A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Kamis, 23 Oktober 2014

Teman Hidup


Dia itu sebenarnya sudah seperti saudara sendiri meskipun dari berbeda keluarga. Tapi, dia itu sudah seperti kakak, sahabat, dan juga seperti pacar. Seseorang yang selalu bisa aku andalkan, meskipun terkadang harus debat kusir yang pada akhirnya ia akan tetap mengalah padaku. Aku tersenyum sendiri jika mengingat setiap debat kusir kita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika sampai di hari aku sudah tidak bisa mengandalkanmu lagi. Selain tidak bisa, aku pun tidak berani. Sungguh.
Aku duduk sambil mengayunkan kedua kakiku yang menggantung diudara akibat tempat duduk yang terlalu tinggi atau mungkin aku yang terlalu mungil? Ah, positive thinking saja kalau memang tempat duduknya saja yang ketinggian. Tolong jangan tertawa. Kepalaku sesekali bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti irama lagu yang mengalir melalui earphone iPod.
“Sedang menunggu seseorang?”tegur seseorang, yang meski aku memakai earphone tapi suaranya sudah terasa familiar di telingaku.
Aku mendongak dan mendengus geli, “Aku menunggu bus. Kenapa?”
Ia terkekeh kecil. “Udah siap?”tanyanya sambil memberikan helmku yang aku letakkan diantara kami.
“Udah siap dari lama!”jawabku seraya memakai helm dan naik ke boncengan motornya.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di kampus tercintanya ini.
“Selamat pagi!”seruku pada dua orang penjaga parkiran yang biasanya memberikan karcis untuk mahasiswa yang akan parkir motor.
Mereka hanya geleng-geleng kepala. “Nggak ada boncengan yang lain selain pengeras suara ini, ya?”tanya salah satu dari mereka. Ia tertawa keras; aku langsung memukul helm belakangnya yang membuatnya mengaduh pelan. “Semangat ya, para bapak sekalian!”seruku sebelum motor hitam yang aku naiki ini melaju meninggalkan pos dan mencari tempat parkir yang masih kosong.
“Kelasmu selesai jam berapa?”tanyanya sambil merapikan rambut di kaca spion.
“Sebelum jam makan siang, makan siang bareng ya?”seruku sambil tersenyum lebar dan mengikat rambutku membentuk ekor kuda.
“Kau ini selalu membaca pikiranku. Ayo masuk kelas. Nanti kalau aku duluan selesai, aku tunggu di motor aja ya. Aku nggak mau –“
Aku tersenyum kecil saat memotong kalimatnya, “Ya, ya, ya. Aku tahu maksudmu. Aku pergi lebih dulu ya! Have a nice day!”seruku sambil melambai, meninggalkannya yang masih terpaku di parkiran motor. Seperti biasa. Setiap kali kami akan janjian untuk pergi setelah jam kampus selesai, pasti harus salah satu yang pergi duluan; dan biasanya itu selalu aku.
Ia selalu mencoba untuk menghindari adanya gosip di kampus tentang kami. Mengapa? Karena, gosip di kampus itu akan selalu ada yang menambah bumbu-bumbu penyedap. Makin digosok, makin sip. Mungkin seperti itulah pepatah perihal gosip, yang sebenarnya kebenarannya belum tentu benar itu.
Saat aku berbelok masuk ke pintu utama, seseorang berjalan disampingku. Aku langsung menoleh dan mendelik tajam, karena kaget. “Kok nggak bareng masuk kampusnya?”ledek temannya. Aku langsung mencubit kencang lengan atasnya, ia mengaduh sambil tertawa-tawa.
“Awas ya!” pekikku pada laki-laki yang aku cubit lengan atasnya itu.
“Aku duluan masuk kelas, ya,”katanya yang tiba-tiba sudah berada disamping kananku. Aku menoleh dan tersenyum lebar sambil menyemangatinya. “Ayo, ke kelas!”
Temannya yang dipanggil itu, yang disamping kiriku mencolek lengan atasku sambil tersenyum menggoda, “Aku duluan masuk kelas, ya,” Lalu meniru ucapannya yang barusan diucapkan.
“Hey!”teriak laki-laki dengan jambul pendek yang selalu ia rapihkan setiap kali melepas helm, sambil menyeretnya dengan lengan berada dilehernya.
 Mungkin sekarang pun gadis masa lalunya itu juga sudah tahu perihal kami.
Orang luar lingkaran pertemanan kami yang tidak tahu apa-apa mungkin berpikiran kalau kita ini bukan sekadar temanan, tapi yang lain. Kalian pasti tahu maksudku. Jika tidak, berarti pikiran kalian masih belum dewasa, dewasa yang benar-benar dewasa loh, ya. Pardon for my language. Berapa kali pun aku berkata kita hanya teman, berapa kali pun mereka tidak akan percaya. Jadi, aku memilih untuk membiarkan mereka melahap semua pikiran dan gosip-gosip itu.

#B
·         Udah selesai kelas?
·         Aku udah selesai, aku tunggu di parkiran ya.

Pesan darinya hanya aku baca tanpa aku balas sama sekali. Ponselku langsung aku masukkan ke bagian dalam tas sebelum memasukkan buku-bukuku ke dalam tas. Sebenarnya pesanmu masuk bersamaan dengan dosen yang mengakhiri pertemuan untuk hari ini.
Aku berjalan dengan sedikit cepat menuju parkiran motor. Dari kejauhan aku sudah melihat laki-laki berjaket hitam yang bisa aku kenali dari jarak sejauh ini tengah duduk bersandar di motor. Posisinya sudah siap untuk berangkat. Baru beberapa langkah aku menuruni tangga, aku melihatnya berbicara dengan seseorang.
Oh, gadis masa lalunya.
Perempuan itu terlihat berbicara serius, tapi ia menanggapi omongannya dengan tidak serius. Sepertinya aku terlambat, karena saat aku hendak balik badan, ia terlanjur melihatku lebih dulu. Dia memanggilku dengan suara yang sedikit kencang.
Aku mau tak mau langsung menghampiri mereka.
Aku memberikan senyum lebarku pada perempuan dihadapanku.
“Halo!”seruku dengan ceria. Perempuan dihadapanku hanya memandangku dalam diam, hanya sebentar kemudian ia hanya mengangguk samar ke arahku dan pamit padanya untuk pergi lebih dulu. Aku menatap kalian berganti-gantian dengan tatapan yang bingung. Laki-laki (sok) misterius ini  hanya mengedikkan bahu dan melempar helmku dengan pelan.
“Ayo berangkat. Aku udah lapar,”katanya sambil menyalakan motor dan mengeluarkannya dari parkiran. Aku langsung melompat naik ke boncengan dibelakang dan menyelipkan kedua tanganku ke dalam kantung jaketnya.
“Kita mau makan dimana nih?”tanyaku sambil menumpukkan daguku, sementara ia menyerahkan karcis yang tadi diberikan petugas.
“Wah, ada yang mau makan. Bisa dong kalau dibawain sekalian buat yang disini,” ledek petugas yang tadi pagi jaga. Aku hanya mendelik geli ke arahnya. Ia langsung menjalankan motor keluar dari area parkiran. Dan sekali lagi harus bertemu dengan rombongan teman-temannya yang tengah menunggu motor yang lain di trotoar parkiran.
Saat kami lewat, aku bisa merasakan laki-laki dihadapanku ini tengah terkekeh pelan karena teman-temannya langsung meledeknya.
Aku ikutan tertawa. Tertawa garing. Karena, beberapa temannya tidak aku kenali.
“Aku lagi ingin makan steak, bagaimana?”tanyaku.
“Oke, kita makan steak siang ini!” Laki-laki dihadapanku ini langsung tancap gas.
Sebenarnya aku ingin bertanya mengenai yang di parkiran tadi.
Tapi, bukan aku kalau aku tidak tahu tentang laki-laki ini. Lebih baik aku menunggu ia yang bercerita sendiri saja, kalau tidak ia pasti akan menjawab pertanyaanku dengan diam seribu bahasa, yang membuatku sebal.
“Aku mendadak ingin makan es krim,”kataku memelas.
“Ya ampun ini perempuan. Perut udah kayak perut laki-laki saja. Next time, ya. Jangan sekarang juga,”jawabnya dengan lembut.
Aku mencibir. “Next time kau itu belum tahu kapan pastinya,”kataku. Ia terkekeh pelan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi perihal ‘next time’.
Tak lama kemudian, pesanan kami datang.
Wangi steak di hadapanku ini yang berhasil mengalihkan pikiranku.
“Aku waktu itu pergi dengan kakak tingkatku waktu di high school,”katanya tiba-tiba. Aku yang tengah memotong daging ayam pun hanya diam. Untung saja aku bisa pura-pura sibuk dengan daging ayam didepan mataku ini.
“Kok diam?”tanyanya.
Aku mendongak dan bertabrakan dengan mata bulat yang dibingkai dengan bulu-bulu mata yang panjang dan lentik. “Tidak apa-apa. Aku hanya sedang berusaha memotong ayam ini. Oh, baguslah kalau kau masih berhubungan baik dengan kakak tingkatmu saat high school,”kataku sambil mengedikkan bahu dan kembali sibuk mengunyah ayam. Aku berusaha untuk menghindar dari padangan matanya yang menyelidik. Hanya memandang steak dihadapanku ini yang seperti akan menyantap berlian asli.  
