A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Jumat, 26 April 2013

Menangkap Senja


“Lo dimana?!”seru Elsa dari seberang sambungan telpon. Karin terkekeh geli mendengar seruan Elsa yang bercampur sebal,
“Sabar. Gue ke sana deh.”jawab Karin sambil bangkit berdiri.
“Tunggu situ aja. Gue udah suruh Nuel jemput.”jawab Elsa.
“Oke.” Sambungan terputus.
Senja itu selalu indah. Senja itu tidak akan pernah kemana-mana.
“Mau bengong sampai dicolek setan?”ledek seorang. Karin langsung menoleh cepat dan terkekeh.
“Iya, setannya lo kan?”ujar Karin disela-sela kekehannya. Nuel ikut terkekeh dan mengambil posisi duduk disamping Karin.
Entah sejak kapan rasa itu berubah. Entah sejak kapan rasa sayang sebagai teman bertransformarsi menjadi sebuah rasa sayang lebih dari seorang teman. Segalanya memang susah untuk ditebak bukan?
“Hari ini senjanya lagi orange banget ya?”gumam Nuel.
Karin hanya mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari senja di depan matanya.
Bisa waktu dibekukan? Sungguh, untuk saat ini Karin ingin membekukan waktunya. Sayangnya, tidak bisa. Jadi, ia hanya bisa menyerap semuanya dan menyimpannya sendiri.
“Kuliah kemana, Rin?”tanya laki-laki disamping Karin.
“Mungkin ke Kota Pelajar, El. Lo dimana? Paling juga sama Elsa kan?”jawab Karin sambil tertawa pelan. Nuel hanya mengangkat sudut bibirnya.
Selamanya, dihati laki-laki itu hanya akan ada satu wanita. Tidak mungkin satu hati berisikan dua cinta. Pada akhirnya, ia harus memilih salah satu diantaranya. Karin tahu, ia hanyalah figuran dalam sebuah film. Sehingga ia tidak memanjakan perasaannya sendiri untuk berharap suatu hal yang terlalu muluk baginya.
“Lo disana sendiri, Rin?”
“Engga. Ramean kok. Kan banyak mahasiswa lain.”jawab Karin pura-pura polos.
Nuel tertawa mengejek. “Jayus lo!” Lalu, laki-laki itu mengacak-acak rambut panjang Karin yang sudah berantakan karena angin pantai.
“Karena siapa?!”gerutu Karin dengan sebal dan mengikat seluruh rambutnya di puncak kepala.
Bersama langit oranye, sore itu mereka memandangi senja, hingga dibuyarkan oleh dering telpon. Dan mereka berdua sama-sama berseru nyaring. “ELSA!” Tanpa pikir panjang, mereka langsung berlarian menuju mobil Nuel dan laki-laki itu buru-buru melajukan mobilnya. “Gak usah ke Starbucks. Anterin Karin pulang aja kamu. Disini hujan deras. Aku mau tidur. Hati-hati ya.”ujar Elsa saat Nuel mengangkat telpon darinya.
Karin menunggu kelanjutannya dengan menggigit bibirnya. “Gimana?” Nuel terkekeh. “Selow aja. Dia mau tidur.”ujar Nuel. Karin langsung menghembuskan nafas lega.
“Gue nanti turun di kedai kopi depan ya. Lu langsung balik aja. Gue bisa balik sendiri kok.”ujar Karin sambil tersenyum lebar.
“Lu mau ngopi dulu? Gue ngikut deh.”ujar Nuel ikut tersenyum. Senyum yang sering kali Karin sebut dengan, senyum-selebar-bahu.
“Lo gak mau pulang?”tanya Karin sambil menoleh pada laki-laki yang tengah berkonsentrasi pada jalan raya.
“Di rumah juga gue bingung mau ngapain.”jawabnya tak acuh.
Karin cuma manggut-manggut pelan, lalu mereka kembali direngkuh keheningan. Tak lama kemudian, mereka sudah duduk di dalam kedai kopi yang dimaksud Karin, menunggu pesanan kopi mereka sedang diseduh. Hujan diluar semakin parah. “Lo suka ke sini, Rin?”tanya Nuel ketika pelayan selesai mengantar pesanan.
“Ini tempat favorit gue kali, El. Bahkan, Elsa aja enggak tahu ini tempat.”jawab gadis itu sambil menghirup aroma kopinya. Kebiasaannya dari dulu setiap kali minum kopi. Nuel memperhatikan dengan seksama. 
Perasaan Karin mengatakan ada sesuatu yang mengganjal pada Nuel. Namun, laki-laki itu belum mengungkapkannya. Maka, sambil meraih cangkir kopinya, Karin membuka kalimatnya,“Dalam satu hubungan seharusnya enggak ada kata jenuh. Kalau udah ada kata jenuh, jenuh itu udah harus buru-buru dibuang.”gumam Karin dengan mata yang masih terpejam dan dengan hidung yang masih menghirup aroma kopi. Nuel menoleh ke arah Karin yang membuka kedua kelopak matanya dengan perlahan dan tersenyum.
“Kalau ada masalah, selesaikan. Jangan lari. Semakin lo lari, semakin itu masalah menghantui lo. Lo hidup di dunia ini juga udah kayak ikut judi. Tapi, judi lo yang kali ini emang udah dari alamnya.”tambah gadis itu, kali ini setelah menyesap sedikit demi sedikit cappuccino kesukaannya itu.
“Tapi, kalau ternyata jenuh itu muncul karena udah enggak ada kata cinta lagi?”tanya Nuel sambil menghangatkan telapak tangannya di atas cangkir kopi yang uap panasnya masih terasa.
Karin menanggapinya dengan senyuman. “Itu pertanyaan yang seharusnya ada jawabannya. Tapi, jawabannya bukan dari gue. Tapi, dari hati lo sendiri, El. Enggak selamanya jawaban dari semua pertanyaan lo ada diluar diri lo.”jawab gadis itu berdiplomatis.
Sampai kapanpun, Karin akan menyimpan perasaannya ini sendiri. Cukuplah ia sendiri yang tahu tentang rasa ini. Ia tidak ingin mengganggu orang lain hanya karena perasaan yang seharusnya tidak ada ini. Seperti, perasaan yang terlarang.
Mendengar jawaban Karin, Nuel terdiam dengan cangkir kopi yang berhenti di ujung bibirnya. Selamanya, Karin hanya akan menjadi bagian terluar dari hidup Nuel. Tidak termasuk dalam catatan penting.
Diam-diam Nuel tersenyum kecil.

