku telepon kalau udah di lobby,”kata Bram sambil membuka kaca helmnya, sesaat setelah aku turun dari motornya di lobby.
“Oke siap, komandan! Eh, telepon? Memang kau tahu nomor ponselku?”kataku dengan kening berkerut, sementara tanganku mengulurkan helm yang aku pakai barusan.
Ia terkekeh pelan. “Tahu dong. Sudah, pokoknya kalau ada nomor telepon yang menurut kata hatimu itu dari aku, diangkat aja ya. Kuliah yang benar! See you!”kata Bram sambil menggas motornya.
Masih dengan kening berkerut bingung, aku melangkah naik masuk ke dalam lobby kampus. Beberapa mahasiswa yang duduk-duduk ditangga menatapku. Aku sih sudah mulai terbiasa. Aku juga baru tahu dari Rei, kalau Bram itu ternyata termasuk laki-laki The Most Wanted di kampus, dari seluruh fakultas yang ada di gedung ini dari senior sampai yang masih junior. “Kau benar-benar tidak tahu Bram, Ev?”tanya Rei dengan wajah menyelidik, saat ditinggal pergi ke WC oleh Bram suatu hari.
Aku mengangguk bingung. “Sungguh! Aku baru kenal Bram ya hari waktu dia menawariku tumpangan. Kenapa memangnya?”
Rei berdecak kagum. “Hebat. Ternyata ada satu wanita yang kebal terhadap pesonanya di kampus tercinta ini,” Setelah itu pembicaran terputus oleh kedatangan Bram yang menatap Rei dengan wajah menyelidik.
“Rei, awas saja kau bertanya macam-macam pada Ev,”kata Bram dengan santai, namun aku tahu ada nada mengancam dibaliknya. Rei hanya terkekeh-kekeh. Aku? Ikutan terkekeh. Heheheh.
Ya begitulah. Kadang Rei ikut dengan kami, kadang juga tidak. Saat tidak ikut itu, entah antara tidak diajak oleh Bram atau memang tidak bisa ikut. “Kau perempuan barunya Bram?” Tiba-tiba aku dihadang oleh 5 wanita, eh maksudnya tante-tante. Belum juga sampai di dalam kampus. Ini baru ditangga lobby! Astaga tante-tante ini!
“Perempuan baru? Aduh, aku ini hanya temannya Bram,”jawabku dengan santai bersandar di tiang pembatas di tangga tersebut.
Wanita yang aku kenali wajahnya, yang terkena musibah dari ancaman Bram itu mendengus angkuh, “Teman atau teman? Asal kau tahu ya –“
“Asal aku tahu apa hhmm?” Tiba-tiba suara Bram yang sinis itu muncul, ia berdiri di hadapanku, menghalangi tubuhku yang langsung terlihat kecil kalau dibandingkan dengannya. Aku dengan polosnya melongokkan kepalaku melewati lengannya.
Aku bisa melihat wanita itu menelan ludah dengan susah payah dan setengah terkejut melihat Bram yang tiba-tiba muncul dengan tubuhnya yang menjulang tinggi di hadapannya. “Ti-tidak. A-aku...” Wanita itu sepertinya mau menjawab saja seperti ada yang nyangkut di tenggorokannya.
“Kau kenapa hhmm?” Mata Bram turun ke kaki perempuan itu. “Oh, masih kurang banyak stilletonya yang aku ubah jadi flat shoes? Mau lagi? Aku dengan sukarela bakal bantuin,”kata Bram dengan santai. Wanita itu memucat. Dia tidak berharap bisa berususan lagi dengan laki-laki ini, sebenarnya.
“Ti-tidak. Aku pergi dulu,”kata wanita itu dan langsung melewati kami, saat melewatiku ia melemparkan tatapan sinis. Tatapan siap membunuh, tinggal tunggu waktunya saja.
“Kenapa kau balik lagi kesini, Bram?”kataku bingung.
“Untung aku melihat perempuan itu menghampirimu dari spion motor. Coba kalau tidak? Bisa-bisa siang ini aku dan Rei sibuk mencarimu.”kata Bram sambil menghembuskan nafas. Aku masih bingung. “Ya ampun, Ev! Kau ini benar-benar tidak mengerti atau tidak peduli?” Lama-lama Bram mulai gemas sepertinya. Aku menggeleng dengan polos. Tingkah Bram yang terkenal cuek perlahan-lahan mulai dirusak oleh aku sepertinya.
“Kalau kau tadi meladeni mereka, sekarang kau mungkin tidak akan masuk kelas. Sudah sana masuk kelas dulu. Nanti aku jelasin waktu ketemu lagi buat makan. Kalau kenapa-napa hubungi aku, Ev.”kata Bram, setengah memohon. Masih dalam keadaan bingung, aku mengangguk dan ia pun menarik tanganku dan mengantarku sampai di depan pintu kelas. Beberapa perempuan di dalam kelas histeris melihat Bram yang tersenyum miring ke arahku. “See you soon, Ev!”kata Bram, dan dengan begitu ia pun berlalu dari hadapanku.
Aku masuk ke dalam kelas dengan langkah santai. “Kau pacaran sama Bram sekarang?!”tanya satu perempuan dari beberapa perempuan yang tadi histeris melihat Bram. Baru juga selesai satu, udah muncul lagi yang spesiesnya sama kayak tante yang tadi.
“Nggak. Kalau aku pacaran sama Bram, mungkin tadi dia sudah menciumku di depan kalian. Puas?!”jawabku dengan sarkasme. Perempuan itu langsung bungkam, dan kembali ke bangkunya dengan perasaan dongkol. Loh? Aku benar kan?
oOo
Saat aku tengah membereskan buku-buku, ponsel disaku celana jeansku bergetar lama. Nomor tidak dikenal. Sepertinya Bram. Aku menekan tombol hijau disudut kiri bawah.
“Halo?”kataku setelah aku menempelkan ponselku ke telinga.
“Aku udah di lobby,”kata Bram, dengan begitu komunikasi pun terputus.
Aku memasukkan lagi ponsel tersebut ke dalam saku celana jeans dan memakai tas ranselku sambil ngedumel, “Baru juga mau dijawab, udah langsung dimatiin aja. Nggak sopan!” Saat aku berjalan keluar dari kelas, aku sedikit terdorong kesana kemari karena terlalu banyak perempuan yang berlarian ke arah lobby. Pasti Bram! Bram itu seperti bunga yang sudah siap untuk dihisap habis madunya oleh para lebah-lebah. Dan lebah-lebah itu ya para perempuan ini. Butuh sedikit perjuangan untuk melewati kerubungan lebah-lebah ini tanpa tersengat, maksudnya tanpa terdorong.
Aku menghembuskan nafas lega saat aku mencapai tangga. “Hah! Masih banyak?!”gerutuku melihat kerumunan orang-orang yang seperti semut-semut mengerubungi gula. Sesekali aku menerobos kerumunan orang sambil berucap’permisi’ yang cukup keras, malah kalau perlu membentak supaya terdengar dan orang-orang itu bergeser.
Aku sudah menarik nafas dalam-dalam dan bersiap-siap untuk membentak orang dihadapanku untuk menggeser supaya aku bisa lewat, namun udara itu hanya berhenti di tenggorokan saja. Gantinya aku menatap laki-laki super duper cuek bebek ini dengan mulut setengah menganga. “Halo, Ev,” Sapa Bram.
“Bram?!”pekikku kaget.
Laki-laki ini menyodorkan sebuket bunga matahari. Bunga matahari! Sebuket pula! Aku berharap aku bisa memegang jantungku supaya tidak melompat keluar dari rongganya. “Have a lunch with us?”kata Bram dengan nada jenaka, maksudnya dengan ‘us’ itu adalah dengan Rei yang sudah nangkring di atas motornya tidak jauh dari lobby. Aku tertawa malu.
“Ayo!”seruku disela tawa. Bram hanya mengedikkan bahunya dengan tak acuh. Aku menerimanya dengan bersemangat. Bunga mataharinya masih segar, loh.
“Bagus! Aku udah lapar. Kesian Rei, berjemur disana nungguin kita. Nih helmnya,”kata Bram sambil mengangsurkan helmku. Aku pun dengan hati-hati naik ke boncengan sambil menggenggam buket bunga matahari itu. Rasanya aku ingin memeluk bunga itu. Kok dia bisa tahu bunga kesukaanku?! Dalam hati aku tersipu-sipu malu, juga senang.
Saat motor Bram menghilang dari pandangan, barulah kerumunan itu bubar diikuti dengan hati perempuan yang patah. Rei berseru, “Akhirnya! Ayo kita makan!” saat kami melewatinya. Ia langsung mengekor dibelakang kami. Diam-diam aku masih suka tersenyum sendiri. Maksudnya apa coba? Ini kedua kalinya Bram membuat kejutan. Yang pertama pasti kalian tahu yang tiba-tiba dia muncul didepan rumah untuk menjemputku ke kampus. Dan sekarang....ah, jantungku mulai tidak sehat sepertinya.
oOo
Rei tersenyum penuh arti saat menemani Bram memilih bunga matahari yang benar-benar masih bagus. Ia sudah tahu kemana tujuan bunga itu nantinya. Bahkan Bram sampai mengawasi perempuan yang membungkus bunga tersebut. Kalau ada yang salah sedikit ia pasti akan minta diulangi lagi. Rei mati-matian menahan tawanya. Bram bertingkah seperti bocah SMP yang sedang kasmaran! Baru kali ini ia melihat Bram seperti ini. Sepertinya dengan wanita yang dulu-dulu, sohibnya tidak pernah seniat dan sebersemangat seperti ini. Malah cenderung cuek bebek.
“Mantan-mantanmu itu pasti bakal menyesal kuadrat putus darimu, Bram,”ledek Rei.
“Kan aku yang memilih untuk putus, bukan mereka,”jawab Bram tak acuh. Rei hanya tertawa saja. Ia senang kalau sudah ada perempuan yang bisa membuat Bram lebih terlihat hidup.
“Kau sudah yakin dengan perasaanmu?”tanya Rei dengan pelan.
Bram terdiam. Lalu, mengangguk yakin. “Terus, kapan mau disampaikan?”
“Kau pikir menyampaikan perasaan yang tergolong serius seperti ini semudah memesan kopi di kafe? Tolol,”desis Bram. Ia masih membutuhkan timing yang pas sebenarnya. Sekali ia sudah merasa klop dengan satu wanita, ia pasti akan segera mencari timing untuk mengungkapkannya. Tapi, entah mengapa kali ini, ia belum bisa menemukan waktu yang pas. Seakan-akan yang kali ini benar-benar yang sudah terakhir saja. Tapi, Bram memang berniat ini untuk yang terakhir kalinya. Entah datang darimana keyakinan itu.
“Ya, ya, maaf kalau begitu, bos. Ya sudah ayo balik ke kampus, sebentar lagi kelasnya selesai,” Rei mengingatkan lagi. Mereka berdua pun memacu motor mereka kembali ke kampus. Mereka sampai tepat waktu. Hanya tinggal menunggu objeknya keluar saja. Rei sudah yakin kalau Bram akan sangat sukses membuat satu sensasi baru di kampus perihal perempuan, dan tentu saja sudah sangat berhasil membuat semua perempuan di kampus dari yang single sampai yang sudah taken, patah hati.