Tidak ada angin badai, tidak ada hujan, ia tiba-tiba berkata, “Nggak perlu cemburu gitu,” yang membuatku langsung tersedak karena terkejut. “Astaga, makannya pelan-pelan!”gerutunya sambil memberikanku air yang langsung aku tenggak. Sebenarnya aku tahu kalau ia hanya bercanda saja, tapi mendengarnya bicara seperti tiba-tiba, malah membuatku terkejut.
“Ya lagian kau tiba-tiba bicara seperti itu,”jawabku sambil berdecak sebal. Ia pun tidak menjawab, hanya mengunyah daging yang sudah dipotong-potong sebelumnya.
Mau tak mau aku pun terdiam juga. Aku makan namun pikiranku seperti tidak ikut mengolah makanan yang tengah aku kunyah. Selama beberapa lama berselang itu hanya keheningan yang menyelimuti keberadaan kami.
Masih cukup banyak hal yang belum sanggup untuk bisa diolah saat ini, yang masih belum bisa untuk dipikirkan kembali. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana ia saat itu yang hanya meminta padaku untuk tidak lebih dari sekadar teman, ya itulah komitmen. Teman-temanku yang lain bahkan sampai berkata kalau kami terlalu hebat untuk berani mengambil keputusan untuk hanya berkomitmen sebagai teman saja yang hanya aku jawab dengan mengedikkan bahuku.
Aku menyesap teh hangatku, dengan bola mata yang menatapnya menunggu ia bereaksi yang sama sekali tidak aku dapatkan.
“Kau baik-baik saja?”tanyaku padanya dengan wajah yang bingung. Ia menatapku sambil tersenyum lembut.
“Iya, aku baik-baik saja. Kenapa?”tanyanya padaku. Aku menjawabnya dengan tersenyum lebar lalu menggeleng beberapa kali.
Lalu, laki-laki dihadapanku ini mulai bercerita bagaimana setengah hari yang barusan ia lewati di kelas, bagaimana mata kuliah yang ia ikuti, bagaimana dosen yang mengajar. Aku diam-diam mengulum senyum, aku senang saat ia mulai bercerita bagaimana harinya tanpa pernah aku minta.
“ – bagaimana harimu?”tanyanya sambil menopang dagunya dengan dua tangannya diatas meja makan.
Lalu, sekarang giliran aku untuk menceritakan bagaimana hariku yang berjalan datar-datar saja, tanpa ada yang spesial. Hari yang datar-datar saja sebenarnya.
“Kau pernah merindukan seseorang yang saat itu sedang bersamamu?”tanyaku tiba-tiba setelah aku selesai bercerita.
Laki-laki dengan alis tebal berwarna hitam ini mengerutkan keningnya dengan bingung. “Bagaimana bisa merindukan seseorang yang saat itu sedang bersama kita?” Ia bertanya balik.
Aku tersenyum, “Bisa. Kau mungkin suatu saat nanti akan merasakannya, dan saat itu kau akan tahu mengapa aku bertanya seperti ini.”kataku dengan lembut. Dia masih menatapku dengan tatapan yang kebingungan, seperti seseorang yang kehilangan jiwa. “Tidak usah kau pikirkan. Pertanyaanku tidak akan muncul di soal ujian tengah semester,”candaku. Ia mendesis pelan dan terkekeh.
“Pulang?”tanyanya. Aku menjawabnya dengan mengangguk dan bersiap-siap untuk pulang, sambil memeriksa barang-barang bawaanku juga dengan yang ada diatas meja. Aku berjalan cukup cepat untuk menyusulnya yang sudah berjalan menuju kasir. Begitu sampai di sampingnya, aku mendengus sebal. Laki-laki yang sering kali kepercayaan dirinya ini kelewat batas hanya mengedipkan sebelah matanya padaku dengan santai. Hanya soal bayar-membayar makanan saja kami bisa berdebat.
“Lalu, bagian aku kapan?!”gerutuku saat sedang diperjalanan pulang menuju tempatku.
“Kapan-kapan!”jawabnya sambil tertawa. “Aduh! Jangan cubit terus dong, kau tidak tahu kalau cubitanmu itu pedas?”katanya.
“Biarin!”
“Aku turunin disini ya?”
“Coba kalau berani!”
“Berani dong! Nggak ada ruginya kok,”
“Kok gitu?! Tega?!”
“Tega!”
“Jahat!”
“Biarin!”
“Bumi!”
“Apa?”
Ya kira-kira seperti itulah debat kusir kami.
Laki-laki ini bahkan sampai sudah tidak malu lagi jika saat sedang diperjalanan seperti ini aku berteriak. Sepertinya lama kelamaan ia mulai kebal meskipun awalnya ia sempat protes karena diperhatikan oleh yang lainnya dalam tawanya.
Harap maklum.
Ω
Terkadang memiliki hubungan pertemanan dengan yang berbeda jenis itu sering kali membuat orang-orang sekitar kita mempertanyakan hal tersebut, apalagi hanya benar-benar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Apakah akan berjalan dengan baik tanpa ada yang suka satu sama lain, atau akan gagal karena keduanya malah perlahan saling mencintai atau malah mungkin hanya salah satu dari dua. Itu yang sekarang aku pertanyakan. Siapa diantara kami berdua yang akan lebih dulu jatuh. Sekarang ini aku mulai paham mengapa ia memilih untuk membuat komitmen seperti ini; agar kami berdua bisa mengontrol perasaan kami masing-masing.
For your information saja, dia juga sering jalan dengan beberapa temannya. Seperti yang beberapa hari lalu ia katakan padaku kalau ia masih ada hubungan dengan kakak tingkatnya saat dia masih high shcool yang sudah lewat beberapa tahun lalu itu.
Terkadang, beberapa orang pun masih sering kali menengok ke masa lalu, ya? Seperti membuka lembaran lama yang sudah ditutup; yang sudah dilewati.
“Kau benar tidak ada apa-apa dengannya?”tanya temanku yang juga mengenalnya.
Aku menggeleng pelan. “Kenapa?”
“Berarti kalau begitu kau jangan menangis ya kalau tiba-tiba dia jadian dengan perempuan lain?”
Aku langsung terdiam saat itu juga. Aku merasa ditampar; ditampar oleh kenyataan. Dan hal yang barusan temanku ucapkan itu adalah kenyataan yang baru aku sadari beberapa detik yang lalu. Akan ada saatnya ia akan menjadi seseorang yang tidak bisa ada untukku seutuhnya, yang akan menjadi milik orang lain meski belum tentu untuk waktu yang lama, tapi...ya begitulah kira-kira. Aku akan sampai pada saat dimana aku sudah tidak bisa mengandalkannya, dan mau tidak mau aku harus siap.
“Baiklah, aku masuk kelas dulu ya!”katanya sekali lagi, lalu meninggalkan tempat ia duduk dan berjalan dengan santai menuju kelasnya.
Aku menatap kepergiannya dengan wajah tanpa ekspresi.
“Kau sedang memikirkan apa? Seakan-akan kau sedang berpikir untuk mengurus pernikahanmu aja,”candanya yang tengah bersandar ditembok.
“Sejak kapan kau disitu?!”kataku, setengah berteriak saking terkejutnya.
Ia hanya terkekeh. “Sejak nyawamu mulai keluar dari tubuhmu,”jawabnya dengan asal yang langsung aku hadiahi dengan satu cubitan pedas di lengannya.
“Mau kemana?”tanyaku.
“Hhmm, kemana ya?”tanyanya pura-pura berpikir. Aku mendengus sebal.
“Katakan saja kalau kau memang ingin langsung pulang. Tidak perlu pura-pura berpikir mau pergi kemana,”jawabku dengan santai.
“Tahu aja,”jawabnya.
“Sekarang aku tanya padamu, bagian mana yang belum aku ketahui tentangmu?”tanyaku menantang.
Ia menatapku dengan jahil, “Ada. Kau tidak tahu hari ini aku ada rencana apa,”jawabnya dengan enteng.
“Cih, pasti kau memang sudah ada janji dengan perempuan entah yang mana lagi hari ini. Iya kan?”kataku langsung. Ia terkekeh; yang berarti jawabannya adalah iya.
Aku menarik nafas sebentar lalu berkata, “Aku pulang duluan,” lalu langsung berjalan meninggalkannya yang langsung mengikutiku dari belakang. Diam-diam aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan.
“Hei, hei, sini aku antar,”katanya sambil berjalan disampingku.
“Kau bukannya ada janji?”tanyaku sambil menoleh kearahnya.
“Yang penting aku antar kau pulang dulu, nggak usah cerewet,”katanya dengan santai. Aku mendengus sebal kearahnya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku, “Tapi, seperti biasa ya?”katanya memelas.
Aku hanya mengangguk sekilas dan langsung berjalan lebih dulu menuju parkiran. Tapi, tidak semudah ini bukan berjalan meninggalkan masa lalu? Hehe.
Ω
“Aku ingin lihat sakura yang sudah mekar, Bumi,”kataku suatu hari di depan tempat tinggalku, saat sedang menyantap onigiri hangat bersama.
“Iya, nanti ya. Oke?”katanya sambil tersenyum lembut.
Aku langsung cemberut disebelahnya. “Kapan? Pas sakuranya udah gugur ya?”kataku sambil tertawa garing, dia malah tertawa senang karenanya yang membuatku semakin cemberut.
“Nah itu kau tahu kan, berarti...Aduh! Sakit tahu!”gerutunya sambil mengelus lengan atasnya yang kena cubitanku.
“Ya habisnya kau juga begitu kok,”kataku setengah merajuk.