Waktu terus berputar dan tidak pernah berhenti. Waktu tidak akan menunggu. Kita yang harus mengejar waktu itu atau mungkin mencoba berjalan bersisian dengannya. Saat Karin tengah asik memandang langit sore dari balkon rumahnya sebuah pesan masuk ke ponselnya. Lagi di tempat biasa, di kursi biasa, dengan kopi panas yang biasa. Karin tersenyum.
Diam-diam ia menikmati waktu mereka seperti ini. Meski hanya sebatas ini, jujur, Karin sudah merasa sangat cukup. Ia tidak berharap atau meminta lebih dari ini. Cukup dengan bisa berada dekat dengannya sudah sanggup membayar rindu yang terus menerus menyapanya disetiap hari.
“Gak ada apa-apa kan?”tanya Karin sambil mengambil cangkir kopinya yang belum lama diletakkan di hadapannya. Nuel menggeleng dengan senyum-selebar-bahu-nya itu. Karin hanya tersenyum dan menyesap kopinya. Ia pikir Nuel dan Elsa sedang terjadi sesuatu.
“Jangan bilang-bilang Elsa ya kalau kita ketemuan begini. Ngerti kan, Rin?”ujar Nuel.
Karin mengangguk dan tersenyum. “Iyalah gue ngerti kok El.”
Segalanya terjadi bukan tanpa sebab. Setiap ada asap, disitu selalu ada api.
Semua cerita mengalir begitu saja dari bibir mereka. Seperti channel tv yang bisa diganti-ganti terus-terusan. Dari satu topik ke topik yang lain. Kedai yang tadinya ramai mulai berangsur-angur sepi. Hingga hanya satu-dua orang yang masih asik dengan kopi dan topik atau bacaan mereka.

Senja disetiap harinya dilewati bersama, meski mereka berdiri di tempat yang berbeda. Hingga jika suatu saat mereka harus melewati senja seorang diri, rasa nikmatnya seperti berkurang. “Lo udah yakin, Rin?”tanya Elsa sambil tiduran di tempat tidur Karin.
“Yakin kok, Sa. Makin cepat, makin baik kan? Gue juga harus adaptasi sama keadaan disana.”ujar Karin sambil tersenyum lebar. Menunjukkan barisan giginya yang berbaris rapi.
“Tapi, ini kan terlalu cepet.”gerutu Elsa.
“Sa, Jakarta-Jogja bisa ditempuh dalam semalam kok sama kereta, atau bus. Malah cuma beberapa jam doang kalau pakai pesawat. Take it easy, oke? Gue enggak keluar negeri kok. I’ll be there when you need me.”ujar Karin, berhenti dari aktivitasnya dan duduk disamping Elsa.
“Bener ya?”tanya Elsa dengan wajah yang masih kusut.
Karin mengangguk mantap dan memeluk sahabatnya. Baginya, Elsa lebih penting dari apapun. Lebih penting dibanding perasaannya sendiri. Lebih baik ia membakar rasanya sendiri daripada harus merusak hubungan Elsa dan Nuel yang sudah berjalin cukup lama. Dilihat dari sudut pandang manapun, Karin hanyalah orang luar.

Lagi di senja yang seperti biasa. Angin pantai mengibaskan rambut panjang Karin. Gadis itu berjalan menyusuri bibir pantai sambil menenteng alas kakinya. Ombak-ombak kecil yang sampai di bibir pantai menggelitik jemarinya. Sesekali ia berhenti sebentar untuk memandang senja disampingnya. “Nanti masuk angin.”ujar seseorang. Tanpa perlu menoleh, Karin tahu siapa  pemilik suara itu.
“Engga apa-apa. Sekali-kali.”jawab Karin sambil terkekeh.
“Ada apa?”tanyanya to the point.
“Ini udah waktunya buat gue ucapin salam perpisahan ke lo, El. You should to be happy as you should to be. Gue nggak mau jadi batu sandungan buat lo. Jaga baik-baik kebahagian lo dan orang yang ada di dalamnya, sebelum lo menyesal nantinya. Gue udah ngerasain gimana menyesalnya. Dan gue engga mau orang terdekat gue juga ikut merasakannya. See you in another time, if we can.”ujar Karin disela-sela senyumnya.
Gadis itu tengah bersusah payah mengumpulkan kekuatannya supaya ia tidak menangis di hadapan laki-laki yang selalu hidup dalam hangatnya kopi dan lembutnya senja. “Terima kasih untuk keseluruhan waktu di senja dan kopinya.”tandas  Karin sambil membelakangi senja. Senja terakhir.
Setiap tempat, setiap keadaan memiliki cerita mereka sendiri. Namanya, kenangan.