Saat memacu motornya ke kampus, Bram tersenyum terus dibalik helm full facenya.
Ia tidak pernah merasa segini bersemangatnya hanya untuk bertemu dengan satu wanita yang bahkan belum ada status yang jelas dengannya, hanya baru sampai status teman saja. Setiap pulang ke rumah, ia tidak pernah berhenti berharap hari segera berganti supaya dia bisa bertemu lagi. Loli, adik perempuannya, sampai heran melihat Bram pulang tepat waktu dan tidak pernah pulang malam lagi belakangan ini. Biasanya Bram pulang saat Loli sedang dinina-bobokan oleh bibi padahal.
oOo
Bram yang sedang bersiul-siul masuk ke dalam rumah dikejutkan dengan kehadiran Ayahnya yang sedang duduk memangku laptop di ruang tamu. Padahal, baru beberapa minggu beliau pergi meninggalkan rumah lagi. “Sudah khilaf untuk pulang larut malam terus?”sindir Ayahnya.
Bram yang sedang berjalan melewati Ayahnya, mendengus geli. “Anaknya pulang tepat waktu disindir, anaknya pulang larut malam disindir juga. Apa perlu aku tidak usah kuliah sekalian dan tinggal dirumah seharian? Paling-paling kena sindir tiap hari. Benar kan?”kata Bram dengan santai.
“Bram, kau...akhh!”pekik Ayah sambil memegang dada kirinya, di tempat jantungnya berdetak. Bram berseru kaget dan buru-buru menahan tubuh Ayahnya sebelum kepalanya menyentuh lantai keramik. Lilo yang tidak tahu apa-apa berteriak histeris dan menangis. “Lilo! Jangan hanya menangis! Ambilkan kunci mobil di gantungan! Sekarang Lilo!”perintah Bram dengan panik dan menggendong ayahnya yang sudah pingsan ke dalam mobil. Ia buru-buru menarik kunci yang disodorkan oleh Lilo dengan tangan gemetaran. “Cepat naik! Kita ke rumah sakit sekarang!”perintah Bram dengan wajah yang serius. Lilo buru-buru naik ke sisi bangku supir. Masih dengan tangan gemetaran ia memakai seat belt.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Bram menelepon bibi, meminta tolong untuk menjaga rumahnya yang tidak terkunci. Lalu, selanjutnya menelepon Ibunya dengan suara tegang. “Tapi, kalau Ibu lebih mementingkan urusan Ibu ketimbang keluarganya sendiri, lebih baik Ibu tidak usah datang!”seru Bram di akhir kalimat, bahkan tanpa menunggu jawaban dari Ibunya. 
“Rei, aku dalam perjalanan ke rumah sakit. Ayah kena serangan jantung. Mungkin aku bakal nggak masuk kampus beberapa hari. Dan tolong antar-jemput Ev, dan jagain Ev dari perempuan berbisa satu itu. Thanks a lot, Rei,”kata Bram, sedikit lebih tenang. Saat ini yang ada di pikirannya adalah segera membawa Ayah ke UGD.
oOo
Aku sedang menyeduh segelas susu hangat saat ponsel yang berada dekat dengan vas kecil yang berisi air dan bunga matahari, omong-omong vas kaca transparan ini aku bawa kemana-mana selama aku dirumah kecuali saat mandi (hehehe), yang ada diatas meja makan bergetar. Rei? Gumamku dalam hati. Dalam rangka apa dia menelepon malam-malam begini?
“Ha –“
“Ev, ayah Bram kena serangan jantung. Bram lagi on the way ke rumah sakit!”
“Jemput aku sekarang!”seruku dengan tegang.
“Iya. Ini aku lagi mau on the way ke rumahmu. Siap-siap diluar. Aku bawa mobil, tenang saja,”kata Rei dengan suara terburu-buru.
Dalam hitungan menit, aku sudah berganti baju. Dan aku membawakan sebotol susu hangat untuk Bram. Siapa tahu dengan begitu dia bisa sedikit lebih tenang. Aku tidak bisa berdiri tenang, sehingga aku berjalan mondar-mandir di depan pagar sementara bibi meremas tangannya dengan cemas. Berhubung sudah malam, dan jalanan mulai sepi, ia menemaniku menunggu Rei di luar pagar.
“Hati-hati ya neng. Nanti kabarin bibi kalau butuh dibawain makanan ya,”pesan bibi sesaat setelah aku duduk dibangku disamping Rei.
“Iya, pasti kok bi. Aku jalan dulu! Ayo, Rei!”seruku. Bibi memperhatikan mobil tersebut sampai menghilang dari pandangan baru masuk ke rumah sambil mengunci semua pintu dan jendela. Beliau tidak berani kalau malam-malam hanya sendirian di rumah.
Dalam hati aku cemas dengan keadaan Bram. Aku meremas kedua tanganku saking cemasnya. Kenapa lama sekali untuk sampai di rumah sakit?! Rumah sakit itu seharunya hanya berjarak setengah jam dari rumahku. Aku berharap Bram sudah sampai dirumah sakit dan Ayahnya sudah masuk ruang UGD.
Begitu sampai di lobby UGD, aku langsung melompat turun dari mobil dan membiarkan Rei yang mencari parkir. Kepalaku celingak-celinguk mencari keberadaan Bram. Dan akhirnya aku berhasil menemukannya sedang duduk membungkuk dibangku tunggu sambil meremas rambutnya, frustasi. Bersama dengan seorang gadis kecil yang duduk tidak jauh darinya. Wajahnya terlihat habis menangis.
Aku hanya sanggup menggumam memanggil namanya. “Bram,” Laki-laki yang merasa dirinya dipanggil menoleh. Ia masih terkejut melihatku berada tidak jauh darinya dengan wajah cemas.
Aku langsung datang memeluknya, masih dengan tangan menggenggam botol berisi susu hangat. Tanganku mengusap punggungnya. Aku tidak berkata apa-apa. Aku tahu Bram kuat, aku tahu. Aku baru sadar, ia bahkan masih memakai bajunya yang tadi. Pelan-pelan, sepasang tangan balas merengkuh punggungku. Hangat rasanya.
Aku mencoba untuk memberikan Bram semangat lewat pelukan ini. Tanganku naik menuju kepalanya dan mengusap-usap rambutnya dengan lembut. Tiba-tiba aku merasa bahu kananku basah. “Ssshh...tenang Bram,”bisikku dengan lembut, sementara tanganku masih mengusap-usap rambutnya dengan lembut.
“Ini aku bawain susu hangat. Diminum dulu, siapa tahu kau bisa sedikit lebih tenang,” Aku berikan botol stainless steel padanya. Ia menerimanya dan langsung menenggak pelan-pelan isi dari botol tersebut. Rei menghampiri kami dengan pelan.
Rei memilih duduk disampingku dalam diam.
Bram menggenggam satu tanganku, yang lalu satu tanganku yang lain menutup tangannya yang menggenggam tanganku. Aku bisa merasakan keringat dingin di telapak tangannya. Aku tersenyum menguatkan. Ia balas tersenyum tipis.
“Ayo makan dulu di kantin. Biar Rei yang ganti menunggu disini. Aku temani kau makan,”ajakku. Ia menggeleng pelan.
“Benar, Bram. Tadi sore kau tidak mau makan berat. Aku rasa dengan minum susu tidak cukup. Nanti kalau ada kabar, aku pasti langsung kabarin. Biar Lilo aku yang temenin,”kata Rei, membenarkan kalimatku.
“Ya sudah. Benar ya Rei? Jangan lupa beri kabar,” Ia melepaskan genggaman tangannya dari tanganku dan gantinya bersujud di hadapan gadis kecil itu.
“Lilo mau titip makan? Kakak minta maaf ya tadi udah ngebentak Lilo,” Sedetik kemudian ia memeluk adik perempuannya itu yang langsung menangis dipelukan kakak laki-lakinya. Bram mengusap rambut Lilo.
“Kan Lilo, gadis kuat, jangan banyak-banyak menangis. Air matanya disimpan buat kapan-kapan. Kakak belikan cokelat ya nanti. Kakak mau makan dulu, sama kakak perempuan itu,”kata Bram sambil menunjukku. Lilo menoleh kearahku dengan mata sembabnya. Aku tersenyum tipis, yang ternyata dibalas dengan senyum juga oleh Lilo. Tiba-tiba ia melambaikan tangan ke arahku. Aku terkekeh dan balas melambai ke arahnya.
“Namanya siapa, Kak Bram?”tanya Lilo dengan polos.
“Kenalan sendiri dong, masa tanya sama kakak,”ujar Bram sambil tersenyum.
Lilo turun dari bangkunya dan berjalan menuju kearahku, diikuti oleh Bram.
“Kakak, temannya Kak Bram ya? Namaku Lilo,”katanya dengan polos mengulurkan tangan kanannya. Aku menyambut uluran tangan mungilnya itu.
“Iya, aku temannya Kak Bram. Namaku Ev. Nice to meet you, girl,”kataku dengan lembut. Lilo tersenyum kecil.
“Bukan temannya tuh Lil, tapi pacarnya Kak Bram,”sambung Rei bercanda.
“Rei!” Aku dan Bram serempak membentak Rei yang hanya tertawa, diikuti oleh Lilo.
“Ya udah, Kak Bram makan dulu ya sama Kak Ev. Lilo baik-baik disini ya sama Kak Rei. Kalau mau ke kamar mandi, bilang sama Kak Rei biar dianterin, jangan pergi sendiri. Kakak khawatir Lilo hilang lagi,”kata Bram dengan wajah yang sarat dengan kekhawatiran. Lilo mengangguk dengan mantap lalu mengulurkan kedua tangannya. Bram menunduk, membiarkan adik perempuannya itu memeluk lehernya.
Hatiku menghangat melihat kejadian barusan. Diam-diam aku tersenyum.
“Ayo,”kata Bram dengan lembut sambil mengikat rambutnya kebelakang.
Kami berjalan bersisian menuju kantin. Dua tanganku tersembunyi didalam kantung jaket berbahan parasutku, dan tangan Bram dua-duanya diselipkan ke dalam kantung celananya.
Aku tidak mencoba untuk mengungkit-ungkit apa yang terjadi sebenarnya. Aku menunggu sampai Bram yang cerita saja sendiri. “Kau perlu dibawakan baju ganti?”tanyaku sesaat setelah ia kembali dari memesan makanan.
“Tidak usah, nanti aku pulang saja sekalian buat ngambil peralatan mandi sama baju ganti buat Ayah. Kau kenapa bisa ada disini? Pasti Rei yang beritahu kau ya?”kata Bram.
Aku terkekeh. “Emang nggak boleh ya?”tanyaku dengan polos.
“Boleh kok, kata siapa nggak boleh? Terima kasih untuk susu hangatnya,”jawab Bram tersenyum lalu mengusap punggung tanganku yang saat itu sedang aku letakkan diatas meja. Again? Ah, berhubung aku lagi dirumah sakit, bagaimana kalau sehabis ini aku memeriksakan jantungku? Jantungku selalu berhasil dibikin berdebar-debar seperti aku baru saja selesai lari marathon oleh laki-laki dihadapanku ini. Ia menarik tangannya karena pelayan kantin datang mengantarkan pesanannya.