“Iya, iya. Kita pasti pergi lihat sakuranya mekar kok. Kita lihat yang di Ueno Park aja ya? Kalau ke Miyajima itu kejauhan, masih harus naik feri. Tahun lalu juga kau sudah kesana, bagaimana?”katanya dengan pelan.
“Iya, nggak apa-apa kok. Kan aku udah pernah bilang, aku senang-senang aja selama denganmu. Tahun depan ke The Philosopher’s Path, ya?”kataku dengan bersemangat.
“Iya, tahun depan ya,”jawabmu dengan lembut.
“Terima kasih!”kataku sambil langsung memeluknya, ia hanya tertawa saat aku memeluknya. 
You are always welcome, dear,”jawabnya dengan sangat lembut dan balas memelukku. Rasanya hangat. Seperti berada dalam rumah sendiri; nyaman. Itulah yang selalu aku rasakan setiap kali ia balas memelukku.
“Tapi, kau harus janji kau tidak akan kecapaian. Karena kau tahu –“
“Siap, pak bos! Aku tidak akan kecapaian. Bagaimana kalau kita piknik saja?”kataku dengan bersemangat. Piknik dibawah pohon sakura yang tengah mekar itu salah satu kegiatan kesukaanku. Dan ia tahu dengan pasti. Sehingga setiap tahun ia akan mengosongkan jadwalnya untuk menemaniku piknik dibawah pohon sakura.
“Piknik?! Lagi?! Ya ampun. Dua tahun lalu kita piknik, tahun lalu kita piknik, tahun ini kita piknik, tahun depan piknik juga? Lama-lama aku membuatkanmu rumah dibawah pohon sakura saja kalau begitu,”ledeknya dengan garing.
“Kan setiap tahun beda tempat, beloved. Nggak semuanya ditempat yang sama. Ya?”bujukku dengan tatapan memelas. Kau mendengus geli.
“Selalu saja kalau kau mau membujuk, selalu dengan tatapan seperti itu. Iya, iya, piknik,” Saat aku hendak menjawab, ia langsung menyambung kalimatnya, “Iya, kita beli bahannya sama-sama,” Aku langsung tersenyum lebar.
Aku ingat di beberapa bulan pertama kami kenal, ia terkejut saat tahu aku tidak bisa kelelahan sama sekali, karena ia menemukanku subuh-subuh terbaring lemah di rumah sakit selepas acara tahunan universitas kami, dengan wajah yang sudah seputih kertas polos. Sejak saat itu, ia selalu melarangku untuk mengikuti kegiatan yang akan membuatku kelelahan.
Setelah aku pulih, aku langsung mendapat ceramah darinya, yang saat itu hanya aku jawab dengan wajah tujuh tekuk, saking sebalnya. Maka dari itu, setiap kali akan pergi piknik di bawah pohon sakura, ia selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu kecapaian kalau tidak mau dirawat di rumah sakit lagi karena drop.
“Aku hanya kelelahan dan kurang tidur, tidak usah sepanik ini,”kataku saat itu.
“Dan kurang minum, ingat juga bagian itu,”balasnya.
Entah sudah berapa kali dalam beberapa tahun belakangan ini aku sering keluar masuk rumah sakit tanpa sepengetahuannya. Kadang aku pergi check up saat ia sedang pergi liburan sebentar dengan keluarganya yang harus aku tolak berkali-kali dengan halus dengan berbagai alasan, padahal alasan utamaku adalah aku harus bedrest di rumah sakit atau minimal kontrol dengan dokterku. Aku hanya tidak mau ia panik saja. Lagipula kalau memang sudah benar-benar parah aku akan langsung menghubunginya.
“Kali ini aku yang masak ya!”katanya di pagi hari yang sejuk; di hari kami akan pergi piknik dibawah pohon sakura yang sedang mekar, pasti akan ramai sekali.
“Memang kau bisa memasak?”tanyaku dengan bingung.
“Bisa dong! Kau saja yang tidak tahu. Kau juga baru kali ini akan melihatku memasak. Jadi, kau sekarang duduk ruang makan dan tunggu aku selesai memasak disana,”katanya dengan enteng. Kali ini kami memasak dirumahnya! Ibunya sudah sering bertemu denganku. Pertama kali bertemu denganku saat ia membawaku ke rumahnya, karena saat itu tempat tinggalku sedang mati lampu dan ia tahu aku paling benci mati lampu, langsung bertanya padanya, “Sudah pacaran berapa lama sampai baru dibawa ke rumah sekarang?”canda ibunya. Kami sampai saling menatap dan terkekeh pelan, barulah ia menjelaskan pada ibunya yang saat itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Pasti Bumi mau sok-sokan bisa memasak, ya?”tanya ibunya yang tiba-tiba muncul di ruang makan.
“Iya. Memang bisa?”
“Bisa, tapi –“
“Ibu jangan membongkar rahasiaku!”teriaknya dari dapur. Ibunya langsung diam dan malah tertawa.
“Jadi kau sekarang mulai main rahasia-rahasiaan denganku?”jawabku sambil berteriak pula.
“Pokoknya kali ini rahasia. Titik! Ibu jangan nakal ya!”teriaknya lagi. Aku menghembuskan nafas dengan kesal. Ibunya langsung angkat tangan dan permisi keluar dari ruang makan.
Aku duduk di ruang makan menunggu hidangan yang ia masak sambil mengetukkan jari-jariku diatas meja dengan tidak sabaran. “Selalu ya, kau ini kalau tidak sabaran menunggu, jari-jarimu itu akan seperti itu. Nggak ada kebiasaan lain apa?”ledeknya sambil membawa beberapa piring.
“Biarin. Daripada kebiasaanku berubah jadi memikirkanmu kan lebih bahaya,”ledekku sambil mengambil masakannya.
“Kata siapa berbahaya?”jawabnya tiba-tiba tanpa menatapku.
Saat aku hendak menjawab, ibunya masuk ke ruang makan, “Wah, wangi sekali masakannya,”kata ibunya. Gagal sudah pertanyaanku yang selanjutnya. Diam-diam aku menggigit bibir bagian dalamku karena kalah cepat dari ibunya.
Ia sibuk menata makanan ke dalam Tupperware warna-warni yang lucu, sebagian milikku sebagian milik ibunya yang ia pinjam. “Kita jadi membeli sake?”tanyaku padanya sambil berbisik, padahal ibunya sudah pasti tidak mendengar karena setelah berhasil mengambil beberapa makanan, beliau langsung keluar dari ruang makan. Laki-laki ini hanya mengedipkan sebelah matanya padaku dengan jahil. Aku tertawa keras karenanya.
Aku tidak pernah merasakan yang namanya bosan selama bersamanya. Aku harap ia juga tidak. Aku ingat ia pernah berkata padaku di hari-hari terakhir musim dingin tahun lalu, “Dimanapun aku berada, apapun itu, aku akan selalu nyaman bersamamu.” Yang seketika itu juga langsung aku hadiahi satu pelukan erat, yang ia balas pula dengan pelukan erat.
“Kita berangkat sekarang?”katanya sambil membantuku memakai helm.
“Ayo!”seruku dengan bersemangat sambil naik ke boncengan dibelakang punggungnya. Seperti biasa tanganku langsung menyelipkan diri ke dalam kantung jaketnya.
“Kalau ramai bagaimana?”tanyanya saat sedang lampu merah.
“Tidak apa-apa. Kita kan hanya berdua saja, kita bisa masuk di sela-sela kok,”kataku dengan asal.
Ia langsung memukul pelan helmku,”Asal saja kau ini. Kau yang bisa masuk disela-sela, bagaimana aku?”katanya. Aku menjawabnya sambil tertawa, karena ia sudah harus kembali memperhatikan jalanan di depannya.
Dan benar saja. Saat sampai di Ueno Park, sudah ramai sekali dengan keluarga-keluarga kecil atau besar dan pasangan-pasangan yang datang. Ada beberapa turis yang sedang menikmati pemandangan pohon sakura yang mekar, juga ada beberapa remaja sepantaran yang datang bergerombolan dengan teman-temannya. Ia menoleh ke arahku dengan alis yang terangkat. “Tidak apa-apa! Kita pasti menemukan tempat! Ayo!”kataku dengan semangat yang tidak berkurang.
“Sudah aku duga,”jawabnya disela-sela tawa pelan.
Kami berjalan-jalan pelan di sepanjang jalan yang sudah disiapkan, dengan aku yang membawa keranjang piknik dan ia yang membawa tas kamera. “Cantik, ya?”kataku tiba-tiba.
“Iya. Kenapa?”
“Pasti anak perempuan yang diberi nama sakura itu pasti cantik,”gumamku sambil memperhatikan bunga-bunga sakura yang masih segar-segarnya. Laki-laki tinggi ini tertawa pelan, lalu mengusap lembut kepalaku. “Pasti. Seperti bunganya,”jawabnya pelan.
Setelah hampir setengah jam kami berjalan-jalan, akhirnya kami menemukan satu tempat yang tidak sempit tidak juga luas, jadi cukup untuk kami berdua menggelar kain piknik diatas rumput kering dan mulai mengeluarkan satu per satu makanan yang telah ia buatkan. Untung saja hari ini cerah; cerah tapi tidak panas padahal mataharinya bersinar dengan terang diatas langit Jepang hari ini. Syukurlah, jadi rencana kami tidak gagal.
Setiap tahun, kami tidak akan pernah melupakan satu minuman khas – sebenarnya aku yang tidak pernah lupa –, sake. “Kau jangan berani-beraninya membujukku untuk minum satu botol sake ya!”ancamnya. Aku langsung cemberut karena ketahuan rencana diam-diamku.