Rasanya aneh menikmati sesuatu yang kita sudah terbiasa menikmatinya dengan seseorang harus kita nikmati sendirian. Tapi, namanya juga hidup. Berada di tempat yang baru pun kita  perlu adaptasi. Meninggalkan masa lalu pun butuh adaptasi yang tidak lama.
Karin menyesap kopinya sambil menonton senja yang perlahan-lahan mulai tenggelam. Kenangan-kenangan itu masih berputar-putar dalam otaknya. Kenangan yang berada dalam satu rol film dan rol film itulah yang terus-terusan diputar. Tidak ada rusaknya. Tidak aus.
Karin mengakui pada dirinya sendiri, setiap kali ia merindukan seorang itu.
Rindu itu biarlah tetap bersemayam di dalam sana dan hidup disana.
Sekarang jalan mereka sudah berbeda. Mereka sudah berpisah di persimpangan jalan. Mungkin jalan untuk kembali pun sudah tertutup belukar. Tapi, Karin bersyukur ia sempat memiliki hari dengannya. Meski ia hanya memiliki kenangan yang sangat sedikit, tapi baginya sudah cukup.
Mungkin saja laki-laki itu tahu, tapi ia beprura-pura tidak tahu.
Tapi, mungkin juga laki-laki itu memang tidak tahu. Karin berharap kemungkinan yang kedualah yang terjadi. Meski kemungkinan pertama memiliki kemungkinan yang sama besar dengan kemungkinan kedua.
Senja Nuel sudah berada disana, sudah bersamanya. Ia sudah berhasil menangkap senjanya.
Mungkin, senjaku berada disini.
Senjaku sedang menunggu.

Minggu, 21 April 2013

Review

Nonton deh Drama Korea: Rooftop Prince.
itu drama bener-bener ngena banget .
awalnya emang ga bakal terlalu ngerti kalo ga dicermatin .
tapi percaya deh , itu drama korea bener2 ngena banget :']
di episodenya bener2 puncaknya ngena banget itu .
kalo diceritain kan udah ga ngena ntar . jadi harus nonton sendiri :')
ga bakal rugi deh buat nonton itu .
ceritanya itu bercampur sama zaman kerajaan mereka sama zaman modern .
tapi cerita dgn latar belakang zaman kerajaan mereka, ga bikin bosan :)
ada bagian konyolnya, ada bagian sedihnya, ada bagian romantisnya, ada bagian kesiannya, ada bagian ngebeteinnya, kompliiiiiitt dah . sekalinya sedih bener2 nguras air mata :"

Ini beberapa foto mereka:










Hurt - Ali

[Translation: Hurt - Ali {Ost. Rooftop Prince}]


Because the reason I live is you,
With my heart, I hope the remaining,
flickering memories will be sent to you
At the end of this road I walk on,
At this road that was allowed to me,
I, who used to love and love you more,
Remain here alone
My love has all burned up and
the only thing remaining
Are the exhausted scars from waiting
I cannot forget a person like you
Only tears fall
When my love has all washed away
Only the longing scars remain
Only the words, “good bye” remain
So I cannot forget you
Following the flower petals
that yield to the sky
When I meet you,
I can tell you now that I longed for you
I long for you so I couldn’t forget you
My love has all burned up and
the only thing remaining
Are the exhausted scars from waiting
I cannot forget a person like you
Only tears fall
When my love has all washed away
Only the longing scars remain
Only the words, “good bye” remain
So I cannot forget you
Indonesia: 

Karena alasanku hidup adalah kamu
Dengan hatiku, aku berharap yang tersisa
Kenangan yang berkedip akan dikirimkan padamu

Diujung jalan ini aku berjalan
Di jalan yang di izinkan untukku
Aku, yang dulu suka dan lebih mencintaimu,
Tetap disini sendiri

Cintaku semua terbakar dan
Satu-satunya yang tersisa adalah bekas luka yang lelah menunggu
Aku tidak bisa melupakan orang sepertimu
Hanya airmata yang jatuh

Ketika cinta yang kumiliki semua hanyut
Hanya bekas luka kerinduan yang menetap
Hanya kata-kata, “selamat tinggal” tersisa
Jadi, aku tidak bisa melupakanmu

Mengikuti pucuk bunga yang menghasilkan kelangit
Ketika aku bertemu denganmu
Aku bisa memberitahumu sekarang jika aku merindukanmu
Aku lama bersamamu jadi aku tidak bisa melupakanmu

Cintaku semua terbakar dan
Satu-satunya yang tersisa adalah bekas luka yang lelah menunggu
Aku tidak bisa melupakan orang sepertimu
Hanya airmata yang jatuh