“Kau benar tidak mau makan?”tanyanya.
“Iya. Aku udah makan tadi dirumah, Bram. Kau saja yang makan, dihabiskan ya,”kataku. Bram makan seperti tidak ada semangatnya. Seperti robot yang sedang dioperasikan untuk makan saat ini. Aku tahu, pikirannya masih kalut karena kejadian ini.
Selesai makan, kami berjalan bersisian menuju ruang tunggu di UGD.
Aku mengeluarkan iPod sekaligus earphones. Satu sisi bagian kanan aku sisipkan ditelinganya, sementara sisi bagian kiri ada di telingaku. Aku memutarkan lagu instrumental. Bagiku, kalau aku sedang kalut aku mendengarkan instrumental. Menstimulasi pikiran supaya lebih rileks. Bram menyandarkan kepalanya ke dinding sambil memejamkan mata. Rei sibuk menina-bobokan Lilo yang kepalanya berada dipangkuan Rei.
“Bram,”panggil sebuah suara perempuan. Aku yang tengah menutup mataku, mau tak mau terbuka dan melihat seorang perempuan berdiri tak jauh dari bangku tempat kami duduk. Bram pun menoleh dengan tak acuh. Sepertinya Ibu mereka.
“Ibu datang kesini untuk membuat keributan? Jangan sekarang, Lilo sudah tidur,”kata Bram dengan sinis. Wajah Ibunya langsung mengeras. Aku meremas tangan Bram, menegurnya. Tapi tidak diindahkan olehnya.
“Bram, samperin Ibumu. Dan bicara baik-baik,”kataku dengan tegas. Bram mendengus, tapi tetap ia lakukan. Ia menyerahkan setengah earphones yang ia pakai tadi kepadaku dan berjalan ke arah Ibunya yang wajahnya mulai melembut. Ia menatapku sambil tersenyum tipis, seakan-akan mengucapkan terima kasih. Aku mengangguk sopan padanya. Dan memperhatikan punggung Bram yang berjalan dengan kaku ke arah Ibunya.
Begitu Bram berada dalam jangkauan tangannya, beliau langsung memeluk tubuh Bram dengan erat. Tapi, tidak ada balasan dari Bram yang hanya berdiri kaku. Bahuku terkulai lemas. Padahal aku sudah berharap Bram akan membalas pelukan Ibunya. Tapi, pelan-pelan tangan Bram mulai balas memeluk Ibunya. Aku menghembuskan nafas lega.
Aku merasa seperti nonton film drama saja. Mereka melipir entah kemana.
Aku masih stay mendengarkan lagu lewat earphones. Lalu, seorang dokter datang menghampiriku. “Kau saudaranya Bram?”tanya dokter itu.
“Oh bukan, saya temannya, dok. Nanti saya panggilkan Bram dan Ibunya,” Aku buru-buru bangkit berdiri dan berjalan menyusuri lorong, mencari keberadaan mereka. Aku menemukan mereka tengah duduk di salah satu lorong sepi, sedang berpelukan.
“Bram, Tante, dicari dokter,”kataku dengan pelan. Ibu Bram langsung melepaskan diri dari pelukan itu dan berjalan secepat mungkin kembali ke ruang UGD, setelah mengucapkan terima kasih.
Bram bangkit berdiri dari bangku dan menghampiriku. Tiba-tiba ia melingkarkan kedua tangannya dileherku. Tentu saja aku bingung karenanya. Hingga akhirnya ia berbisik, “Terima kasih, Ev. Terima kasih.”katanya dengan suara yang parau.
You are always welcome, Bram,”balasku dengan lembut, membalas pelukannya.
Ia merengkuh bahuku dan kami berjalan bersisian menuju ruang UGD.
oOo
Untungnya Ayahnya hanya terkena serangan stroke ringan, meskipun harus dirawat inap entah untuk berapa lama. Bram merasa sangat bersalah karenanya. Sebagai gantinya, ia yang menemani Ayahnya selama di rumah sakit. Ayahnya tentu bahagia bukan kepalang, melihat anak laki-lakinya yang tertua berada disisinya terus. Bram juga tidak jadi absen beberapa hari dari kampus.
“Yah, jadi aku nggak jadi antar-jemput Ev?”rutuk Rei, kecewa.
Aku menatap dua makhluk di depanku ini dengan bingung sekaligus penasaran.
Bram mendelik tajam. “Ya iyalah nggak jadi! Enak aja. Kalau bukan karena terdesak, aku tidak akan minta tolong padamu. Jadi, jangan pernah harap kau akan menggantikan posisiku.”
Rei mencibir kesal. Aku mulai mengerti jalan ceritanya. Mendadak aku tertawa. Kali ini gantian mereka yang bingung, sebenarnya hanya Rei. Bram menatapku dengan tatapan datar khasnya.
“Aku mengerti sekarang, aku mengerti!”kataku disela tawaku.
“TELAT, EV!”seru mereka berdua bersamaan. Aku yang cemberut disofa, menyeruput kopiku.
Setengah hari itu, kami duduk-duduk di rooftop garden rumah sakit yang ditata dengan baik sementara Bram asik memetik gitarnya. Angin sepoi-sepoi hilir mudik disekitar kami. Rei merebahkan tubuhnya diatas tempat duduk sambil memejamkan matanya.
Lalu, aku mendengar alunan melodi dari gitar yang dipetik oleh Bram. Hhmm, sepertinya aku mengenal lagu ini. “Ini lagu yang aku bawain di hari pertama kali kita ketemu, Ev,” Bram membantu memperjelas. Aku terkekeh.
“Aku ingat kok, aku ingat!”kataku bersemangat.
Bram memainkan lagu tersebut tanpa lirik. Kepalaku bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti alunannya. “Kau percaya janji, Ev?” mendadak Bram yang sementara memetik gitar bertanya seperti itu.
“Tidak,”jawabku dengan tegas.
“Kenapa?”
“Janji itu seperti...air. Jika tidak ditepati rasanya menyakitkan. Seperti air, kalau kau tidak minum air, rasanya pun tidak enak kan? Nyambung nggak sih? Entahlah.”kataku sambil mengangkat bahu. Bram terkekeh kecil.
“Terkadang, ada orang yang sudah tidak bisa mempercayai janji karena terlalu sering diberi makan janji manis yang tidak pernah ditepati, hanya manis di bibir tapi pahit di kenyataan. Konyol,”kata Bram sambil menundukkan kepalanya, menatap gitar.
“Berarti kau terlalu sering makan janji manis dong makanya mukamu pahit mulu?”ledekku. Bram mendesis kesal.
“Ayah dulu selalu bilang, kalau beliau bakalan ada buat kita. Ibu juga begitu. Tapi, nyatanya mereka malah lebih mementingkan kesibukan mereka dengan terbang sana-sini. Ibu bahkan jarang sekali pulang ke rumah. Pulang ke rumah pun hanya satu dua hari, selebihnya ia memilih tinggal di hotel dekat bandara supaya kalau ada urusan mendadak ia bisa dengan mudah ke bandara. Hanya Ayah yang sering pulang ke rumah, tapi setiap dirumah dan bertemu denganku selalu bawaannya menyindir terus,” Bram mendengus kecil di akhir kalimat.
Aku hanya diam.
“Setidaknya, Ayahmu masih pulang ke rumah, Bram. Aku hanya tinggal bertiga dengan Mama dan bibi. Itu pun kadang, Mama masih suka mondar-mandir ke luar negeri,”kataku sambil mendongak ke atas, menatap langit biru siang ini. Bram terdiam. Petikan gitarnya pun terdiam. Aku terkekeh.
“Tidak apa-apa, Bram. Aku sudah cukup dewasa untuk bisa menerimanya kok. Jadi, seharusnya kau lebih menyayangi mereka. Siapa tahu mereka seperti itu untuk kau dan Lilo. Setidaknya Lilo masih punya kau,”kataku pada Bram yang mulai melanjutkan bermain gitarnya. Ia tidak menjawab kalimatku. 
“Ev,”panggil Bram.
“Ya?”jawabku. Tidak mengalihkan mataku ke arahnya.
“Pernah nggak waktu kau lagi makan di tenda itu, kau berpikir kalau kita akan seperti ini sekarang?”tanya Bram dengan cuek.
“Ih kepo!”ledekku sambil tertawa. Bram menatapku dengan satu alis terangkat, seakan-akan berkata, ‘are you kidding at me?’ Dan membuatku semakin tertawa karenanya. “Nggak pernah, Bram. Pasti kau juga ya? Selama ini aku tidak pernah mau membuat harapan yang muluk-muluk, Bram. Aku cukup berekspektasi tentang sesuatu yang memang realistis. Kalau pun terjadi diluar ekspektasi, aku senang-senang saja. Aku tidak mengajarkan diriku sendiri untuk berharap terlalu tinggi, karena kalau tidak terwujud rasanya akan menyakitkan. Bukankah, jika terjadi diluar dugaan akan menjadi suatu kejutan tersendiri? Sesuatu yang tidak pernah diperkirakan, apalagi diharapkan terjadi. Ini untuk perihal sesuatu yang membahagiakan loh,”kataku sambil terkekeh di akhir kalimat. Takut Bram memikirkan ke hal yang lainnya. Laki-laki itu manggut-manggut.
“Sebenarnya, aku sudah memperkirakan kalau kita mungkin akan seperti ini, Ev,”kata Bram dengan santai.
“Kok kau sok jadi cenayang segala sih, Bram? Mau beralih profesi?”kataku. Bram mencibir sebal kearahku.
“Aku sudah berniat untuk pergi ke dukun untuk membantuku mencarimu yang bahkan aku tidak ketahui asal usulnya. Tapi, ternyata Tuhan masih sayang sama aku, buktinya aku tidak perlu sampai berbuat zinah segala sampai ke dukun, karena aku dipertemukan denganmu lagi di halte. Aku diberikan kemudahan!” Selanjutnya, Bram tertawa kecil mengingat kejadian yang dulu itu. Tawanya itu menular padaku.
“Ke dukun kau bilang berbuat zinah?! Otakmu sudah kebelit senar gitar, Bram!” Detik selanjutnya tawaku pecah diudara.
“Dan asal kau tahu, aku pun tidak berniat untuk sekadar menjadi teman yang ketemu sesaat. Makanya disinilah kita, Ev,”kata Bram sambil memetik gitarnya. Aku hanya tersenyum. Tidak menjawab.
oOo
Bisa bertemu dengan Bram merupakan satu hal yang termasuk dalam kategori tidak terduga. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengannya dan gerombolannya di tenda makan itu. Aku memang tahu ada acara itu, bahkan beberapa panitia di dalamnya adalah teman-temanku. Bisa berteman sampai sekarang dengan Bram pun tidak terduga. Bersama Bram terlalu banyak hal yang tidak terduga yang terjadi, dari hal-hal kecil saja seperti dia yang tiba-tiba muncul di depan rumahku untuk datang menjemput dan mengantarku pulang lagi, mengajak makan siang setelah kuliah, sampai hal-hal yang menurutku istimewa meskipun hanya hal kecil seperti dibawakan helm setiap menjemput dan membawakanku bunga matahari.