“Kalau kau merajuk, aku pulang saja. Biar saja kau disini,”ancamnya.
“Baiklah, baiklah. Aku menyerah,”jawabku sambil mengangkat kedua tanganku ke udara. Ia terkekeh pelan. “Selalu saja kalau sudah terpojokkan, pasti senjatanya seperti ini,”kataku.
“Dan itu selalu berhasil padamu, kan?”balasnya. Sekarang malah aku yang terpojokkan. Aku menjawabnya dengan cibiran kesal.
“Mendingan aku makan daripada dengar ancamanmu yang nggak mutu itu,”balasku lagi akhirnya dan mulai memakan masakannya.
Hari ini kami habiskan bersama dari pagi hingga matahari kembali ke peraduannya diujung bumi dan beristirahat. Bisa seharian seperti ini dengannya merupakan hal yang jarang bisa aku dapatkan, dan hanya bisa aku dapatkan setahun beberapa kali. Kami menghabiskan waktu bersama hanya dalam beberapa jam saja dan itu sering kali membuatku merasa kurang cukup. Jahat ya? Ya begitulah. Makanya karena kami hanya bisa menghabiskan waktu bersama itu hanya sebentar, aku memutuskan untuk mengabadikannya dalam bentuk video dan foto yang banyak. Contohnya seperti hari ini.
“Ayo, dadah-dadah ke kamera!”seruku sambil mengarahkan handycami ke arahnya yang tengah makan.
“Aku sedang makan malah mau kau rekam!”serunya dengan mulut yang masih penuh. Aku tertawa keras karenanya, melihat matanya yang membulat karena kaget sementara mulutnya sibuk mengunyah.
Kali ini handycam itu aku arahkan ke wajahku, “Halo, ketemu lagi dengan kami! Aku dan Bumi sedang piknik di bawah pohon sakura di Ueno Park! Tahun ini kami pikniknya di tempat berbeda! Ini salah satu kegiatan tahunan kami. Jangan iri ya! Buminya lagi sibuk makan nih, orangnya rakus,”kataku sambil mengarahkan kameranya ke arahnya yang masih sibuk mengunyah dan mengabaikanku yang sedang mengabadikannya.
Beberapa orang di sebelah menatap kami sambil tersenyum dan beberapa terkekeh melihatku yang sedang merekam sambil tiduran diatas pahanya yang sedang makan itu dan sibuk mengambil makanan. “Sisakan untukku, Bumi!”teriakku padanya sambil mendongakkan kepalaku. Ia cemberut lalu melepas peralatan makannya diatas Tupperware.
“Sini, sekarang giliranku!”katanya sambil mengambil alih handycam tersebut. “Halo! Pasti bosan melihat wajah perempuan satu ini nih yang paling sering muncul di rekaman, jadi sekarang giliran aku. Kami sedang di Ueno Park di bawah pohon sakura yang sedang mekar, ini acara piknik paksaan ala perempuan cerewet ini nih,”serunya sambil mengarahkan kamera ke arahku yang langsung dadah-dadah ke arah kamera sambil tertawa. “Piknik kali ini aku yang masak dong! Kemarin-kemarin dia terus yang masak, jadi sekarang gantian,”lanjutnya lalu mengarahkan kamera itu ke arah makanan yang sudah dibuka diatas kain piknik. “Sampai jumpa di acara piknik tahunan kami tahun depan!”katanya sambil tertawa lalu mengarahkan kameranya padaku yang kembali melambaikan tangan ke arah kamera.
“Sekarang foto!”pekikku dengan bersemangat mengambil tripod dari dalam tasnya dan meletakannya di depan kami.
Aku selalu menikmati saat-saat seperti ini dengannya. Bagiku, saat-saat kami ini selalu berharga, karena aku maupun ia tidak akan bisa mengulangnya kembali. Tapi, kami bisa membuat yang lebih baru lagi. Pastikan saat-saat terpentingmu itu bersama dengan seseorang yang benar-benar kau sayangi agar semakin terasa nilainya. Jangan membuat waktu yang bagimu penting dan berharga itu terbuang sia-sia. Waktu itu mahal harganya, dan tidak bisa kau bayar untuk mendapatkan lebih ataupun menjadikannya milikmu sendiri.
“Bumi, pohon sakuranya boleh dibawa pulang?”kataku tiba-tiba saat sedang rebahan disampingnya sambil memandang pohon sakura diatas kami.
“Hush, ngasal. Mana boleh. Lagian, kenapa mau dibawa pulang? Tiap tahun juga kita bakal lihat sakuranya mekar kok,”jawabnya dengan lembut.
“Soalnya, sakura itu kan bukan bunga abadi, seperti edelweis. Kita nggak bisa melihat bunga sakura terus menerus setiap hari karena bunganya hanya mekar setahun sekali, itu pun untuk waktu yang tidak lama, apalagi prosesnya untuk mekar itu lama sekali. Sama kayak kita juga kan, Bum? Kita juga hidup hanya sebentar, tapi proses kita juga panjang dan sering bikin capai. Aku saja –“ Kata-kataku terpotong karena sedetik kemudian ia menarikku ke dalam pelukannya.
“Nggak perlu untuk dilanjutkan lagi, ya. Sekarang dinikmatin aja dulu mumpung tahun ini sakuranya sedang mekar dengan bagus, lebih bagus daripada tahun-tahun sebelumnya,”katanya dengan sangat lembut. Aku rebahan disampingnya dengan tangan kanannya yang melingkari pundakku.
“Iya, Bumi,”jawabku sambil tersenyum, meskipun ia tidak melihatnya.
Ω
Kau tidak akan tahu satu atau beberapa bulan kemudian apa yang akan terjadi denganmu.
Kau tidak akan tahu satu menit kemudian apa yang akan terjadi denganmu.
Sekarang saja kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi denganmu nanti, bukan semenit nanti, bukan lima menit nanti, bukan pula satu atau dua bulan nanti. ‘Nanti’nya itu seperti gambar para pelukis abstrak. Terkadang, masa depan kita sendiri berada di area abu-abu; yang tidak kita ketahui dengan jelas dan pasti akan seperti apa, seperti rahasia antar perempuan saja sebenarnya.
Aku pernah membaca, hidupmu itu seperti menerima sekotak coklat. Kau tidak tahu rasa coklatnya itu, kau tidak akan tahu seperti apa coklat itu sampai akhirnya kau sendiri yang mencobanya. Kau tidak akan tahu seperti apa hidupmu sampai akhirnya kau sendiri yang merasakan dan menjalaninya.
Jalani saja, itu sudah menjadi jalan cerita kita. Jalan cerita setiap orang itu berbeda-beda. Kecuali, sebuah pasangan. Jika memang jalan cerita mereka sama, meski di pertengahan cerita ternyata berbeda, di akhir cerita mereka akan bertemu kembali dengan berbagai jalan yang memang sudah direncanakan oleh semesta dan pemilikNya.
Aku tidak ingat tepatnya kapan aku mulai merasakan pusing yang tidak ada selesainya. Aku rasa ini karena efek musim panas yang terlalu menyengat saja. Aku memang tidak bisa berada dibawah panas terik. Kami memang sudah memasuki bulan-bulan musim panas. Sejauh ini aku selalu berhasil menyembunyikan sakit kepalaku darinya, karena sebentar lagi ia harus berkunjung ke rumah neneknya di luar negeri, selama kurang lebih dua minggu. Apalagi ini sudah mulai masuk libur musim panas.
“Nanti bawakan aku oleh-oleh yang banyak ya!”seruku padanya saat sedang menemaninya bermain game di rumahnya.
“Ah, malas! Kau ini bikin kerjaan saja buatku, aku kan lagi ingin santai-santai,”jawabnya dengan tak acuh.
Aku mendorong bahunya dengan tanganku, “Halah, kau ini sekarang bilang begitu. Lihat saja nanti saat kau pulang. Percaya saja padaku, meskipun kau tidak mau membelikanku oleh-oleh, pasti Ibu akan menyuruhmu untuk mencarikan oleh-oleh untukku!”jawabku sambil tertawa cukup keras. Ia mencibir dengan keras, karena ia tahu kata-kataku benar semua.
Acara kunjungan keluarga ke rumah nenek mereka memang sudah tradisi dari sejak ia kecil saja memang sudah diharuskan untuk sering-sering mengunjungi nenek mereka yang masih segar bugar sampai sekarang, malah sedang asyik-asyiknya membuat kue. Jadi, sudah bisa aku pastikan saat keluarganya kembali ke Jepang, rumah ini akan dipenuhi dengan segala macam kue dari neneknya.
Laki-laki yang senang sekali bermain game ini, memang sudah dekat dengan neneknya. Karena sejak kecil, sudah dijaga oleh neneknya. Jadi, kalau dia tidak ikut mengunjungi rasanya ada kurang. Aku pernah beberapa kali diajak olehnya dan Ibunya, tapi selalu aku tolak dengan halus. Selain karena aku memang harus kontrol ke rumah sakit, aku juga merasa tidak enak dengan neneknya, ini kan acara keluarga mereka, ya walaupun neneknya sudah pernah bertemu denganku beberapa kali saat berkunjung ke Jepang, bahkan sampai memintaku untuk menemaninya pergi dengan cucu laki-lakinya ini. Tapi, ya lagipula, aku juga hanya teman dekatnya, meskipun ibunya berkali-kali berkata kalau aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, orang tuaku memang tidak tinggal di Jepang.