Ketika cinta yang kumiliki semua hanyut
Hanya bekas luka kerinduan yang menetap
Hanya kata-kata, “selamat tinggal” tersisa
Jadi, aku tidak bisa melupakanmu


Ruang.

tak perlulah kamu khawatirkan kondisi berantakan ini.
biar aku saja yang mengurusnya.
karena aku yang teledor dan menyebabkannya berantakan seperti ini.
kamu hanya seorang tamu.
tidak seharusnya seorang tamu membantu pemilik rumah membereskan sampah-sampah ini bukan?
kamu duduk dengan diam, dan hanya perhatikan saja.
jika memang sudah selesai, aku akan kembali.
jika tidak selesai, mungkin aku hanya menitipkan sebuah pesan perpisahan dari selembar daun kering.
aku seperti anak kecil yang bermain dengan mainanku namun membiarkannya berserakan.
namun, disisi lain aku seperti remaja tanggung yang tidak sengaja memecahkan gelas dan membiarkan pecahan itu berserakan hingga membuat orang lain terluka karenanya.
aku bukan seorang yang pintar merangkai kembali pecahan-pecahan itu.
aku selalu kehilangan bagian terkecil dari pecahan itu.
ia tidak akan kembali utuh, sayang.
tidak akan pernah.
maaf sudah merepotkanmu.
pergilah dan biarkan ruangan ini seperti ini.

biarkan hati ini seperti ini.
aku hanya ingin menjaganya tetap seperti ini.
karena, kamu sempat tinggal disana.

~ f i n ~

Keluar?

bukankah keluar dari lingkaran hidupmu itu lebih baik?
yang terpenting, baik untukmu.
tapi tubuh ini seperti menolaknya.
rasanya menyakitkan disaat kita mencoba, namun ada yang menahannya.

sungguh, aku hanya ingin melihatmu tersenyum kembali.
meski sejujurnya aku ingin merasakan hangatmu lagi.
namun, hangatmu sudah dimiliki orang.
aku terlambat?
atau....tidak semestinya aku datang?
atau....waktuku salah?

tidak adakah ruang untukku duduk barang sebentar disana?
diruangan yang acap kali kita sebut-sebut dengan hati.
namun tidak ada palang bertuliskan namanya.
terkadang, ia terlalu penuh untuk disesaki oleh lebih dari satu.
namun, di lain waktu ia terlalu kosong untuk tidak dihuni.

jadi, aku memilih untuk mencoba keluar.
namun, ternyata aku menjadi sebagain dari bayangmu.
kamu seperti layangan.
jika aku lengah, kamu bisa pergi tanpa bisa ku beri salam perpisahan.
namun, jika benang itu terlalu kuat tergenggam, akan menciptakan perih yang berkembang menjadi luka.
maka hanya ku genggam seperti menggenggam pasir.

~ f i n ~

Kamis, 18 April 2013

(Tidak) Tersentuh.

kamu tahu awan bukan?
ya, yang selalu kamu perhatikan.
ia tidak bisa kamu sentuh bukan?
ya, itu kamu.
aku tidak bisa menyentuhmu.

sama dengan udara.
kamu terasa namun tidak bisa kumiliki. sendiri.
sama dengan perasaan ini.
terasa, namun tidak terungkap.

dinginmu perlahan-lahan mulai menekan habis hangatmu yang dahulu sempat kamu titipkan untuk kujaga.
mungkin, kamu memang sudah lupa.
namun aku masih ingat.
hal terkecilmu aku pun ingat.
perlukah ku buatkan catatannya?
seperti membuka halaman tiap halaman lembar kenanganmu; kita.

ah lembar-lembar itu tidak akan pernah jauh dari jangkauan tanganku.
karena aku selalu memiliki waktu untuk membuka-bukanya kembali.
seperti membaca novel berulang kali tanpa hadirnya bosan dengan camilan kekesalan karena homogen.


~  f i n ~

Tidak Sama.

berapa kalipun aku menatap ulang,
tidak ada yang berubah.
tidak ada yang sama lagi, sayang.

sayangnya, aku belum bisa bangun dari tidur panjangku
yang berisi tentangmu.

seharusnya aku sudah harus bangun.
karena, tidak akan ada orang yang suka berlama-lama tinggal dalam kepura-puraan.
Meski aku harus menahan luka yang mulai menganga ini agar tidak semakin lebar sobekannya,

Maaf sudah memaksamu untuk memakai topeng yang tidak kamu sukai.
Mungkin aku memang egois;
Aku begitu senang denganmu ada disini.
Di sebelah lenganku dengan hangatmu yang berputar-putar di atmosferku.
Padahal kamu tengah menahan mati-matian topeng itu agar tetap terpakai dengan pas.
Bahkan, aku bukan orang egois lagi.
Orang yang jahat.

Mungkin dengan aku berdiri sejauh mungkin,
itu bisa menjadi salah satu permintaan maafku.
Mungkin dengan itu juga tidak terlalu berarti.

Hari ini tidak akan sama dengan esok, lusa dan selanjutnya.
Rasamu tidak akan sama lagi seperti kemarin, kemarin lusa, dan selanjutnya.
Masih pantas aku ucapkan terima kasih?
Terima kasih karena sudah mengisi hari-hariku?

Hanya Ingin.