Kesemuanya itu sudah sanggup membuat perasaanku menghangat.
Ia tidak pernah mengirimku pesan untuk sekadar flirting atau basa-basi jayus, tapi Bram akan langsung meneleponku. Sekalipun itu tengah malam, hanya untuk apa? Hanya untuk mengucapkan selamat tidur dengan nada suaranya yang ternyata bisa melembut itu. Sesekali, setiap pagi ia mengirimku video rekaman ucapan selamat pagi dan embel-embelnya masih dengan wajah bangun tidur dan dengan background kasur dan kamarnya.
Di ponselku ada beberapa video rekamannya yang aku simpan dan terkadang sering aku lihat berulang-ulang kali. Padahal aku sudah mengingatkannya, kalau dia tidak perlu bangun pagi-pagi – kalau memang tidak ada kelas pagi – hanya untuk itu, tapi memang susah ngasih tau laki-laki dari batu, tetap saja ia lakukan itu meskipun hal selanjutnya yang ia lakukan adalah lanjut tidur. Jadi, aku harus meneleponnya berulang-ulang kali untuk membangunkannya, mengingatkannya kalau ada kelas.
Baru saja aku sedang merapihkan bunga matahari yang tangkainya mulai memendek karena aku gunting sedikit-sedikit setiap hari, ponsel di samping vasku bergetar.
“Halo?”kataku.
“Halo, Ev. Lagi ngapain?”tanya Bram dengan suara serak. Bram sakit?
“Lagi ngerapihin bunga darimu. Kenapa Bram? Kau sakit?”tanyaku dengan khawatir.
“Oh, tidak. Tidak apa-apa. Hanya lagi batuk aja. Tidak usah khawatir. Ya sudah, jangan tidur malam-malam ya. Good night, Ev,”gumam Bram. Laki-laki diseberang sana menungguku menjawab.
“Bram, kalau kau butuh aku, aku akan kesana sekarang,”kataku. Tidak menjawab kalimat terakhirnya.
Bram terkekeh pelan. “Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga reda kok,”jawabnya mulai melantur. Apanya yang reda? Hujan aja nggak.
“Bram, tunggu aku disitu ya. Kau dirumah kan?”kataku dengan khawatir.
“Tidak usah, Ev. Aku baik-baik saja. Disini ada Ibu kok,”kata Bram, sesaat setelah itu ia terbatuk-batuk. Tanpa menunggu lebih jelas dari Bram, aku memutuskan sambungan dan gantinya menelepon Rei. Memintanya menjemputku. Untung saja Rei sedang diluar rumah.
Ah, Ayah Bram sudah diperbolehkan pulang setelah hampir satu bulan dirawat inap. Jadi, untuk sementara rumahnya Bram akan benar-benar terasa seeperti rumah. Karena, seluruh keluarga kecilnya itu berkumpul. Ibunya pun menunda beberapa pertemuan untuk menjaga suaminya dan menemaninya menjalani terapi.
“Ev? Rei? Ada apa?” Ibu Bram bingung melihatku dan Rei berdiri seperti anak hilang di depan pintu pagar rumah mereka yang bertingkat dua. Aku dan Rei memamerkan senyum lebar. Ibu Bram tertawa lalu mempersilahkan kami masuk kedalam. Memang sih, keterlaluan kami berdua datang bertamu malam-malam begini, sudah jam 10 malam!
“Mau bertemu Bram, ya? Bram lagi sakit. Dia kemarin habis nyariin Lilo di kompleks sampai kehujanan. Lilo kan sering mampir di rumah-rumah tetangga tanpa bilang-bilang, makanya Bram khawatir. Ayo naik aja. Nanti tante buatin minum ya.”kata Ibu Bram tanpa menunggu penjelasan dari kami.
Aku yang saat itu membawa ransel pun tersenyum bersyukur.
“Kau ngapain bawa ransel, Ev? Kau mau menginap disini?”tanya Bram.
“Oops, kau terlalu bersemangat bung menanyakannya,”ledek Rei yang menjatuhkan tubuhnya diatas sofa. Bram berdecak ke arah Rei.
“Tidak. Aku membawakanmu makanan hangat,”kataku sambil mengeluarkan tempat makan susun dari stainless steel. Dan membukanya satu per satu sambil meletakkannya diatas meja.
“Tapi, aku sudah makan, Ev,”
“Kau mau membohongiku, Bram? Cobalah lain kali kalau kau sudah profesional,”kataku dengan datar. Lagi nggak mood saja dia bisa nggak makan, gimana kalau lagi sakit begini? Bram terkekeh mendengar kalimatku. Ia menggaruk kepalanya, merasa malu karena gagal membohongiku.
“Wah, sepertinya Ibu harus belajar dari Ev nih buat tahu Bram bohong atau tidak besok-besok,”ledek Ibunya yang masuk kedalam kamar Bram sambil membawa nampan berisi minuman dingin untuk aku dan Rei. Saat tangan Bram ingin menjangkaunya, pukulan mengingatkan dariku mampir di tangannya yang langsung ditarik cepat-cepat.
“Ini hanya batuk biasa kok, kenapa diperlakukan kayak lagi pesakitan parah?”gerutu Bram.
“Sekalinya sakit ya sakit, nggak usah banyak protes,”desisku sambil memberikannya salah satu tempat makan yang isinya nasi dengan sayuran hijau dan tidak lupa menambahkan potongan ayam dan satunya lagi berisi sup ayam yang masih hangat.
“Tuh, dibawain makan sama Ev mau, dibawain makan sama Ibu, malah sibuk ngegelung di dalam selimut. Ckck. Anak laki-laki Ibu ternyata udah bertemu sama jodohnya. Tugas Ibu bentar lagi digantiin Ev nih, yang lebih galak,”ledek Ibu Bram. Aku hanya bisa terkekeh tolol.
“Ibu!”desis Bram dengan sebal. Rei terbahak kencang-kencang dari sofa tempatnya duduk.
“Iya, tan. Ev bisa lebih galak daripada tante. Bram aja sampai nggak berkutik kalau Ev yang udah ngomong,”kata Rei membenarkan. Aku melotot kearah Rei yang bersiul-siul tidak berdosa.
“Tuh kan. Berarti benar nih anak laki-laki Ibu udah benar-benar jatuh cinta. Tante udah capai melihat Bram dengan perempuan yang nggak ada benarnya. Bukannya memperbaiki Bram malah makin merusak Bram,”kata Ibunya sambil mengusap rambut anak tertuanya yang wajahnya datar tanpa ekspresi sama sekali. Aku mengulum senyum, kalau aku tertawa terbahak-bahak seperti Rei, bisa-bisa semua tempat makan stainless steel ini melayang kearahku yang memang berjarak lebih dekat dari Bram daripada Rei.
“Ya udah, Ibu keluar dulu ya. Bram, dihabiskan!”kata Ibunya dengan tegas. Bram hanya mengangguk singkat dan meraih tempat makan yang berisi nasi dan sesekali mengambil kuah dari sup di tempat makan satunya lagi.
“Hari ini kau selamat Rei! Jangan harap besok-besok,”ancam Bram.
“Nah, karena aku tahu hari ini aku selamat makanya aku puas-puasin ketawanya. Hadoh!”pekik Rei yang barusan dilempari sandal kamar oleh Bram.
“Biar tahu rasa! Aku nyicil dari sekarang. Masih mau ketawa lagi?”ledek Bram dengan wajah tengilnya. Udah lagi sakit, tapi masih bisa tengil.
“Bram,”panggilku, menegurnya.
“Iya, iya aku makan,”kata Bram yang langsung kembali makan. Rei terkikik geli di sofa. Aku menatapnya dengan tatapan yang siap membolongi keningnya saat itu juga. Ia menggigit bibirnya lalu berlari keluar kamar. Saat sampai dibawah, ia langsung terbahak. Tapi langsung ditegur oleh Ibu Bram. Aku terkekeh geli. Ketawa di kamar Bram salah, ketawa dibawah apalagi. Ada singa yang menunggu ternyata.
Bram meraih tanganku dan menggenggamnya. “Terima kasih, Ev,”katanya dengan lembut.
Anytime, Bram,”kataku, sambil tersenyum. Wajah Bram masih terlihat pucat. Tangannya masih terasa panas. Salah satu tanganku yang kosong, meraba keningnya.
“Aduh, Bram. Kau ini masih demam!”kataku tiba-tiba. “Cepat habiskan makanmu. Aku ambilkan handuk untuk mengompresmu.”kataku buru-buru melepaskan tanganku.
Tapi, gantinya malah tanganku yang ditarik oleh Bram. Dan kepala Bram terjerembap di perutku. Kedua lengannya melingkari pinggangku yang posisi tubuhku sedang berdiri.
“Aku hanya sebentar kok turunnya, Bram.”kataku dengan lembut. Ia hanya menggelengkan kepalanya. “Jangan mulai lagi deh,”kataku. Memang ya, ada benarnya kata orang, orang dewasa kalau lagi sakit bisa jadi kekanak-kanakan, minta dimanja.
“Ya sudah, aku sebentar lagi turunnya,” Tanganku terangkat untuk mengusap kepalanya dengan pelan.
“Waktu aku udah sembuh, aku ada rencana mau mendaki gunung sama Rei dan yang lainnya pas libur. Jadi, kau tidak perlu ke kampus sendirian,”kata Bram. Wajahku langsung mendung, dan menegang. Jangan lagi.
“Bram......kau yakin?”tanyaku dengan tidak yakin.
“Iya. Aku yakin kok. Kenapa memangnya? Kau mau ikut?”
Malah kalau bisa aku mau melarangmu, Bram.
“Ah, ti-tidak. Yang penting sekarang kau sembuh dulu. Rencana untuk besok-besok tidak usah dipikirkan dulu,”kataku, berusaha menutupi ketegangan disuaraku.
Aku menunggunya sampai tertidur baru turun kebawah untuk mengambil baskom berisi air dan handuk kecil dan mulai mengompres Bram yang tertidur pulas. Makan pun tidak dihabiskannya. Biarlah, nanti besok dipanaskan lagi di dapur. Rei sudah tergeletak tak bernyawa di sofa dengan suara mendengkur seperti orang yang kecapaian.
Kenapa harus mendaki gunung? Kenapa tidak ikut touring saja?
Aku tidak tahu tepatnya kapan mereka akan mendaki gunung. Tapi, kalau berdasarkan kata Bram tadi, kalau menunggu dia sembuh dan pas libur berarti sebentar lagi. Di bulan Juli ini kan ada tiga hari berturut-turut libur di akhir bulan. Berarti sebentar lagi! Bagaimana caranya melarang Bram dan Rei untuk tidak pergi mendaki? Bram tidak bilang lagi mau mendaki kemana.
Perihal mendaki gunung itu ada ceritanya sendiri. Cerita yang sudah lama aku simpan, yang tidak aku beritahu siapapun selain bibi dan Ibu yang saat itu menemaniku.
oOo
Beberapa hari setelah merawat Bram yang ternyata sembuh cepat itu, aku sedikit tegang. Dan Bram merasakan itu.