Aku membiarkannya bermain game sampai pantatnya itu setipis kertas, sementara aku sibuk membaca novel, ditemani secangkir coklat hangat yang ia buatkan. Hari ini ia memintaku untuk menemaninya dirumah, karena ibunya ada urusan. Sementara adik laki-lakinya itu sudah sibuk keluyuran dengan teman-teman sekolahnya dari sebelum jam makan siang.
“Pantatmu sudah setipis kertas belum?”ledekku dengan tak acuh tanpa menatapnya.
Sedetik kemudian, aku dikirimi bantal olehnya lewat satu kali lemparan. “Enak saja sudah setipis kertas! Nggak akan ada dalam sejarah punyaku seperti punyamu!”balas ledeknya. Kali ini bukan bantal yang melayang kearahnya, tapi cap lima jariku yang melayang ke punggungnya.
“Kau ini!”serunya sambil mendesis. “Fisiknya perempuan, ternyata raganya laki-laki,”sambungnya dengan nada meledek. Diam-diam aku tertawa. Kali ini sakit kepala itu menyerang kembali, rasanya seperti ada banyak jarum yang menusuk-nusuk kepalaku.
“Kau sudah lapar memangnya?”tanyanya.
“Belum kok, sebentar lagi saja. Kau selesaikan dulu satu game, lalu kita makan,”kataku sambil berusaha menetralkan kembali sakit kepalaku.
“Baiklah,”jawabnya, “Ngomong-ngomong, kau yakin tidak mau ikut denganku ke rumah nenek? Setiap kali melihatku, kau yang pertama kali beliau tanyakan. Bukannya menanyakan kabarku, malah menanyakan kabarmu,”jawabnya.
“Oh ya? Berarti sebenarnya aku ini cucu nenekmu, bukan kau,”ledekku.
“Ada-ada saja kau ini. Sudah, ayo makan. Gamenya bisa aku paused,”katanya sambil berdiri dan menarikku berdiri dari sofa malas lalu menarikku menuju ruang makan, lebih tepatnya menyeretku.
Tidak ada yang lebih nyaman selain berada bersama dengan orang yang kau sayangi.

Hari ini, seminggu setelah aku menemani ia dirumah, tepat hari keberangkatannya. Aku ikut mengantarnya dan keluarganya ke bandara yang berjarak hampir setengah jam dari tempatku tinggal. Aku melambaikan tanganku ke arahnya yang sudah masuk ke dalam gedung keberangkatan. Aku masih menunggu di bandara sampai aku mendengar pemeberitahuan kalau sudah waktunya boarding, yang berarti sudah tidak lama lagi pesawatnya akan berangkat barulah aku kembali ke tempat tinggalku.
Ya setiap musim panas memang aku harus menyesuaikan diriku dengan ketidakhadirannya disini. Rasanya tidak pernah mudah harus merelakan orang yang kita sayangi itu pergi, bukan? Padahal ia hanya pergi dua minggu untuk kunjungan ke rumah neneknya. Dan di hari pertama ia pergi saja, aku sudah ingin pergi mencarinya. Konyol sekali.
Sambil menunggu kabar darinya kalau sudah sampai, aku meninggalkan ponsel dalam keadaan hidup tergeletak diatas nakas disamping tempat tidurku dan pergi tidur. Biasanya, kalau aku tidak menjawab pesannya, ia akan langsung menelepon. Jadi, bisa saja aku akan terbangun saat ia menelepon untuk mengabariku.
Aku jadi ingat kejadian semalam saat ia mengantarku pulang, ia membiarkanku memakai jaketnya, malah ia menyuruhku untuk membawa pulang jaketnya,”Jaketnya kau bawa pulang aja. Nanti saat aku pulang ke Jepang baru kau kembalikan lagi. Jangan sampai kotor ya!”katanya mengingatkanku. Aku langsung tersenyum lebar.
“Siap, bos!”jawabku dengan senang. “Sini peluk dulu,”ujarku, seperti biasa setiap kali ia akan pulang.
Ia langsung melebarkan kedua tangannya, menyambutku dengan pelukannya yang selalu aku rasakan seperti berada di sebuah rumah. “Hati-hati ya!”seruku saat ia menggas motornya, dan menghilang dibelokan jalan.
Baru kali ini ia seperti itu, membiarkanku membawa pulang jaketnya. Kalian jangan bertanya ya akan aku cuci atau tidak, karena sudah pasti jawabannya adalah tidak akan. Hehe.

Tengah malam aku terbangun dengan sakit kepala yang semakin menusuk-nusuk lagi. Rasanya aku ingin menangis berteriak saking sakitnya yang tidak tertahankan ini. Aku berjalan dengan tertatih-tatih menuju kamar mandi yang untungnya berada di dalam kamarku juga. Begitu aku hendak cuci muka, seseuatu yang berwarna merah pekat jatuh ke permukaan wastafel. Seketika itu juga badanku langsung terasa lemas. Seingatku, aku tidak kecapaian berapa hari ini, aku lebih banyak bergerak ditempat.
Sekembalinya aku dari kamar mandi, aku buru-buru meraih ponselku diatas nakas dan menekan speed dial.
“Dok, rasanya semakin tidak karuan...saya –“ Aku tidak sempat melanjutkan kalimatku karena hal berikut yang aku ingat adalah penglihatanku menggelap dan teriakan pengurus rumah yang kaget menyebut namaku, sebelum akhirnya aku terjatuh diatas lantai kayu kamarku.
Ω
Pada akhirnya, siapapun yang menyimpan dan menyangkal perasaannya sendiri memang harus mengakui pada diri sendiri dan semesta juga pada pemilikNya yang bahkan sebelum diakui pun sudah mengetahuinya. Tapi, selalu ingat, bahwa di semesta ini banyak hal yang tercipta bukan untuk dimiliki; ada yang tercipta hanya untuk dilihat saja tanpa bisa dimiliki. Memiliki pun tidak akan pernah bisa seutuhnya, karena suatu waktu bisa diambil darimu tanpa kau duga-duga. Menggenggam orang yang kita cintai itu jangan seperti menggenggam pasir di dalam tanganmu, yang jika terlalu erat maka pasir itu akan berjatuhan melalui celah-celah jemarimu; namun jika tidak kau genggam terlalu erat maka pasir itu akan bertahan diposisinya di atas telapak tanganmu.
Bukankah seperti itu? Bagiku, ya.
Jika pada akhirnya aku harus mengakui dan tidak bisa mengelak lagi, maka cukup aku dan semesta saja yang tahu. Ia tidak perlu mengetahuinya. Mungkin, memang sudah seharusnya dari lama aku mengakuinya pada diriku sendiri, tapi aku selalu berusaha mengelak untuk tidak mengakuinya. Akan selalu muncul rasa kehilangan saat ia pergi setiap kali ia pulang sehabis mengantarku, aku selalu membutuhkan waktu setiap kali bersama dengannya seakan-akan waktu itu berputar terlalu cepat.
Mataku mulai terbuka perlahan-lahan. Aku harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya lampu yang menyala. Seingatku, kamarku tidak seterang ini saat aku tinggal tidur.
“Bagaimana keadaanmu?”tanya sebuah suara yang sudah familiar di telingaku.
Aku mengerutkan keningku dengan bingung, mataku menoleh ke sumber suara. “Bumi?”ucapku dengan ragu-ragu.
“Aku disini,”jawab suara itu sekali lagi.
“Sejak kapan kau disini?”tanyaku dengan heran.
“Sejak beberapa jam setelah kau meneleponku semalam,”jawabnya. Aku tidak menemukan kelembutan disana, didalam kalimatnya.
“Aku meneleponmu? Kapan? Tidak, aku menelepon...astaga! Berarti aku salah menekan speed dial!”seruku pelan, “Maaf,”gumamku.
Ia menarik nafas dan menghembuskannya. Dari mimik wajahnya sudah bisa aku terka, kalau suasana hatinya sedang tidak baik saat ini.
“Kau sudah merasa lebih baik?”tanya dokterku setibanya disamping tempat tidurku, yang baru aku sadari kalau aku diatas tempat tidur rumah sakit.
“Sudah,”jawabku pelan.
“Jangan berbohong lagi padaku. Wajahmu masih seputih kertas, sayangku,”jawab dokter itu sambil menggoyangkan satu jarinya. Seperti sedang melarang anak kecil.
“Sudah aku bilang dari awal, kau memang sudah harus di rumah sakit. Aku sudah memberikanmu perpanjangan waktu untuk hidup santai di luar rumah sakit, tapi kau malah melebih-lebihkannya, jadi...ehm, sepertinya aku bicara terlalu banyak,”katanya dengan nada suara tidak enak, karena melihatku memberi kode padanya karena disini sedang ada dia yang mendengarkan dengan serius.
“Tidak apa-apa, Dok. Perempuan yang susah dikasih tahu ini memang selalu tidak mau menceritakan apa-apa. Selalu saja alasannya karena kecapaian dan kurang darah,”jawabnya dengan datar. Aku yang hendak menyela, langsung mengatupkan bibirku rapat-rapat.
“Lebih baik, kau tunggu persetujuan darinya saja untuk mendengar lebih lanjut. Karena, perempuan yang kuat ini punya alasan kenapa ia tidak ingin kau maupun orang lain mengetahuinya,”jawab dokter itu dengan diplomatis, namun menjawabnya dengan lembut.