Aku tidak pernah membiarkan perasaan ini memiliki keinginan yang terlalu tinggi.
Aku tidak pernah memanjakannya.
Karena, jika sudah terbiasa dan tiba-tiba suatu saat keadaan berbalik, rasanya akan terlalu menyakitkan.
Sehingga, aku hanya memiliki harapan yang bagiku, tidak muluk.
Aku hanya ingin, dinding antara kita kamu hapus keberadaannya.
Sebagai gantinya, tanamlah tanaman-tanaman yang indah yang berwarna warni.
Bukankah itu lebih indah?

Kita memang kembali seperti dulu.
Tapi, apa kamu tidak merasa jika ada yang tertinggal?
Pun ada yang berubah pula.
Kembalilah seperti saat dulu kita berbagi kata dengan mudahnya.
Bersentuhan dengan mudahnya.
Hanya itu.
Tanpa ada embel-embel.
Bagiku, itu sudah lebih dari kata: cukup.

Perasaan.
Ya, yang kamu takutkan adalah ia yang berwujud semu namun memiliki berjuta rasa itu.
Biarlah aku sendiri yang mengurusnya; dari berantakan hingga menjadi apik kembali.
Meski membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Kamu tidak merasa rindu ini, bukan?
Karena kehilangan itu, rindu itu mulai menyapaku.
Lalu, tanpa mengetuk dan mengucap kata permisi, ia sudah duduk dengan tenang di dalam sana.

Meski kadang, menunggu adalah hal yang sia-sia dan memiliki harapan dari kemungkinan yang sedikit,
namun aku masih bersyukur ada harapan dari kemungkinan sedikit itu.
Setidaknya, disana masih ada kemungkinan. Meski, sedikit.

Kembalilah?

#afterfinalexams

Ini yang ujiannya seruangan sama gue :]


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   
Kelar ujian, buru-buru lepasin foto ujian dari tempelan trus foto bareng :] 







~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ini piramida foto ujian kita-kita ♥ 
Berasa kayak lagi cheers tapi ga ada puncaknya ngahahah 


SAMPAI BERTEMU KEMBALI KALIAN SEMUA!
AUFWIEDERSEHEN



note: aufwiedersehen = sampai jumpa.

Rabu, 17 April 2013

Tidak Mudah.

untuk melewati badai pun, terkadang segala cara terasa tidak mudah bukan?
untuk melewati semua ini sendirian pun, terasa tidak mudah, sayang.
di tengah jalan, aku bisa bertemu dengan ombak yang membawaku kembali.
kembali mundur ke masa lalu.
kembali mengenangnya, kembali merindu mulai mendera.
perjuangan untuk kembali ke atas pun menjadi hal yang tidak mudah.
mungkin lama kelamaan aku bisa terseret arus hingga ke semenanjung.
semenanjung kerinduan.

untuk kembali, kamu seperti membutuhkan usaha besar seperti kamu harus menelan obat pahit
yang tidak biasa kamu minum.
disaat segalanya tidak mudah, kerinduan itu mulai menyebar dan mulai terasa pahit untuk dikonsumsi.
tapi, untuk sembuh, bukannya setiap luka harus diberikan obat?
obat tidak ada yang manis. yang manis itu kenangan indah.
tapi bila salah obat akan semakin menyebar bukan?
jangan pernah bermain-main.
jangan pernah bermain-main dengan yang namanya perasaan.
dia masih dan akan selalu ada dilingkaran hidup kita.
kita tahu siapa dia.
dia yang berwujud semu namun terasa.
antara luka dan karma.
antara luka dan rindu.

Berat.

pernah menjadi bagian mencintai namun tidak dicintai?
seperti kamu meminta gula, namun kamu malah diberi garam.
namun, jika terjadi terus menerus, lama kelamaan itu akan menjadi seperti ajeg sosial.
ya, seperti kamu sudah terbiasa makan nasi-garam-kecap-kerupuk, jika ada.
kerupuk itu yang membuat gurih.
kenangan tentangmu yang memberikan rasa gurih di hari-hari yang aku lewati.
garam yang memberikan rasa asin.
mengenang kenangan itu yang terasa terlalu asin untuk dirasa, namun tetap terasa, bukan?
bahkan jika bersentuhan dengan luka, akan menimbulkan rasa perih.
kecap yang memberikan rasa. entah manis entah asin.
tergantung pada yang memberinya.
keseluruhannya jika digabungkan memberikan rasa seperti nano-nano.

terlalu berat memang untuk dilupakan.
namun, terlalu perih untuk dikenang.
tapi, nyata di lapangannya aku masih memilih untuk mengenang.
terlalu bodoh bukan?
bahkan hari pun tidak bisa berbohong jika akan ada waktunya hujan turun tiba-tiba.

Sabtu, 13 April 2013

Langit Sore.

kamu akan selalu ada disana.
meski jauh, namun aku masih bisa melihatmu dalam diam.
aku berdiam dalam bisu dan tersenyum dikala tenang.

kali ini,
aku menikmatinya sendiri.
seperti sedang menyesap kopi sendirian di dinginnya udara yang bergelayut sepanjang hari.

terima kasih sudah memberikan sedikit warna di hariku yang sendu.
meski kamu tidak lama datang,
namun, setidaknya aku sempat merasakan hangatmu.

aku akan mengunjungimu lagi dilain waktu jika memang masih ada lain waktu.