“Kau belakangan ini kenapa, Ev?”tanya Bram bingung campur khawatir.
“Ah, tidak. Kenapa memangnya?”kataku.
“Kau terlihat tegang, seperti sedang mempersiapkan diri mau nikah aja. Kau mau nikah?”tanyanya. Mau tidak mau aku tertawa mendengar pertanyaannya yang ia lontarkan dengan polos namun terdengar konyol.
“Tidak! Kau ini ada-ada saja. Kuliah saja baru tahun depan lulus, Bram,”kataku.
Laki-laki itu mengedikkan bahu tak acuh, “Siapa tahu gitu. Kalau memang benar kan, aku mau mampir ke calonmu itu,”
“Buat apa?”tanyaku bingung.
“Menonjoknya!”kata Bram cuek dan dengan nada datar.
“Kok ditonjok?”kataku, semakin bingung.
“Iya, udah merebut start aku. Kan harusnya aku, bukan dia,”katanya dengan santai. sedetik kemudian, aku tertawa terbahak-bahak sementara laki-laki itu hanya mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
“Ya ampun, Bram. Ini kan hanya candaan. Kau serius?”kataku masih tertawa.
“Ya udah, kalau gitu aku juga nggak serius,”balasnya lagi.
Aku tertawa terbahak-bahak karenanya. Ya ampun, Bram.
“Lusa aku berangkat ke Merbabu,”kata Bram tiba-tiba. Tiba-tiba pula tawaku berhenti seketika, tergantikan oleh keheningan.
“Lu-lusa? Nggak terlalu cepat?”tanyaku dengan ragu-ragu. Wajahku langsung menegang. Bram menggeleng dengan yakin.
“Hitungannya sudah pas itu, Ev. Lagian ini udah planning kita dari lama. Jadi, kita pasti nggak rela buat nunda lagi. Memangnya kenapa? Kalau mau ikut, ikut aja. Ada aku ini kok,”kata Bram.
Aku mencibir. “Memangnya kenapa kalau ada kau? Kalau tidak ada kau juga masih ada Rei kok,”ledekku. Laki-laki itu berdecak sebal.
“Tidak bisa. Harus ada akunya.”balas Bram, tidak mau mengalah. Aku menjawabnya dengan tawa singkat. Pikiranku masih kepikiran tentang keberangkatannya ke Merbabu.
“Bram, bagaimana kalau...” Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku. Aku hanya bisa menunduk sambil memainkan ujung bajuku yang mulai kusut.
“Bagaimana kalau apa, Ev? Kau tidak usah khawatir. Aku udah biasa mendaki gunung kok,”kata Bram meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku mendongak dan menatap laki-laki dihadapanku.
“Bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu? Aku –“
“Ev, aku akan baik-baik saja. Percaya padaku. Oke?”kata laki-laki di hadapanku ini wajah yang sangat meyakinkan dan berusaha membujukku. Akhirnya aku mengangguk pelan-pelan, meskipun belum rela.
Good!”kata Bram sambil mengusap punggung tanganku dan melepaskannya dengan lembut. Aku menghembuskan nafas berat. Seharian itu aku hanya diam saja dengan earphone yang menempel ditelingaku dan novel yang aku pangku. Bram seakan-akan mengerti kalau aku masih khawatir, jadi ia memilih diam dan permisi sebentar untuk pergi keluar. Aku tidak tahu ia mau pergi kemana, karena aku hanya menjawabnya dengan anggukan samar yang bisa saja tidak ia lihat.
Pandanganku termangu diatas lembaran-lembaran novel yang bahkan sedari tadi belum aku ganti halamannya. Pikiranku masih kemana-mana. Masih membayangkan yang tidak-tidak perihal keberangkatan Bram yang lusa akan mulai mendaki. Lusa itu tidak lama dari sekarang. Aku menghembuskan nafas panjang lagi. Tidak lama ia kembali lagi ke bangkunya dan mendengarkan lagu lewat earphone. Tidak berusaha mengajak aku berbicara. Aku pun hanya diam.
Hari itu kami berpisah di depan rumahku dengan satu lambaian tangan dariku dan aku langsung menyelinap masuk ke dalam rumah sesaat setelah bibi membukakan pagar untukku. Bibi menatapku dan Bram bergantian dengan pandangan yang heran. Aku tidak tahu Bram berkomentar atau tidak, karena aku langsung masuk ke dalam rumah. Biasanya aku menunggu ia pergi sampai menghilang dari pandangan barulah aku masuk ke dalam rumah.
“Neng, nggak apa-apa? Abis berantem sama Mas Bram ya?”tanya bibi dari pintu.
Aku yang sedang rebahan, mengambil posisi duduk. “Nggak apa-apa kok, bi. Aku kecapaian aja. Aku udah makan ya bi, bibi makan aja. Aku mau istirahat,”kataku pada bibi yang hanya mengangguk saja dan langsung menutup pintu kamarku. Aku meninggalkan dunia dan masuk ke alam mimpi tak lama setelah bibi pergi.
oOo
Sepanjang hari itu, aku benar-benar tidak memegang ponselku. Aku biarkan tergeletak tidak bernyawa diatas nakas di samping tempat tidurku. Seharian pula aku berdiam diri di perpustakaan dengan novel-novel yang aku baca ulang, berusaha membuat pengalih perhatian pikiranku.
Aku mendongak dari acara membongkar isi lemari lamaku saat mendengar pintu perpustakaan diketuk dari luar.
“Neng, ada Mas Bram dibawah,”kata bibi dengan hati-hati. Aku terdiam.
“Suruh pulang aja, bi. Bilang aja aku lagi sibuk,”kataku dengan pelan. Bibi terlihat ragu-ragu saat menutup pintu perpustakaan. Aku menghela nafas dan menghembuskannya dengan berat.
Sekali lagi aku mendengar suara ketukan di pintu, aku yang sedang membongkar isi lemari saat itu hanya cuek saja sambil berteriak, “Suruh pulang aja bi, aku –“
“Kau kenapa?” Suara Bram sebagai gantinya menjawab kalimatku yang menggantung diudara. Aku menarik diriku dari dalam lemari tinggi itu dan menatap Bram dari balik pintu lemari sambil berkacak pinggang.
Aku berdecak pelan. “Aku pikir kau sudah pulang. Mau minum apa?”tanyaku berbasa-basi.
“Jadi, kau sibuk membersihkan lemari tuamu? Atau sekadar mencari kesibukan?”ledek Bram sambil bersandar di daun pintu dan dengan dua tangan yang bersedekap di depan dadanya. Aku mendesah gelisah.
“Sejujurnya, sekadar mencari kesibukan. Kau sudah prepare buat besok?”tanyaku dengan nada datar.
“Aku sudah prepare dari kapan tahu. Perlu bantuanku?”katanya sambil bergerak dari posisinya.
Aku buru-buru memberi tanda padanya kalau ia lebih baik berdiri disitu saja. “Aku sebentar lagi selesai,” Bram menjawabnya dengan mengedikkan bahu tak acuh.
10 menit kemudian, aku sudah menutup pintu perpustakaan dan berjalan turun ke lantai bawah bersisian dengannya.
“Rumahmu sepi sekali. Cuma kau dan bibi?”tanya Bram sambil menuruni tangga sambil melompat-lompat.
“Iya. Mama lagi perjalanan bisnis nih. Mau minum apa?”kataku sambil menggiring Bram ke bar table dan mempersilahkannya duduk di bar stool sementara aku menyelinap masuk ke balik mini bar tersebut. “Kau ini mau minum saja lama sekali mikirnya. Aku buatkan cokelat hangat saja. Kau sekalian makan siang disini aja, gimana?”kataku sambil meraih cangkir.
“Boleh. Aku selalu menerima dengan lapang dada apapun itu yang diberikan dalam bentuk gratis,”candanya. Aku terkekeh mendengarnya.
“Rei tidak ikut kesini?”tanyaku.
“Tidak. Katanya dia mau puas-puasin tidur. Soalnya besok –“ kata-kata Bram berhenti diudara. Seakan-akan dia baru tersadar kalau sebentar lagi ia akan dengan tidak sengaja mengungkit tentang kepergian mendakinya besok.
Aku hanya menunduk menahan kegelisahanku sambil mengaduk-aduk isi cangkir dihadapanku ini.
Keheningan yang terasa terlalu canggung itu berputar-putar disekitar kami.
Aku yang seperti tersengat oleh lebah langsung berjengit saat Bram memelukku dari belakang. Ia menumpukkan dagunya dibahuku dengan pelan. Kedua tangannya menggenggam dengan erat kedua tanganku, sekaligus mengharapkan kepercayaan dariku.
“Aku tidak akan lama disana, hey. Kau seperti akan kehilangan aku selamanya saja,”katanya dengan lembut, tepat ditelingaku. Aku menggigit bibirku. Dengan menggigit bibir saja kegelisahan ini tidak bisa berangsur-angsur berkurang.
“Percaya ya sama aku?”kata Bram.
“Harus hati-hati ya,”kataku dengan gemetaran.
“Iya, Ev. Pasti!”katanya sambil mempererat pelukannya.
Hari itu sampai malam aku habiskan dengan Bram, entah menonton film, mendengarkan musik dengan satu earphone yang sama, bahkan mendengarnya bermain piano!
“Aku hanya bisa Canon in D, Ev,”katanya sambil duduk di bangku di depan piano.
“Nggak apa-apa, kok! Udah ayo mainkan!”desakku sambil duduk disampingnya.
Ia mulai memposisikan kesepuluh jarinya diatas tuts piano. Perlahan-lahan dentingan suara piano mulai terdengar. Aku memejamkan mataku untuk menyerap permainannya pianonya hari ini. Tadinya aku ingin memintanya untuk main gitar, tapi berhubung di rumah ini tidak ada yang tahu bermain gitar jadilah aku memintanya memainkan sebuah lagu dengan piano.
Harus aku akui, rasanya berat untuk melepas kepergian seseorang yang disayang meskipun hampir seharian itu menghabiskan waktu bersama-sama. Rasanya sehari saja masih belum cukup bagiku.
Ia menatapku lama-lama sambil mengusap rambutku, lalu mendadak menarikku ke dalam pelukannya. “Besok sebelum berangkat, aku pasti mampir dulu kesini. Tunggu kabar dariku saja ya,”katanya, setengah berbisik.
Aku menjawabnya dengan satu anggukan.
“Kalau gitu, aku pulang ya. Kau langsung istirahat,”katanya sambil memakai helm dan naik ke jok motor sambil menyalakan mesin motor.
“Hati-hati ya! Jangan ngebut-ngebut di jalan kalau masih mau mendaki besok,”kataku mengingatkannya. Ia mengacungkan dua jempolnya. Ia membunyikan klakson motornya dan motor itu pun mulai meninggalkan pekarangan rumah. Aku menunggu hingga motor itu hilang dari pandangan mataku.
“Masnya udah pulang, neng?”tanya bibi sambil mengunci pintu rumah.
“Sudah, bi. Kenapa?”tanyaku sambil menoleh melewati bahuku.
“Ndak apa-apa. Neng istirahat aja. Mau bibi buatin susu hangat?”tanya bibi menawarkan.