Aku merasakan tatapannya menatapku dengan pandangan aku-minta-dijelaskan-sekarang, aku langsung mengalihkan wajahku darinya. Ya, aku memiliki alasanku sendiri mengapa aku tidak ingin ia maupun orang lain tahu. Cukup keluargaku dan pengurus rumahku saja yang tahu, karena beliau yang mengurusku dan mengingatkanku untuk tidak lupa minum obat.
“Ingat, kau sudah tidak saya izinkan untuk meninggalkan rumah sakit lagi. Batas amanmu untuk keluar hanya sampai di lingkungan rumah sakit. Kalau begitu, saya permisi keluar, kalau ada apa-apa silahkan menekan tombol diatas kepalanya,”kata dokter tersebut dan keluar bersama dengan perawat perempuan yang mengangguk dengan sopan ke arah kami.
“Jadi, kau masih belum mau menceritakannya padaku?”tanyanya begitu pintu kamar rawatku tertutup.
“Iya,”jawabku dengan tegas.
“Baiklah, semoga lekas sembuh,”katanya dengan singkat namun sarat akan kesedihan yang disembunyikan dibalik nada tegasnya. Setelah itu ia bangkit berdiri dari kursinya, membungkukkan tubuhnya kearahku dan mencium puncak kepalaku dengan lembut, dan berlalu begitu saja. Aku hanya diam saja, tidak menjawab atau memberikan reaksi apapun padanya sampai pintu kamar rawat inapku terbuka dan tertutup dengan sendirinya.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan. Aku tahu mengapa ia bersikap seperti itu barusan, ia sebenarnya ingin marah padaku karena aku menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi, disisi lain ia juga tahu kalau aku memiliki alasan sendiri mengapa aku seperti ini. Pengurus rumahku datang membawakanku makanan dan baju-baju ganti yang langsung ia rapihkan di dalam lemari rumah sakit.
“Tadi, Bumi dari sini?”tanyanya dengan sopan sambil merapihkan tempat makan yang beliau bawa.
“Iya, Bumi marah sama aku karena aku nggak beritahu dia soal ini, aku selalu bilangnya kalau aku emang kecapaian dan kurang darah,”jawabku dengan lemah.
“Bumi pasti mengerti kok,”jawab beliau dengan lembut. “Ayo, makan dulu. Nanti malah lemas lagi,”kata beliau sambil menyuapiku makan.
Baru kali ini aku melihat laki-laki yang selama ini aku kenal tidak pernah menahan marah, malah sekarang melakukannya. Biasanya ia akan selalu mengatakannya jika ia memang tidak suka atau dia marah, langsung ke orang yang bersangkutan. Tapi, ia tidak akan pernah memendamnya seperti ini. Aku mengunyah makanan yang disuapi pun seperti robot.

Aku menekan speed dial yang langsung tersambung ke nomornya, deringan kedua aku mendengarnya menjawab, “Halo, kau baik-baik saja?”tanyanya, terdengar nada panik disuaranya.
Aku terkekeh pelan, “Iya, aku baik-baik saja. Hanya saja aku masih di rumah sakit, kau masih marah padaku?”tanyaku to the point.
Ia terdiam beberapa detik. “Setengah jam lagi aku sampai disitu. See you there,”jawabnya. Aku mengerutkan keningku. Aku bertanya apa, ia jawabnya apa. Kebiasaan.
Pernah aku bertanya padanya, “Kau sedang sibuk?”
“Tidak, aku hanya sedang bermain game di rumah, kenapa?”
“Aku ingin pergi ke supermarket untuk beli buah-buah, tapi kalau sedang main game, nanti saja,”kataku.
“20 menit lagi kau tunggu di luar dan sudah siap, ya!”jawabnya yang saat itu juga sambungan teleponnya langsung dimatikan.
Tepat setengah jam dari aku meneleponnya itu, ia sampai di kamar rawat inapku. Ia mengambil posisi duduk disampingku.
“Kau kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”tanyanya, membuka pembicaraan dan langsung ke intinya. Just so you.
“Sudah 3 hari kau tidak mampir,”jawabku dengan wajah polos.
Ia tertawa sebentar, lalu menjawab, “Tidak. Aku hanya marah pada diriku sendiri yang tidak lebih peka padamu,” Aku terkejut mendengar jawabannya. “Sebenarnya, aku tidak ikut dengan keluargaku pergi menemui nenek. Aku tahu kau akan menunggu sampai ada pemberitahuan soal boarding time pesawatku barulah kau pulang, jadi aku menunggumu pulang, barulah aku pulang juga,”lanjutnya.
“Kenapa kau begitu?”kataku dengan kerutan dikeningku yang tambah dalam.
“Karena, aku melihat wajahmu yang sudah pucat saat itu. Aku hanya tidak mau tidak ada saat kau sakit. Penerbangan dari tempat nenekku kembali kesini itu membutuhkan waktu yang tidak lama. Tenang saja, aku sudah menjelaskan pada nenek, pada Ibu dan pada keluarga yang lainnya alasan kenapa aku pergi ke rumah neneknya menyusul. Aku akan menunggumu sembuh, paling tidak sampai kau sudah tidak perlu tinggal di rumah sakit, barulah aku bisa pergi menyusul ke rumah nenek,”katanya.
Sudah terkejut, tersentuh pula; itulah aku saat ini setelah mendengar penjelasannya.
“Aku tidak memintamu untuk menjelaskan apa yang terjadi, aku cukup berada disampingmu saat sakit saja sudah tidak  apa-apa. Bukannya, seorang sahabat begitu?”katanya lagi. Membuatku seperti dijatuhkan oleh kenyataan.
Aku hampir lupa kalau kami hanya sebagai teman dekat; atau kata lainnya, sahabat.
Aku memaksakan senyum tipis, “Terima kasih,”gumamku.
You are always welcome, dear,”balasnya. “Ah, aku harus menjemput seseorang di lobby. Aku akan segera kembali,”katanya lagi, sambil keluar dari kamar rawatku dengan terburu-buru.
Aku mati-matian menekan perasaan penasaranku perihal siapa yang akan ia jemput di lobby rumah sakit. Untuk mengalihkan pikiranku, aku berusaha tenggalam dalam novel yang tengah aku baca sebelum ia datang.
Pintu kamar rawatku terbuka pelan, aku pun mendongakkan kepalaku dari buku yang aku baca. Mataku menemukannya sedang bersama dengan perempuan masa lalunya. Gigi-gigiku langsung secara otomatis menggigit bibir bagian dalamku, entah untuk apa. Sepertinya untuk menahan supaya aku tidak menangis? Sepertinya, iya.
“Hai, maaf aku baru bisa mengunjungimu sekarang. Aku menunggu diundang oleh Bumi untuk menjengukmu. Ini, aku bawakan buah-buahan kesukaanmu. Ini juga aku tahu dari Bumi,”katanya dengan lembut sambil menyentuh lenganku yang tidak diinfus.
Perempuan masa lalunya itu membawakanku parsel buah yang berisi beberapa buah jeruk, apel, semangka, dan...ya ampun aku hampir tertawa keras jika tidak ingat sakit kepalaku yang bisa muncul tiba-tiba, karena menemukan beberapa buah alpukat di dalam parsel.
“Aku yakin sekali, ketika kau pulang, ia pasti akan langsung minta alpukat itu untuk dijus. Tidak akan sampai lebih dari sehari, alpukat itu pasti sudah habis untuk dijus,”katanya pada perempuan masa lalu, yang membuatku langsung terkekeh pelan.
Kami mengobrol sebentar, mungkin sekitar setengah jam. Lalu, perempuan masa lalunya pamit untuk pulang karena sudah hampir sore, “Aku permisi pulang ya. Semoga lekas sembuh, jadi nanti selesai liburan sudah bisa masuk kuliah lagi. Selamat sore,”katanya dengan lembut dan sopan.
“Terima kasih. Hati-hati di jalan,”kataku sambil melambaikan tanganku pelan.
“Aku mengantarnya turun dulu, ya,”kata Bumi, lalu mengekor dibelakang perempuan tersebut.
Saat mereka sudah keluar, aku menghembuskan nafas panjang. Seakan-akan sedari tadi aku tidak bernafas melainkan hanya menahan nafas. Pada akhirnya, buku itu hanya tergeletak terbuka diatas pahaku, tanpa aku lanjut baca padahal sebentar lagi novel itu sampai di endingnya.
“Jadi, udah mau dijus alpukatnya?”katanya tiba-tiba membawa blender. Aku langsung tertawa keras begitu melihatnya membuka pintu dengan susah payah karena dua tangannya sibuk membawa blender.
“Untuk menghargaimu, baiklah. Silahkan kau jus alpukat itu. Tapi, jangan semua!”seruku dengan wajah yang mengancam.
“Halah, kau ini mau mencoba wajah seram nggak akan ampuh di aku. Wajah serammu seperti itu lebih ke kayak wajah anak anjing minta makan,”ledeknya sambil mengibaskan tangannya diudara.
“Lucu dong berarti?”kataku dengan wajah yang diimutin.
“Khusus untukmu, nggak!”
“Hih, jahat banget!”balasku.
“Mau aku bikin jus alpukat nggak nih?”ancamnya.
“BUMI!”pekikku saking kesalnya. Dan ia hanya tertawa karena selalu berhasil mengancamku.
Ω
Musim panas kali ini terasa lebih panjang, karena tidak ada kegiatan yang harus aku kerjakan, selain diam diatas tempat tidur lalu diperiksa oleh dokter, mulai membaik atau malah memburuk. Bisa saja, diluar terlihat baik-baik saja, tapi tidak ada yang tahu dengan bagian dalamnya.