Rindu yang Terjebak.


Perasaan dimana kamu begitu ingin bertemu dengannya; ingin memeluknya; ingin menggandeng tangannya; ingin menghirup wanginya; ingin berada di dekatnya; ingin bisa menatapnya berlama-lama; ingin bertukar kata dengannya; dan masih banyak keinginanmu untuknya. Terkadang semuanya itu sering kita artikan dengan merindukan.
Kamu pernah merasakannya?
Namun, tidak selamanya rindu itu bisa kamu ungkapkan, sayang.
Rindu yang mampir padaku, adalah satu dari rindu yang tidak terjelaskan; tidak tersampaikan. Rasanya begitu menyesakkan. Seperti paru-parumu yang tiba-tiba tidak bisa menghirup udara; begitu menyakitkan.

Bukankah menangis bersama hujan itu lebih baik? Setidaknya, aku tidak akan terlihat lemah saat itu; tidak akan terlihat cengeng ataupun minta dikasihani. Aku lebih senang terlihat seperti gadis remaja yang seperti tidak pernah merasakan masa kecil dengan bermain hujan. Sungguh, itu lebih baik daripada kamu harus melihatku bersedu sedan dan menerbitkan rasa kasihan dalam rasamu.
Sungguh, aku tidak memiliki kekuatan sekuat pohon beringin.
Hanyalah seorang gadis yang memiliki perasaan seperti kaca; bening dan mudah pecah jika salah sentuh.

Setiap pagi saat aku membuka mata dari tidur tidak tenangku yang ditemani oleh malam yang pekat, aku tersenyum karena aku masih bisa untuk bertemu denganmu.
Sarapan pagi yang aku santap adalah menunggumu untuk mengeluarkan barang sepatah kata, lalu kemudian menenggak harapan kosong sebagai pelengkapnya. 
Makan siang yang paling aku benci adalah tidak adanya kamu.
Saat tengah kupandangi tenda biru yang menaungi aku; juga kamu; juga dia; dan lainnya, kembali teringat olehku, bahwa ini adalah kesukaanmu. Kamu senang memandangi mereka yang menaungi kita, lihat langit sore ini. Indah. Ucapmu saat itu. Dan aku tersenyum. Lihat mereka yang bergerak berarak di birunya tenda ini pula. Terlihat tenang, indah. Itu kalimatku padamu. Entah kamu masih mengingatnya atau tidak. Dari hal terkecilmu, seperti sudah tersimpan dengan otomatis dalam laci ingatan yang lama-lama akan aku pindahkan ke laci momen-momen, yang aku sebut: kenanganmu.
Lalu, menjelang malam, aku menyantap makan malamku yang tidak ada jemu-jemunya kusantap, namanya adalah rindu.
Semuanya berputar seperti itu dari hari ke hari. Seperti seekor hamster yang berputar-putar dengan rodanya.
Aku sedang dalam masa beradaptasi. Bukan. Bukan dengan lingkungan baru; bukan dengan orang baru. Tapi, dengan rasa yang baru. Aku tengah beradaptasi dengan keadaan pula. Aku harus mulai membiasakan diriku tanpa dirimu, mulai menata perasaan ini; mulai mencoba untuk menyembunyikannya dan berusaha agar ia tidak muncul ke permukaan lagi. Seperti saat aku harus mempersiapkan diriku dikala penerangan ini perlahan-lahan mulai redup; ya seperti disaat kamu mulai menghilang perlahan-lahan, dengan berjalan pergi.
Ya, selamanya rindu ini hanya akan berdiam di dalam sana. Di dalam dada, lalu perlahan-lahan menggunung dan mulai menyesakkan dada, minta untuk disampaikan. Namun, kembali kutelan sesak itu. 
Meski aku berusaha agar tersampaikan, tapi sepertinya ia akan tersesat dan memilih untuk pulang padaku dan mengembalikan apa yang ia bawa beserta bunganya. Aku tahu, tidak seharusnya. Mengapa? Hatimu sudah bertuan, sayang.

Saat melihatmu tertawa, saat itulah mengapa aku menyebutmu sang jingga dalam diriku. Kamu mampu untuk menyebarkan hangatmu dikala dingin mulai merambati dinding-dinding rindu ini dan membungkusnya dengan rapih tanpa celah. Ya, meski tawa itu bukan milikku.
Aku pernah ingin membekukan sang jingga. Namun, sepertinya masih.
Sepertinya waktu sedang asik bermain sehingga ia tidak mau memberikan kesempatan untuk membekukannya. Ternyata sang jingga memang hanya bisa kusantap dikala ia datang dengan menggunakan  sepasang kaca cembung ini, lalu merelakan ia pergi dalam diam pada saatnya, sepertinya. Sehingga aku hanya membekukannya dalam memori otak ini.

Tetaplah menjadi jingga itu. Aku hanya akan menatapmu dari kejauhan. Aku tidak akan berusaha untuk menggapaimu untuk kusimpan sendiri. Karena kamu sama dengan udara. Bisa kurasakan, namun tidak bisa kugapai, apalagi untuk aku miliki. Sepertinya, perjalananku sebentar lagi akan sampai di penghujung jalan, karena sesungguhnya kamu tidak menciptakan jalan selanjutnya.

Perjalananku sudah selesai.
FIN.

Melepas.