“Nggak usah. Bibi istirahat aja, aku juga udah mau masuk kamar kok. Selamat istirahat, bi,”kataku sambil menapaki anak-anak tangga menuju kamarku.
“Selamat istirahat juga, neng,”kata bibi seraya mematikan lampu ruang tamu dan sisanya menyalakan lampu di ruang makan saja dan beliau pun masuk ke kamarnya.
Setelah aku selesai bersih-bersih aku sudah mendapat kabar darinya yang sudah sampai dirumah dan mengucapkan selamat istirahat. Pesannya tidak aku balas, malah aku tinggal tidur.
oOo
Tiba-tiba aku terbangun kaget dari tidurku. Bukan karena mimpi.
“Neng, Mas Bram udah dibawah,”kata bibi dengan lembut. Aku buru-buru mengikat cepol rambutku dan menenggak air putih di nakas tempat lampu tidurku diletakkan dan buru-buru turun ke ruang tamu sambil membawa sandal rumahku, dan baru memakainya setelah sampai di anak tangga terakhir.
“Selamat pa –“
“Bram!” Aku langsung memeluknya begitu ia berdiri saat melihatku berjalan cepat kearahnya, bahkan bisa disebut setengah berlari.
“ – gi!”
“Udah sarapan? Sarapan dulu sama aku, ya? Ya? Bibi udah siapin sarapan,”kataku sambil menggeret Bram ke ruang makan dan mendudukkannya di bangku meja makan.
“Duduk disini dulu ya. Aku siapin sarapannya,”kataku sambil berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan sarapan untuk Bram. Tidak lama aku menghilang, aku sudah kembali berjalan menuju Bram sambil membawa piring berisi nasi dan lauk pauk yang lengkap.
“Kau kan pasti butuh energi, kau harus makan yang kenyangnya pas. Selamat sarapan!”kataku sambil duduk di seberangnya.
“Kau tidak sarapan seperti aku?”tanyanya dengan kening yang berkerut.
“Tidak. Aku nggak terbiasa sarapan makanan berat seperti itu. Aku sarapannya dengan ini,” Aku mengambil dua lembar roti, “Dan ini!”kataku sambil mengangkat gelas susu putih.
“Kalau begitu aku sarapan seperti kau saja,”kata Bram sambil mendorong piringnya.
Aku memelototinya. “Kau harus makan nasi, Bram! Kalau nggak sarapan itu, aku nggak akan sarapan!”kataku mengancam. Bram terkekeh pelan dan memutuskan untuk mulai menyendok sesuap-sesuap hingga habis.
Diam-diam aku menatapnya. Menyerap semua apa yang bisa aku lihat darinya dan menyimpan apa yang aku serap itu di dalam memori otakku. Meskipun ia hanya pergi selama 3 hari, tapi itu sudah sanggup membuat aku merasa semuanya terasa lama. Mendaki gunung bukan hal yang mudah, loh.
“Kita ke kafe sebentar yuk? Aku ingin beli kopi nih. Kau juga belum minum kopi dari kemarin kan? Sana mandi, aku tunggu dibawah sini,”kata Bram saat menyilangkan sendok dan garpu makannya.
Aku mengernyitkan keningku. “Kau memang berangkat jam berapa?”tanyaku.
“Masih sore. Ini kan masih pagi. Sana mandi, biar keburu,”kata Bram.
Aku pun langsung meloncat turun dari bangkuku dan berlari menapaki tangga menuju kamarku dan siap-siap mandi. Aku harus memanfaatkan waktu singkatku dengan Bram sebelum dia pergi, jadi aku tidak boleh melewatkan semenit pun terbuang dengan percuma. Lama mandiku mungkin mengalahkan rekor mandi seekor bebek! Tapi, tenang saja aku mandinya bersih meskipun cepat-cepat seperti ini.
“Kau mandi atau hanya sikat gigi?”ledek Bram sambil memakai jaketnya saat melihatku sudah melompati anak tangga dua sekaligus.
“Ganti baju doang, pak! Ayo berangkat!”kataku sambil menaikan retsleting jaketku.
“Siap, bu! Ini helmnya!”kata Bram sambil menyerahkan helm yang biasa aku kenakan sesaat setelah aku selesai memakai sneakers merahkuu.
Motor ini melaju menuju kafe yang biasa kami kunjungi. Saat aku sedang mengantri, yang tumben sekali hari ini ramai pengunjungnya – ternyata weekend – aku mengetuukkan ujung Converse merahku ke lantai kayu. Menunggu dengan tidak sabaran.
Tapi, sepertinya telingaku kena distraction dari arah panggung kecil ditengah-tengah ruangan dengan lampu sorot yang menyorot seorang laki-laki yang aku kenal, sangat kenal. Ia tengah mengetukkan ujung jarinya ke stand mic dan sebuah gitar akustik sudah berada di pangkuannya.
Good morning, pals! Let me make you enjoy your morning with one song,  Janji Suci from Yovie and Nuno. Enjoy your coffee and breakfast! And please enjoy the song,” Suara bass Bram memenuhi semua sound system yang dipasang diruangan ini. Beberapa pasang mata bahkan sampai terlihat terlalu terpaku pada Bram yang dengan santainya mulai memainkan gitar akustik itu sambil bernyanyi dengan lirih di mic.

Dengarkan wanita pujaanku
Malam ini akan aku sampaikan
Hasrat suci kepadaku dewiku
Dengarkanlah kesungguhan ini

Aku ingin, mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini
Akulah yang terbaik untukmu

Dengarkanlah wanita impianku
Malam ini akan kusampaikan
Janji suci satu untuk selamanya
Dengarkanlah kesungguhan ini

Aku sampai harus menutup mulutku yang menganga terlalu lebar. Aku bahkan sampai tidak sadar kalau aku sudah dilewati oleh pelanggan yang lainnya yang mengantri di belakangku karena distraction yang Bram ciptakan ini.
“Berhubung ini pagi dan ada liriknya yang mengatakan malam ini, sedikit nggak nyambung sih ya, tapi harap maklum. Kan saya nggak mungkin mengganti liriknya seenak saya,” Bram terkekeh sebentar di panggung kecil. Beberapa orang juga ikut terkekeh. Aku masih dengan posisiku semula, masih terlalu terkejut.
By the way, lagu barusan itu saya nyanyiin buat perempuan yang sedang berdiri di deretan orang mengantri di depan kasir yang mungkin saat ini masih terkejut, mungkin kita bisa beri ia sedikit tepuk tangan. You are the best one, Ev,” Semua orang di ruangan ini menoleh ke arahku yang mulai tersipu malu, seraya bertepuk tangan. Bahkan ada beberapa yang sampai berdiri dan tersenyum. Aku hanya sanggup menjawabnya dengan sesekali mengangguk ke arah orang-orang ini.
“Kenapa saya nyanyikan lagu ini untuknya? Karena, saat saya sedang menyanyikan lagu ini, saya bertemu dengannya. Pertemuan yang tidak sengaja sebenarnya. Tapi, tidak terduga dan menyenangkan. Ev, you are the only one. I swear on this guitar and this podium in front of this kind strangers in the morning. I said this without hesitation. So, this is the end of my performance. Have a nice day all of you! Thank you for your time,” Dengan begitu berakhirlah penampilan Bram di panggung kecil tersebut. Ia turun dari panggung itu diiringi tepuk tangan. Ia berjalan dengan yakin menujuku dan melingkarkan kedua lengannya yang hangat itu di pinggangku. Menemaniku mengantri dan sedangkan aku masih berusaha memulihkan diriku dari keterkejutanku.
Hey, Ev, come back! Am here!”katanya sambil mengusap pipiku dengan lembut dan diselingi dengan terkekeh pelan. Pelan-pelan pasti pipiku bersemu semerah tomat matang!
“Barusan itu apa?!”pekikku tertahan.
Laki-laki yang masih melingkarkan kedua lengannya dengan (sedikit) protektif di pinggangku malah tertawa.
“Kejutan di pagi hari selalu indah kan?”katanya dengan lembut dan mendorongku maju.
Barista yang aku kenal itu tersenyum-senyum melihatku yang seperti kehilangan ruhnya. “Cappucino hangat dan latte hangatnya satu, ya!” Saat aku hendak mengeluarkan suara, suara Bram sudah menyela lebih dahulu.
“Aku bayar sekarang, ya. Soalnya aku sama Ev nggak bisa lama-lama disini,”kata Bram sambil mengeluarkan dompetnya. Aku menatap Bram dan barista itu berulang-ulang kali. Aku bahkan belum sempat bereaksi, tapi ia sudah mendahuluiku.
Bram menggandeng tanganku – yang aku pandangi berulang kali, sekadar meyakinkan kalau aku tidak bermimpi – menuju sofa yang biasa kami tempati di ruangan dengan tulisan No Smoking besar-besar.
“Kau baik-baik saja kan, Bram?”tanyaku dengan penasaran. Ia mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
“Aku selalu baik-baik saja selama denganmu, Ev. Kenapa?”tanyanya sambil mencondongkan tubuhnya kedepan.
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Semoga tidak ada firasat buruk yang menghampiriku, semoga.
“Tumben sekali main gitar untukku. Aku suruh main piano aja susahnya minta ampun. Kayak mau nyuruh kucing makan makanan anjing deh,”kataku dengan polos.
“Karena ini kemauan aku sendiri. Ada yang salah?”tanyanya.
“Tidak,”
“Kau suka?”
Aku menjawabnya dengan anggukan yang terlalu bersemangat, gantinya aku malah terkekeh menutupi rasa maluku. Ia malah tertawa terbahak-bahak, membuatku cemberut detik selanjutnya. “Kau ini selalu merusak kebahagiaan orang saja, Bram!”ledekku.
“Tapi, aku selalu berhasil membuat kebahagiaan yang baru untuk seseorang, Ev,”jawabnya dengan percaya diri. Astaga! Bagaimana mungkin aku bisa mencintai laki-laki yang percaya dirinya ini sudah kelewat batas?! Besok-besok mungkin aku harus mampir ke psikolog terdekat bersamanya.
“Kau tadi bilang, nggak bisa lama-lama disini, kenapa? Kau mau kemana lagi memang?”tanyaku dengan penasaran. Ia tersenyum sebentar.
“Aku masih harus bertemu dengan teman-teman yang lain. Jadi, setelah kau menghabiskan kopimu, kita pulang ya?”tanyanya dengan nada setengah membujuk.
“Oh. Baiklah kalau begitu,”kataku dengan pelan.
Perjalanan waktu itu tidak ada yang bisa prediksikan. Seperti saat kau tidur terlalu larut, dan tibalah saatnya kau harus bangun pagi. Satu kalimat yang muncul, ‘Sudah pagi? Rasanya aku baru saja tidur!’ Seperti itulah perjalanan waktuku saat bersama dengan Bram. Tidak pernah terasa sudah harus berakhir dan bahkan sudah harus berpisah secepat ini pula.
Baru saja aku dibuatnya terkejut-kejut di kafe dengan penampilan mendadaknya itu, dan kini aku sudah harus melepasnya pulang.
“Aku tahu kau masih belum rela, Ev. Sepulangnya aku dari Merbabu aku akan kesini. Aku janji! Okay?”katanya sambil menggenggam erat kedua tanganku.