“Jendelanya tolong dibuka semuanya aja ya,”pintaku pada pengurus rumahku.
“Tapi, di luar sedang hujan,”jawabnya ragu-ragu.
“Nggak apa-apa. Hujannya yang penting nggak masuk kesini,”jawabku. Beliau langsung membuka jendela-jendal persegi empat modern itu. Perlahan bau jalanan kering yang dibasahi oleh air hujan mulai menguar dan bercampur diudara, aku menarik nafas dalam-dalam dan merasakannya. Baunya itu khas, kebanyakan orang tidak suka dengan bau ini, tapi entah mengapa aku menyenanginya. Seringkali orang bilang bau hujan itu aneh. Ya  memang sih setiap orang berbeda-beda kesukaannya.
As always, padahal aku baru aja mau ngasih tau kalau diluar sedang hujan. Mau turun?”katanya sambil menawariku kursi roda. Aku dengan bersemangat mengangguk, mengiyakan tawarannya. Ia membantuku pindah ke kursi roda, sementara botol infusku digantung digantungannya dekat lenganku.
Kami turun menuju taman belakang rumah sakit yang lumayan sepi.
Kami duduk sejajar, kami duduk di bangku taman rumah sakit yang tidak kena hujan, kursi roda itu dibiarkan kosong disamping bangku kami.
Duduk diam. Ia membiarkanku menyerap bau khas hujan yang hanya sebentar saja.
Ya, bau khas hujan itu hanya sebentar. Hanya seliwat. Apalagi bau hujan bercampur dengan angin yang bisa pergi kapan saja. Makanya aku selalu menikmati awal-awal hujan turun, dimana aku bisa mencium wangi khasnya.
“Sudah? Wanginya udah mulai hilang,”katanya, tepat sebelum aku membuka mataku.
“Iya, rasanya aku ingin menyimpannya dalam botol,”jawabku ngawur. Ia tertawa.
Tiba-tiba ia menarik tangan kananku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya merogoh ke dalam saku celana jeans biru belelnya.
Look at this, girl,”gumamnya sambil meletakkan huruf-huruf scrabble diatas telapak tanganku. Ia mengatur huruf L, V, dan E.
Aku mengerutkan kening, bingung, “’O’nya kemana?”tanyaku dengan polos.
Ia terkekeh pelan. Lalu, tangannya merogoh sekali lagi ke dalam saku celana jeansnya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru biru dongker, ia membukanya lalu menatapnya sebentar. Sebuah cincin sederhana dengan mutiara yang tidak berlebihan menjadi penghiasnya, lalu kotak mungil itu ia letakkan disamping scrabble L, diatas huruf E, diatas telapak tanganku.
“Bumi,”panggilku dengan ragu-ragu. Aku menatapnya dan ia balas menatapku. Dan aku menemukan keseriusan di matanya.
“Itu ‘O’ yang kau cari,”katanya dengan serius. “So, should I help you? Oh, with my pleasure I will help you,”katanya.
“Masa aku harus pakai sendiri?! Bumi, tolong ya jangan merusak suasana ini!”pekikku sambil tertawa keras diselingi air mata bahagia yang keluar dari sudut-sudut mataku. Ia mengambil cincin itu dari atas telapak tanganku dan menarik jari tengahku dan menyelipkannya disana.
I don’t need to say something about my feeling, right?”katanya.
No, you don’t need. Thank you for your little surprise, but this is so meaningful,”kataku dengan tersenyum. Ia merentangkan kedua lengannya, mengundangku untuk masuk ke dalam pelukannya yang langsung aku sambut dengan senang hati.
Sebenarnya aku tidak menyangka untuk hal yang satu ini.
Ini terlalu diluar dugaan bagiku.
Tapi, biar bagaimanapun aku benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata olehnya.
Sambil merasakan udara hujan, diam-diam tangan kami saling bertautan. Meskipun, tangan kami sering saling bertautan, tapi itu hanya disaat-saat penting seperti saat kami akan menyeberang saja. Sehingga kali ini, rasanya berbeda dari yang biasanya.
Selama aku dirawat di rumah sakit, ia selalu ada disampingku untuk menemani dan selalu siap siaga. Belakangan ini jemariku tidak berhenti-berhenti memainkan cincin sederhana yang terlihat pas di jariku ini.
“Kau bisa tahu darimana ukuran jariku?”tanyaku di satu hari, saat matahari masih senang-senangnya bertengger diatas langit Jepang di bulan musim panas.
“Jadi, kau tidak menganggap kita pernah gandengan tangan sebelum ini?”balasnya, dengan nada yang terhina.
Aku tertawa keras. “Ya aku anggap, tapi yang aku bingung itu kenapa bisa pas,”jawabku.
Ia hanya tersenyum tipis, dan tanpa memberikan jawaban yang lengkap padaku, “Aku kan selalu tau tentangmu,”jawabnya dengan lembut.
“Berarti kau tahu sampai ukuran pakaian dalamku dong?!”pekikku kaget.
Wajahnya langsung cemberut, “Ya bagian itu mana mungkin, kau ini ada-ada aja,”gerutunya masih dengan wajah yang cemberut. Aku terkekeh malu.
Ya kira-kira begitulah keseharian kami sepanjang hari.
Ada hal yang paling lucu bagiku, adalah saat-saat kami duduk berdampingan, telinga kami tersambung dengan earphone yang sama, dan kami membaca buku yang sama. Seringkali ia ikut membaca novel yang tengah aku baca.
“Apapun yang kau rasakan, bilang ya sama aku. Jangan dipendam sendiri, okay?”katanya tiba-tiba saat sedang mendorong kursi rodaku menuju kamar rawatku.
“Kau kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?”tanyaku bingung.
“Aku hanya nggak mau, kejadian kau jatuh seperti kemarin-kemarin itu terjadi lagi,”jawabnya dengan tegas.
“Iya, pasti aku bilang kok,”jawabku dengan lembut. Itulah mengapa dulu aku sering kali menahan beberapa informasi darinya, karena ia seperti ini.
Hanya hal kecil seperti itu saja sudah sanggup membuat aku tersentuh. Hah, memang susah jika memiliki perasaan yang terlalu sentimentil seperti ini. Hal-hal kecil saja yang dianggap manis sudah bisa membuatku merasa tersentuh, meskipun bukan untuk aku. Disitu letak kekonyolannya.
Ω
Sesabar-sabarnya seseorang menunggu pun pasti akan ada saatnya sampai pada titik kebosanan dan kelelahan menunggu.
Seikhlas-ikhlasnya seseorang merelakan, pasti tetap ada titik dimana rasa iri itu muncul.
Hati dan bibir yang mengucap seringkali berbeda arah, apalagi kompromi dengan pikiran, lebih sering berbeda arah jalurnya.
Kita tidak akan pernah bisa lari dari apapun yang akan datang menghadangmu, karena dari awal pun kau memang tidak tahu apa-apa. Seperti sedang berjalan di dalam kabut, bukan?
Aku sudah berusaha sebisa mungkin. Dokter yang merawatku pun sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi, tetap saja aku tidak bisa menghindar dari kabar buruk yang kapan saja bisa menghampiriku, tanpa bisa aku duga.
“Kau tahu kan, sudah hampir dua bulan kau tinggal disini, musim panas sudah hampir selesai, dan saya belum bisa menemukan kemajuan dari semua pengobatan sampai kemoterapi yang kau jalani selama ini, dan kau juga tahu sudah seberapa parah benda itu hidup denganmu di dalam kepalamu, jadi saat ini yang bisa saya tawarkan sebagai jalan terakhirnya, hanya satu,” Dokter itu memberi jeda, seakan-akan beliau akan mengumumkan kematian seseorang, “Hanya operasi,”lanjut dokter tersebut saat selesai menerangkan hasil perkembanganku.
Aku sempat terdiam. Ia menggenggam erat tanganku.
“Nggak ada jalan lain?”tanyanya, dengan sangat pelan.
“Hanya itu, Bumi. Tidak ada yang lain,”kataku, berusaha menengahi.
Dokterku pun terlihat memang sudah tidak memiliki jalan lain selain yang barusan beliau ucapkan. “Aku akan segera menghubungi orang tuaku,”jawabku dengan mantap.
“Kau akan mengambil pilihan ini?”katanya tiba-tiba.
“Bumi, kau mau aku pulih atau tidak?”balasku.
“Ya tentu aku mau kau pulih, tapi –“
“Ya sudah, nggak ada tapi-tapian lagi. Itu sudah jadi jawabanmu, ini sudah jadi jawabanku. Aku dan kau juga tau resikonya itu apa kalau aku ambil pilihan ini, tapi apapun itu pilihannya tetap akan selalu ada resikonya. Apapun pilihanku, aku tetap tidak akan bisa lari jauh dari resikonya, kau pun begitu, kita semua begitu. Got it what I mean? I hope you will still support me here and whenever, Bumi,”kataku padanya dengan lembut, berusaha membuatnya mengerti.
Ia menarik nafas panjang, lalu menjawab, “Sure, I will support you,” dan menghembuskan nafas panjang. Aku memberinya satu senyuman.
Dokter dihadapan kami pun mau tidak mau ikut menghembuskan nafas panjang.
Terkadang, untuk membuat seseorang mengerti dan melihat dari beberapa sudut pandang lain selain sudut pandangnya sendiri itu rumit, sayang.
Aku tahu keputusanku ini pasti akan menjadi momok pikirannya.