Perlahan-lahan, bulir-bulir air mulai beradu untuk sampai di tanah lebih dahulu.
Kutengadahkan salah satu telapak tanganku dan bulir-bulir itu berjatuhan di atas telapak tangan yang mulai membeku. Kehangatannya telah dihisap dengan sangat perlahan dan sembunyi-sembunyi oleh dingin dan meninggalkan jejak kebekuan di sela-sela kehangatan yang mulai menipis.
Jari-jari ini mulai berkerut, mungkin ia terlalu banyak merindu.
Bulir-bulir itu berjatuhan di atas air yang tenang dan menimbulkan riak-riak kecil yang lucu dan sangat disayangkan jika tidak dinikmati. Tidak ada niat olehku untuk beranjak atau mencari perlindungan. Kamu, menyukainya. Diam di bawahnya. Tapi, entah mengapa sekarang tidak lagi. Dan aku masih menyukainya. Tidak ada alasan bagiku untuk berhenti.
Kilatan mulai berpendar di atas kepalaku. Dan bunyi menyambar yang mulai menyapaku dengan sinis.
Perlahan-lahan bulir-bulir itu mulai turun dengan kecepatan tinggi, acapkali kita menyebutnya dengan hujan. Sehingga, dengan berat hati aku meninggalkan tempatku duduk dengan nyaman menanti jingga yang ternyata tak kunjung datang; kamu dan jingga di ufuk, sebelum direngkuh oleh dingin yang membekukan.
Yang datang hanya sebatalion air yang tumpah ruah tanpa bisa dibendung lagi.
Sungguh, aku tidak berharap terlalu banyak dengan kedatanganmu.
Karena sesungguhnya aku sudah mengetahui akhir dari semua ini.
Aku hanya sedang merasakan kembali kenangan yang kembali hilir mudik di pikiran ini. Seperti kopi; terkadang manis, terkadang pahit. Aku ingin membiarkan sebagian dari rasa pahit itu mengalir dan mengikuti arus hingga ke ujung meander, dan terkubur bersama dengan yang lain sehingga mereka membentuk delta. Meskipun, masih akan ada yang menggenang di permukaan, yang tidak tersapu oleh arus dan mengalami proses infiltrasi tanpa perkolasi.
Meskipun kamu tidak lagi hidup di dalam kenyataanku, tapi bukankah kamu tetap hidup di dalam kenanganku? Mungkin, bagimu semuanya hanyalah seperti sakura yang tumbuh dengan proses yang begitu lama, namun berakhir dengan cepat. Semuanya hanya seperti ilusi bagimu.
Tapi, bagiku itu adalah kenyataan yang bermetamorfosis menjadi kenangan.
Mungkin sudah saatnya bagiku untuk melepas sang merpati untuk kembali ke alam bebas.
Mungkin sudah saatnya bagiku untuk melepas semua kenangan tentangmu; tentang kita untuk kembali menyatu dengan udara dan kembali ke asal muasalnya yang tidak pernah aku ketahui daerahnya.
Mungkin, sudah saatnya aku melepasmu dari kenanganku yang selama ini selalu aku kunci dengan rapat dengan ketakutan; dengan rantai kerinduan.
Aku bukanlah sang penjaga waktu ataupun teman sang takdir yang bisa meminta untuk mengganti rol filmku sendiri yang masih berputar. Si takdir sudah berkata dengan lantangnya bahwa bukan dengan kamu.
Aku hanya bisa menyampaikan harapanku yang sangat klise ini, berharap bahwa kamu bahagia dengan siapapun nantinya yang bersama kamu, pada gemerisik dedaunan yang saling saut-sautan di senja sore yang terbit ketika berganti jaga dengan hujan.
Hiduplah dengan orang yang membuatmu tidak bisa hidup jika tidak dengannya.
Tidak akan ada pelangi jika tidak didahului oleh sebuah hujan, bukan? 
Aufwiedersehen.

Tidak akan (Pernah) Sama.


Jingga yang terwujud dalam senja hari ini tidak akan pernah sama dengan kemarin.
Namun, jingga ini tetap akan indah dan menawan.
Langit hari ini tidak akan pernah sama dengan kemarin, esok, lusa, dan selanjutnya.
Itulah sebabnya mengapa kita tidak pernah menjalani hari yang sama setiap harinya.
Namun, keadaan kita masih sama.
Kamu dengannya; aku dengan rindu ini.
Entah sampai kapan, aku hanyalah bagian dari cerita masa lalumu, sayang; dan mungkin tidak akan pernah berubah.
Seharusnya aku sudah siap dengan segalanya disaat aku memutuskan untuk ikut serta dalam perang, namun kenyataannya aku maju dengan tangan kosong ke medan perang; hanya bermodalkan perasaan yang tidak terlalu penting sebenarnya.

Melewati hari di semenanjung kerinduan itu terasa begitu berat; seperti tidak memiliki sebuah keseimbangan. Merenung dan mengajak riak-riak untuk mengobrol, untuk sekadar membunuh waktu yang berputar terlalu tertatih-tatih.