Okay. Kau harus hati-hati, Bram. Harus. Aku akan menelpon Rei nanti buat menjagamu,”kataku.
Laki-laki dihadapanku ini malah tertawa. “Untuk apa? Yang ada justru aku yang harus menjaga Rei, Ev. Aku bisa kok. Jangan khawatirkan aku kalau kau tidak mau terjadi apa-apa padaku, kata orang-orang tua dulu sih seperti itu,”kata Bram dengan lembut.
“Baiklah. Kabari aku kalau sudah akan mulai mendaki, dan kabari secepat mungkin setelah kau sudah turun lagi ya,”kataku.
“Siap, bu! Aku pergi ya. Jaga kesehatanmu. Sampai jumpa lagi, Mon Ange,”kata Bram saat memelukku.
Mon Ange. My Angel.
“Take care, B. See you very soon,”ucapku.
B? Sounds cute, but I love it. Bye, Ev,”kata Bram sambil naik ke atas motornya dan menyalakan mesinnya sebelum melajukan motor kesayangannya itu di jalan raya. Kedua tanganku terkulai dengan lemas disamping tubuhku. Bibi dengan setia menungguiku masuk ke dalam rumah sebelum ia menutup pintu pagar dan menguncinya.
“Mas Bram pasti pulang kok, neng. Bibi yakin,”katanya dengan suara yang memang penuh keyakinan.
Aku tersenyum lemah. “Aku hanya sedang berusaha untuk tidak mengkhawatirkannya, bi. Tapi ternyata susah juga ya untuk tidak mengkhawatirkan seseorang yang benar-benar disayang?”kataku dengan lemah.
Bibi mengusap punggungku dengan lembut.
“Neng, istirahat aja. Nanti kalau udah jam makan malam nanti bibi bangunkan,”kata bibi. Aku pun memutuskan untuk mengikuti anjuran beliau. Sudah aku putuskan selama 3 hari kedepan dari hari ini, ponselku akan aku biarkan tidak bernyawa di atas nakas.
oOo
Aku duduk termangu di ayunan sofa di beranda rumah ketika aku mendengar suara pintu pagar yang dibuka lebar-lebar. Hhmm, Mama aja udah pulang. Bram kapan? Masih ada dua hari lagi. Lama banget! Sekarang aja waktu kok berasa lama banget mutarnya.
“Ev?” Terdengar suara Mama yang mencariku ke dalam kamar.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar dengan gontai. “Kenapa, Ma?”tanyaku.
“Ayo sini ikut mama sebentar. Ada yang mau mama tunjukin. Ini oleh-oleh dari Mama,”kata beliau sambil merengkuh bahuku dan menggiringku ke dalam kamarnya. Tumben, biasanya beliau akan membawa oleh-olehnya langsung ke kamarku. Kok kali ini aku disuruh ambil –
“Papa?”pekikku kaget.
– sendiri.
Mama tersenyum lembut melihatku menghampiri papa yang sedang berbaring miring diatas tempat tidur. Beliau memutar badannya pelan-pelan. Aku langsung memeluknya.
“Easy, kiddo, easy,”seru beliau sambil memeluk tubuhku dan mengusap-usap punggungku.
Sekujur tubuhku merinding. Aku bahkan masih belum bisa percaya aku bisa melihat papa lagi. Jadi, yang selama ini Mama bilang kalau Papa sudah nggak ada bohong dong? Tapi, kenapa?
Ia masih sama seperti Papa yang dulu yang selalu senang memanggilku kiddo. Tidak ada yang berubah dari beliau selain tubuhnya yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya.
“Ayo Ev, biar Papa istirahat dulu. Perjalanan yang lama loh untuk sampai di Indonesia,”kata Mama sambil menarikku dengan lembut. Papa menganggukkan kepalanya ke arahku dan menarik selimutnya.
Aku berjalan keluar bersama dengan Mama menuju ruang keluarga. Beliau duduk disampingku dengan pelan. Bahkan, ia rela-relain untuk belum mengganti bajunya dengan baju rumah untuk memberikan aku kejutan terbesar aku ini.
So, will you tell me what should I know, Mom?
“Oh, tentu, Sayang. Sebelumnya, Mama minta maaf selama ini membohongimu. Selama ini Papa dirawat di luar negeri dan itulah mengapa Mama harus mondar-mandir segala, selain untuk mengurus bisnis Mama dan Papa, Mama juga harus mengurus Papa di Jepang karena sakit leukimianya. Waktu itu kau masih terlalu kecil, Sayang, untuk ikut dengan Mama membawa Papa ke Jepang. Mama membawa Papa ke Jepang saat dokter sudah memilih opsi untuk mengalihkan perawatan Papa ke rumah sakit yang lebih bagus lagi, dan lagipula saat itu kau sedang kena cacar. Ingat? Saat kau mencari Papamu dan Mama tidak bisa bilang kalau Papa sudah dalam perjalanan ke Jepang. Mama harus mengarang-ngarang cerita saat itu. Kalau Mama mengatakan yang sebenarnya, kau pasti sudah merengek untuk minta ikut ke Jepang. Sedangkan kau sedang sakit saat itu juga. Jadi, ada yang Mama lewatkan dari penjelasan barusan?”kata Mama dengan lembut.
Aku menggeleng. Sebenarnya aku sedang menahan tangis. Aku ingat saat itu aku memang sedang kena cacar yang membuatku tidak diizinkan keluar rumah sebelum benar-benar sembuh. Setiap kali aku meminta untuk pergi ke makam Papa, Mama selalu menolak dengan mengatakan kalau Papa bukan dimakamkan, tapi dibakar. Dan bukan di Indonesia pelaksanaannya. Membuatku semakin tidak keruan perasaannya.
“Maafin Mama, ya?”kata beliau sambil menarikku masuk kedalam pelukannya.
Aku menjawabnya dengan anggukan. Masih belum sanggup berkata-kata. Aku hanya balas menjawabnya dengan pelukan erat. Diam-diam aku tersenyum senang. Ternyata Papa tidak benar-benar pergi! Rasanya aku ingin jingkrak-jingkrak saat itu juga dan menghubungi.....Bram. Tapi, aku harus sadar kalau sekarang dia sedang mendaki Merbabu. Jadi, aku harus menunggu hingga lusa. Lusa kenapa lama sekali?!
Akhirnya aku menghabiskan dua hari kedepan dengan mengurus Papa selama Mama sedang mengurus pekerjaannya di kantor disini. Menemani Papa membaca koran, menemaninya bermain piano lagi seperti dulu saat aku masih kecil, menemaninya jalan-jalan di kompleks sambil menggandeng tangannya, menemaninya minum teh sore di beranda belakang yang terkadang Mama mampir untuk ikut minum teh bersama. Bibi juga terlihat lebih senang melihat Papa pulang.
“Mama tahu loh apa saja yang terjadi selama Mama di Jepang,”ledek Mama.
“Papa apa lagi,”kata Papa dengan wajah pura-pura polos.
Aku tertawa karena mereka. Pasti kerjaan bibi!
“Jadi, laki-laki itu kemana nih? Kok selama Mama sama Papa disini nggak kelihatan? Kau larang untuk mampir ya? Padahal kata bibi, dia hampir setiap hari kesini,”ledek Mama. Tuh kan apa kataku, pasti bibi! Hahaha.
“Orangnya lagi...lagi...mendaki, Ma, Pa,”kataku dengan tegang. Mama langsung terdiam. Papa yang tidak tahu apa-apa hanya diam juga, menyantap sarapannya dengan bingung, pastinya.
“Maaf, Ev,”kata Mama dengan lembut.
Aku tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa kok. Aku yakin kok kali ini dia pasti pulang, Mam. Besok dia akan pulang kok,”kataku berusaha menyemangati diriku sendiri. Mama tersenyum hangat. Beliau mengangguk samar.

Satu cerita lama yang aku, Mama, dan bibi simpan sejak lama. Laki-laki yang sudah aku kenal lama, jauh sebelum bertemu Bram. Laki-laki yang mencintai kesukaannya yaitu mendaki gunung. Ia selalu senang bila berhubungan dengan pendakian. Tapi, Rinjani menjadi peristirahatan terakhirnya. Terakhir kali aku bertemu dengannya di pos pendakian sebelum ia  mulai mendaki ke Rinjani. Aku berjanji akan menunggunya di kaki gunung. Ia akan langsung bertemu denganku yang menunggunya di pos. Tapi, hingga hari yang ia janjikan untuk kembali, pada kenyataannya ia tidak akan pernah kembali hari itu juga. Aku harus pulang dengan kekecewaan yang menganga besar di perasaanku. Yang tertinggal di pikiranku saat itu hanya senyum terakhirnya sambil melambaikan tangannya padaku dengan bersemangat, yang aku jawab dengan senyum lebar juga.

Butuh beberapa minggu untuk menemukannya yang menghilang dari rombongan. Hingga hari itu, aku seperti tidak ada lelahnya mengeluarkan air mata. Terdengar konyol, tapi mereka menemukannya menggenggam bunga abadi yang selalu wanita impi-impikan itu. Mama sampai harus selalu siap sedia di sampingku kalau tidak ingin kepala anak gadisnya ini membentur lantai berkali-kali. Berkali-kali pula aku harus jatuh dan bangun menghadapi kenyataan yang masih belum bisa aku terima sampai saat aku bertemu dengan Bram. Hingga kini bunga yang sudah mengering itu tersimpan dengan baik bersamanya yang dari tanah dan kembali juga ke tanah. Aku memutuskan untuk membiarkan bunga abadi itu ikut bersamanya.  
Aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk keluar dari zonanya. Karena, aku sudah terlalu lama hidup di dalam sana. Hingga rasanya kikuk untukku untuk keluar begitu saja tanpa dengannya. “Biar bagaimanapun, Ev, dia juga ingin kau bahagia. Percaya sama Mama,”kata Mama suatu hari saat aku terbangun dari mimpi burukku yang menceritakan aku melihatnya jatuh tanpa bisa menolongnya. Menyeramkan. Mama bahkan berencana membawaku ke psikolog kenalannya. Memang aku ini sudah terlalu gila sampai harus dibawa ke psikolog segala? Karena, aku tidak mau dibawa ke psikolog, aku memaksa diriku untuk ‘hidup’ kembali dari masa hibernasiku yang terlalu panjang.
“Baiklah kalau begitu. Kalau dia sudah turun gunung, suruh mampir kesini ya,”kata Mama, tidak kalah bersemangat. Yang ia dengar dari bibi hanyalah, laki-laki ini terlihat cuek namun terlihat penyayang pada anak gadis semata wayangnya ini, laki-laki yang bahkan rela mengantar-jemput anaknya dan bahkan sampai membawakan bunga segala. Pantas ia menemukan bunga matahari yang sudah hampir kering di kamar anak gadisnya ini. Laki-laki yang membuat anak gadisnya pontang-panting saat sedang sakit. Bibi bahkan menceritakannya sambil sesekali tertawa.
Ia hanya berharap, kali ini laki-laki itu memang benar-benar kembali.
Seperti pula yang anak gadisnya ini harapkan.