Tapi, ini sudah menjadi keputusan bulatku. Aku tahu berapa persen orang yang sukses diatas meja penentu hidup-mati seseorang itu, dan berapa persen orang yang gagal. Yang perbandingannya sebenarnya hampir sama. Tapi, aku maupun dokter yang merawatku pun tidak tahu aku berada di posisi yang mana.
Setiap kali ia menatapku dengan pandangan seakan-akan membujukku untuk dibatalkan saja, aku hanya menjawabnya dengan satu pelukan erat. Aku berharap dengan seperti itu rasa percaya diriku dan keyakinan kalau ini akan berhasil, menular padanya.
Kedua orang tuaku pun sudah setuju karena ini sudah menjadi keputusanku, bagaimanapun cara mereka menentangku, pada akhirnya mereka tetap akan menyetujuinya, dan 3 hari sebelum aku masuk ruang ‘ujian hidup’, mereka sudah sampai di Jepang. Secara diam-diam aku mulai mempersiapkan mental yang ada di dalam diriku. Dan aku pun berharap ia mempersiapkan dirinya untuk segala kemungkinan, entah kemungkinan buruk atau kemungkinan baik.
Ω
Saat kita tidak menghitung atau menunggu apa yang kita cari, semuanya akan terasa cepat. Pernah merasakan itu? Jika pernah, pasti kalian tahu perasaannya itu seperti apa. Kedua orang tuaku ternyata tiba lebih awal dari janji mereka. Meskipun mereka workaholic, tapi mereka tetap memperhatikan anak satu-satunya ini. Aku ingat saat aku SD dan kepalaku mulai tidak keruan sakitnya, mereka rela meninggalkan rapat penting di luar negeri dan langsung mengambil tiket penerbangan pertama yang mereka dapat untuk kembali ke Jepang, apalagi ditambah kabar kalau aku harus di opname.
Aku pun memperkenalkan laki-laki yang telah bersamaku entah untuk berapa lama yang tidak pernah aku perhitungkan kepada mereka. Ibu yang pertama kali menyadari cincin di jari tengahku, beliau langsung tersenyum penuh haru. Ibu banyak bercerita dengannya. Banyak bertanya aku bagaimana selama tinggal sendiri di Jepang bersama pengurus rumah, sementara Ayah menemaniku di kamar rawat. Karena, semakin hari kondisi tubuhku mulai melemah.
“Kalian sudah berapa lama kenal?”tanya Ayah tiba-tiba, beliau memang paling tidak suka dengan basa-basi, sama dengan putrinya ini.
“Aku lupa, Ayah. Mungkin sejak aku masuk kuliah. Ah, dia itu kakak angkatanku juga,”jawabku. Ayah hanya mengangguk-angggukan kepalanya sementara tangannya mengupas jeruk untukku.
Ibuku asli Indonesia, Ayahku asli Jepang. Mereka bertemu saat Ayah sedang ada undangan bisnis di Indonesia dan bertemu dengan Ibu sebagai teman koleganya di acara undangan tersebut. Saat itu Ayah lebih fasih bahasa Inggris, daripada bahasa Indonesia. Sejak mereka dekat, Ibu pelan-pelan membantu Ayah yang ingin bisa bahasa Indonesia. Setelah menikah, Ibu lebih senang tinggal di Jepang dan Ayah senang-senang saja kalau Ibu mau diboyong ke Jepang.
Tapi, mereka tidak memberiku nama selayaknya nama anak-anak Jepang. Mereka lebih senang memberiku nama-nama yang bisa ditemukan di Indonesia.
“Jeruknya dimakan, sayang. Jangan diliatin terus, nanti kabur,”ledek Ayah dengan wajah datarnya.
Aku yang mendengarnya guyonan Ayah hanya sanggup terkekeh.
Aku bisa melihat kalau mereka berusaha untuk tetap terlihat tegar didepanku. Tapi, aku terlalu mengenal Ibu yang paling tidak bisa menyembunyikan sedihnya. Menonton Titanic berkali-kali dengan Ayah, berkali-kali pula Ibu menangis sesenggukan. Ayah saja sampai tertawa saking herannya. Bagaimana dengan keadaan yang seperti ini?
Dokter sudah memberitahukan jam operasiku. Aku akan masuk ruang operasi sebelum tengah malam hari itu juga. Jangan tanyakan kapan aku akan keluar. Dokter berkali-kali memintaku untuk mempersiapkan mentalku, karena ini sebenarnya bukan pilihan yang mudah untuk ditentukan seorang diri. Kebanyakan orang yang sudah mendapatkan pilihan ini, dan memang hanya satu-satunya, mereka akan lebih dulu konsultasi dengan orang lain atau dokter yang lain yang mereka anggap lebih ahli.
“Kau sudah siap?”tanyanya padaku di suatu sore, mendekati hari dimana aku akan bertemu dengan hari ‘ujian hidup’ku.
“Sudah. Kau sudah siap?”balasku. Ia terdiam sejenak seraya meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Selama kau sudah siap, aku pun siap. Justru, aku harus lebih siap darimu,”jawabnya sambil menatapku.
Aku tersenyum tipis. Inilah laki-lakiku yang sebenarnya. Aku harus menelan ludah untuk mengalihkan pikiranku supaya tidak menangis di depannya. Jika ia melihatku sekali runtuh, maka pertahanannya pun akan runtuh juga.

Kau tidak bisa meminta pada semesta untuk melewatkan tanggal atau hari atau apapun itu, karena kau pasti akan tetap bertemu dengan apapun yang kau hindari sekuat tenaga itu.
“Kau harus tahu, kalau Ayah dan Ibu menyayangimu,” Ayah berbisik ditelingaku sebelum aku dipindahkan ke tempat tidur dorong.
Saat ini bahkan untuk mengangkat tanganku pun rasanya terlalu lelah.
“Ayah dan Ibu akan tetap menunggu disini, sampai kau keluar,”kata Ibu. Kali ini beliau benar-benar tidak bisa menahan bulir-bulir bening yang keluar dari pelupuk matanya. Sementara ujung-ujung mataku sudah mulai basah sejak Ayah berbisik ditelingaku.
Tangannya tidak pernah melepas tanganku.
Saat aku hendak dibawa ke ruang operasi, aku berbisik pada Ibu untuk meminta waktu sebentar untukku dan laki-laki yang selalu terlihat kuat di depanku ini, dengan suara lirih.
Saat semuanya sudah menunggu diluar kamar rawatku, ia mengambil posisi duduk di tempat yang biasanya ia menungguiku selama lebih dari dua bulan ini. “Aku disini,”gumamnya.
Jari-jariku yang lemah ini berusaha melepaskan cincin yang ia berikan untukku, lalu meraih tangannya, “Ini, kau simpan lagi di kotaknya,”kataku sambil menarik nafas. “Nanti, saat aku sudah selesai di dalam sana dan aku berhasil,” Sekali lagi aku menarik nafas panjang, “Aku memintamu untuk menyematkannya di depan kedua orang tuaku,”kataku dengan lirih. “Tapi, jika ternyata tidak, aku minta padamu untuk menyimpannya untuk perempuan yang akan menggantikanku suatu saat nanti, entah kapan,”lanjutku sampai selesai.
Ia langsung mematung di tempat ia duduk. Setelah kesadarannya kembali, ia berkata, “Kenapa kau berkata seperti ini? Kau harus yakin,”
“Aku yakin, kita semua yakin, kalau ini akan berhasil. Tapi Bumi, yang menentukan bukan aku atau dokter sekali pun. Aku harap kau mengerti,”kataku disela senyumanku.
Sebelum ia sempat menyahuti kalimatku, dokter dan beberapa perawat sudah masuk kembali ke ruang rawatku untuk membawaku masuk ke ruang operasi. Aku masih sempat melihat Ibu yang masih sesenggukan. Apalagi ditambah mereka tidak diperbolehkan masuk, itu sudah pasti, meski Ibu memohon seperti apapun juga.
Aku meminta pada semesta untuk melebarkan sabarmu dan kedua orang tuaku.
Hanya itu.
Ω

Di musim semi setahun kemudian, dibawah pohon sakura di The Philosopher’s Path dan diantara Tupperware yang bertebaran diatas kain piknik, aku berbisik padanya, “Aku akan selalu menjadi semestamu,”
 “Iya, tapi kau jangan lupa kalau aku juga akan selalu menjadi bumimu,”jawabnya dengan pelan sambil tersenyum lebar. “Terima kasih untuk pulang kembali,”katanya sekali lagi.
Ia tidak pernah henti-hentinya mengucapkan terima kasih padaku yang telah benar-benar berjuang untuk melewati ‘ujian hidup’ berjam-jam lamanya dengan segala resiko yang bisa menghalangiku untuk keluar dari ruangan itu dengan berhasil.
Sambil tersenyum, aku menjawabnya dengan anggukan, lalu berkata, “Karena, aku selalu ingat tempat bumiku berpijak,” sambil menatap cincin yang ia sematkan untuk kedua kalinya, tapi kali ini dihadapan kedua orang tuaku dua bulan setelah aku diperbolehkan untuk rawat jalan, di sebuah restoran Indonesia yang saat itu memang sengaja ia reserved untuk ini. Lagi-lagi aku dibuatnya tersentuh.
 Ia memelukku dengan erat, seakan-akan tidak ada hari esok untuk bertemu denganku.
“Terima kasih untuk menjadi teman hidupku,”bisiknya lalu mencium keningku dengan lembut.
Percayalah, bahwa kau akan bertemu dengan teman hidupmu di suatu saat nanti yang pasti, cepat atau lambat.

Fin.