Mungkinkah ini akhir dari segalanya?
Waktu memang tidak akan pernah berhenti. Ia hanya akan berputar di tempatnya; tidak akan pernah beranjak dari posisinya. Hanya kita; kamu dan aku yang beranjak. Meski kamu tidak lagi hidup dalam nyataku, kamu mungkin masih sudi untuk berkunjung barang sebentar ke mimpiku dan merasakan setoples kerinduan yang mulai meluap; sebuah kerinduan yang terkungkung.
Jika tiada lagi sudi, mungkin memang sudah waktunya. Mungkin.
Waktu itu senang berteman dengan keadaan; membuat orang menunggu adalah kebiasaannya; membuat orang kecewa adalah kesukaannya; membuat orang menyesal adalah hobinya.

Perlahan kamu mulai bermetamorfosis menjadi sebuah arum manis yang melayang di atmosfer. Terlihat manis; namun hanya bisa ditatap dari dataran rendah; tidak bisa digapai meski dari dataran tinggi.
Rasa ini masih semanis arum manis; rindu ini masih sepahit kopi hitam; sayang itu semua masih beku di kamu; rol kenangan ini masih sepenuhnya berisi kamu. Aku bahkan belum menemukan bara api yang bisa melelehkan beku ini. Mungkin jika ada, bukan untuk meleleh, tapi untuk menguap.
Bodohnya aku, kesukaanku adalah mengorek momen-momen tentang kita. Meski begitu sedikit dan tidak akan pernah terulang, tapi mereka sudah menjadi satu kotak penting.

Hangatnya genggaman tanganmu tidak akan pernah mampir lagi untuk menyusup barang sebentar ke sela-sela jemariku; usapanmu akan menghilang dimakan waktu dan mulai aus; wangimu perlahan-lahan akan dihisap oleh udara; dan perlahan-lahan aku akan kehilanganmu dari pandangan mata ini.
Sudah tidak akan pernah sama lagi.
Kau sudah memilih untuk keluar, tapi sebagian diriku masih ingin menahanmu.
Namun, kesadaranku masih penuh untuk mulai melepasmu.
Rindu ini seringkali begitu menyengat dan menyesakkan.
Tapi, aku tidak memiliki daya untuk bergerak.
Rasaku masih akan tetap sama hingga di waktu yang belum terdefenisikan; rasamu mungkin sedang dalam masa transformasi ke sebuah rasa yang tidak begitu aku sukai, yang kamu beri ia nama, benci.
Aku dan kamu memang akan kembali seperti dulu, namun tidak akan pernah sama lagi.
                                  ∞

Bayang.



Jingga sore ini berbungkuskan dengan bingkai putih.
Dapatkah kau melihatnya dengan jelas?
Jangan kau pejamkan matamu. Meski menyilaukan, tapi di balik itu ada sebuah keindahan yang tidak berbayar.
Perlahan-lahan bingkai itu mulai berpencar.
Mereka tidak lagi di tempatnya. Seperti hati ini yang mulai berpencar; sudah tidak bersatu di tempat yang seharusnya.
“Sampai kapan?” gumamku.
Selamanya mungkin hanya akan menjadi bayang-bayang.
Ku ayun-ayunkan kedua kakiku yang menggantung di dermaga, kembali memandang jingga yang berpendar yang sering kita sebut senja. Matahari sudah setengah tenggelam. Tapi, tidak ada niat untuk beranjak dari sini. Kau tahu kenapa? Disini, semuanya tentang kau. Aku memang seperti orang bodoh yang menunggu sesuatu yang tidak mungkin; tapi, nyatanya tetap aku lakukan.
Jingga itu indah.
Namun, tidak bisa digapai.
Juga, tidak bisa dimiliki seutuhnya.
Kau terwujud dalam jingga.
Jangan menunggu, ucapmu lewat sebuah pesan. Aku tidak menunggu. Aku hanya menikmati waktuku untuk mengecapmu melalui segala kenangan yang ada; kehangatan tanganmu yang layaknya barang langka untuk ku dapat; senyummu yang selebar perahu naga; tawamu yang renyah di indera pendengaranku. Entah sejak kapan, kau berubah menjadi canduku. Jika tidak kudapatkan, akan terasa menyakitkan. Dan sakit itu perlahan-lahan mulai menyebar. Sakit itu acapkali aku artikan dengan kerinduan yang tidak tersampaikan.
Satu kata itu begitu terdengar klise, tapi aku tidak bisa memberikan satu kata lain yang lebih indah untuk mewakili penjelasanku. Anggaplah hanya angin yang berbisik di telingamu, kalau begitu, sayang.
Kau berjalan di bawah jingga dengan matahari diufuk yang mulai kelelahan dan si putih yang berpendar sudah menunggu jam jaganya, kau akan melihat bayang. Bayang yang terkadang tidak pernah dianggap ada; bayang yang bahkan tidak pernah diharapkan ada. Mengapa? Karena bayang itu hanya semu dan terkadang menakutkan.
Terkadang aku hidup di dalam bayang itu.
Kemana kau melangkah, aku menguntit layaknya penguntit di belakangmu; seperti anak kecil yang menguntit hanya untuk sebuah permen. 
Selamanya, aku hanya akan berwujud dalam bayang yang hidup dalam kenangan masa lalumu yang sudah kau titipkan pada burung-burung yang melintas di atas kepalamu itu. Yang aku kenal dengan kata, melupakan. Namun, kau lebih mengenalnya dengan kata, melepaskan.
Selamanya, aku tidak akan pernah hidup dalam hidupmu.