Besok? Ya, besok.
oOo
Pagi-pagi sekali aku sudah membuka mataku. Sebenarnya semalaman aku tidak bisa tidur dengan tenang menunggu hari ini datang. Seperti sedang menunggu hari pernikahan saja. Aku masih bergelung di dalam selimutku. Dari semalam ponselku sudah aku beri nyawa lagi. Tidak ada pesan apa-apa kecuali dari provider. Dan sisanya hening.
Aku memasang telingaku dengan tajam untuk mendengar suara deringan apapun yang keluar dari ponselku. Maka dari itu ponselku itu tidak pernah jauh dari jangkauan tanganku. Mandi saja aku bawa sampai aku taruh diatas handuk yang aku lipat-lipat dan aku letakkan diatas toillete. Sampai aku makan siang pun tidak ada tanda-tanda ponselku akan berdering.
“Jangan ditungguin, Sayang,”kata Papa yang saat itu sedang membaca koran.
“Habis lama banget, Pa! Aku kan orangnya nggak sabaran,”
“Mending kau ngapain dulu gitu, baca novel dulu mungkin,”saran Papa.
“Mau baca gimana kalau pikiranku ke ponsel terus, Pa,”
Telingaku mendengar suara deringan bel. Aku buru-buru lari keluar, tapi masih kalah cepat dengan bibi yang lebih sigap ternyata.
“Neng, ada temannya di depan,”
Teman? Kalau Bram pasti bibi bilang itu Bram. Ya Tuhan! Kali ini jangan.
Aku keluar pagar dengan ragu-ragu. Firasatku mulai terasa tidak enak.
“Rei?!”pekikku kaget. Aku melihatnya bersandar diatas motor Bram dengan dua tangan yang menggenggam bunga. Bunga? Kenapa bukan Bram yang datang?! Air mataku sudah menggenang di pelupuk mataku. Ya Tuhan! Harus sekali lagi kah?
Laki-laki itu seperti baru kembali ruhnya, ia menoleh ke arahku dengan kaget. Ia menghampiriku cepat-cepat. “Hai, Ev!”sapanya dengan kikuk. Wajahnya terlihat kusut.
“Ini, aku bawain pesanan Bram. Sebuket Edelweiss,”katanya sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam bunga abadi yang sudah dibersihkan dan bahkan sudah dibungkus dengan kertas putih polos dan plastik transparan. Aku menerima bunga itu dengan tangan yang gemetaran.
“Rei, please don’t say –“
“Sorry, Ev. Aku harus buru-buru pulang,”kata Rei buru-buru.
“Nggak! Nggak bisa, Rei! Kau harus beritahu aku, Bram dimana?!”teriakku histeris.
Rei yang hendak memakai helmnya. Menarik nafas dan menghembuskan nafas berat.
“Rumit, Ev. Aku nggak bisa memberitahumu,”
Please, Rei, please?” Aku memohon sepenuh hatiku. Aku harus mengetahui keberadaan Bram. Dalam wujud apapun. Aku. Harus. Tahu.
“Tapi Ev –“
“Rei, kau tega melihatku seperti ini? 3 hari aku harus menunggu penuh dengan kekhawatiran! Dan sekarang kau hanya datang sebentar dan pergi tanpa penjelasan?!”bentakku.
“Ev –“
Please, Rei,”
Rei menghembuskan nafas dengan berat sekali lagi.

Disinilah permohonan aku berakhir.
Aku memandangi Bram yang sedang duduk di kursi roda sedang merasakan matahari sore. Bunga abadi yang ia ambilkan di puncak Merbabu itu masih dalam genggamanku yang hampir melemah.
“Aku mau kesana, Rei,”pintaku. Laki-laki itu menggeleng dengan kencang.
Mataku meneriakkan keinginan terbesarku.
“Jangan, Ev. Emosi Bram masih belum stabil. Aku nggak ingin Bram emosi lagi. Disini sudah ada selusin gelas yang ia pecahkan. Lebih baik –“
“Aku. Akan. Kesana. Titik!” Aku langsung menyerahkan bunga abadi itu ke tangan Rei dan berlari cepat menuju Bram.
“ – jangan! Ev!”teriak Rei.
Namun, terlambat. Ketika hampir sampai di belakang kursi roda Bram, aku memperlambat jalanku. Aku berdiri di belakang kursi roda itu dan memeluk Bram dari belakang.
“E-Ev?” Aku hanya diam. Tapi, bisa aku rasakan tubuhnya yang menegang. “Rei!”teriak Bram histeris.
“Ssshh~ ini hanya aku, Bram, hanya aku,”kataku dengan lembut sambil mengusap puncak kepalanya. Seperti berusaha menenangkan seorang bayi yang hendak menangis.
“Jangan, Ev. Kau lebih baik pulang. Tidak usah kembali.”kata Bram dengan dingin.
Laki-laki itu berusaha melepaskan pelukanku. Namun, keyakinanku berhasil lebih kuat dari padanya.
“Nggak, B. Aku harus ada disini. Aku harus. Kau tidak bisa mengusirku seperti ini,”kataku dengan lembut. Tanganku masih mengusap-usap rambutnya.
“Tapi, Ev, aku sudah –“
Aku melangkah ke hadapannya. Dan berjongkok tepat di depan lututnya.
B, look at me. Hey, am here and not over there. Just look at me at once, in the eyes,” Bram akhirnya menatap mataku. “B, aku mencintaimu dan menerimamu sekurang-kurangnya dan selebih-lebihnyamu. Jangan pernah berpikir aku hanya mencintaimu karena lebihmu. Karena, kurangmu itu aku disini untuk melengkapi. Jangan menganggap dirimu sekarang sudah penuh dengan kekurangan. Kau masih dan akan selalu menjadi Bram. Bram yang aku kenal yang terkenal cuek, selalu tidak acuh, yang membawakanku helm setiap saat. Laki-laki yang memberikanku bunga matahari, bunga kesukaanku. Laki-laki yang selalu berhasil membuat kebahagiaan baru untukku. Dan juga Bram yang sudah memberikanku bunga abadi,” Aku menarik nafas. “Bram, aku disini. Dan aku tidak akan meninggalkanmu hanya karena kurangmu, tapi aku akan membantumu untuk melengkapi hal yang masih kurang itu. Aku memberimu kepercayaan sebelum kau pergi, seperti itulah aku mempercayaimu selama ini. Sebesar itu pula aku mencintaimu, B. Jangan semakin menyakiti hatimu dan dirimu, karena bukan hanya kau yang terluka, aku pun,” Aku meraih tangannya yang dingin. “Aku juga minta maaf, karena aku mengkhawatirkan kepergianmu, Bram. Seperti katamu beberapa hari lalu, kau akan selalu baik-baik saja selama denganku. Dan akan selalu seperti itu, sampai waktu yang tidak terhingga.”
Aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan air mata yang mulai mengalir dari pelupuk mataku. Air mata yang bercampur dengan kesedihan, kerinduan, dan rasa lega. Aku berdiri dan memeluk laki-laki yang kini mulai terlihat menghangat, dengan lembut.
“Bukan salahmu mengkhawatirkanku, Ev. Aku yang nggak bisa hati-hati,”
“Sshh~ nggak usah dibahas lagi ya. Dan satu lagi, jangan galak-galak lagi ya. Kasihan gelasnya kau pecahin semua,”kataku sambil bercanda.
Aku tidak membutuhkan penjelasan apapun dari Bram ataupun Rei atau dari siapapun yang memang tahu jalan ceritanya, yang terpenting bagiku aku melihat Bram dalam wujud utuh dari ujung rambut hingga kaki, meskipun kini memang ia harus duduk di kursi roda.
Tapi, pada akhirnya Rei memaksaku untuk mendengar ceritanya yang aku minta untuk dipersingkat. “Bram jatuh dari tebing. Ia tidak bilang padaku kalau badannya mulai terasa lemas. Kejadiannya setelah ia berhasil mengambil bunga abadi itu, Ev. Setelah kejadian itu kita semua mutusin untuk saat itu juga turun gunung dan bawa Bram ke rumah sakit. Kakinya luka parah. Dan ia memaksaku untuk tidak menghubungimu, tapi masih memaksaku untuk mengantarkan bunga itu dan ia inginnya kau yang menerimanya langsung,”
Thank you a lot, Rei,”kataku dengan pelan.
“Sama-sama, Ev. Yang penting sekarang Bram nggak desperate lagi. Setidaknya sekarang Bram mulai tersenyum meskipun aku nggak tahu apa yang kau ucapkan padanya. Jadi, aku juga harus mengucapkan terima kasih padamu juga, Ev,”
“Tante juga, Ev. Terima kasih ya.”kata Ibu Bram tiba-tiba muncul di belakangku.
Aku langsung berdiri dan langsung mendapat hadiah sebuah pelukan erat dari Ibunya.
Aku menemani masa rawat Bram sampai sebulan-dua bulan ke depan. Dokter masih belum tahu apakah ia bisa pulih atau tidak, karena kemungkinannya masih fifty-fifty. Tapi, aku selalu memberikan Bram rasa optimis. Aku selalu melarang teman-temannya yang datang berkunjung untuk bercanda yang membuat mood Bram down.
Mama dan Papa pun datang dengan tergopoh-gopoh ke rumah sakit saat mendengar kabar dariku. Sebelumnya mereka sempat shock saat mengetahui aku menghilang dengan Rei yang bahkan belum mereka kenali ini. Tapi, untungnya bibi memberitahu Mama kalau aku pergi karena ada urusan perihal Bram. Mereka langsung muncul di rumah sakit tidak lama setelah aku menghubungi mereka.
Dan terjadilah sesi kenal-kenalan antar keluarga yang bertemu di rumah sakit.

Selalu saja ada hal-hal yang tidak terduga, bukan?
Pertemuanku dengan Bram, dan serangkaian kejadian yang tercipta belakangan ini.
Aku masih sering tersenyum jika mengingat pertemuan awal kami yang seperti sinetron-sinetron di televisi saja.
“Ada sesuatu yang lucu?”tanya Bram yang saat itu sedang memangku gitarnya, di halaman belakang rumahku.
“Tidak. Tidak ada. Kenapa memangnya?”kataku.
“Tidak kenapa-napa. Ayo, kau menyanyi lagi, ya,”kata Bram sambil memposisikan gitarnya. Aku tersenyum lembut. Perlahan-lahan, Bram yang dulu mulai kembali. Meskipun sekarang, ia terlihat lebih dingin dengan orang-orang yang masih baru.
“Kau yang menyanyi, Bram! Masa aku?”ledekku.
“Ah, bilang saja kalau suaramu fals!”balasnya lagi.


Tanpa harus saling mengucapkan kalimat-kalimat yang berisi menjanjikan, diam-diam kami berjanji untuk akan selalu seperti ini. Lebih baik berjanji dalam diam, namun menunjukkan lewat tindakan. Lebih baik bukan? Daripada harus saling melontarkan janji yang pada akhirnya hanya akan dirusak dengan mudahnya, tanpa diberikan bukti sama sekali.

We will happily ever after.
Everything start from here and today.

Note from B to Mon Ange:
Everything will be fine as long as I’m with you, Ev. Always.

Note from Mon Ange to B:
You will. As always. And I’ll be here, for you, B.


Fin.